Anda di halaman 1dari 8

Nama : Reni Oktarina

Nim : 045002497
Pokjar : Pangkalan Balai
Administrasi Pemerintahan Daerah (ADPU4440)

Izin menjawab diskusi di atas tentang

1. Bagaimanakah penyusunan APBD dilakukan?


2. Bagaimanakah proses penatausahaan keuangan daerah di Indonesia serta jelaskan
permasalahan yang sering terjadi.
3. Jelaskan pembinaan pengelolaan keuangan daerah bersifat umum dan teknis yang
dilakukan di daerah kabupaten/kota serta bentuk-bentuk pengawasan keuangan
daerah?
4. Bagaimanakah permasalahan yang sering terjadi dalam mekanisme pengawasan?

JAWABAN NOMOR 1:

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan proses


yang kompleks dan strategis bagi pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan
program pembangunan daerah.

Proses penyusunan APBD mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77
Tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun
Anggaran 2021 dan tahun-tahun berikutnya, yang selaras dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Secara umum, penyusunan
APBD terdiri dari 6 (enam) tahapan, yaitu:

 Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA): Tahap ini merupakan tahap awal
yang bertujuan untuk menentukan arah dan prioritas pembangunan daerah dalam
APBD. KUA disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) dan memperhatikan kondisi makro ekonomi, fiskal, dan pembangunan
daerah.
 Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS): Tahap ini bertujuan
untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan daerah dengan kemampuan
keuangan daerah. PPAS memuat prioritas dan plafon anggaran sementara untuk setiap
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
 Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA
SKPD): Tahap ini merupakan tahap rincian program dan kegiatan SKPD yang akan
dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. RKA SKPD disusun oleh masing-masing
SKPD dan harus selaras dengan KUA dan PPAS.
 Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) APBD: Tahap ini bertujuan
untuk menyusun Ranperda APBD yang memuat seluruh komponen pendapatan dan
belanja daerah. Ranperda APBD disusun oleh Badan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (Banggar) DPRD bersama dengan SKPD terkait.
 Pembahasan Ranperda APBD di DPRD: Tahap ini merupakan tahap pembahasan
Ranperda APBD oleh DPRD dan SKPD terkait. DPRD dapat memberikan saran,
masukan, dan/atau perubahan terhadap Ranperda APBD.
 Penetapan APBD: Tahap akhir ini merupakan tahap penetapan APBD menjadi
Peraturan Daerah (Perda) oleh DPRD. Perda APBD menjadi dasar bagi pelaksanaan
program dan kegiatan yang telah direncanakan dalam APBD.

Penyusunan APBD harus berpedoman pada beberapa prinsip, yaitu:

 Efisiensi: Pendapatan dan belanja daerah harus dikelola secara efisien untuk mencapai
hasil yang optimal dengan biaya seminimal mungkin.
 Efektivitas: Pendapatan dan belanja daerah harus digunakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara efektif.
 Transparansi: Proses penyusunan dan pelaksanaan APBD harus dilakukan secara
terbuka dan transparan kepada masyarakat.
 Akuntabilitas: Penanggung jawab anggaran daerah harus mempertanggungjawabkan
pelaksanaan APBD kepada DPRD dan masyarakat.
 Partisipasi: Masyarakat harus dilibatkan dalam proses penyusunan APBD.

SUMBER REFERENSI:
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2021 dan
tahun-tahun berikutnya https://peraturan.bpk.go.id/Details/162792/permendagri-no-
77-tahun-2020
 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
https://peraturan.bpk.go.id/Details/49730/pp-no-58-tahun-2005

JAWABAN NOMOR 2:
Proses penatausahaan keuangan daerah di Indonesia mencakup pembukuan,
inventarisasi, dan pelaporan. Penatausahaan keuangan daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari proses pengelolaan keuangan daerah, yang menjadi kewenangan daerah
sebagai akibat dekontrasalasi. Menteri Dalam Negeri dan Gubernur melakukan pembinaan
dan pengawasan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Permasalahan yang sering terjadi
dalam penatausahaan keuangan daerah di Indonesia antara lain:
 Kendala jaringan pada aplikasi SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah), seperti
gangguan error dan kendala dalam proses masuk atau login ke dalam aplikasi.
 Belum adanya pelatihan dan bimbingan teknis lanjutan dalam pengoperasian SIPD,
yang menyebabkan kekurangan sumber daya manusia yang handal dan terampil
dalam mengoperasikan aplikasi SIPD.
 Perbaikan dan perluasan jangkauan server masih menjadi tuntutan untuk mengakses
aplikasi SIPD di seluruh Indonesia.
 Belum adanya bimbingan teknis (Bimtek) dan pelatihan yang berkelanjutan, yang
membuat Badan Pengelolaan Keuangan Kota Banda Aceh belum dapat
mengoperasikan SIPD dalam seluruh tahapan pengelolaan keuangan, mulai dari
perencanaan keuangan, penatausahaan keuangan hingga pelaporan keuangan.

Proses penatausahaan keuangan daerah di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, yang
merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. Secara umum, proses penatausahaan keuangan daerah di Indonesia
meliputi:
1. Penatausahaan Penerimaan
 Penerimaan Pajak Daerah: Dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) yang bertugas mengelola pajak daerah, seperti Badan Pajak Daerah
(Bapenda).
 Penerimaan Retribusi Daerah: Dilakukan oleh SKPD yang bertugas mengelola
retribusi daerah, seperti Dinas Perhubungan, Dinas Perdagangan, dan Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
 Penerimaan Lain-Lain: Dilakukan oleh SKPD yang bertugas mengelola
pendapatan lain-lain daerah, seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan.

2. Penatausahaan Pengeluaran
 Pengeluaran Belanja Barang dan Jasa: Dilakukan oleh SKPD yang
melaksanakan program dan kegiatan, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR), Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan.
 Pengeluaran Belanja Modal: Dilakukan oleh SKPD yang melaksanakan
pembangunan infrastruktur daerah, seperti Dinas PUPR dan Dinas
Perhubungan.
 Pengeluaran Belanja Hibah: Dilakukan oleh SKPD yang bertugas mengelola
hibah, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas
Sosial.

3. Penatausahaan Pembiayaan
 Penerimaan Pinjaman Daerah: Dilakukan oleh SKPD yang bertugas mengelola
pinjaman daerah, seperti Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD).
 Pengeluaran Penyertaan Modal Daerah: Dilakukan oleh SKPD yang bertugas
mengelola penyertaan modal daerah, seperti BPKD dan Dinas Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah (UKM).

4. Penatausahaan Barang Milik Daerah (BMD)


 Penatausahaan BMD: Dilakukan oleh SKPD yang bertugas mengelola BMD,
seperti Dinas Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Dinas Komunikasi dan
Informatika (Diskominfo).
5. Penatausahaan Hutang Daerah
 Penatausahaan Hutang Daerah: Dilakukan oleh SKPD yang bertugas
mengelola hutang daerah, seperti BPKD dan Dinas Keuangan.

Meskipun telah diatur dengan jelas, proses penatausahaan keuangan daerah di Indonesia
masih sering mengalami beberapa permasalahan, antara lain:

 Keterlambatan penatausahaan: Hal ini sering terjadi karena kurangnya


pemahaman aparatur pemerintah daerah tentang proses penatausahaan
keuangan daerah, serta keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur.
 Ketidaklengkapan dan ketidaktepatan data: Data yang tidak lengkap dan tidak
tepat dapat menyebabkan laporan keuangan daerah tidak akurat dan tidak
dapat memberikan gambaran yang benar tentang kondisi keuangan daerah.
 Kurangnya akuntabilitas dan transparansi: Hal ini sering terjadi karena
lemahnya sistem pengendalian internal dan kurangnya pengawasan dari pihak
yang berwenang.
 Penyalahgunaan anggaran: Penyalahgunaan anggaran dapat terjadi karena
lemahnya pengawasan dan kurangnya sanksi yang tegas bagi pelanggar.

SUMBER REFERENSI:

 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Daerah:
https://peraturan.bpk.go.id/Details/162792/permendagri-no-77-tahun-2020
 BMP ADPU4440

JAWABAN NOMOR 3:

Pembinaan pengelolaan keuangan daerah di kabupaten/kota bertujuan untuk


mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Pembinaan ini dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Bentuk-bentuk pembinaan pengelolaan keuangan daerah di kabupaten/kota dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Pembinaan Umum

Pembinaan umum difokuskan pada penyiapan landasan hukum, kebijakan, dan strategi
pengelolaan keuangan daerah. Bentuk pembinaan umum meliputi:

 Sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan keuangan daerah


 Penyediaan pedoman dan bimbingan teknis pengelolaan keuangan daerah
 Pengembangan kapasitas aparatur pengelola keuangan daerah
 Fasilitasi koordinasi dan komunikasi antar-stakeholder pengelolaan keuangan daerah

2. Pembinaan Teknis

Pembinaan teknis difokuskan pada peningkatan kualitas pelaksanaan pengelolaan keuangan


daerah. Bentuk pembinaan teknis meliputi:

 Pembinaan perencanaan pendapatan daerah


 Pembinaan penganggaran daerah
 Pembinaan penatausahaan keuangan daerah
 Pembinaan pelaporan keuangan daerah
 Pembinaan pembinaan aset daerah
 Pembinaan pembinaan akuntansi dan pelaporan keuangan daerah
 Pengawasan Keuangan Daerah

Pengawasan keuangan daerah bertujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan keuangan


daerah telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan keuangan daerah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk BPK, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Inspektorat Daerah. Bentuk-bentuk
pengawasan keuangan daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

 Pengawasan preventif
 Pengawasan represif
 Pengawasan evaluatif
SUMBER REFERENSI:

 BMP ADPU4440
 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah

JAWABAN NOMOR 4:

Permasalahan Umum dalam Mekanisme Pengawasan

Mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal, seringkali menemui berbagai


permasalahan yang menghambat efektivitasnya. Berikut beberapa permasalahan umum yang
sering terjadi:

1. Kurangnya Sumber Daya


 Kekurangan Tenaga Pengawas: Jumlah pengawas seringkali tidak memadai
untuk mengawasi semua objek yang ditugaskan, sehingga pengawasan
menjadi tidak menyeluruh.
 Keterbatasan Anggaran: Keterbatasan anggaran dapat menghambat kegiatan
pengawasan, seperti pengadaan peralatan, pelatihan, dan perjalanan dinas.

2. Kelemahan Sistem dan Prosedur


 Standar Pengawasan yang Kurang Jelas: Standar yang tidak jelas dapat
menyebabkan kebingungan dan inkonsistensi dalam pelaksanaan pengawasan.
 Proses Pengawasan yang Lambat dan Rumit: Proses yang berbelit-belit dapat
menghambat penyelesaian temuan pengawasan dan menunda tindakan
korektif.
 Kurangnya Integrasi Sistem Data: Data pengawasan yang tidak terintegrasi
dapat menyulitkan analisis dan pelacakan temuan pengawasan.

3. Lemahnya Penegakan Hukum


 Sanksi yang Tidak Tegas: Sanksi yang ringan terhadap pelanggaran tidak
memberikan efek jera dan tidak mendorong kepatuhan.
 Proses Penegakan Hukum yang Lambat: Lambatnya proses penegakan hukum
dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap mekanisme pengawasan.
 Kurangnya Koordinasi Antar Lembaga Penegak Hukum: Kurangnya
koordinasi dapat menghambat proses penyelesaian kasus pelanggaran.

4. Kurangnya Kesadaran dan Budaya Pengawasan


 Kurangnya Pemahaman tentang Tujuan Pengawasan: Kurangnya pemahaman
stakeholders tentang tujuan pengawasan dapat menyebabkan rendahnya
partisipasi dan dukungan terhadap kegiatan pengawasan.
 Budaya Melindungi Diri Sendiri: Budaya ini dapat menghambat
pengungkapan pelanggaran dan menghambat proses pengawasan.
 Kurangnya Komunikasi dan Edukasi: Kurangnya komunikasi dan edukasi
tentang pengawasan kepada stakeholders dapat menyebabkan rendahnya
kesadaran dan kepedulian terhadap pentingnya pengawasan.

5. Tantangan Teknologi
 Kesulitan Mengakses Data: Kesulitan dalam mengakses data yang relevan
dapat menghambat proses pengawasan.
 Keterbatasan Keterampilan Teknis: Kurangnya keterampilan teknis dalam
menggunakan teknologi pengawasan dapat menghambat efektivitas
pengawasan.
 Keamanan Siber yang Lemah: Keamanan siber yang lemah dapat membuat
data pengawasan rentan terhadap kebocoran dan penyalahgunaan.

SUMBER REFERENSI: BMP ADPU4440

Anda mungkin juga menyukai