Anda di halaman 1dari 142

LAMPIRAN

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK


NOMOR 47 TAHUN 2015
TENTANG 25
PEDOMAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sehubungan dengan perkembangan atas beberapa peraturan pengelolaan
keuangan daerah yang cukup mendasar dalam tata cara pengelolaan keuangan
daerah, maka agar pelaksanaan tugas pemerintah Kabupaten Trenggalek pada
masing-masing SKPD dapat berjalan lebih lancar, efektif dan efisien serta dalam
rangka mewujudkan tertib administrasi serta hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan secara fisik, keuangan maupun manfaatnya maka
peraturan bupati yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan APBD perlu
dilakukan penyesuaian atau perubahan.
Penyesuaian atau perubahan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance
dan clean government) melalui penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practice)
dalam pengelolaan keuangan daerah, yang berorientasi pada hasil, profesionalitas,
proporsionalitas dan keterbukaan. Hasil akhir yang ingin dicapai adalah
terwujudnya pelayanan pada masyarakat yang efektif, efisien, transparan dan
akuntabel dengan melalui anggaran berbasis kinerja.
Untuk mendukung penerapan kaidah-kaidah dalam pengelolaan keuangan
tersebut Pemerintah Kabupaten Trenggalek melalui Peraturan Bupati ini
menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), sebagai dasar dan acuan yang harus dilaksanakan bagi Pejabat pengelola
keuangan daerah pada Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) dan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Trenggalek serta pihak-
pihak/stakeholder yang terkait dalam pelaksanaan program dan kegiatan APBD.

B. MAKSUD DAN TUJUAN


Maksud penyusunan Pedoman Pelaksanaan APBD Kabupaten Trenggalek ini
adalah memberi pedoman dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai peraturan
perundangan-undangan yang berlaku.
Tujuan Pedoman Pelaksanaan APBD Kabupaten Trenggalek ini adalah sebagai
petunjuk pelaksanaan kepada seluruh pejabat pengelola keuangan daerah pada
SKPKD dan SKPD dalam menatausahakan dan membuat laporan
pertanggungjawaban dari program kegiatan APBD.

1
BAB II
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana


keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.

A. PRINSIP PENYUSUNAN APBD


a. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
daerah berdasarkan urusan dan kewenangannya;
b. Tepat waktu, sesuai dengan tahapan dan jadual yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan;
c. Transparan, untuk memudahkan masyarakat mengetahui dan mendapatkan
akses informasi seluas-luasnya tentang APBD;
d. Partisipatif, dengan melibatkan masyarakat;
e. Memperhatikan asas keadilan dan kepatutan; dan
f. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi
dan peraturan daerah lainnya.
B. KEBIJAKAN PENYUSUNAN APBD
Kebijakan yang perlu mendapat perhatian pemerintah daerah dalam penyusunan
APBD Tahun Anggaran 2015 terkait dengan pendapatan daerah, belanja daerah
dan pembiayaan daerah adalah sebagai berikut :
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD Tahun Anggaran 2015
merupakan perkiraan yang terukur secara rasional dan memiliki kepastian
serta dasar hukum penerimaannya.
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan
yang menduduki peran strategis, selain menggambarkan kemandirian
daerah dalam pembiayaan pembangunan, PAD juga menunjukkan kinerja
dan kreatifitas daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatannya.
Penganggaran pendapatan daerah yang bersumber dari PAD
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Penganggaran pajak daerah dan retribusi daerah:
a) Peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
b) Perkiraan pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2015 yang
berpotensi terhadap target pendapatan pajak daerah dan

2
retribusi daerah serta realisasi penerimaan pajak daerah dan
retribusi daerah tahun sebelumnya.
c) Pendapatan yang bersumber dari Pajak Penerangan Jalan
sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 56 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009.
d) Retribusi pelayanan kesehatan yang bersumber dari hasil klaim
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang
diterima oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit
Kerja pada SKPD yang belum menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan-Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD),
dianggarkan pada akun pendapatan, kelompok pendapatan PAD,
jenis pendapatan Retribusi Daerah, obyek pendapatan Retribusi
Jasa Umum, rincian obyek pendapatan Retribusi Pelayanan
Kesehatan.
2) Penganggaran hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
memperhatikan rasionalitas dengan memperhitungkan nilai kekayaan
daerah yang dipisahkan dan memperhatikan perolehan manfaat
ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya dalam jangka waktu
tertentu, dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 52 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolaan Investasi
Daerah.
Pengertian rasionalitas dalam konteks hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan:
a) Bagi perusahaan daerah yang menjalankan fungsi pemupukan
laba (profit oriented) adalah mampu menghasilkan keuntungan
atau deviden dalam rangka meningkatkan PAD; dan
b) Bagi perusahaan daerah yang menjalankan fungsi kemanfaatan
umum (public service oriented) adalah mampu meningkatkan
baik kualitas maupun cakupan layanan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3) Penganggaran Lain-lain PAD Yang Sah:
a) Pendapatan hasil pengelolaan dana bergulir sebagai salah satu
bentuk investasi jangka panjang non permanen, dianggarkan
pada akun pendapatan, kelompok PAD, jenis Lain-lain PAD Yang
Sah, obyek Hasil Pengelolaan Dana Bergulir, rincian obyek Hasil
Pengelolaan Dana Bergulir dari Kelompok Masyarakat Penerima.
b) Pendapatan bunga atau jasa giro dari dana cadangan, dianggarkan
pada akun pendapatan, kelompok PAD, jenis Lain-lain PAD Yang
Sah, obyek Bunga atau Jasa Giro Dana Cadangan, rincian obyek
Bunga atau Jasa Giro Dana Cadangan sesuai peruntukannya.

3
c) Pendapatan dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik pemerintah
daerah yang belum menerapkan PPK-BLUD mempedomani
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional
pada FKTP Milik Pemerintah Daerah dan Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri Nomor 900/2280/SJ tanggal 5 Mei 2014 perihal
Petunjuk Teknis Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan
serta Pertanggungjawaban Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan
Nasional pada FKTP Milik Pemerintah Daerah.
b. Dana Perimbangan
Penerimaan yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Penganggaran pendapatan daerah yang bersumber dari dana
perimbangan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Penganggaran Dana Bagi Hasil (DBH):
a) Pendapatan DBH-Pajak yang terdiri atas DBH-Pajak Bumi dan
Bangunan (DBH-PBB) selain PBB Perkotaan dan Perdesaan, DBH-
Pajak Penghasilan (DBH-PPh) dan DBH-Cukai Hasil Tembakau
(DBH-CHT) dianggarkan sesuai Peraturan Menteri Keuangan
mengenai Perkiraan Alokasi DBH-Pajak Tahun Anggaran 2015.
Apabila Peraturan Menteri Keuangan dimaksud belum ditetapkan,
penganggaran pendapatan dari DBH-Pajak didasarkan pada:
(1) Realisasi pendapatan DBH-Pajak 3 (tiga) tahun terakhir yaitu
Tahun Anggaran 2013, Tahun Anggaran 2012 dan Tahun
Anggaran 2011; atau
(2) Informasi resmi dari Kementerian Keuangan mengenai daftar
alokasi transfer ke daerah Tahun Anggaran 2015.
Dalam hal Peraturan Menteri Keuangan tentang perkiraan alokasi
DBH-Pajak di luar DBH-CHT ditetapkan setelah peraturan daerah
tentang APBD Tahun Anggaran 2015 ditetapkan, maka
pemerintah daerah harus menyesuaikan alokasi DBH-Pajak
dimaksud pada peraturan daerah tentang Perubahan APBD Tahun
Anggaran 2015 atau dicantumkan dalam LRA bagi pemerintah
daerah yang tidak melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran
2015.
Penggunaan DBH-CHT diarahkan untuk meningkatkan kualitas
bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial,
sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan/atau pemberantasan

4
barang kena cukai palsu (cukai illegal) sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan yang dijabarkan dengan keputusan gubernur.
b) Pendapatan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA), yang
terdiri dari DBH-Kehutanan, DBH-Pertambangan Umum, DBH-
Perikanan, DBH-Minyak Bumi, DBH-Gas Bumi, dan DBH-Panas
Bumi dianggarkan sesuai Peraturan Menteri Keuangan mengenai
Perkiraan Alokasi DBH-SDA Tahun Anggaran 2015.
Apabila Peraturan Menteri Keuangan dimaksud belum ditetapkan,
penganggaran pendapatan dari DBH-SDA didasarkan pada:
(1) Realisasi pendapatan DBH-SDA 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu
Tahun Anggaran 2013, Tahun Anggaran 2012 dan Tahun
Anggaran 2011, dengan mengantisipasi kemungkinan tidak
stabilnya harga dan hasil produksi (lifting) minyak bumi dan
gas bumi Tahun Anggaran 2015; atau
(2) Informasi resmi dari Kementerian Keuangan mengenai daftar
alokasi transfer ke daerah Tahun Anggaran 2015.
Dalam hal Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi
DBH-SDA di luar Dana Reboisasi yang merupakan bagian dari
DBH-Kehutanan ditetapkan setelah peraturan daerah tentang
APBD Tahun Anggaran 2015 ditetapkan, maka pemerintah daerah
harus menyesuaikan alokasi DBH-SDA dimaksud pada peraturan
daerah tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015 atau
dicantumkan dalam LRA bagi pemerintah daerah yang tidak
melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015.
Apabila terdapat pendapatan lebih DBH-SDA di luar perkiraan
alokasi DBH-SDA Tahun Anggaran 2015 seperti pendapatan
kurang salur tahun-tahun sebelumnya atau selisih pendapatan
Tahun Anggaran 2014, maka pendapatan lebih tersebut juga
dianggarkan dalam peraturan daerah tentang Perubahan APBD
Tahun Anggaran 2015 atau dicantumkan dalam LRA bagi
pemerintah daerah yang tidak melakukan Perubahan APBD Tahun
Anggaran 2015.
Dalam rangka optimalisasi penggunaan DBH-DR tahun-tahun
anggaran sebelumnya yang belum dimanfaatkan dan/atau masih
ada di Rekening Kas Umum Daerah sampai akhir Tahun Anggaran
2014, pemerintah daerah menganggarkan kembali dalam
APBD/Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015 untuk menunjang
program dan kegiatan yang terkait dengan rehabilitasi hutan dan
lahan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pendapatan yang berasal dari DBH-Migas wajib dialokasikan
untuk menambah anggaran pendidikan dasar yang besarannya

5
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
c) Pendapatan DBH-Pajak dan DBH-SDA untuk daerah induk dan
daerah otonom baru karena pemekaran, didasarkan pada
informasi resmi dari Kementerian Keuangan mengenai Daftar
Perkiraan Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2015
dengan mempedomani ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2) Penganggaran Dana Alokasi Umum (DAU):
DAU dialokasikan sesuai Peraturan Presiden tentang Dana Alokasi
Umum Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2015.
Dalam hal Peraturan Presiden dimaksud belum ditetapkan, maka
penganggaran DAU didasarkan pada:
a) Alokasi DAU daerah provinsi, kabupaten dan kota Tahun
Anggaran 2015 yang diinformasikan secara resmi oleh
Kementerian Keuangan; atau
b) Surat Edaran Menteri Keuangan setelah Rancangan Undang-
Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) Tahun Anggaran 2015 disetujui bersama antara
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR-RI).
Apabila Peraturan Presiden atau informasi resmi oleh Kementerian
Keuangan atau Surat Edaran Menteri Keuangan dimaksud belum
diterbitkan, maka penganggaran DAU tersebut didasarkan pada
alokasi DAU Tahun Anggaran 2014.
Apabila Peraturan Presiden atau informasi resmi oleh Kementerian
Keuangan atau Surat Edaran Menteri Keuangan tersebut diterbitkan
setelah peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2015
ditetapkan, maka pemerintah daerah harus menyesuaikan alokasi
DAU dimaksud pada peraturan daerah tentang Perubahan APBD
Tahun Anggaran 2015 atau dicantumkan dalam LRA bagi pemerintah
daerah yang tidak melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran
2015.
3) Penganggaran Dana Alokasi Khusus (DAK):
a) DAK dianggarkan sesuai Peraturan Menteri Keuangan tentang
Alokasi DAK Tahun Anggaran 2015.
Dalam hal Peraturan Menteri Keuangan dimaksud belum
ditetapkan, maka penganggaran DAK didasarkan pada:
(1) Alokasi DAK daerah provinsi dan kabupaten/kota Tahun
Anggaran 2015 yang diinformasikan secara resmi oleh
Kementerian Keuangan; atau

6
(2) Surat Edaran Menteri Keuangan setelah Rancangan Undang-
Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2015 disetujui
bersama antara Pemerintah dan DPR-RI.
Penyediaan dana pendamping atau sebutan lainnya hanya
diperkenankan untuk kegiatan yang telah diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan, seperti DAK sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004,
penerimaan hibah dan bantuan luar negeri sepanjang
mempersyaratkan dana pendamping dari APBD sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Hibah Daerah.
b) Daerah penerima DAK Tahun Anggaran 2015 dapat melakukan
optimalisasi penggunaan DAK dengan merencanakan dan
menganggarkan kembali kegiatan DAK Tahun Anggaran 2015
dalam APBD Tahun Anggaran 2015 untuk kegiatan DAK bidang
yang sama dengan mengacu pada petunjuk teknis yang telah
ditetapkan sepanjang akumulasi nilai kontrak kegiatan bidang
DAK tersebut lebih kecil dari pagu bidang DAK tersebut, sesuai
maksud Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
183/PMK.07/2013 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban
Anggaran Transfer ke Daerah.
Sisa DAK yaitu dana DAK yang telah disalurkan pemerintah
kepada pemerintah daerah dan tidak seluruhnya habis digunakan,
sedangkan target kinerja kegiatan DAK sudah tercapai dan/atau
target kinerja kegiatan DAK belum tercapai, dianggarkan dalam
APBD Tahun Anggaran 2015 dengan ketentuan:
(1) Apabila target kinerja kegiatan DAK sudah tercapai, sisa DAK
dimaksud dianggarkan dalam APBD Tahun Anggaran 2015
untuk menambah volume/target capaian program dan
kegiatan pada bidang DAK yang sama dan/atau untuk
mendanai kegiatan pada bidang DAK tertentu sesuai prioritas
nasional dengan menggunakan petunjuk teknis tahun
anggaran sebelumnya atau petunjuk teknis Tahun Anggaran
2015.
(2) Dalam hal target kinerja kegiatan DAK belum tercapai, sisa
DAK dimaksud dianggarkan dalam APBD Tahun Anggaran
2015 untuk mendanai kegiatan yang sesuai pada bidang DAK
yang sama sesuai prioritas nasional dengan menggunakan
petunjuk teknis tahun anggaran sebelumnya.
Kegiatan yang dibiayai dari sisa DAK harus selesai dan dapat
dimanfaatkan pada akhir tahun anggaran berkenaan.

7
c. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Penganggaran pendapatan daerah yang bersumber dari Lain-Lain
Pendapatan Daerah Yang Sah memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Penganggaran Pendapatan yang bersumber dari Dana Bagi
Hasil dari Propinsi dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% (sepuluh
persen), dialokasikan untuk mendanai pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan
sarana transportasi umum sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009.
b) Pendapatan yang bersumber dari Pajak Rokok, bagian
kabupaten/kota dialokasikan paling sedikit 50% (lima
puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan
masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang
berwenang sebagaimana diamanatkan dalam pasal 31
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
c) Penganggaran pendapatan kabupaten/kota yang
bersumber dari Bagi Hasil Pajak Daerah yang diterima dari
pemerintah provinsi didasarkan pada alokasi belanja bagi
hasil Pajak Daerah dari Pemerintah Provinsi Tahun
Anggaran 2015.
Dalam hal penetapan APBD kabupaten/kota Tahun
Anggaran 2015 mendahului penetapan APBD Provinsi
Tahun Anggaran 2015 , penganggarannya didasarkan
pada alokasi Bagi Hasil Pajak Daerah Tahun Anggaran
2014 dengan memperhatikan realisasi Bagi Hasil Pajak
Daerah Tahun Anggaran 2013, sedangkan bagian
pemerintah kabupaten/kota yang belum direalisasikan oleh
pemerintah provinsi akibat pelampauan target Tahun
Anggaran 2014, ditampung dalam peraturan daerah
tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015 atau
dicantumkan dalam LRA bagi pemerintah daerah yang
tidak melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015.
2) Penganggaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) dialokasikan
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai
Pedoman Umum dan Alokasi Tunjangan Profesi Guru Pegawai
Negeri Sipil Daerah Tahun Anggaran 2015.
Dalam hal Peraturan Menteri Keuangan dimaksud belum
ditetapkan, penganggaraan TPG tersebut didasarkan pada

8
alokasi TPG Tahun Anggaran 2014 dengan memperhatikan
realisasi Tahun Anggaran 2013.
Apabila Peraturan Menteri Keuangan tersebut diterbitkan
setelah peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran
2015 ditetapkan, maka pemerintah daerah harus
menyesuaikan alokasi TPG dimaksud pada peraturan daerah
tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015 atau
dicantumkan dalam LRA bagi pemerintah daerah yang tidak
melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015.
3) Pendapatan yang diperuntukan bagi desa dan desa adat yang
bersumber dari APBN dalam rangka membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat
(2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
dianggarkan dalam APBD pemerintah kabupaten/kota Tahun
Anggaran 2015 dengan mempedomani peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai alokasi APBN yang
diperuntukan bagi desa dan desa adat.
4) Penganggaran Dana Transfer lainnya dialokasikan sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai Pedoman
Umum dan Alokasi Dana Transfer lainnya Tahun Anggaran
2015.
Apabila Peraturan Menteri Keuangan tersebut diterbitkan
setelah peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran
2015 ditetapkan, maka pemerintah daerah harus
menyesuaikan alokasi Dana Transfer lainnya dimaksud pada
peraturan daerah tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran
2015 atau dicantumkan dalam
LRA bagi pemerintah daerah yang tidak melakukan
Perubahan APBD Tahun Anggaran 2015.
Pendapatan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang
bersumber dari dana transfer lainnya, penggunaannya harus
berpedoman pada masing-masing Peraturan/Petunjuk Teknis
yang melandasi penerimaan dana transfer lainnya dimaksud.
5) Pendapatan daerah yang bersumber dari bantuan keuangan,
baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus yang
diterima dari pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota lainnya dianggarkan dalam APBD penerima
bantuan, sepanjang sudah dianggarkan dalam APBD pemberi
bantuan.

9
Apabila pendapatan daerah yang bersumber dari bantuan
keuangan tersebut diterima setelah peraturan daerah tentang
APBD Tahun Anggaran 2015 ditetapkan, maka pemerintah
daerah harus menyesuaikan alokasi bantuan keuangan
dimaksud pada peraturan daerah tentang Perubahan APBD
Tahun Anggaran 2015 atau dicantumkan dalam LRA bagi
pemerintah daerah yang tidak melakukan Perubahan APBD
Tahun Anggaran 2015.
Dalam hal bantuan keuangan tersebut diterima setelah
penetapan peraturan daerah tentang Perubahan APBD Tahun
Anggaran 2015, maka bantuan keuangan tersebut ditampung
dalam LRA pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota penerima bantuan.

2. Belanja Daerah
Belanja daerah harus digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan
untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam
upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
Pelaksanaan urusan wajib dimaksud berdasarkan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang telah ditetapkan.
Pemerintah daerah menetapkan target capaian kinerja setiap belanja, baik
dalam konteks daerah, satuan kerja perangkat daerah, maupun program dan
kegiatan, yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan
anggaran dan memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran.
Program dan kegiatan harus memberikan informasi yang jelas dan terukur
serta memiliki korelasi langsung dengan keluaran yang diharapkan dari
program dan kegiatan dimaksud ditinjau dari aspek indikator, tolok ukur dan
target kinerjanya.
a. Belanja Tidak Langsung
Penganggaran belanja tidak langsung memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Belanja Pegawai
a) Penganggaran untuk gaji pokok dan tunjangan Pegawai Negeri
Sipil Daerah (PNSD) disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta memperhitungkan rencana kenaikan
gaji pokok dan tunjangan PNSD serta pemberian gaji ketiga belas.

10
b) Penganggaran belanja pegawai untuk kebutuhan pengangkatan
Calon PNSD sesuai formasi pegawai Tahun 2015.
c) Penganggaran belanja pegawai untuk kebutuhan kenaikan gaji
berkala, kenaikan pangkat, tunjangan keluarga dan mutasi
pegawai dengan memperhitungkan acress yang besarnya
maksimum 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah belanja
pegawai untuk gaji pokok dan tunjangan.
d) Penganggaran penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah, Pimpinan dan Anggota DPRD serta
PNSD dibebankan pada APBD Tahun Anggaran 2015 dengan
mempedomani Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Terkait dengan hal tersebut, penyediaan anggaran untuk
pengembangan cakupan penyelenggaraan jaminan kesehatan
bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Pimpinan dan Anggota
DPRD serta PNSD di luar cakupan penyelenggaraan jaminan
kesehatan yang disediakan oleh BPJS, tidak diperkenankan
dianggarkan dalam APBD.
e) Penganggaran penyelenggaraan jaminan kecelakaan kerja dan
kematian bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Pimpinan dan
Anggota DPRD serta PNSD dibebankan pada APBD dengan
mempedomani Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 84
Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Peraturan Presiden
Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan
Program Jaminan Sosial.
f) Penganggaran Tambahan Penghasilan PNSD harus
memperhatikan kemampuan keuangan daerah dengan
persetujuan DPRD sesuai amanat Pasal 63 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Kebijakan dan penentuan
kriterianya ditetapkan terlebih dahulu dengan peraturan kepala
daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah

11
beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 21 Tahun 2011.
g) Penganggaran Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
h) Tunjangan profesi guru PNSD dan dana tambahan penghasilan
guru PNSD yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2015
melalui dana transfer ke daerah dianggarkan dalam APBD pada
jenis belanja pegawai, dan diuraikan ke dalam obyek dan rincian
obyek belanja sesuai dengan kode rekening berkenaan.
2) Belanja Bunga
Bagi daerah yang belum memenuhi kewajiban pembayaran bunga
pinjaman, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka
panjang supaya dianggarkan pembayarannya dalam APBD Tahun
Anggaran 2015.
3) Belanja Subsidi
Pemerintah daerah dapat menganggarkan belanja subsidi kepada
perusahaan/lembaga tertentu yang menyelenggarakan pelayanan
publik, antara lain dalam bentuk penugasan pelaksanaan Kewajiban
Pelayanan Umum (Public Service Obligation). Belanja Subsidi tersebut
hanya diberikan kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual
dari hasil produksinya terjangkau oleh masyarakat yang daya belinya
terbatas. Perusahaan/lembaga tertentu yang diberi subsidi tersebut
menghasilkan produk yang merupakan kebutuhan dasar dan
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sebelum belanja subsidi tersebut dianggarkan dalam APBD Tahun
Anggaran 2015, perusahaan/lembaga penerima subsidi harus terlebih
dahulu dilakukan audit sesuai dengan ketentuan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 41 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011.
4) Belanja Hibah dan Bantuan Sosial
Penganggaran belanja hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari
APBD mempedomani peraturan kepala daerah yang telah disesuaikan
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang
Bersumber dari APBD, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang

12
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari
APBD, serta peraturan perundang-undangan lain di bidang hibah dan
bantuan sosial.
5) Belanja Bagi Hasil Pajak
a) Penganggaran dana Bagi Hasil Pajak Daerah yang bersumber dari
pendapatan pemerintah provinsi kepada pemerintah
kabupaten/kota harus mempedomani Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009. Tata cara penganggaran dana bagi hasil tersebut
harus memperhitungkan rencana pendapatan pajak daerah pada
Tahun Anggaran 2015, sedangkan pelampauan target Tahun
Anggaran 2014 yang belum direalisasikan kepada pemerintah
kabupaten/kota ditampung dalam Perubahan APBD Tahun
Anggaran 2015 atau dicantumkan dalam LRA bagi Pemerintah
Daerah yang tidak melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran
2015.
b) Dalam rangka pelaksanaan Pasal 72 ayat (1) huruf c dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pemerintah
kabupaten/kota menganggarkan belanja Bagi Hasil Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah kepada pemerintah desa paling sedikit 10%
(sepuluh per seratus) dari pajak daerah dan retribusi daerah
kabupaten/kota.
c) Dari aspek teknis penganggaran, pendapatan Bagi Hasil Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dari pemerintah kabupaten/kota
untuk pemerintah desa dalam APBD harus diuraikan ke dalam
daftar nama pemerintah desa selaku penerima sebagai rincian
obyek penerima bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah
sesuai kode rekening berkenaan.
6) Belanja Bantuan Keuangan
a) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
menganggarkan bantuan keuangan kepada pemerintah daerah
lainnya yang didasarkan pada pertimbangan untuk mengatasi
kesenjangan fiskal, membantu pelaksanaan urusan pemerintahan
daerah yang tidak tersedia alokasi dananya dan/atau menerima
manfaat dari pemberian bantuan keuangan tersebut, sesuai
kemampuan keuangan masing-masing daerah.
Pemberian bantuan keuangan dapat bersifat umum dan bersifat
khusus. Bantuan keuangan yang bersifat umum digunakan untuk
mengatasi kesenjangan fiskal dengan menggunakan formula
antara lain variabel: pendapatan daerah, jumlah penduduk,
jumlah penduduk miskin dan luas wilayah yang ditetapkan dengan
peraturan kepala daerah. Bantuan keuangan yang bersifat khusus

13
digunakan untuk membantu capaian kinerja program prioritas
pemerintah daerah penerima bantuan keuangan sesuai dengan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan penerima
bantuan. Pemanfaatan bantuan keuangan yang bersifat khusus
ditetapkan terlebih dahulu oleh pemberi bantuan.
b) Bantuan keuangan kepada partai politik dianggarkan pada jenis
belanja bantuan keuangan, obyek belanja bantuan keuangan
kepada partai politik dan rincian obyek belanja nama partai politik
penerima bantuan keuangan. Besaran penganggaran bantuan
keuangan kepada partai politik berpedoman kepada Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pedoman
Tata Cara Penghitungan, Penganggaran Dalam APBD, Pengajuan,
Penyaluran, dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan
Bantuan Keuangan Partai Politik sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
24 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan,
Penganggaran Dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan
Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai
Politik.
c) Dalam rangka pelaksanaan Pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pemerintah
kabupaten/kota menganggarkan alokasi dana untuk desa dan
desa adat yang diterima dari APBN dalam jenis belanja bantuan
keuangan kepada pemerintah desa dalam APBD kabupaten/kota
Tahun Anggaran 2015 untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan serta pemberdayaan masyarakat,
dan kemasyarakatan.
Selain itu, pemerintah kabupaten/kota menganggarkan Alokasi
Dana Desa (ADD) untuk pemerintah desa dalam jenis belanja
bantuan keuangan kepada pemerintah desa paling sedikit 10%
(sepuluh per seratus) dari dana perimbangan yang diterima oleh
kabupaten/kota dalam APBD Tahun Anggaran 2015 setelah
dikurangi DAK sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) dan
ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Selanjutnya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memberikan
bantuan keuangan lainnya kepada pemerintah desa, sebagaimana
diatur dalam Pasal 72 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014.
d) Dari aspek teknis penganggaran, dalam APBD pemberi bantuan
keuangan, belanja bantuan keuangan tersebut harus diuraikan

14
daftar nama pemerintah daerah/desa selaku penerima bantuan
keuangan sebagai rincian obyek penerima bantuan keuangan
sesuai kode rekening berkenaan.
7) Belanja Tidak Terduga
Penganggaran belanja tidak terduga dilakukan secara rasional dengan
mempertimbangkan realisasi Tahun Anggaran 2014 dan kemungkinan
adanya kegiatan-kegiatan yang sifatnya tidak dapat diprediksi
sebelumnya, diluar kendali dan pengaruh pemerintah daerah. Belanja
tidak terduga merupakan belanja untuk mendanai kegiatan yang
sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan terjadi berulang, seperti
kebutuhan tanggap darurat bencana, penanggulangan bencana alam
dan bencana sosial, yang tidak tertampung dalam bentuk program
dan kegiatan pada Tahun Anggaran 2015, termasuk pengembalian
atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya.
b. Belanja Langsung
Penganggaran belanja langsung dalam rangka melaksanakan program
dan kegiatan pemerintah daerah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Penganggaran belanja langsung dalam APBD digunakan untuk
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah, yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan. Penganggaran belanja langsung dituangkan
dalam bentuk program dan kegiatan, yang manfaat capaian
kinerjanya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah
daerah kepada kepentingan publik.
Penyusunan anggaran belanja untuk setiap program dan kegiatan
mempedomani SPM yang telah ditetapkan, Analisis Standar Belanja
(ASB), dan standar satuan harga. ASB dan standar satuan harga
ditetapkan dengan keputusan kepala daerah dan digunakan sebagai
dasar penyusunan RKA-SKPD dan RKA-PPKD.
Selain itu, penganggaran belanja barang dan jasa agar
mengutamakan produksi dalam negeri dan melibatkan usaha mikro
dan usaha kecil serta koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip
efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem dan kualitas kemampuan
teknis.
2) Belanja Pegawai
Dalam rangka meningkatkan efisiensi anggaran daerah,
penganggaran honorarium bagi PNSD dan Non PNSD memperhatikan
asas kepatutan, kewajaran dan rasionalitas dalam pencapaian sasaran
program dan kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan waktu
pelaksanaan kegiatan dalam rangka mencapai target kinerja kegiatan
dimaksud. Berkaitan dengan hal tersebut, pemberian honorarium bagi

15
PNSD dan Non PNSD dibatasi dan hanya didasarkan pada
pertimbangan bahwa keberadaan PNSD dan Non PNSD dalam
kegiatan benar-benar memiliki peranan dan kontribusi nyata terhadap
efektifitas pelaksanaan kegiatan dimaksud dengan memperhatikan
pemberian Tambahan Penghasilan bagi PNSD dan pemberian Insentif
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Suatu kegiatan tidak diperkenankan diuraikan hanya ke dalam jenis
belanja pegawai, obyek belanja honorarium dan rincian obyek belanja
honorarium PNSD dan Non PNSD. Besaran honorarium bagi PNSD dan
Non PNSD dalam kegiatan ditetapkan dengan keputusan kepala
daerah.
3) Belanja Barang dan Jasa
a) Pemberian jasa narasumber/tenaga ahli dalam kegiatan
dianggarkan pada jenis Belanja Barang dan Jasa dengan
menambahkan obyek dan rincian obyek belanja baru serta
besarannya ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
b) Penganggaran uang untuk diberikan kepada pihak
ketiga/masyarakat hanya diperkenankan dalam rangka pemberian
hadiah pada kegiatan yang bersifat perlombaan atau penghargaan
atas suatu prestasi. Alokasi belanja tersebut dianggarkan pada
jenis Belanja Barang dan Jasa sesuai kode rekening berkenaan.
c) Penganggaran belanja barang pakai habis disesuaikan dengan
kebutuhan nyata yang didasarkan atas pelaksanaan tugas dan
fungsi SKPD, jumlah pegawai dan volume pekerjaan serta
memperhitungkan estimasi sisa persediaan barang Tahun
Anggaran 2014.
d) Penganggaran penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011,
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2013 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 111 Tahun 2013, yang tidak menjadi cakupan
penyelenggaraan jaminan kesehatan melalui BPJS yang
bersumber dari APBN, pemerintah daerah dapat
menganggarkannya dalam bentuk program dan kegiatan pada
SKPD yang menangani urusan kesehatan pemberi pelayanan
kesehatan.
e) Penganggaran belanja yang bersumber dari dana kapitasi Jaminan
Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) Milik Pemerintah Daerah yang belum menerapkan PPK-

16
BLUD mempedomani Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 tentang
Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk
Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada
FKTP Milik Pemerintah Daerah dan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri Nomor 900/2280/SJ tanggal 5 Mei 2014.
f) Penganggaran Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor milik pemerintah daerah dialokasikan pada
masing-masing SKPD sesuai amanat Pasal 6 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan besarannya sesuai dengan
masing-masing peraturan daerah.
g) Pengadaan barang/jasa yang akan diserahkan kepada pihak
ketiga/masyarakat pada tahun anggaran berkenaan, dianggarkan
pada jenis belanja barang dan jasa. Pengadaan belanja
barang/jasa yang akan diserahkan kepada pihak
ketiga/masyarakat pada tahun anggaran berkenaan dimaksud
dianggarkan sebesar harga beli/bangun barang/jasa yang akan
diserahkan kepada pihak ketiga/masyarakat ditambah seluruh
belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan
barang/jasa sampai siap diserahkan.
h) Penganggaran belanja perjalanan dinas dalam rangka kunjungan
kerja dan studi banding, baik perjalanan dinas dalam negeri
maupun perjalanan dinas luar negeri, dilakukan secara selektif,
frekuensi dan jumlah harinya dibatasi serta memperhatikan target
kinerja dari perjalanan dinas dimaksud sehingga relevan dengan
substansi kebijakan pemerintah daerah. Hasil kunjungan kerja dan
studi banding dilaporkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Khusus penganggaran perjalanan dinas luar negeri berpedoman
pada Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perjalanan
Dinas Luar Negeri dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11
Tahun 2011 tentang Pedoman Perjalanan Dinas Ke Luar Negeri
Bagi Pejabat/Pegawai di lingkungan Kementerian Dalam Negeri,
Pemerintah Daerah, dan Pimpinan serta Anggota DPRD.
i) Dalam rangka memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan keuangan
daerah, penganggaran belanja perjalanan dinas harus
memperhatikan aspek pertanggungjawaban sesuai biaya riil atau
lumpsum, khususnya untuk hal-hal sebagai berikut:
(1) Sewa kendaraan dalam kota dibayarkan sesuai dengan biaya
riil. Komponen sewa kendaraan hanya diberikan untuk
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota dan Pimpinan DPRD Provinsi;

17
(2) Biaya transportasi dibayarkan sesuai dengan biaya riil;
(3) Biaya penginapan dibayarkan sesuai dengan biaya riil;
Dalam hal pelaksana perjalanan dinas tidak menggunakan
fasilitas hotel atau tempat penginapan lainnya, kepada yang
bersangkutan diberikan biaya penginapan sebesar 30% (tiga
puluh persen) dari tarif hotel di kota tempat tujuan sesuai
dengan tingkatan pelaksana perjalanan dinas dan dibayarkan
secara lumpsum.
(4) Uang harian dan uang representasi dibayarkan secara
lumpsum.
Standar satuan harga perjalanan dinas ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Daerah, dengan mempedomani besaran
satuan biaya yang berlaku dalam APBN sebagaimana diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
j) Penyediaan anggaran untuk perjalanan dinas yang
mengikutsertakan non PNSD diperhitungkan dalam belanja
perjalanan dinas. Tata cara penganggaran perjalanan dinas
dimaksud mengacu pada ketentuan perjalanan dinas yang
ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
k) Penganggaran untuk menghadiri pendidikan dan pelatihan,
bimbingan teknis atau sejenisnya yang terkait dengan
pengembangan sumber daya manusia Pimpinan dan Anggota
DPRD serta pejabat/staf pemerintah daerah, yang tempat
penyelenggaraannya di luar daerah harus dilakukan sangat
selektif dengan mempertimbangkan aspek-aspek urgensi dan
kompetensi serta manfaat yang akan diperoleh dari kehadiran
dalam pendidikan dan pelatihan, bimbingan teknis atau sejenisnya
guna pencapaian efektifitas penggunaan anggaran daerah. Dalam
rangka orientasi dan pendalaman tugas Pimpinan dan Anggota
DPRD Kabupaten/Kota agar berpedoman pada Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2011 tentang Pedoman Orientasi
dan Pendalaman Tugas Anggota DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2011 tentang
Pedoman Orientasi dan Pendalaman Tugas Anggota DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
l) Penganggaran untuk penyelenggaraan kegiatan rapat, pendidikan
dan pelatihan, bimbingan teknis atau sejenisnya diprioritaskan
untuk menggunakan fasilitas aset daerah, seperti ruang rapat
atau aula yang sudah tersedia milik pemerintah daerah.

18
m) Penganggaran pemeliharaan barang milik daerah yang berada
dalam penguasaannya mempedomani Pasal 46 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah dan Pasal 48 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah.
4) Belanja Modal
a) Pemerintah daerah harus memprioritaskan alokasi belanja modal
pada APBD Tahun Anggaran 2015 untuk pembangunan dan
pengembangan sarana dan prasarana yang terkait dengan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
b) Penganggaran untuk pengadaan kebutuhan barang milik daerah
dan pemeliharaan barang milik daerah menggunakan dasar
perencanaan kebutuhan dan pemeliharaan barang milik daerah
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2014 dan Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007. Selanjutnya, untuk pengadaan barang
milik daerah juga memperhatikan standar sarana dan prasarana
kerja berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7
Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja
Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun
2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja
Pemerintahan Daerah.
Khusus penganggaran untuk pembangunan gedung dan
bangunan milik daerah mempedomani Peraturan Presiden Nomor
73 Tahun 2011 tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara.
c) Penganggaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum
mempedomani Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari APBD.
d) Penganggaran belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang
dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang

19
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Nilai aset tetap
berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga
beli/bangun aset (pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) Permendagri 13
Tahun 2006 sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan
Peraturan Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011).
5) Surplus/Defisit APBD
a) Surplus atau defisit APBD adalah selisih antara anggaran
pendapatan daerah dengan anggaran belanja daerah.
b) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, penggunaan surplus
tersebut diutamakan untuk pembayaran pokok utang, penyertaan
modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman kepada pemerintah
pusat/pemerintah daerah lain dan/atau pendanaan belanja
peningkatan jaminan sosial. Pendanaan belanja peningkatan
jaminan sosial tersebut diwujudkan dalam bentuk program dan
kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang dianggarkan pada
SKPD yang secara fungsional terkait dengan tugasnya
melaksanakan program dan kegiatan tersebut.
c) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, pemerintah daerah
menetapkan penerimaan pembiayaan untuk menutup defisit
tersebut, yang bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran
tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan
pinjaman, dan/atau penerimaan kembali pemberian pinjaman
atau penerimaan piutang.
d) Pemerintah Daerah wajib mempedomani penetapan batas
maksimal defisit APBD Tahun Anggaran 2015 yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, dan melaporkan posisi surplus/defisit
APBD kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap
semester Tahun Anggaran 2015. Pelanggaran terhadap ketentuan
dimaksud, dapat dilakukan penundaan atas penyaluran dana
perimbangan.
3. Pembiayaan Daerah
a. Penerimaan Pembiayaan Daerah
1) Penganggaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya
(SiLPA) harus didasarkan pada penghitungan yang cermat dan
rasional dengan mempertimbangkan perkiraan realisasi anggaran
Tahun Anggaran 2014 dalam rangka menghindari kemungkinan
adanya pengeluaran pada Tahun Anggaran 2015 yang tidak dapat
didanai akibat tidak tercapainya SiLPA yang direncanakan.

20
Selanjutnya SiLPA dimaksud harus diuraikan pada obyek dan rincian
obyek sumber SiLPA Tahun Anggaran 2014.
2) Dalam menetapkan anggaran penerimaan pembiayaan yang
bersumber dari pencairan dana cadangan, waktu pencairan dan
besarannya sesuai peraturan daerah tentang pembentukan dana
cadangan.
3) Penerimaan kembali dana bergulir dianggarkan dalam APBD pada
akun pembiayaan, kelompok penerimaan pembiayaan daerah, jenis
penerimaan kembali investasi pemerintah daerah, obyek dana
bergulir dan rincian obyek dana bergulir dari kelompok masyarakat
penerima.
4) Pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan pinjaman daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pinjaman
daerah. Bagi pemerintah kabupaten/kota yang berencana untuk
melakukan pinjaman daerah harus dianggarkan terlebih dahulu dalam
rancangan peraturan daerah tentang APBD tahun anggaran
berkenaan sesuai Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
Untuk pinjaman jangka menengah sesuai Pasal 13 ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 digunakan untuk membiayai
pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan, sedangkan
pinjaman jangka panjang yang bersumber dari pemerintah,
pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga
keuangan bukan bank sesuai Pasal 14 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 2011 digunakan untuk membiayai kegiatan investasi
prasarana dan/atau sarana dalam rangka pelayanan publik yang :
(a) menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi
APBD yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan
sarana tersebut;
(b) menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan
terhadap belanja APBD yang seharusnya dikeluarkan apabila
kegiatan tersebut tidak dilaksanakan; dan/atau
(c) memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
b. Pengeluaran Pembiayaan
1) Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pemerintah daerah dapat
menganggarkan investasi jangka panjang non permanen dalam
bentuk dana bergulir sesuai Pasal 118 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dana
bergulir dalam APBD dianggarkan pada akun pembiayaan, kelompok
pengeluaran pembiayaan daerah, jenis penyertaan modal/investasi

21
pemerintah daerah, obyek dana bergulir dan rincian obyek dana
bergulir kepada kelompok masyarakat penerima.
2) Penyertaan modal pemerintah daerah pada badan usaha milik
negara/daerah dan/atau badan usaha lainnya ditetapkan dengan
peraturan daerah tentang penyertaan modal. Penyertaan modal
dalam rangka pemenuhan kewajiban yang telah tercantum dalam
peraturan daerah tentang penyertaan modal pada tahun sebelumnya,
tidak perlu diterbitkan peraturan daerah tersendiri sepanjang jumlah
anggaran penyertaan modal tersebut belum melebihi jumlah
penyertaan modal yang telah ditetapkan pada peraturan daerah
tentang penyertaan modal.
Dalam hal pemerintah daerah akan menambah jumlah penyertaan
modal melebihi jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan
dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal dimaksud,
pemerintah daerah melakukan perubahan peraturan daerah tentang
penyertaan modal tersebut.
3) Pemerintah daerah dapat menambah modal yang disetor dan/atau
melakukan penambahan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) untuk memperkuat struktur permodalan, sehingga
BUMD dimaksud dapat lebih berkompetisi, tumbuh dan berkembang.
Khusus untuk BUMD sektor perbankan, pemerintah daerah dapat
melakukan penambahan penyertaan modal dimaksud guna
menambah modal inti sebagaimana dipersyaratkan Bank Indonesia
dan untuk memenuhi Capital Adequacy Ratio (CAR).
4) Dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan bagi Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM), pemerintah daerah dapat melakukan
penyertaan modal dan/atau penambahan modal kepada bank
perkreditan rakyat milik pemerintah daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5) Dalam rangka mendukung pencapaian target Millenium Development
Goal’s (MDG’s) Tahun 2025 yaitu cakupan pelayanan air perpipaan di
wilayah perkotaan sebanyak 80% (delapan puluh persen) dan di
wilayah perdesaan sebanyak 60% (enam puluh persen), pemerintah
daerah perlu memperkuat struktur permodalan Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM). Penguatan struktur permodalan tersebut
dilakukan dengan menambah penyertaan modal pemerintah daerah
yang antara lain bersumber dari pemanfaatan bagian laba bersih
PDAM. Penyertaan Modal dimaksud dilakukan untuk penambahan,
peningkatan, perluasan prasarana dan sarana sistem penyediaan air
minum, serta peningkatan kualitas dan pengembangan cakupan
pelayanan. Selain itu, pemerintah daerah dapat melakukan

22
penambahan penyertaan modal guna meningkatkan kualitas,
kuantitas dan kapasitas pelayanan air minum kepada masyarakat
untuk mencapai MDG’s dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
6) Untuk menganggarkan dana cadangan, pemerintah daerah harus
menetapkan terlebih dahulu peraturan daerah tentang pembentukan
dana cadangan yang mengatur tujuan pembentukan dana cadangan,
program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan,
besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan,
dengan mempedomani Pasal 122 dan Pasal 123 Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 serta Pasal 63 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
21 Tahun 2011.
7) Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran
sebagaimana diamanatkan Pasal 28 ayat (5) Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 dan Pasal 61 ayat (2) Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
21 Tahun 2011.
c. Sisa Lebih Pembiayaan (SILPA) Tahun Berjalan
1) Pemerintah daerah menetapkan Sisa Lebih Pembiayaan (SILPA)
Tahun Anggaran 2015 bersaldo nol.
2) Dalam hal perhitungan penyusunan Rancangan APBD menghasilkan
SILPA Tahun Berjalan positif, pemerintah daerah harus
memanfaatkannya untuk penambahan program dan kegiatan prioritas
yang dibutuhkan, volume program dan kegiatan yang telah
dianggarkan, dan/atau pengeluaran pembiayaan.
3) Dalam hal perhitungan SILPA Tahun Berjalan negatif, pemerintah
daerah melakukan pengurangan bahkan penghapusan pengeluaran
pembiayaan yang bukan merupakan kewajiban daerah, pengurangan
program dan kegiatan yang kurang prioritas dan/atau pengurangan
volume program dan kegiatannya.

C. PENEKANAN UMUM PELAKSANAAN APBD


1. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang baik, telah ditetapkan
sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah yang mengatur sistem dan
prosedur baku dari proses perencanaan, penatausahaan sampai dengan
pertanggungjawabannya dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya disiplin
dan akuntabilitas anggaran berdasarkan prinsip dan standar akuntansi
pemerintahan.

23
2. Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) dan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) Pengelola Sumber Pendapatan Daerah yang
mengelola sumber Pendapatan Asli Daerah wajib mengoptimalkan pengelolaan
sumber-sumber pendapatan asli daerah tersebut dengan intensifikasi dan
ekstensifikasi dalam pemungutannya.
3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan
yang menduduki peran strategis. Selain menggambarkan kemandirian daerah
dalam pembiayaan pembangunan, PAD juga menunjukkan kinerja dan
kreatifitas daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatannya, oleh
karena itu perlu ditingkatkan sinergi dan optimalisasi pengelolaannya.
4. Pendapatan Daerah merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang
dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Belanja Daerah merupakan
perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata
agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa
diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Seluruh
pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah dianggarkan
secara bruto dalam APBD.
5. Setiap pendapatan daerah yang diterima dan ditampung melalui Rekening Kas
Umum Daerah (RKUD) harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah.
6. Komisi, rabat, potongan atau pendapatan lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung sebagai akibat
dari penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi dan atau pengadaan
barang/jasa termasuk pendapatan bunga, jasa, giro atau pendapatan lain
sebagai akibat penyimpanan dana anggaran pada bank serta pendapatan dari
hasil pemanfaatan barang daerah atas kegiatan lainnya merupakan
pendapatan daerah.
7. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi
untuk setiap pengeluaran belanja dan dalam pelaksanaannya tidak boleh
dilampaui.
8. Pelampauan batas tertinggi dari jumlah pengeluaran hanya diperkenankan
apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan PNSD
serta penyediaan dana pendamping atas program dan kegiatan yang
ditetapkan oleh pemerintah serta belanja bagi hasil pajak dan retribusi daerah
yang mengalami kenaikan akibat adanya kenaikan target pendapatan daerah
dari pajak dan retribusi dimaksud dari Tahun Anggaran 2015.
9. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk
pengeluaran tersebut tidak tersedia atau cukup tersedia dalam APBD, kecuali
apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan pegawai
negeri sipil, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan
dalam undang-undang, kewajiban pembayaran pokok pinjaman dan bunga

24
pinjaman yang telah jatuh tempo serta pengeluaran yang mendesak diluar
kendali pemerintah daerah. Belanja untuk keperluan mendesak mencakup
program dan kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang anggarannya belum
tersedia dalam tahun berkenaan dan keperluan mendesak lainnya yang
apabila ditunda akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi pemerintah
daerah dan masyarakat.
10. Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran
yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBD.
Keadaan darurat dimaksud sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah dan
tidak dapat diprediksikan sebelumnya;
b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;
c. berada diluar kendali dan pengaruh pemerintah daerah; dan
d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka
pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.
10. Dalam hal keadaan darurat terjadi setelah ditetapkannya Perubahan APBD,
pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, dan pengeluaran tersebut disampaikan dalam laporan realisasi
anggaran.
11. Setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung dengan bukti
yang lengkap dan sah serta mendapatkan pengesahan oleh pejabat yang
berwenang dan bertanggungjawab atas kebenaran material yang timbul dari
penggunaan dimaksud.
12. Dalam pelaksanaan tugas, para pejabat pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah harus tetap berpedoman pada ketentuan yang berlaku dan
menghindari kesalahan yang dapat merugikan negara dan selalu
mengedepankan asas efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

D. PERGESERAN ANGGARAN
Pergeseran Anggaran adalah perubahan dan/atau pergeseran anggaran belanja
daerah yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD).
Pokok-pokok kebijakan tentang perubahan/penggeseran anggaran yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai berikut :
1. Dalam pelaksanaan anggaran, tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan
dan dinamika yang berkembang sesuai dengan keadaan atau adanya ketentuan
peraturan perundang-undangan atau adanya kebijakan pemerintah yang
bersifat strategis. Sementara itu, anggaran yang tercantum dalam APBD belum
menampung hal tersebut.

25
Perubahan APBD dapat dilakukan apabila :
a. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar
unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja.
c. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan dalam tahun berjalan.
d. Keadaan darurat.
e. Keadaan luar biasa.
Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam satu tahun
anggaran, kecuali dalam keadaaaan luar biasa.
2. Pergeseran anggaran belanja sebagaimana dimaksud angka 1 diformulasikan
dalam DPPA-SKPD.
3. Mekanisme pergeseran anggaran :
a. Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, antar jenis
belanja dapat dilakukan melalui perubahan Peraturan Daerah tentang APBD;
b. Namun terdapat pengecualian terkait dengan pergeseran anggaran
sebagaimana diatur pada huruf a, yaitu dengan melakukan perubahan
Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD dan memberitahukan kepada
Pimpinan DPRD. Pengecualian tersebut karena adanya kebijakan pemerintah
yang bersifat urgen dan strategis sebagimana diatur dalam Permendagri
tentang Pedoman Penyusunan APBD.
c. Pergeseran anggaran antar obyek belanja dalam jenis belanja berkenaan
dilakukan atas persetujuan Sekretaris Daerah dan pergeseran anggaran
antar rincian obyek belanja dalam obyek belanja berkenaan dilakukan atas
persetujuan PPKD dilakukan dengan cara mengubah Peraturan Bupati
tentang Penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan, untuk selanjutnya
dianggarkan dalam Raperda tentang Perubahan APBD;
d. Pergeseran Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf c dapat dilakukan
karena adanya kebijakan pemerintah yang bersifat urgen dan strategis serta
setelah mendapatkan persetujuan dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah
(TAPD).
e. Dalam rangka konsistensi perencanaan/penyusunan anggaran, terhadap
usulan pergeseran anggaran diluar ketentuan diatas karena beberapa faktor
antara lain kurang cermatnya pada saat penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA) dan cenderung dipengaruhi keinginan dari pada kebutuhan
pada saat mengeksekusi anggaran, maka pergeserannya dilakukan
menunggu Perubahan APBD.
f. Bagi SKPD yang disetujui pergeseran anggarannya harus melengkapi Surat
Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM).

26
4. Apabila terjadi ketidaksesuaian rincian dalam rincian obyek belanja yang
direncanakan dengan kondisi/kenyataan pada saat pelaksanaan kegiatan yang
disebabkan :
a. Rincian barang yang direncanakan sudah tidak tersedia di pasaran atau
tidak diproduksi lagi dan harus diganti dengan jenis lain yang serupa;
b. Perubahan harga yang berlaku di pasar yang dapat mempengaruhi
berkurangnya volume barang yang telah direncanakan;
c. Adanya kebutuhan yang tidak bisa diprediksi dan/atau akibat Kejadian Luar
Biasa (KLB);
Maka pelaksanaannya tidak perlu melakukan perubahan DPA tetapi cukup
memberitahukan secara tertulis kepada PPKD (Kepala BPKAD) yang
menjelaskan sebab-sebab dilakukan perubahan oleh Kepala SKPD,
pemberitahuan perubahan dimaksud dilakukan sebelum kegiatan
dilaksanakan dan selanjutnya sebagai lampiran dalam pengajuan SPP/SPM.

27
BAB III
KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

A. PEMEGANG KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH


1. Bupati selaku Kepala Pemerintah Daerah adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
2. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud
pada angka 1 (satu) berwenang :
a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;
b. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah;
c. Menetapkan Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
d. Menetapkan Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang;
e. Menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran;
f. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
daerah;
g. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan
piutang daerah;
h. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik
daerah; dan
i. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan
memerintahkan pembayaran.
3. Bupati selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada :
a. Sekretaris daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah;
b. Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah selaku PPKD; dan
c. Kepala SKPD selaku pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang.
4. Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada angka 3(tiga) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati berdasarkan prinsip pemisahan kewenangan antara yang
memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang.

B. KOORDINATOR PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH


1. Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah dengan
peran dan fungsinya dalam membantu kepala daerah menyusun kebijakan dan
mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah termasuk
pengelolaan keuangan daerah.
2. Koordinator pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada angka
1 (satu) mempunyai tugas koordinasi di bidang :
a. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD;
b. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah;
c. Penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
d. Penyusunan Raperda APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawabaan
pelaksanaan APBD;

28
e. Tugas-tugas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat pengawas
keuangan daerah; dan
f. Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD.
3. Selain mempunyai tugas koordinator sebagaimana dimaksud pada angka 2
(dua) Sekretaris Daerah mempunyai tugas :
a. Memimpin Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD);
b. Menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD;
c. Menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah;
d. Memberikan persetujuan pengesahan DPA-SKPD/DPPA-SKPD; dan
e. Melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah
lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
4. Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah.
5. Struktur Pengelolaan Keuangan Daerah

Struktur Pengelolaan Keuangan Daerah

BUPATI
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan
Keuangan Daerah

Sekretaris Daerah
Koordinator Pengelolaan
Keuangan Daerah

Kepala SKPKD
PPKD/BUD

Kepala SKPD Kepala SKPD Kepala SKPD Kepala SKPD


Pengguna Pengguna Pengguna Pengguna
Anggaran Anggaran Anggaran Anggaran

29
C. PEJABAT PENGELOLA KEUANGAN DAERAH (PPKD)
1. Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) adalah SKPD yang
karena Tugas Pokok dan Fungsinya berkedudukan sebagai SKPKD. Kepala
BPKAD selaku Kepala SKPKD berkedudukan sebagai Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD) yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan
APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah (BUD).
Kepala SKPKD selaku PPKD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya
kepada Bupati melalui sekretaris daerah. Dalam rangka pengelolaan keuangan
daerah bertugas :
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah;
b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
c. melaksanakan penagihan/pencatatan pendapatan dari Dana Perimbangan
dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah sesuai kewenangan dan tanggung
jawab BUD;
d. Melaksanakan fungsi BUD;
e. Menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD; dan
f. Melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh
kepala daerah.
2. PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku BUD berwenang :
a. menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b. mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;
c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan
pengeluaran kas daerah;
e. menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);
f. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian pinjaman atas nama
pemerintah daerah;
g. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
h. menyajikan informasi keuangan daerah; dan
i. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan
barang milik daerah.
3. PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola
keuangan daerah selaku kuasa BUD.
4. Penunjukan Kuasa BUD tersebut ditetapkan dengan keputusan Bupati
5. Kuasa BUD dalam Pengelolaan Uang Daerah mempunyai tugas :
a. menyiapkan anggaran kas;
b. menyiapkan SPD;
c. menerbitkan SP2D;
d. menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;
Selain melaksanakan tugas Pengelolaan Uang Daerah Kuasa BUD berwenang :
- memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank
dan/atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk;
- mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan
APBD;
- menyimpan uang daerah;

30
- melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menata-usahakan
investasi daerah;
- melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna
anggaran atas beban rekening kas umum daerah;
- melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
- melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
- melakukan penagihan piutang daerah;
- menyiapkan data sebagai bahan penyusunan laporan keuangan
6. Kuasa BUD dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada BUD.
7. PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya di lingkungan SKPKD untuk
melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut :
a. Menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
b. Melaksanakan pengendalian pelaksanaan APBD;
c. Melakukan sistem akutansi dan pelaporan keuangan daerah
d. Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama
pemerintah daerah;
e. Menyajikan informasi keuangan daerah;
f. Melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan
barang milik daerah; dan
g. Melaksanakan sistem akuntansi & pelaporan keuangan daerah
8. Kepala SKPKD/PPKD dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pengguna
Anggaran SKPKD pada pengelolaan BTL SKPKD menunjuk PPK-SKPKD dan
Bendahara Pengeluaran SKPKD, serta mengusulkan penunjukkan Pengelola
Belanja dan BPP pada SKPD Pengelola Belanja.
a. PPK-SKPKD mempunyai tugas :
- meneliti kelengkapan dokumen permintaan pembayaran Belanja Tidak
Langsung (belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi
hasil, bantuan keuangan, dan pembiayaan) yang diajukan oleh
Bendahara Pengeluaran SKPKD atas permintaan dari Bendahara
Pengeluaran Pembantu pada SKPD Pengelola;
- menyiapkan Surat Perintah Membayar (SPM) untuk diajukan kepada
Pengguna Anggaran SKPKD;
- menyiapkan bahan penyusunan Laporan Keuangan SKPKD ; dan
- PPK-SKPKD dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada
Pengguna Anggaran SKPKD.
b. Bendahara Pengeluaran SKPKD mempunyai tugas dan berwenang :
- meneliti kelengkapan dokumen permintaan pembayaran Belanja Tidak
Langsung (belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi
hasil, bantuan keuangan, dan pembiayaan) atas permintaan dari
Bendahara Pengeluaran Pembantu pada SKPD Pengelola Belanja;
- mengajukan permintaan tersebut ke Pengguna Anggaran SKPKD melalui
PPK-SKPKD;
- mengembalikan dokumen pendukung permintaan pembayaran kepada
Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Pengelola Belanja apabila
dokumen tersebut tidak memenuhi syarat dan/atau tidak lengkap;
- Bendahara Pengeluaran SKPKD dalam melaksanakan tugasnya
bertanggungjawab kepada Pengguna Anggaran SKPKD.

31
c. Pengelola Belanja Tidak Langsung dan Pengelola Pengeluaran Pembiayaan
mempunyai tugas :
- Melaksanakan fungsi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran;
- Menyusun tata cara penggunaan dan pertanggungjawaban Belanja
Tidak Langsung dan/atau Belanja Pengeluaran Pembiayaan yang
dikelola sesuai dengan lokasi dan alokasi yang telah ditetapkan;
- Menyusun dan menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah
(NPHD) bersama pihak terkait atau penerima Belanja Tidak Langsung;
- Memverifikasi keabsahan dokumen permintaan pembayaran dan
pertanggungjawaban penggunaan Belanja Tidak Langsung dan Belanja
Pengeluaran Pembiayaan sebelum diajukan pada Bendahara
Pengeluaran SKPKD di BPKAD;
- Memerintahkan Bendahara Pengeluaran Pembantu mengajukan
permintaan pembayaran kepada Bendahara Pengeluaran SKPKD di
BPKAD;
- Menandatangani Surat Pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan
anggaran;
- Melakukan pembinaan, pengawasan, monitoring serta evaluasi atas
pelaksanaan dan pertanggungjawaban penggunaan Belanja Tidak
Langsung dan Belanja Pengeluaran Pembiayaan yang dikelolanya; dan
- Bertanggung jawab atas pengelolaan Belanja Tidak Laangsung dan
Belanja Pengeluaran Pembiayaan yang dikelolanya kepada Bupati
melalui Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah selaku
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah.
d. Bendahara Pengeluaran Pembantu Belanja Tidak Langsung pada SKPD
Pengelola Belanja mempunyai tugas:
- Menyiapkan dokumen permintaan pembayaran Belanja Tidak Langsung
(belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil,
bantuan keuangan, dan pembiayaan) sesuai dengan aturan yang
berlaku;
- menyampaikan dokumen permintaan tersebut kepada Bendahara
Pengeluaran SKPKD setelah disetujui oleh Kepala SKPD/Unit Kerja
Pengelola Belanja secara lengkap dan benar.

D. PEJABAT PENGELOLA KEUANGAN


1. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
anggaran untuk melaksanaakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang
dipimpinnya.
2. Pengguna Anggaran dalam melaksanakan Pengelolaan Keuangan SKPD dibantu
oleh :
a. Kuasa Pengguna Anggaran yang diangkat dari pejabat struktural
dibawahnya/kepala unit kerja pada SKPD adalah pejabat yang diberi kuasa
untuk melaksanakan sebagian kewenangan Pengguna Anggaran dalam
melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD yang dilimpahkan.
Pelimpahan sebagian wewenang Pangguna Anggaran (PA) kepada Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan
besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi,
kompetensi, rentang kendali, dan/atau pertimbangan objektif lainnya.

32
Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh
Bupati atas usul kepala SKPD;
b. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD ( PPK-SKPD ) adalah pejabat yang
melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD diangkat dari
pejabat struktural yang bertanggung jawab dibidang penatausahaan
keuangan;
c. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) adalah pejabat yang ditunjuk
oleh Kepala SKPD untuk melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari
suatu program sesuai dengan bidang tugasnya, diangkat dari Pejabat
Struktural eselon IV.
d. Dengan mempertimbangkan besaran SKPD, besaran jumlah kegiatan,
adanya kekosongan jabatan, PPTK dapat ditunjuk pejabat fungsional
serendah-rendahnya golongan III/b dalam melaksanakan program dan
kegiatan SKPD dengan ketentuan :
- berstatus PNS;
- memiliki kompetensi dalam melaksanakan program dan kegiatan.
e. Bendahara Penerimaan, bagi SKPD yang melaksanakan fungsi pemungutan
PAD diangkat dari pejabat non struktural serendah-rendahnya golongan
II/a dan memenuhi syarat sebagai bendahara.
f. Bendahara Penerimaan Pembantu SKPD yang melaksanakan fungsi
pemungutan PAD dari beberapa obyek pendapatan dan/atau beberapa
wilayah pemungutan, diangkat dari PNS serendah-rendahnya golongan
II/a.
g. Bendahara Pengeluaran, diangkat dari pejabat non struktural serendah-
rendahnya golongan II/b dan memenuhi syarat sebagai bendahara
(diutamakan pernah menjadi Bendahara Pengeluaran Pembantu).
h. Bendahara Pengeluaran Pembantu, diangkat dari PNS serendah-rendahnya
golongan II/a.
i. Bendahara Pengeluaran Pembantu Gaji, diangkat dari PNS serendah-
rendahnya golongan II/a.
j. Pembuat Daftar Gaji (PDG) diangkat dari PNS serendah-rendahnya
golongan II/a.
3. Pengelola Keuangan Belanja Pegawai Bupati dan Wakil Bupati
Untuk kelancaran pelayanan dan pengelolaan keuangan Bupati dan Wakil
Bupati dapat diangkat : (ditetapkan pejabat pengelola keuangan) :
a. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dari unsur Kepala Unit Kerja
pada Sekretariat Daerah yang ditunjuk oleh Bupati;
b. Bendahara Pengeluaran untuk Belanja Pegawai dan Belanja Penunjang
Operasional Bupati dan Wakil Bupati.
5. Penunjukan Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran dan Bendahara Penerimaan
Pembantu/Pengeluaran Pembantu ditetapkan dengan Keputusan Bupati atas
usulan Kepala SKPD, sedangkan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK),
PPK SKPD dan PDG ditunjuk dan diangkat dengan Keputusan Pengguna
Anggaran.

E. TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PENGELOLA KEUANGAN SKPD


1. Kepala SKPD selaku pejabat Pengguna Anggaran mempunyai kewenangan atas
pelaksanaan dan tertib pengelolaan anggaran pada SKPD yang dipimpinnya
dan mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah

33
(RKA-SKPD);
b. menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(DPA-SKPD);
c. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran
belanja;
d. melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
e. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
f. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
g. mengangkat Pejabat Pembuat Komitmen yang berkaitan dengan
pelaksanaan pengadaan barang/jasa;
h. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas
anggaran yang telah ditetapkan;
i. menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM);
j. mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggungjawab SKPD yang
dipimpinnya;
k. menandatangani Surat Pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan anggaran
SKPD;
l. mengesahkan pertanggungjawaban administratif;
m. mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi
tanggungjawab SKPD yang dipimpinnya;
n. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;
o. mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya dengan
melakukan pemeriksaan Kas di Bendahara Pengeluaran setiap 3 (tiga) bulan
sekali;
p. melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya
berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah; dan
q. Pengguna Anggaran dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab
kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.
Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran dapat bertindak
sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai Peraturan perundang-undangan di
bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
2. Kuasa Pengguna Anggaran
Pengguna Anggaran/Pengguna Barang dalam melaksanakan tugas-tugasnya
dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit kerja pada
SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/pengguna barang. Pelimpahan
sebagian kewenangan dimaksud berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah,
besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi,
kompetensi, rentang kendali, dan/atau pertimbangan obyektif lainnya.
Pelimpahan sebagian kewenangan dimaksud ditetapkan oleh kepala daerah
atas usul kepala SKPD. Pelimpahan sebagian kewenangan dimaksud meliputi :
a. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban
anggaran belanja;
b. melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya;
c. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
d. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas
anggaran yang telah ditetapkan;
e. mengawasi pelaksanaan anggaran unit kerja yang dipimpinnya;
f. melaksanakan tugas-tugas kuasa pengguna anggaran lainnya berdasarkan
kuasa yang dilimpahkan oleh Pengguna Anggaran yang ditetapkan Kepala
Daerah atas usul Pengguna Anggaran;
Kuasa Pengguna Anggaran dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab
kepada Pengguna Anggaran.

34
Dalam pengadaan barang/jasa Kuasa Pengguna Anggaran sekaligus bertindak
sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.
3. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dalam melaksanakan program
dan kegiatan menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku Pejabat Pelaksana
Teknis Kegiatan (PPTK). Penunjukan pejabat tersebut didasarkan pada
pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi,
dan/atau rentang kendali dan pertimbangan obyektif lainnya.
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), mempunyai tugas :
a. mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
b. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan;
c. menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan
kegiatan;
Dokumen anggaran tersebut mencakup dokumen administrasi hasil
pelaksanaan kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait dengan
persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
PPTK dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Pengguna
Anggaran melalui Kuasa Pengguna Anggaran.
4. Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK-SKPD)
Untuk melaksanakan anggaran yang dimuat dalam Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DPA) SKPD, kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan
fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai Pejabat Penatausahaan
Keuangan SKPD (PPK-SKPD) mempunyai tugas :
a. meneliti kelengkapan SPP-LS pengadaan barang dan jasa yang
disampaikan oleh Bendahara Pengeluaran dan diketahui/disetujui oleh
PPTK dan KPA;
b. meneliti kelengkapan SPP-UP, SPP-GU, dan SPP-TU serta SPP-LS Gaji dan
Tunjangan PNS serta penghasilan lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran;
c. melakukan verifikasi SPP;
d. menyiapkan Surat Perintah Membayar (SPM) untuk diajukan kepada
Pengguna Anggaran melalui Sekretaris/Kasubbag Tata Usaha SKPD;
e. meneliti dan memverifikasi bukti pertanggungjawaban administratif
bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran untuk disahkan oleh
PA;
f. melaksanakan akuntansi SKPD
g. melaksanakan Laporan Keuangan SKPD ; dan
PPK-SKPD dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Pengguna
Anggaran.
5. Bendahara Penerimaan SKPD, mempunyai tugas :
a. menerima setoran dari Wajib Bayar/Bendahara Penerimaan
Pembantu/Petugas Pungut;
b. membuat Surat Tanda Setoran (STS);
c. membuat Tanda Bukti Pembayaran (TBP);
d. mencatat semua penerimaan dan penyetoran pendapatan di BKU
Penerimaan dan Buku Rekapitulasi Penerimaaan Bulanan;
e. menyetor semua uang ke Kuasa BUD atau Bank yang ditunjuk dengan
menggunakan surat setoran;
f. melakukan rekapitulasi penerimaan harian pada Buku Rekapitulasi
Penerimaan Harian;
g. menerima dan meneliti pertanggungjawaban dari Bendahara Penerimaan
Pembantu sebagai bahan pertanggungjawaban administratif kepada PA dan
pertanggungjawaban fungsional kepada PPKD;
h. membuat pertanggungjawaban administratif secara periodik setiap bulan,

35
paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya untuk disampaikan kepada
Pengguna Anggaran melalui PPK-SKPD;
i. membuat pertanggungjawaban fungsional secara periodik kepada PPKD
setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, setelah secara
administratif disahkan oleh PA disertai bukti-bukti penerimaan dan
penyetoran;
j. melakukan pemeriksaan kas yang dikelola oleh bendahara penerimaan
pembantu sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dan
menuangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Register Penutupan
Kas; dan
k. Bendahara Penerimaan dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab
kepada Pengguna Anggaran.
6. Bendahara Penerimaan Pembantu SKPD, mempunyai tugas :
a. menerima setoran dari Wajib Bayar;
b. membuat Surat Tanda Setoran (STS) sebagai bukti setoran ke RKUD;
c. membuat Tanda Bukti Pembayaran (TBP) untuk diberikan ke Wajib Bayar;
d. mencatat semua penerimaan dan penyetoran pendapatan di BKU
Penerimaan dan Buku Pembantu Penerimaan per Rincian Obyek
Penerimaan;
e. menyetor semua uang ke Bendahara Penerimaan SKPD dengan
menggunakan surat setoran;
f. melakukan rekapitulasi penerimaan harian pada Buku Rekapitulasi
Penerimaan Harian;
g. membuat pertanggungjawaban kepada Bendahara Penerimaan paling
lambat pada tanggal 5 bulan berikutnya disertai bukti penerimaan dan
penyetorannya; dan
h. Bendahara Penerimaan Pembantu SKPD dalam melaksanakan tugasnya
bertanggungjawab kepada Bendahara Penerimaan SKPD.
7. Bendahara Pengeluaran SKPD, mempunyai tugas :
a. mengajukan permintaan pembayaran atas beban APBD dengan
menggunakan SPP UP/GU/TU dan SPP-LS kepada PA;
b. menerima, menyimpan dan melaksanakan pembayaran dari uang
persediaan yang dikelolanya;
c. menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d. meneliti kelengkapan dokumen pendukung SPP-LS yang diberikan oleh
PPTK;
e. mengembalikan dokumen pendukung SPP-LS yang diberikan oleh PPTK,
apabila dokumen tersebut tidak memenuhi syarat dan/atau tidak lengkap;
f. menatausahakan anggaran pengeluaran SKPD;
g. melakukan pemeriksaan kas yang dikelola oleh bendahara pengeluaran
pembantu sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dan
menuangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Register Penutupan
Kas; dan
h. Bendahara Pengeluaran dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab
kepada Pengguna Anggaran.
8. Bendahara Pengeluaran Pembantu SKPD, mempunyai tugas :
a. menyiapkan kelengkapan dokumen untuk pengajuan Surat Permintaan
Pembayaran (SPP) Langsung (LS);
b. menerima, menyimpan dan melaksanakan pembayaran dari Uang Panjar
yang berasal dari bendahara pengeluaran;
c. menolak perintah bayar dari Kuasa Pengguna Anggaran yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan dan setiap pembayaran dilakukan dengan
persetujuan bendahara pengeluaran;

36
d. meneliti kelengkapan dokumen pendukung SPP-LS yang diberikan oleh
PPTK;
e. mengembalikan dokumen pendukung SPP-LS yang diberikan oleh PPTK,
apabila dokumen tersebut tidak memenuhi syarat dan/atau tidak lengkap;
f. menyiapkan kelengkapan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) atas
pengelolaan uang yang menjadi tanggungjawabnya;
g. menatausahakan pengeluaran kegiatan SKPD yang dilaksanakan;
h. Bendahara Pengeluaran Pembantu dalam melaksanakan tugasnya secara
fungsional bertanggungjawab kepada Bendahara Pengeluaran dan secara
teknis bertanggungjawab kepada KPA.
9. Bendahara Pengeluaran Pembantu Gaji mempunyai tugas sebagaimana
Bendahara Pengeluaran Pembantu, untuk pembayaran gaji dan tunjangan serta
tambahan penghasilan PNS.
10. Pembuat Daftar Gaji, mempunyai tugas :
a. membuat dan meneliti konsep daftar gaji berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;
b. menandatangani daftar gaji dan bertanggungjawab atas kebenarannya
untuk dijadikan dasar pembuatan SPP Gaji; dan
c. PDG dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Bendahara
Pengeluaran.

F. STRUKTUR PENGELOLA KEUANGAN PADA SKPKD dan SKPD

1. Struktur Pengelolaan Keuangan pada BPKAD selaku SKPKD dan BUD

Pengguna Anggaran
SKPKD selaku BUD

PPK
SKPKD

Kuasa BUD Bendahara Pejabat


Pengeluaran Pengelola pada
SKPKD SKPD

BPP SKPD
Pengelola

37
2. Struktur Pengelolaan Keuangan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Pengguna
Anggaran

PPK
SKPD

Bendahara Bendahara Kuasa PA


Pengeluaran Pengeluaran Kuasa PA
BL BTL BIDANG UDP/SEKOLAH

BPP PPTK PPTK


BPP Gaji PDG

3. Struktur Pengelolaan Keuangan di Kantor, Satuan, Kecamatan dan Kelurahan

Pengguna
Anggaran

PPK
SKPD

Bendahara PPTK
Bendahara Pengeluaran
Penerimaan

BPP BPP Gaji PDG

38
4. Struktur Pengelolaan Keuangan di SKPD lainnya

Pengguna
Anggaran

PPK
SKPD

Bendahara Bendahara Kuasa Pengguna


Penerimaan Pengeluaran Anggaran

BPP BPP Gaji PDG


BPP
PPTK

Keterangan gambar :
- gambar kotak pada struktur melambangkan pejabat yang selalu ada
- gambar oval pada struktur melambangkan pejabat yang tidak selalu ada

G. LAIN-LAIN KETENTUAN DALAM HAL PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH


1. Belanja DPRD yang terdiri atas Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD,
tunjangan kesejahteraan Pimpinan dan Anggota DPRD dan belanja Penunjang
Kegiatan DPRD dianggarkan dalam Pos DPRD dan pengelolaannya
dilaksanakan oleh Sekretaris DPRD;
2. Belanja Gaji Bupati dan Wakil Bupati yang dianggarkan dalam Pos Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pengelolaannya dilaksanakan oleh salah
satu Kepala Unit Kerja pada Sekretariat Daerah yang ditunjuk oleh Bupati;
3. Kepala BPBD dapat mengusulkan Kepala Pelaksana Harian sebagai Pengguna
Anggaran (PA) atau sebagai Kuasa Pengguna anggaran (KPA) dan ditetapkan
dengan Keputusan Bupati;
4. Dalam menunjuk Pengelola Keuangan Daerah perlu memperhatikan syarat-
syarat antara lain sebagai berikut :
a. Pegawai Negeri Sipil Daerah;
b. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin.
5. Pengelola Keuangan Daerah yang mengelola dana yang bersumber dari APBD
tidak diperkenankan merangkap sebagai Pengelola Keuangan yang dananya
bersumber dari APBD Propinsi atau APBN kecuali Pengguna Anggaran dan
Bendahara Pengeluaran;
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK-SKPD) tidak boleh merangkap sebagai
Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan negara/daerah, Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara,
dan/atau PPTK dan Atasan Langsung Penyimpan/Pengurus Barang, untuk
kelancaran penyusunan laporan keuangan Atasan Langsung
penyimpan/pengurus barang dijabat oleh Kasubag. Umum;
7. Dalam rangka untuk pengamanan dan menjaga saldo Uang Persediaan pada
kas Bendahara Pengeluaran, maka Bendahara Pengeluaran diperbolehkan
menyimpan uang tunai pengembalian sisa uang panjar dari BPP paling lama
3 (tiga) hari sejak diterimanya uang tersebut.

39
8. Dalam hal KPA/PPTK/PPK-SKPD/Bendahara Pengeluaran/Bendahara
Penerimaan/Bendahara Pengeluaran Pembantu/Bendahara Penerimaan
Pembantu berhalangan, maka :
a. apabila berhalangan sementara dan tidak dapat melaksanakan tugas lebih
dari 3 (tiga) hari sampai paling lama 1 (satu) bulan, maka untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya pejabat dimaksud wajib
memberikan Surat Kuasa kepada pejabat yang ditunjuk dengan diketahui
oleh Kepala SKPD ;
b. apabila berhalangan sementara dan tidak dapat melaksanakan tugas
dalam waktu 1 (satu) bulan sampai paling lama 3 (tiga) bulan, maka
Kepala SKPD harus menunjuk pejabat pengganti untuk melaksanakan
tugas dan tanggung jawab pejabat yang berhalangan dan dibuatkan
Berita Acara Serah Terima (Penggantian ini bersifat sementara selama
pejabat definitif berhalangan);
c. apabila berhalangan sementara lebih dari 3 (tiga) bulan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam angka 8 belum dapat melaksanakan tugas,
maka pejabat yang bersangkutan dianggap berhalangan tetap, dan
Kepala SKPD harus segera mengusulkan penggantian untuk ditetapkan
dalam Keputusan Pejabat yang berwenang.
9. a. Pengguna Anggaran yang berhalangan sementara dan telah ditunjuk
pejabat pelaksana harian, maka :
- Plh dimaksud dapat diusulkan untuk diangkat sebagai Pengguna
Anggaran dengan Keputusan Bupati; atau
- Pengguna Anggaran memberikan Surat Kuasa dan Surat Tugas kepada
Plh dimaksud untuk melaksanakan sebagian tugas dan kewenangan
PA.
b. Apabila Pengguna Anggaran (PA) berhalangan tetap karena
dimutasi/pensiun/meninggal dunia, dll., maka pejabat yang ditunjuk
sebagai pelaksana tugas Kepala SKPD secara otomatis sebagai PA dan
ditetapkan dengan Keputusan Bupati
10. Pelimpahan sebagian kewenangan Kepala SKPD selaku Pengguna
Anggaran/Barang kepada Kepala Unit Kerja pada SKPD selaku KPA/Barang
untuk selama tahun anggaran berjalan ditetapkan oleh Bupati atas usul Kepala
SKPD/Pengguna Anggaran;
11. Besaran Honorarium Pengelola Keuangan Daerah berpedoman pada Peraturan
Bupati yang mengatur tentang Standar Biaya dan Harga Satuan;
12. Honorarium Pejabat Pengelola Keuangan bersumber dari anggaran yang
dikelolanya. Untuk Pengguna Anggaran, PPK-SKPD dan Bendahara
Pengeluaran mendapat honorarium hanya dari 1 (satu) kegiatan, sedangkan
Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan dan Bendahara
Pengeluaran Pembantu mendapat honorarium dari kegiatan yang dikelolanya
maksimal dari 2 (dua) kegiatan;
13. Untuk efesiensi dan efektifitas anggaran, jumlah Tenaga Penunjang Kegiatan
non PNS di SKPD dibatasi dan benar-benar dibutuhkan untuk kelancaran
pelaksanaan suatu kegiatan, sepanjang staf yang ada tidak mencukupi dengan
melakukan perjanjian kerja dengan lembaga/perorangan yang dipekerjakan
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan masa pelaksanaan kegiatan dan
diberikan honorarium yang bersumber dari kegiatan yang bersangkutan.
14. Tim/Kepanitiaan yang bersifat teknis yang keanggotaannya melibatkan
Pejabat/Staf dibawah Kepala SKPD terkait maka pembentukannya ditetapkan
dengan keputusan kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan calon anggota tim kepada kepala SKPD terkait
dan besaran honorariumnya mengacu pada Peraturan Bupati Trenggalek
tentang Standar Harga Satuan Barang/Jasa Kebutuhan Pemerintah Kabupaten
Trenggalek Tahun Anggaran berkenaan.

40
Sedangkan Tim/kepanitiaan bersifat internal/tidak memerlukan keterlibatan
SKPD lain maka pembentukannya dengan Keputusan Kepala SKPD selaku
Pengguna Anggaran.
15. Tim/kepanitiaan yang bersifat koordinatif/lintas SKPD ditetapkan dengan
Keputusan Bupati dan honorariumnya mengacu pada Peraturan Bupati
Trenggalek tentang Standar Barang dan Harga Satuan Barang/Jasa, Biaya
Kegiatan, Biaya Pemeliharaan dan Analisis Biaya Konstruksi Kebutuhan
Pemerintah Kabupaten Trenggalek Tahun Anggaran berkenaan.
16. Pembayaran honorarium anggota tim/kepanitiaan yang dibebankan dalam
suatu kegiatan harus dilengkapi dengan Keputusan yang mengatur kedudukan
keanggotaan dalam suatu tim/kepanitiaan beserta besaran honorariumnya.
17. Tim/Kepanitiaan dalam suatu kegiatan disusun dengan menggunakan struktur
kepanitiaan terdiri dari :
a. Tim Penyusunan Rancangan Perda :
- Penanggungjawab : Kepala Daerah
- Pembina : Sekretaris Daerah
- Ketua : Kepala SKPD pemrakarsa penyusunan
- Sekretaris : Kepala Bagian Hukum
- Anggota : SKPD terkait
b. Tim/Kepanitiaan lintas SKPD :
- Pembina : Bupati dan/atau Wakil Bupati
- Pengarah : Sekretaris Daerah dan/atau Asisten Sekda yang
membidangi
- Ketua : Asisten Sekda/Kepala SKPD/Pejabat dibawahnya
- Sekretaris : Pejabat yang membidangi
- Anggota : Pejabat/staf yang terkait
c. Tim/Kepanitiaan internal SKPD :
- Pengarah : Kepala SKPD
- Ketua : Sekretaris/Kabid
- Sekretaris : Sekretaris/Kabid/Pejabat dibawahnya
- Anggota : Pejabat/staf yang terkait
atau disusun tanpa jabatan “Pengarah”, dan dalam hal ini Kepala SKPD
menjabat sebagai “Ketua”.
d. Jumlah keanggotan dalam tiap jabatan tim/kepanitiaan menyesuaikan
dengan kebutuhan dan beban kerja.
e. Dalam kepanitiaan/tim yang anggotanya bersifat tetap harus menyebutkan
jabatan dalam tim, nama terang, jabatan dalam kedinasan dan besaran
honorarium (bila ada). Kecuali yang anggotanya bersifat tidak tetap dapat
tanpa menyebutkan nama terang tetapi harus menyebutkan unsur jabatan
dalam kedinasan.
f. Tim/Kepanitiaan Teknis dengan keanggotaannya melibatkan Pejabat/Staf
dibawah Kepala SKPD terkait, terdiri dari :
- Ketua : Kepala SKPD
- Sekretaris : Pejabat yang membidangi dibawah Kepala SKPD
- Anggota : Pejabat/Staf yang membidangi

18. Kepanitiaan/tim lintas SKPD yang melibatkan pejabat lintas sektor atau
instansi vertikal, maka sesuai kedudukan dan fungsi pejabat dimaksud dapat
diangkat sebagai Pembina atau Pengarah.
19. Anggota tim dapat dikelompokkan berdasarkan pembagian tugas kelompok
dengan pola sektoral (Pokja atau sebutan lain) atau pola proses
(pengumpul, pengolah dan seterusnya) sesuai bidang tugasnya.

41
20. Dalam pembentukan kepanitiaan/tim, maka kepada Pengguna Anggaran
diminta mengutamakan pertimbangan efektifitas pelaksanaan kegiatan dan
efisiensi penggunaan pagu anggaran (hanya melibatkan pejabat yang terkait
dengan pelaksanaan kegiatan).
21. Keputusan Kepala SKPD yang berisi penunjukan/pengangkatan tim dan
kepanitiaan pada SKPD yang bersangkutan, tembusannya disampaikan
kepada Sekretaris Daerah melalui Bagian Hukum Setda. Apabila dinilai
bertentangan dengan Peraturan Bupati atau Peraturan yang lebih tinggi, maka
Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
berwenang mencabut atau membatalkan Keputusan Pengguna Anggaran
dimaksud.
22. a. Kepanitiaan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh Unit Layanan
Pengadaan (ULP) diatur dalam Peraturan Bupati tersendiri;
b. Kepanitiaan dalam ULP diberikan honorarium bulanan terhitung mulai
pelaksanaan proses pengadaan barang/jasa selama tahun anggaran
berkenaan yang dibebankan pada belanja ULP. Untuk kelompok kerja
(pokja) diberikan Honorarium berdasarkan paket pengadaan.
23. Dalam mendukung pelaksanaan tugas Tim Anggaran Pemerintah Daerah
(TAPD), Ketua TAPD dapat membentuk Sekretariat TAPD yang ditetapkan
dengan Keputusan Ketua TAPD yang terdiri dari unsur SKPKD.

42
BAB IV
PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH

A. PENGANGKATAN PEJABAT PENGELOLA KEUANGAN

Untuk melaksanaan APBD, Bupati selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan


Keuangan Daerah menetapkan Keputusan tentang pengangkatan:
1. Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Surat Penyediaan Dana
(SPD);
2. Pejabat yang diberi wewenang menandatangani Surat Perintah Membayar
(SPM);
3. Pejabat yang diberi wewenang untuk mengesahkan Surat
Pertanggungjawaban (SPJ);
4. Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Surat Perintah
Pencairan Dana (SP2D);
5. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran;
6. Bendahara Pengeluaran yang mengelola belanja bunga, belanja subsidi,
belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan
keuangan, dan pengeluaran pembiayaan pada SKPKD;
7. Bendahara Penerimaan Pembantu dan Bendahara Pengeluaran Pembantu
SKPD;
8. Pejabat yang diserahi tugas untuk pengelolaan keuangan pada setiap Satuan
Kerja Perangkat Daerah seperti : Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA).

Sedangkan pejabat pengelola keuangan lainnya yang pengangkatannya


didelegasikan kepada kepala SKPD, antara lain :
1. PPK-SKPD yang diberi wewenang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan
pada SKPD;
2. PPTK yang diberi wewenang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari
suatu program sesuai dengan bidang tugasnya;
3. Pejabat yang diberi wewenang menandatangani surat bukti pemungutan
pendapatan daerah;
4. Pejabat yang diberi wewenang menandatangani bukti penerimaan kas dan
bukti penerimaan lainnya yang sah;
5. Pejabat lainnya dalam rangka pelaksanaan APBD.

B. DOKUMEN PENATAUSAHAAN ANGGARAN PENDAPATAN


Penatausahaan atas penerimaan menggunakan dokumen :
1. Buku Penerimaan dan Penyetoran Bendahara Penerimaan;
2. Buku Rekapitulasi penerimaan harian;

43
3. Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKP-Daerah);
4. Surat Ketetapan Retribusi (SKR);
5. Surat Tanda Setoran (STS);
6. Nota Kredit;
7. Surat Tanda Bukti Pembayaran;
8. Bukti Penerimaan lainnya yang sah;
9. Laporan pemungutan dan penyetoran;

C. PENATAUSAHAAN BENDAHARA PENERIMAAN


Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima
pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan pajak,
retribusi dan lain-lain penerimaan PAD yang sah berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
1. Mekanisme penerimaan dan penyetoran PAD diatur sebagai berikut :
a. Semua penerimaan daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah
pada bank Pemerintah daerah yang telah ditunjuk.
b. Penerimaan daerah yang disetor ke Rekening Kas Umum Daerah dilakukan
dengan cara :
1) disetor langsung ke RKUD;
2) disetor melalui bank lain, badan, lembaga keuangan dan/atau kantor
pos oleh pihak ketiga;
3) disetor melalui bendahara penerimaan oleh pihak ketiga.
c. Semua penerimaan daerah disetor secara bruto ke rekening kas umum
daerah dan semua penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk
membiayai pengeluaran kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan.
d. Setiap penerimaan berupa uang tunai yang diterima oleh bendahara
penerimaan SKPD harus disetor ke rekening kas umum daerah selambat-
lambatnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja dengan menggunakan formulir
Surat Tanda Setoran (STS).
Untuk Bendahara Penerimaan Pembantu yang tempat tugasnya sulit
dijangkau dengan komunikasi dan transportasi sehingga melebihi batas
waktu penyetoran, maka dalam hal ini ditetapkan paling lama 3 (tiga) hari
kerja.
e. Bendahara penerimaan pembantu dapat ditunjuk dalam hal obyek
pendapatan tersebar atas pertimbangan kondisi geografis, sehingga wajib
pajak dan/atau wajib retribusi tidak dapat membayar kewajibannya secara
langsung ke RKUD pada Bank yang telah ditunjuk.

44
2. Prosedur Penatausahaan Bendahara Penerimaan dan Bendahara Penerimaan
Pembantu SKPD sebagai berikut :
a. Bendahara Penerimaan wajib melaksanakan penatausahaan seluruh
penerimaan dan penyetoran serta mempertanggungjawabkan penerimaan
uang yang menjadi tanggung jawabnya;
b. Bendahara Penerimaan dilarang melakukan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan
penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas
kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut;
c. Bendahara Penerimaan tidak diperbolehkan membuka rekening atas nama
pribadi pada bank atau giro pos dengan tujuan untuk penyimpanan uang,
cek atau surat berharga yang dalam penguasaannya lebih dari 1 (satu) hari
kerja;
d. Bendahara penerimaan pembantu wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban secara Administratif maupun fungsional disertai bukti
penerimaan dan penyetoran dari seluruh uang kas yang diterimanya
kepada Bendahara penerimaan paling lambat tanggal 5 (lima) bulan
berikutnya;
e. Bendahara penerimaan pada SKPD wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penerimaan melalui PPK-SKPD secara Administratif
kepada Pengguna Anggaran dan secara fungsional kepada PPKD paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

3. Penatausahaan Bendahara Penerimaan PPKD

a. Penatausahaan Penerimaan PPKD

Penerimaan yang dikelola PPKD dapat berupa pendapatan dana


perimbangan, pendapatan lain-lain yang sah, dan pembiayaan
penerimaan. Penerimaan-penerimaan tersebut diterima secara langsung
di Kas Umum Daerah.

Berdasarkan penerimaan tersebut, Bank membuat Nota Kredit yang


memuat informasi tentang penerimaan tersebut, baik berupa informasi
pengiriman, jumlah rupiah maupun kode rekening yang terkait.
Bendahara penerimaan wajib mendapatkan nota kredit tersebut melalui
mekanisme yang telah ditetapkan.
b. Pembukuan Penerimaan PPKD
Pembukuan Pendapatan oleh bendahara penerimaan PPKD menggunakan
dokumen-dokumen tertentu sebagai dasar pencatatan, antara lain :
1) Nota Kredit
2) Bukti Penerimaan Lainnya Yang Sah/Rekening Koran

45
Pembukuan Pendapatan PPKD dimulai dari saat bendahara penerimaan
PPKD menerima informasi dari BUD/Kuasa BUD mengenai adanya
penerimaan di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Langkah-langkah
pencatannya adalah sebagai berikut :
1) Berdasarkan Nota Kredit atau Bukti Penerimaan Lain yang sah,
bendahara penerimaan PPKD Buku Penerimaan PPKD pada bagian
penerimaan kolom tanggal dan kolom nomor bukti;
2) Kemudian bendahara penerimaan PPKD mengidentifikasikan jenis dan
kode rekening pendapatan;
3) Bendahara penerimaan PPKD mencatat nilai transaksi pada kolom
jumlah.
c. Pertanggungjawaban dan penyampaiannya

Bendahara penerimaan PPKD mempertanggungjawabkan pengelolaan


uang yang menjadi tanggungjawabnya kepada PPKD paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya. Pertanggungjawaban tersebut berupa Buku
Penerimaan PPKD yang telah dilakukan penutupan pada akhir bulan,
dilampiri dengan bukti-bukti pendukung yang sah dan lengkap.

Langkah-langkah penyusunan dan penyampaian pertanggungjawaban


bendahara penerimaan PPKD adalah sebagai berikut :
a) Bendahara penerimaan PPKD melakukan penutupan Buku Penerimaan
PPKD dan melakukan rekapitulasi perhitungan.
b) Bendahara penerimaan PPKD menyerahkan bukti-bukti penerimaan
yang sah dan lengkap.
c) Bendahara Penerimaan PPKD menyampaikan Buku Penerimaan PPKD
yang telah dilakukan penutupan dilampiri dengan bukti penerimaan
yang sah dan lengkap kepada PPKD, paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.

D. DOKUMEN PENATAUSAHAAN ANGGARAN BELANJA

1. SURAT PENYEDIAAN DANA (SPD)


Kegiatan pengeluaran uang dari Kas Umum Daerah atas beban APBD
dilakukan berdasarkan Surat Penyediaan Dana (SPD) atau dokumen lain yang
dipersamakan dengan SPD. Surat Penyediaan Dana (SPD) adalah dokumen
yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan sebagai
dasar penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP). Dokumen SPD ini
disiapkan oleh Kuasa BUD untuk ditandatangani oleh PPKD dalam rangka
Manajemen Kas Daerah.
Untuk menciptakan tertib administrasi pelaksanaan APBD, secara garis besar
pelaksanaan anggaran diatur sebagai berikut :
a. Penerbitan SPD merupakan prosedur yang harus dilaksanakan untuk

46
menyediakan dana bagi tiap-tiap SKPD sebagai dasar pengajuan SPP, SPD
menunjukkan informasi alokasi belanja pada setiap SKPD. Dasar penerbitan
SPD adalah anggaran kas dan DPA SKPD.
b. Batas penerbitan SPD sebagai dasar pengeluaran Kas Daerah yang
mengakibatkan pembebanan pada Belanja Daerah per semester untuk
belanja langsung besarnya diatur sebagai berikut :
1) semester I sebesar 50 %
2) semester II sebesar 50 %

Khusus untuk kegiatan yang didanai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
Dana-dana Penyesuaian dari Pemerintah Pusat, besaran penerbitan SPD
dapat menyesuaikan dengan aturan dari Pemerintah Pusat.
Sedangkan untuk belanja tidak langsung adalah sebagai berikut:
1) semester I sebesar 50 %
2) semester II sebesar 50 %
c. penyediaan belanja untuk suatu pengeluaran tersebut didasarkan pada
pagu anggaran kelompok belanja SKPD sedangkan bagi SKPD yang
melebihi batas semester sebagaimana yang telah ditetapkan dapat
dilakukan perubahan setelah mendapat persetujuan Bupati (c.q. Sekretaris
Daerah).
E. PROSEDUR PENATAUSAHAAN BENDAHARA PENGELUARAN
1. SURAT PERMINTAAN PEMBAYARAN (SPP)
Surat Permintaan Pembayaran (SPP) adalah dokumen yang diterbitkan oleh
pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan yang diajukan
oleh bendahara pengeluaran untuk melaksanakan belanja.
Berdasarkan SPD atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD,
Bendahara Pengeluaran mengajukan SPP kepada Pengguna Anggaran/KPA
melalui PPK-SKPD.
SPP berdasarkan jenisnya, terdiri dari SPP Uang Persediaan (SPP-UP), SPP
Ganti Uang Persedian (SPP-GU), SPP Tambahan Uang Persediaan (SPP-TU)
dan SPP Langsung (SPP-LS).
a. SPP Uang Persediaan (SPP-UP)
Adalah dokumen yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran untuk
mendapatkan persetujuan dari PA melalui PPK-SKPD dalam rangka
pengisian Uang Persediaan untuk uang muka kerja yang bersifat pengisian
kembali (revolving) yang tidak dapat dilakukan pembayaran langsung di
tiap-tiap SKPD. Uang Persediaan diajukan setiap awal tahun anggaran dan
diajukan sekali dalam satu tahun tanpa pembebanan pada kode rekening
tertentu, yang ketentuan batas jumlahnya ditetapkan dengan Keputusan
Bupati.

47
Dokumen yang diperlukan dalam pengajuan SPP-UP terdiri dari :
1. Surat Pengantar SPP-UP;
2. Ringkasan SPP-UP;
3. Rincian SPP-UP;
4. Salinan SPD;
5. Surat pernyataan untuk ditandatangani oleh Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak
dipergunakan untuk keperluan selain Uang Persediaan saat pengajuan
SP2D kepada kuasa BUD;
6. Lampiran lain yang diperlukan.
- Nota dinas permohonan pencairan yang ditandatangani oleh PA/KPA
- FC. SK. Pejabat Pengelola Keuangan
- FC. Rekening Bank Bendahara
- FC. Salinan Keputusan Bupati tentang besaran UP
- Lembar penelitian kelengkapan dokumen SPP

b. SPP Ganti Uang Persediaan (SPP-GU)


Adalah dokumen yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran untuk
permintaan pengganti uang persediaan yang telah terpakai dengan besaran
sejumlah SPJ penggunaan uang persediaan yang telah disahkan oleh
Pengguna Anggaran. SPP Ganti Uang Persediaan (SPP-GU) diajukan untuk
satu kegiatan tertentu.
Dokumen yang diperlukan dalam pengajuan SPP-GU terdiri dari :
1. Surat Pengantar SPP-GU;
2. Ringkasan SPP-GU
3. Rincian SPP- GU (sesuai pengesahan SPJ);
4. Surat pengesahan laporan pertanggungjawaban bendahara pengeluaran
atas penggunaan SPP-GU/TU sebelumnya;
5. Salinan SPD;
6. Pengesahan pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran yang telah
ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran dan disahkan oleh
Pengguna Anggaran;
7. Surat pernyataan ditandatangani oleh Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak
dipergunakan untuk keperluan selain Ganti Uang Persediaan saat
pengajuan SP2D kepada kuasa BUD;
8. Lampiran lain yang diperlukan.
- Nota dinas permohonan pencairan yang ditandatangani oleh PA/KPA
- Bukti penyetoran pajak
- Lembar penelitiaan kelengkapan dokumen SPP

48
c. SPP Tambahan Uang Persediaan (SPP-TU)
Adalah dokumen yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran untuk
memperoleh persetujuan dari PA/KPA melalui PPK-SKPD untuk permintaan
tambahan uang persediaan guna memenuhi kebutuhan belanja yang
sifatnya mendesak yang harus dikeluarkan oleh Bendahara Pengeluaran
dan uang persediaan tidak mencukupi karena sudah direncanakan untuk
kegiatan yang lain. (permendagri 21 tahun 2011 karena kebutuhan
dananya melebihi dari jumlah batas pagu uang persediaan yang telah
ditetapkan sesuai dengan ketentuan). Batas jumlah pengajuan SPP-TU
harus mendapat persetujuan dari PPKD dengan memperhatikan rincian
kebutuhan dan waktu penggunaan.
SPP Tambahan Uang Persediaan dapat diajukan apabila kegiatanya telah
mempertanggungjawabkan GU atau TU sebelumnya.
Jumlah dana yang dimintakan dalam SPP-TU harus dipertanggungjawabkan
tersendiri. Dan apabila tidak habis dalam 1 (satu) bulan, maka sisanya
harus disetor ke Rekening Kas Umum Daerah terhitung 1 (satu) bulan
setelah tanggal pencairan, kecuali untuk :
- kegiatan yang pelaksanaannya melebihi 1 (satu) bulan;
- kegiatan yang mengalami penundaan dari jadwal yang telah ditentukan
atau yang disebabkan oleh peristiwa diluar kendali PA/KPA;

Pengecualian tersebut diatas harus dilengkapi dengan bukti-bukti


pendukung yang dibuat oleh Pengguna Anggaran dan mendapatkan
persetujuan PPKD.
Permintaan pembayaran yang membebani belanja tidak terduga yang
digunakan untuk penanganan tanggap darurat bencana diajukan dengan
mekanisme TU yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran SKPKD dan
diterima oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu SKPD yang melaksanakan
fungsi penanggulangan bencana.

Dokumen yang diperlukan dalam pengajuan SPP-TU terdiri dari :


1. Surat Pengantar SPP-TU;
2. Ringkasan SPP-TU
3. Rincian rencana penggunaan TU ;
4. Salinan SPD;
5. Surat pernyataan untuk ditandatangani oleh Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak
dipergunakan untuk keperluan selain Tambahan Uang Persediaan saat
pengajuan SP2D kepada BUD;
6. Surat pengesahan pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran yang
telah ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran dan disahkan oleh
pengguna Anggaran atas penggunaan SPP-TU/GU sebelumnya;

49
7. Surat keterangan yang memuat penjelasan keperluan pengisian
Tambahan Uang Persediaan, yang telah mendapatkan persetujuan
PPKD;
8. Lampiran lain yang diperlukan.
- Nota dinas permohonan pencairan yang ditandatangani oleh PA/KPA
- Bukti penyetoran pajak
- Lembar penelitiaan kelengkapan dokumen SPP

d. SPP Langsung (SPP-LS)


Adalah dokumen yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran untuk
permintaan pembayaran langsung dengan jumlah, penerima, peruntukan
dan waktu pembayaran tertentu yang telah ditetapkan dan dokumennya
disiapkan oleh PPTK untuk keperluan :
1. pembayaran pengadaan barang/jasa berdasarkan perjanjian kontrak
kerja atau surat perintah kerja lainnya;
2. Pengadaan Barang/Jasa nilainya s.d. Rp. 50.000.000,00 yang
dokumennya ditandatangani oleh Penyedia Barang/Jasa;
3. Pembayaran gaji pegawai dan tunjangan lainnya;
4. pembayaran jenis belanja pegawai pada setiap kegiatan;
5. pembayaran belanja perjalanan dinas (diajukan beberapa jumlah
sekaligus atau bisa setiap bulan);
6. pembayaran belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi
hasil dan bantuan keuangan;
7. pembayaran pembiayaan.

Khusus angka 2, 4 dan 5, selain diajukan dengan SPP LS juga dapat


dibayar dengan mekanisme GU.

Untuk pengajuan SPP-GU belanja barang/jasa, dokumen SPJ yang


disertakan mengikuti ketentuan sebagaimana dokumen SPP-LS
barang/jasa.

Dokumen yang diperlukan dalam pengajuan SPP-LS terdiri dari :


1. Surat Pengantar SPP- LS;
2. Ringkasan SPP-LS
3. Rincian penggunaan LS ;
4. Lampiran SPP-LS;
5. Salinan SPD;
6. Draf Surat Pernyataan Pengguna Anggaran.

 Lampiran dokumen SPP-LS untuk pembayaran Gaji dan Tunjangan serta


penghasilan lainnya terdiri dari :
- Daftar gaji Induk;
- Daftar gaji susulan;

50
- Daftar kekurangan gaji;
- Daftar gaji terusan;
- Daftar uang duka wafat/tewas yang dilengkapi dengan daftar gaji
induk/gaji susulan/kekurangan gaji/uang duka wafat/tewas;
- SK CPNS;
- SK PNS;
- SK kenaikan pangkat;
- SK jabatan;
- Kenaikan gaji berkala;
- Surat Pernyataan Pelantikan;
- Surat Pernyataan Menduduki Jabatan;
- Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas;
- Daftar Keluarga (KP4);
- Fotocopy surat nikah;
- Fotocopy akta kelahiran;
- Surat Keterangan Pemberhentian Pembayaran (SKPP) Gaji;
- Daftar potongan sewa rumah dinas;
- Surat keterangan masih sekolah/kuliah;
- Surat pindah;
- Surat kematian;
- SSP PPh Pasal 21; dan
- Peraturan perundang-undangan mengenai penghasilan pimpinan
dan anggota DPRD serta gaji dan tunjangan kepada daerah/wakil
kepala daerah.
Kelengkapan lampiran dokumen SPP-LS pembayaran gaji dan tunjangan
digunakan sesuai dengan peruntukannya.
 Lampiran dokumen SPP-LS untuk pembayaran Pengadaan Barang/Jasa
terdiri dari :
- SSP (PPN dan PPh) yang telah ditandatangani wajib pajak
dan/atau wajib pungut disertai faktur pajak;
- Bukti perjanjian (Bukti pembelian, Kuitansi, Surat Perintah Kerja
(SPK), Surat Perjanjian, Surat Pesanan);
- Berita Acara Penerimaan Barang;
- Berita Acara serah terima hasil pekerjaan yang ditandatangani oleh
seluruh anggota panitia dan pihak ketiga/Penyedia Barang/Jasa
beserta lampiran daftar barang yang akan diserahkan;
- Berita Acara Pembayaran;
- Kuitansi bermaterai;
- Surat jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan oleh
bank pemerintah atau lembaga keuangan non bank;

51
- Dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang
dananya sebagian atau seluruhnya bersumber dari penerusan
pinjaman/hibah luar negeri;
- Surat angkutan atau konosemen apabila pengadaan barang
dilaksanakan di luar wilayah kerja;
- Surat pemberitahuan potongan denda keterlambatan pekerjaan
dari PPTK apabila pekerjaan mengalami keterlambatan;
- Foto/buku/dokumentasi tingkat kemajuan /penyelesaian
pekerjaan;
- Potongan jamsostek (potongan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku/surat pemberitahuan jamsostek; dan
- Jasa konsultan yang perhitungannya menggunakan biaya personil
(Billing rate), berita acara prestasi kemajuan pekerjaan dilampiri
dengan bukti kehadiran dari tenaga konsultan sesuai pentahapan
waktu pekerjaan dan bukti penyewaan/pembelian alat bukti
penunjang serta bukti pengeluaran lainnya berdasarkan rincian
dalam surat penawaran.
- Rekomendasi tim teknis / tenaga ahli yang ditunjuk oleh Pengguna
Anggaran terkait dengan spesifikasi hasil pengadaan barang/jasa
(khusus untuk pengadaan barang/jasa yang memiliki spesifikasi
teknis )
Lampiran lain yang diperlukan :
- Kerangka Acuan Kerja (KAK);
- Foto copy DPA(lembar yang diajukan);
- Surat Permintaan Pembayaran yang diajukan oleh pihak ketiga.
- Laporan kemajuan pelaksanaan pekerjaan;
- Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan (kunjungan I/II);
- Berita Acara Serah Terima Pertama Pekerjaan;
- Berita Acara Akhir Pemeriksaan Hasil Pekerjaan;
- Berita Acara Serah Terima Akhir Pekerjaan;
- Foto copy Bukti kepemilikan rekening bank pihak ketiga;
- Foto copy Bukti pembayaran pajak dan retribusi;
- Foto copy bukti pembayaran pajak mineral bukan logam (galian C)
- Foto copy IMB.
Kelengkapan lampiran dokumen SPP-LS pengadaan barang/jasa
digunakan menyesuaikan dengan peruntukkannya.

 Pengajuan SPP-LS untuk pembayaran Belanja Bunga, Subsidi, Hibah,


Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil, Bantuan Keuangan dan Pembiayaan

52
mengacu pada Peraturan Bupati Trenggalek Nomor 98 Tahun 2012
tentang Tatacara penganggaran pelaksanaan dan penatausahaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi
pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD
Kabupaten Trenggalek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bupati Trenggalek Nomor 23 Tahun 2014.

 Pengajuan SPP-LS untuk pembayaran belanja pegawai pada setiap


kegiatan dan belanja perjalanan dinas dokumen yang dilampirkan terdiri
dari :
- Keputusan Bupati/Pengguna Anggaran/Kepala SKPD tentang
pembentukan panitia/tim/pengelola keuangan;
- Daftar penerimaan honorarium;
- Surat Perintah Lembur;
- Daftar Hadir Lembur/Rapat;
- Notulen rapat
- SSP PPh Pasal 21;
Dokumen pendukung SPP-LS untuk Belanja Langsung disiapkan oleh
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam keadaan lengkap dan
benar sedangkan untuk belanja tidak langsung disiapkan oleh Bendahara
Pengeluaran Pembantu (BPP).
Permintaan Pembayaran Belanja Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial,
Belanja Bagi Hasil, Bantuan Keuangan dan Pengeluaran Pembiayaan
dilakukan dengan mekanisme LS oleh Bendahara Pengeluaran SKPKD
kepada Pengguna Anggaran SKPKD melalui PPK SKPKD.

Khusus Belanja Hibah dan Bantuan Sosial berupa uang yang nilainya
masing-masing sampai dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dapat
digabung pencairannya melalui mekanisme LS dan diterima oleh Bendahara
Pengeluaran Pembantu SKPD Pengelola.

2. SURAT PERINTAH MEMBAYAR (SPM)


Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang diterbitkan oleh
Pengguna Anggaran/KPA sebagai dasar penerbitan SP2D atas beban
pengeluaran DPA-SKPD.
Berdasarkan SPP yang telah diteliti kebenarannya dan dinyatakan lengkap
oleh PPK-SKPD, Pengguna Anggaran/KPA menerbitkan Surat Perintah
Membayar (SPM).
Jenis SPM terdiri dari SPM Uang Persediaan (SPM-UP), SPM Ganti Uang
Persedian (SPM-GU), SPM Tambahan Uang (SPM-TU) dan SPM Langsung
(SPM-LS).

53
a. SPM Uang Persediaan (SPM-UP)
Adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran sebagai dasar
penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang dipergunakan
sebagai uang persediaan untuk mendanai kegiatan.
b. SPM Ganti Uang Persediaan (SPM-GU)
Adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran sebagai dasar
penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang dananya
dipergunakan untuk mengganti uang persediaan yang telah dibelanjakan
dibuktikan dengan Surat Pengesahan Pertanggungjawaban (SPJ).
c. SPM Tambahan Uang Persediaan (SPM-TU)
Adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran sebagai
dasar penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang
dipergunakan untuk tambahan uang persediaan karena kebutuhan yang
mendesak dan Uang Persediaan tidak mencukupi karena sudah
direncanakan untuk kegiatan yang lain. Dana Tambahan Uang Persediaan
(TU) yang telah dipertanggungjawabkan dan disahkan dibuatkan SPP dan
SPM Nihil, selanjutnya diajukan untuk penerbitan SP2D TU Nihil dengan
dilampiri copy Surat Tanda Setoran sisa TU.
d. SPM Langsung (SPM-LS)
Adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran sebagai
dasar penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD, pembayaran
keperluan yang nilai belanjanya sudah pasti (definitif) yaitu untuk
pembayaran gaji pegawai dan tunjangan lainnya, pembayaran jenis
belanja pegawai pada setiap kegiatan, pembayaran belanja perjalanan
dinas, pembayaran pengadaan barang dan jasa, pembayaran belanja
bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan
keuangan, belanja tidak terduga dan pembiayaan.

3. SURAT PERINTAH PENCAIRAN DANA (SP2D)


a. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah dokumen yang digunakan
sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh Bendahara Umum
Daerah (BUD).
Setelah SPM beserta dokumennya dinyatakan sah dan lengkap serta tidak
melampaui pagu anggaran, BUD menerbitkan Surat Perintah Pencairan
Dana (SP2D), dan apabila SPM beserta dokumennya dinyatakan tidak
lengkap dan/atau tidak sah dan/atau melampaui pagu anggaran, BUD
dapat menolak untuk penerbitan SP2D dengan Surat Penolakan. Dalam
hal BUD berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang
diberi wewenang untuk menandatangani SP2D.

54
b. Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah sebagai berikut :
1. Kuasa BUD menerima SPM-UP/GU/TU/LS beserta dokumen
kelengkapannya yang diajukan oleh PA/KPA dan memproses sesuai
dengan ketentuan untuk diterbitkan SP2D
2. Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM-UP/GU/TU/LS.
Kelengkapan dokumen SPM-UP antara lain :
- Surat pernyataan tanggung jawab Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran
Lampiran lain yang diperlukan :
- Keputusan Bupati tentang pejabat pengelola keuangan ;
- Nomor rekening Bendahara Pengeluaran.
- Nota Dinas yang telah ditandatangani oleh Pengguna Anggaran.
Kelengkapan dokumen SPM-GU antara lain :
- Surat pernyataan tanggung jawab Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran;
- Surat Pengesahan laporan pertanggungjawaban Bendahara
Pengeluaran atas penggunaan SPP-GU sebelumnya;
- Pengesahan pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran yang
telah ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran dan disahkan
oleh Pengguna Anggaran;
Lampiran lain yang diperlukan
- Bukti penyetoran Pajak daerah, PPN/PPh.
Kelengkapan dokumen SPM-TU antara lain :
- Surat pernyataan tanggung jawab Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran;
- Surat permohonan yang menyatakan bahwa Uang Persediaan di
Bendahara Pengeluaran tidak mencukupi;
- Surat permohonan yang memuat penjelasan rincian penggunaan
Tambahan Uang Persediaan yang telah mendapatkan persetujuan
dari PPKD;
- Surat pengesahan pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran
yang telah ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran dan
disahkan oleh Pengguna Anggaran atas penggunaan SPP-TU/GU
sebelumnya.
Kelengkapan dokumen SPM-LS Barang dan Jasa antara lain :
- SSP perincian perhitungan pajak, faktur pajak, SSP sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
- Bukti Perjanjian (Nota/faktur pembelian, Kuitansi, Surat Perintah
Kerja(SPK), Surat Perjanjian, Surat Pesanan);
- Berita Acara Penerimaan Barang;

55
- Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan;
- Berita Acara Pembayaran;
- Surat jaminan bank;
- Surat pemberitahuan potongan denda keterlambatan pekerjaan
dari PPTK apabila pekerjaan mengalami keterlambatan;
- Foto /dokumentasi tingkat kemajuan/penyelesaian pekerjaan;
- Foto copy Bukti pembayaran jamsostek;
- Jasa konsultan yang perhitungannya menggunakan biaya personil
(billing rate), berita acara prestasi kemajuan pekerjaan dilampiri
dengan bukti kehadiran dari tenaga konsultan sesuai pentahapan
waktu pekerjaan dan bukti penyewaan/pembelian alat bukti
penunjang serta bukti pengeluaran lainnya berdasarkan rincian
dalam surat perjanjian.
- Berita Acara penyerahan Buku/Laporan hasil pekerjaan
perencanaan
- Lampiran lain yang diperlukan :
- Kerangka Acuan Kerja (KAK);
- Surat Permintaan Pembayaran yang diajukan oleh pihak ketiga.
- Laporan kemajuan pelaksanaan pekerjaan;
- Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan (kunjungan I/II);
- Berita Acara Serah Terima Pertama Pekerjaan;
- Berita Acara Akhir Pemeriksaan Hasil Pekerjaan;
- Berita Acara Serah Terima Akhir Pekerjaan;
- Foto copy Bukti pembayaran pajak dan retribusi;
- Foto copy bukti pembayaran pajak mineral bukan logam (galian C;)
- Foto copy IMB.
Kelengkapan lampiran dokumen SPM-LS pengadaan barang dan jasa
digunakan sesuai dengan peruntukkannya
Kelengkapan dokumen SPM-LS untuk pembayaran gaji dan tunjangan
antara lain :
- Daftar gaji Induk;
- Daftar gaji susulan;
- Daftar kekurangan gaji;
- Daftar gaji terusan;
- Daftar uang duka wafat/tewas yang dilengkapi dengan daftar gaji
induk/gaji susulan/kekurangan gaji/uang duka wafat/tewas;
- SK CPNS;
- SK PNS;
- SK kenaikan pangkat;
- SK jabatan;

56
- Kenaikan gaji berkala;
- Surat Pernyataan Pelantikan;
- Surat Pernyataan Menduduki Jabatan;
- Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas;
- Daftar Keluarga (KP4);
- Fotocopy surat nikah;
- Fotocopy akta kelahiran;
- Surat Keterangan Pemberhentian Pembayaran (SKPP) Gaji;
- Daftar potongan sewa rumah dinas;
- Surat keterangan masih sekolah/kuliah;
- Surat pindah;
- Surat kematian;
- SSP PPh Pasal 21; dan
- Peraturan perundang-undangan mengenai penghasilan pimpinan
dan anggota DPRD serta gaji dan tunjangan kepada daerah/wakil
kepala daerah.
Kelengkapan lampiran dokumen SPM-LS pembayaran gaji dan
tunjangan digunakan sesuai dengan peruntukannya.
Kelengkapan dokumen SPM-LS untuk pembayaran belanja pegawai
dan belanja perjalanan dinas antara lain :
- Keputusan Bupati/Pengguna Anggaran/Kepala SKPD tentang
pembentukan panitia/tim/pengelola keuangan;
- Daftar penerimaan honorarium;
- Surat Perintah Lembur;
- Daftar Hadir Lembur/Rapat;
- Notulen rapat
- Undangan rapat
- SSP PPh Pasal 21;
4. SURAT PERINTAH PENCAIRAN DANA (SP2D) NON ANGGARAN
Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan BUD langsung
menunjuk Bank untuk mencairkan dana. Potongan pajak dan potongan pihak
ketiga lainnya (Taspen, Askes, Bapetarum, dll.) ditempatkan di kolom
POTONGAN, sehingga yang dibayarkan ke bendahara atau pihak ketiga
(rekanan) sudah dalam jumlah bersih (netto). Selanjutnya, potongan-
potongan tersebut dikeluarkan lagi menggunakan mekanisme SP2D Non
Anggaran.

5. SURAT PERTANGGUNGJAWABAN (SPJ)


Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dibedakan menjadi :
a. Surat Pertangungjawaban (SPJ) Administratif adalah dokumen yang dibuat
Bendahara Pengeluaran untuk mempertanggungjawabkan penggunaan

57
Uang Persediaan/Ganti Uang Persediaan/Tambahan Uang Persediaan
kepada Pengguna Anggaran melalui PPK-SKPD yang menggambarkan
jumlah anggaran, realisasi dan sisa pagu anggaran baik secara kumulatif
maupun per kegiatan.
SPJ ini merupakan penggabungan dengan SPJ Bendahara Pengeluaran
Pembantu. Dokumen ini disampaikan ke Pengguna Anggaran paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya, khusus Bulan Desember disampaikan paling
lambat hari kerja terakhir bulan tersebut.

b. Surat Pertangungjawaban (SPJ) Fungsional adalah dokumen yang dibuat


Bendahara Pengeluaran untuk mempertanggungjawabkan penggunaan
atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada PPKD
selaku BUD yang dilaksanakan setelah diterbitkan surat pengesahan
pertanggungjawaban pengeluaran oleh Pengguna Anggaran.
SPJ ini merupakan penggabungan dengan SPJ Bendahara Pengeluaran
Pembantu. Dokumen ini dikirim paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dengan dilampiri copy Surat Tanda Setoran sisa TU, khusus bulan
Desember disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut
dengan dilampiri copy Surat Tanda Setoran sisa UP.
Penyetoran sisa uang TU maupun UP pada bulan Desember harus
disetorkan ke RKUD paling lambat pada hari kerja terakhir.

PPK-SKPD dalam melakukan verifikasi atas laporan pertanggungjawaban,


berkewajiban:
a. meneliti kelengkapan dokumen laporan pertanggungjawaban dan
keabsahan bukti-bukti pengeluaran yang dilampirkan;
b. menguji kebenaran perhitungan atas pengeluaran per rincian obyek yang
tercantum dalam ringkasan per rincian obyek;
c. menghitung pengenaan PPN/PPh/Pajak Daerah atas beban pengeluaran
per rincian obyek;
d. menguji kebenaran sesuai dengan SPM dan SP2D yang diterbitkan periode
sebelumnya.
F. LAIN–LAIN KETENTUAN DALAM HAL PENATAUSAHAAN KEUANGAN
DAERAH
1. LEMBUR
Kerja Lembur adalah pekerjaan yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil atau
non-PNS pada waktu-waktu tertentu untuk mengerjakan pekerjaan yang belum
terselesaikan pada jam kerja, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pegawai Negeri Sipil dapat diperintahkan untuk melakukan kerja lembur
untuk menyelesaikan tugas-tugas kedinasan yang mendesak;
b. Kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan kerja lembur tiap-tiap kali
selama paling sedikit 1 (satu) jam penuh dapat diberikan uang lembur;

58
c. Kerja lembur yang dilaksanakan pada hari kerja, pembayaran Uang Lembur
paling banyak diberikan 3 (tiga) jam kerja lembur sehari atau 14 (empat
belas) jam dalam seminggu termasuk hari libur;
d. Jika kerja lembur dilaksanakan pada hari libur kerja, maka pembayaran Uang
Lembur paling banyak diberikan 8 (delapan) jam kerja lembur;
e. Tarif Uang Lembur pada hari libur kerja sebesar 200% dari besarnya uang
lembur;
f. Kerja lembur yang dilaksanakan minimal 2 (dua) jam berturut-turut
diberikan Uang Makan Lembur dan apabila dilakukan selama 8 jam, Uang
Makan Lembur diberikan maksimal 2 (dua) kali;
g. Pembayaran uang Lembur didasarkan pada daftar hadir lembur Pegawai
Negeri Sipil dan dapat diajukan untuk beberapa bulan sekaligus;
h. Kelengkapan pembayaran uang lembur, terdiri dari :
- Surat Perintah Kerja Lembur yang ditandatangani PA/KPA;
- Daftar Hadir lembur;
- Daftar Pembayaran perhitungan Uang Lembur.
2. PERJALANAN DINAS
a. Biaya perjalanan dinas terdiri:
- uang harian yang meliputi uang makan, uang saku diberikan secara
lumpsum;
- biaya transportasi pegawai dibayar secara at cost;
- biaya penginapan dibayar secara at cost;
- uang representasi; dan
- sewa kendaraan dalam kota.
b. Biaya perjalanan dinas digolongkan berdasarkan tingkatan eselon bagi
pejabat Struktural dan berdasarkan tingkatan golongan bagi pejabat Non
Struktural;
c. Biaya perjalanan dinas dibebankan pada anggaran SKPD yang mengeluarkan
SPD bersangkutan;
d. Pejabat yang berwenang memberi perintah perjalanan dinas agar
memperhatikan ketersediaan dana yang diperlukan untuk melaksanakan
perjalanan tersebut dalam anggaran SKPD berkenaan;
e. Perjalanan Dinas yang dilaksanakan bersama-sama untuk melaksanakan
tugas kedinasan yang sama, bersifat rombongan dapat menggunakan
hotel/penginapan yang sama dengan klasifikasi kamar berbeda, dan biaya
penginapan menjadi tanggung jawab masing-masing;
f. Biaya perjalanan dinas dibayarkan sebelum perjalanan dinas dilaksanakan.
Dan jika perjalanan dinas harus segera dilaksanakan, sementara biaya
perjalanan dinas belum dapat dibayarkan, maka biaya perjalanan dinas
dapat dibayarkan setelah perjalanan dinas selesai;

59
g. Jika jumlah hari perjalanan dinas ternyata kurang dari jumlah hari yang
ditetapkan dalam SPD, maka pejabat/pegawai negeri yang bersangkutan
wajib menyetorkan kembali kelebihan uang harian dan biaya penginapan
yang telah diterimanya ke Bendahara Pengeluaran;
h. Bagi pelaku perjalanan dinas wajib menyampaikan dokumen sebagai
pertanggungjawaban atas pelaksanaan perjalanan dinas dan disampaikan
setelah tiba di tempat kedudukan, yang terdiri dari :
- SPT;
- SPD;
- Laporan Perjalanan Dinas;
- Undangan dan Surat Pemberitahuan dari penyelenggara kegiatan apabila
perjalanan dinas tersebut dilaksanakan karena memenuhi undangan;
- Bukti-bukti lain yang sah. (Tiket, bukti pembayaran hotel).
Khusus pengemudi yang mengantar Pelaku Perjalanan Dinas dalam
melakukan perjalanan dinas dengan menggunakan kendaraan dinas,
dokumen pertanggungjawaban yang disampaikan tanpa SPD dan
dipertanggungjawabkan bersamaan dengan pejabat/pegawai yang diantar.
Dalam hal perjalanan dinas rombongan dengan menggunakan kendaraan
dinas tidak menggunakan pengemudi dapat menggunakan pengemudi salah
satu peserta perjalanan dinas atas perintah Atasan langsungnya dengan
mendapatkan uang perjalanan dinas sesuai standar yang telah ditetapkan,
bukan sebagai pengemudi.
i. Pejabat yang berwenang menerbitkan SPD wajib membatasi pelaksanaan
perjalanan dinas untuk hal-hal yang mempunyai prioritas tinggi dan penting
serta mengadakan penghematan dengan mengurangi frekuensi, jumlah
orang, dan lamanya perjalanan;
j. Pejabat yang berwenang dan Pelaku Perjalanan dinas bertanggung jawab
sepenuhnya atas kerugian yang diderita oleh negara sebagai akibat dari
kesalahan, kelalaian atau kealpaan yang bersangkutan dalam hubungannya
dengan perjalanan dinas dimaksud;
k. Penyediaan belanja perjalanan dinas dalam rangka studi banding agar
dibatasi dan pelaksanaannya dapat dilakukan sepanjang memiliki nilai
manfaat guna kemajuan daerah, sebelum melakukan perjalanan dinas dalam
rangka studi banding harus mendapatkan persetujuan Bupati/Sekretaris
Daerah.
Studi banding ke luar daerah yang biaya transportasi, akomodasi dan
konsumsi dilaksanakan pihak ketiga/pihak lain yang menangani pelaksanaan
kegiatan tersebut, untuk pesertanya hanya diberikan bantuan uang saku per
hari. Setelah melakukan studi banding agar membuat laporan hasil studi
banding dimaksud sebagai bentuk pertanggungjawaban;

60
l. Penugasan untuk mengikuti undangan dalam rangka workshop, seminar,
lokakarya dan sejenisnya atas undangan atau tawaran dari
lembaga/organisasi diluar instansi pemerintah, supaya dilakukan dengan
sangat selektif;
m. Sewa kendaraan dalam kota diberikan kepada Bupati, Wakil Bupati,
Pimpinan DPRD dan Pejabat eselon II untuk melaksanakan tugas di tempat
tujuan. Sewa kendaraan dimaksud sudah termasuk biaya pengemudi dan
BBM (disertai bukti sewa kendaraan yang dapat dipertanggungjawabkan);
n. Perjalanan dinas ke luar negeri
Perjalanan dinas ke luar negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil
dan Anggota DPRD di Pemerintah Kabupaten Trenggalek agar berpedoman
pada Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perjalanan dinas ke
luar negeri.
o. Perjalanan dinas yang menggunakan kendaraan dinas tidak diberikan uang
transportasi hanya diberikan Bahan Bakar Minyak (BBM) sesuai dengan
kebutuhan riil yang dilengkapi surat perintah tugas dan bukti-bukti yang sah
(bukti pembelian BBM). atau BBMnya dapat dibebankan pada kode rekening
perjalanan dinas/transportasi.
Dalam hal perjalanan dinas yang belum diatur dalam Peraturan Bupati ini agar
berpedoman pada Peraturan Bupati Trenggalek tentang Perjalanan dinas bagi
Pejabat Negara, Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dan Non
Pegawai Negeri Sipil.

3. BELANJA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM)


Dengan pertimbangan kelancaran pelaksanaan tugas, belanja Bahan Bakar
Minyak (BBM) dapat diberikan untuk :
a. kendaraan dinas dalam rangka melaksanakan tugas dinas sehari-hari :
- kendaraan dinas operasional roda 2 (dua) yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan sesuai dengan tupoksi dapat diberikan bahan
bakar sesuai dengan kebutuhan riil atau maksimal 2 (dua) liter dalam 1
hari dilengkapi bukti-bukti yang sah (bukti pembelian BBM) dan hanya
bersifat insidentil.
- kendaraan perorangan dinas dan kendaraan dinas jabatan roda 4 (empat)
yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan tugas dapat diberikan
bahan bakar sesuai kebutuhan riil atau maksimal 5 liter dalam 1 hari
dengan dilengkapi bukti-bukti yang sah (bukti pembelian BBM);
- kendaraan operasional roda 4 (empat) yang digunakan untuk menunjang
pelaksanaan tugas dapat diberikan bahan bakar sesuai kebutuhan riil atau
maksimal 5 liter dalam 1 hari dilengkapi bukti-bukti yang sah (bukti
pembelian BBM) dan hanya bersifat insidentil.

61
b. kendaraan dinas operasional khusus roda 4 (empat)/lapangan digunakan
untuk pelayanan operasional khusus/lapangan dan pelayanan umum sesuai
kebutuhan dan kondisi, diberikan BBM sesuai kebutuhan dan kondisi
lapangan dilengkapi dengan surat perintah tugas dan bukti-bukti yang sah
(bukti pembelian BBM);
c. peralatan dan mesin yang mendukung operasional kegiatan yang
membutuhkan BBM diberikan BBM sesuai dengan kebutuhan yang dilengkapi
dengan bukti-bukti yang sah (bukti pembelian BBM);

4. BELANJA MAKAN DAN MINUM


Atas pelaksanaan belanja makanan dan minuman yang dibiayai dari APBD,
berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Pengguna Anggaran harus tetap mempertimbangkan kecukupan pagu
anggaran dan hanya dilakukan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat
penting;
b. Penganggaran untuk penyelenggaraan rapat, pendidikan dan pelatihan,
bimbingan teknis atau sejenisnya diprioritaskan untuk menggunakan fasilitas
aset daerah, seperti ruang rapat atau aula yang sudah tersedia milik
pemerintah daerah;
c. Dalam rangka menumbuhkan usaha tata boga di Kabupaten Trenggalek,
diupayakan dalam menyediakan makanan dan minuman untuk keperluan
dinas mengutamakan menu makanan dan minuman khas Trenggalek;
d. Penyedia jasa catering yang ditunjuk menyediakan makanan dan minuman
untuk kepentingan dinas, maka Penyedia Jasa dimaksud wajib mempunyai
NPWP ;
e. Atas pembelian makanan dan minuman yang dilaksanakan di warung/
restoran/rumah makan/cafe/kedai dan sejenisnya termasuk Penyedia Jasa
Catering dalam wilayah Kabupaten Trenggalek, maka atas pelayanan yang
diberikan tersebut dikenakan Pajak Restoran sesuai ketentuan Peraturan
Daerah Kabupaten Trenggalek tentang Pajak Restoran dan aturan-aturan
pelaksanaannya.

4. HONORARIUM TIM/PANITIA DAN HONORARIUM RAPAT/SIDANG/BIMTEK/


KURSUS/DIKLAT/SOSIALISASI

Dalam rangka pengelolaan anggaran daerah agar pelaksanaan APBD dapat


dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif,
efisien, ekonomis, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat maka untuk
pengendalian kegiatan di SKPD perlu melakukan penekanan terhadap belanja
langsung sebagai berikut :

a. HonorariumTim/Panitia
1) Dalam suatu kegiatan dapat dibentuk Tim/Panitia yang dalam
pelaksanaannya dapat diberikan honorarium;

62
2) Honorarium sebagaimana dimaksud angka 1 diberikan kepada
Tim/Panitia yang secara langsung terlibat dalam pelaksanaan tugas
kegiatan dan/atau tanggung jawab struktural dalam pelaksanaan
kegiatan dimaksud;
b. Honorarium Rapat/Sidang/Bimtek/Kursus/Diklat/Sosialisasi
1) Rapat yang dilaksanakan di internal SKPD dan rapat yang diikuti oleh
anggota tim/panitia yang sudah menerima honorarium sebagai
tim/panitia kegiatan tidak dapat diberikan honorarium rapat.
2) Dalam rangka melaksanakan penataran / penyuluhan / kursus / bimtek /
sosialisasi / pembinaan peserta dapat diberikan honorarium;
3) Apabila dalam DPA suatu Kegiatan telah dianggarkan honorarium yang
tidak diperbolehkan atau diluar ketentuan sebagaimana dimaksud diatas
atau pemberian honorarium yang bersifaf duplikasi honor, maka
anggaran honorarium dimaksud harus dibekukan atau tidak boleh
dicairkan/dibayarkan.

G. PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (BLUD)


Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) agar berpedoman pada
ketentuan yang berlaku. Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan terkait
dengan pengelolaan BLUD antara lain :
1. Setiap akhir tahun anggaran BLUD menyusun Rencana Bisnis Anggaran (RBA)
berdasarkan basis kinerja dan pertimbangan akuntansi biaya menurut jenis
layananya, serta kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan
akan diterima dari jasa layanan. RBA sebagaimana dimaksud meliputi :
a. RBA BLUD SKPD diajukan kepada PPKD.
b. RBA BLUD unit kerja diajukan ke SKPD untuk dibahas sebagai bagaian dari
RKA-SKPD, dan selanjutnya diajukan ke PPKD.
2. RBA selanjutnya disampaikan kepada PPKD untuk dilakukan pembahasan dan
dituangkan dalam Rancangan Perda tentang APBD, setelah APBD ditetapkan
BLUD melakukan penyesuaian atas RBA sebelum ditetapkan menjadi RBA
definintif untuk digunakan sebagai acuan dalam penyusunan DPA-BLUD
selanjutnya disahkan oleh PPKD dan dipergunakan sebagai dasr pelaksanaan
Anggaran.
3. Dalam hal DPA BLUD belum disyahkan oleh PPKD, BLUD dapat melakukan
pengeluaran uang setinggi-tingginya sebesar angka pada DPA BLUD tahun
sebelumnya.
4. DPA-BLUD menjadi lampiran perjanjian kinerja yang ditandatangani oleh
Bupati Trenggalek dengan Pemimpin BLUD.
5. Seluruh Pendapatan BLUD yang bersumber dari jasa layanan, hibah dan hasil
kerjasama dengan pihak lain dan pendapatan BLUD yang sah dilaksanakan
melalui rekening kas BLUD dan dicatat dalam kode rekening kelompok

63
Pendapatan Asli Daerah pada jenis lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
dengan obyek pendapatan BLUD. Pendapatan dimaksud dikelola langsung
untuk membiayai belanja operaional BLUD sesuai RBA definitif, pengeluaran
yang dananya diperoleh dari APBD/APBN sebagaimana peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6. Seluruh pendapatan BLUD dilaporkan kepada PPKD setiap triwulan.
7. Pengeluaran biaya BLUD bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan volume
kegiatan pelayanan, fleksibelitas pengeluaran biaya BLUD disesuaikan dan
signifikan dengan perubahan pendapatan dalam ambang batas RBA yang telah
ditetapkansecara definitif, ambang batas RBA ditetapkan dengan besaran
prosentase, besaran prosentase ditetapkan dalam RBA dan DPA BLUD, dan
hanya berlaku untuk biaya BLUD yang berasal dari pendapatan selain dari
APBN/APBD.
8. Perubahan terhadap RBA definitif dan DPA dilakukan apabila :
a. Terdapat penambahan atau pengurangan pagu anggaran yang berasal dari
APBD dan/atau
b. Belanja BLUD melampaui ambang batas fleksibilitas.
9. Surplus anggaran BLUD merupakan selisih lebih antara realisasi pendapatan
dan realisasi BLUD pada satu tahun anggaran dan dapat digunakan dalam
tahun anggaran berikutnya, kecuali atas permintaan kepala daerah, disetorkan
sebagian atau seluruhnya ke kas daerah dengan mempertimbangkan posisi
likuiditas BLUD.
10. Setiap semester BLUD wajib membuat laporan keuangan yang terdiri :
a. Laporan Realisasi Anggaran/Laporan Operasional;
b. Laporan Arus Kas;
c. Catatan atas Laporan Keuangan disertai Laporan Kinerja yang disampaikan
kepada PPKD paling lambat 15 (lima belas) hari setelah periode pelaporan
berakhir.
11. Setiap tahun BLUD wajib membuat Laporan Keuangan yang terdiri dari :
a. Laporan Realisasi Anggaran/Laporan Operasional;
b. Laporan Arus Kas;
c. Catatan atas Laporan Keuangan disertai Laporan Kinerja dan disampaikan
kepada Bupati Trenggalek melalui PPKD paling lambat setelah 2 (dua) bulan
periode pelaporan berakhir.
SKPD yang menerapkan PPK-BLUD dalam hal pelaksanaannya agar berpedoman
pada PPK-BLUD yang ditetapkan dalam Peraturan Bupati.

64
BAB V
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan pemerintahan


yang baik dan bersih (Good Governance and clean Government) dengan
menggunakan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses pengadaan
barang/jasa pemerintah diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan,
transparansi, akuntabilitas dan prinsip kompetensi yang sehat. Pengadaan barang/jasa
pemerintah yang dibiayai melalui APBD/APBN untuk memperoleh barang/jasa yang
terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik,
keuangan maupun manfaatnya untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah dan
pelayanan masyarakat.
Pengadaan barang/jasa Pemerintah secara keseluruhan berpedoman pada
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang perubahan
keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
barang/Jasa Pemerintah dengan menerapkan prinsip-prinsip efisien, efektif,
transparan, bersaing, terbuka, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Pengadaan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
A. PENGADAAN BARANG/JASA
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden meliputi :
1. Barang;
2. Pekerjaan Konstruksi;
3. Jasa Konsultansi; dan
4. Jasa Lainnya.
B. PENGADAAN TANAH

A. PENGADAAN BARANG/JASA
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan
Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya
dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan
untuk memperoleh Barang/Jasa.
Dasar pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan pemerintah Nomor 59
Tahun 2010;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2008;

65
4. Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
5. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 4 Tahun 2015;
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Barang Milik Daerah;
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar
dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi;
8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Teknis Pembangunan Gedung Negara.

I. ORGANISASI PENGADAAN BARANG/JASA


Organisasi pengadaan barang/jasa terdiri dari :
a. Organisasi Pengadaan barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Penyedia
Barang/Jasa, terdiri atas :
1. Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);
2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
3. ULP/Pejabat Pengadaan; dan
4. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
b. Organisasi Pengadaan barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Swakelola,
terdiri atas :
1. Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);
2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
3. ULP/Pejabat Pengadaan/Tim Pengadaan; dan
4. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
c. Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat sebagaimana huruf a dan b tidak
terikat tahun anggaran
d. PPK dapat dibantu oleh Tim pendukung yang diperlukan untuk pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa.
e. Perangkat organisasi ULP ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
II. TUGAS DAN KEWENANGAN ORGANISASI PENGADAAN BARANG/JASA
1. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
Tugas dan kewenangan Pengguna Anggaran (PA) adalah sebagai berikut :
a. Menetapkan Rencana Umum Pengadaan;
b. Mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan melalui website
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE);
c. menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
d. menetapkan Pejabat Pengadaan;
e. menetapkan panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan;

66
f. menetapkan :
(1) pemenang pada pelelangan atau penyedia pada penunjukkan
langsung untuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa
lainnya dengan nilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar
rupiah);
(2) pemenang pada seleksi atau penyedia pada penunjukkan langsung
untuk paket pengadaan jasa konsultansi dengan nilai diatas
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
g. mengawasi pelaksanaan anggaran;
h. menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
i. menyelesaikan perselisihan antara PPK dengan ULP/Pejabat Pengadaan,
dalam hal terjadi perbedaan pendapat; dan
j. mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh dokumen
pengadaan baarang/jasa.
Selain tugas dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada angka II, dalam
hal diperlukan, PA dapat :
a. menetapkan tim teknis; dan atau
b. menetapkan tim juri/tim ahli untuk pelaksanaan Pengadaan melalui
Sayembara/Kontes.
Penunjukkan dan kewenangan KPA
a. KPA merupakan pejabat yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul
PA;
b. KPA untuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ditetapkan oleh
PA pada Kementerian/lembaga/institusi pusat lainnya atas usul Kepala
Daerah.
c. KPA memiliki kewenangan sesuai pelimpahan yang diberikan oleh PA.
2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang ditetapkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dan bertanggung jawab atas
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
a. Tugas pokok dan kewenangan Pejabat pembuat Komitmen adalah
sebagai berikut :
(1) Menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
meliputi :
a) Spesifikasi teknis Barang/Jasa;
a) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
b) Rancangan kontrak.
(2) Menerbitkan Surat Penunjukkan Penyedia Barang/Jasa
(3) Menyetujui bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat
Perintah Kerja (SPK)/Surat Perjanjian;

67
(4) Melaksanakan kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa
(5) Mengendalikan pelaksanaan kontrak;
(6) Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/ Jasa
kepada PA/KPA;
(7) Menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan barang/Jasa kepada
PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
(8) Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran
dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap
triwulan; dan
(9) Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa.
b. Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana huruf a, dalam hal
diperlukan, PPK dapat :
(1) Mengusulkan pada PA/KPA :
a) perubahan paket pekerjaan; dan/atau
b) perubahan jadual kegiatan pengadaan;
(2) Menetapkan tim pendukung;
(3) Menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis
(aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas Pokja ULP; dan
(4) Menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada
penyedia barang/jasa.
c. Persyaratan Pejabat Pembuat Komitmen :
(1) Memiliki integritas;
(2) Memiliki disiplin tinggi;
(3) Memiliki tanggungjawab dan kualifikasi teknis serta manajerial
untuk melaksanakan tugas;
(4) Mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki
keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
(5) Menandatangani pakta integritas;
(6) Tidak menjabat sebagai Pejabat Penandatanganan Surat Perintah
Membayar (PPSPM) atau Bendahara; dan
(7) Memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
d. Dalam hal tidak ada personil yang memenuhi persyaratan untuk ditunjuk
sebagai PPK, maka persyaratan memiliki sertifikat dikecualikan untuk :
(1) PPK yang dijabat oleh pejabat eselon I dan II; dan/atau
(2) PA/KPA yang bertindak sebagai PPK.
f. Persyaratan Manajerial untuk ditetapkan sebagai PPK adalah :
(1) Berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan
bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan
pekerjaan.

68
(2) Memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara
aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan
barang/jasa.
(3) memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam
melaksanakan tugas/pekerjaannya.
(4) Dalam hal jumlah Pegawai Negeri Sipil pendidikan minimal S1
terbatas, dapat diganti dengan paling kurang golongan III/a atau
disetarakan dengan golongan III/a.
f. PPK dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani
kontrak dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran
atau tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkan
dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang
dibiayai dari APBN/APBD.
g. Dalam hal kegiatan pada SKPD tidak memerlukan KPA, maka PA
bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
h. Persyaratan tidak menjabat sebagai PPSPM dikecualikan untuk PA/KPA
yang bertindak sebagai PPK, karena PA/KPA menurut UU RI Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara juga merupakan
penanggungjawab anggaran, maka apabila PA/KPA bertindak selaku PPK
sesuai Permendagri 21 Tahun 2011 maka boleh tetap sebagai pengelola
keuangan;

3. Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan


Unit Layanan Pengadaan (ULP) adalah unit organisasi
Kementerian/Lembaga Pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat
berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
a. Pembentukan Unit Layanan Pengadaan adalah sebagai berikut :
(1) Unit Layanan Pengadaan (ULP) pada pemerintah daerah dibentuk
oleh Kepala Daerah;
(2) Perangkat ULP ditetapkan sesuai kebutuhan paling kurang terdiri
dari :
a) Kepala;
b) Ketatausahaan/Sekretariat; dan
c) Kelompok Kerja.
Dalam melaksanakan tugasnya Kepala ULP, Sekretaris ULP dapat
merangkap dan bertugas sebagai anggota Pokja ULP, dan Anggota
Pokja ULP dapat bertugas dan menjadi Pejabat Pengadaan di luar ULP.
b. Keanggotaan Kelompok Kerja ULP wajib ditetapkan untuk :
(1) Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya dengan nilai
diatas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

69
(2) Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai diatas Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
c. Anggota Kelompok Kerja ULP berjumlah gasal, beranggotakan paling
kurang 3 (tiga) orang dan dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas
pekerjaan.
d. Kelompok Kerja ULP dalam melaksanakan tugas pemilihan Penyedia
Barang/Jasa, dapat dibantu oleh tim atau tenaga ahli pemberi
penjelasan teknis.
e. ULP dapat mengusulkan Kelompok Kerja sesuai kebutuhan yang
ditetapkan oleh Pengguna Anggaran (PA).
f. Kepala ULP/Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
(1) memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas;
(2) memahami pekerjaan yang akan dilaksanakan;
(3) Memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas
ULP/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;
(4) memahami isi dokumen, metode dan prosedur pengadaan;
(5) memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa sesuai dengan
kompetensi yang dipersyaratkan; dan
(6) menandatangani Pakta Integritas
Persyaratan Sertifikasi Keahlian Pengadaan barang/Jasa pada huruf f
angka (5) dapat dikecualikan untuk Kepala ULP
g. Tugas pokok dan kewenangan Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
meliputi :
(1) Menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
(2) Menetapkan Dokumen Pengadaan;
(3) Menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;
(4) Mengumumkan pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa di website
Kementerian/lembaga/pemerintah Daerah/Institusi masing-masing
dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta
menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan
Nasional;
(5) Menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau
pascakualifikasi;
(6) Melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap
penawaran yang masuk;
h. Khusus untuk Kelompok Kerja ULP :
(1) Menjawab sanggahan;
(2) Menetapkan penyedia Barang/Jasa untuk :
a) Pelelangan atau Penunjukkan Langsung untuk paket Pengadaan

70
Barang/Pekerjaan Konstruksi Jasa Lainnya yang bernilai paling
tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah); atau
b) Seleksi atau Penunjukkan Langsung untuk paket Pengadaan
Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah);
c) Menyampaikan hasil pemilihan dan salinan Dokumen pemilihan
penyedia Barang/Jasa kepada PPK;
d) Menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
e) Membuat laporan mengenai proses Pengadaan kepada Kepala
ULP.
i. Khusus Pejabat Pengadaan
Pejabat pengadaan adalah personil yang memiliki sertifikat keahlian
pengadaan barang/jasa untuk melaksanakan Pengadaan Langsung,
Penunjukan langsung, dan E-Purchasing.
(1) Menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk :
a) Pengadaan Langsung atau Penunjukan Langsung untuk paket
Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang
bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
b) Pengadaan Langsung atau Penunjukan Langsung untuk paket
Pengadaan Jasa Konsultansi paling tinggi Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah);
(2) Menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan Dokumen Pemilihan
Penyedia Barang/Jasa kepada PPK;
(3) Menyerahkan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada
PA/KPA;
(4) Membuat laporan mengenai proses Pengadaan kepada PA/KPA.
(5) Memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan
Pengadaan barang/Jasa kepada PA/KPA.
j. Tugas pokok dan kewenangan Kepala ULP meliputi :
(1) Memimpin dan mengoordinasikan seluruh kegiatan ULP;
(2) Menyusun program kerja dan anggaran ULP;
(3) Mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa di ULP dan
melaporkan apabila ada penyimpangan dan/atau indikasi
penyimpangan;
(4) Membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan
Pengadaan Barang/Jasa kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala
Daerah/Pimpinan Institusi;
(5) Melaksanakan pengembangan dan pembinaan Sumber Daya
Manusia ULP;
(6) Menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Kelompok Kerja
sesuai dengan beban kerja masing-masing Kelompok Kerja ULP;

71
(7) Mengusulkan pemberhentian anggota Kelompok Kerja yang
ditugaskan di ULP kepada PA/KPA/Kepala Daerah, apabila terbukti
melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan/atau
KKN.
k. Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada huruf
g, dalam hal diperlukan Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dapat
mengusulkan kepada PPK :
(1) Perubahan HPS; dan/atau
(2) Perubahan spesifikasi teknis pekerjaan.
l. Kepala ULP/Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan berasal
dari Pegawai Negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya.
m. Dikecualikan dari ketentuan pada huruf l, untuk :
(1) Lembaga/Institusi Pengguna APBN/APBD yang memiliki
keterbatasan pegawai yang berstatus Pegawai Negeri, Kepala
ULP/Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dapat berasal
dari pegawai tetap Lembaga/Institusi Pengguna APBN/APBD yang
bukan Pegawai negeri.
(2) Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola, Kepala ULP/anggota
Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan dapat berasal dari bukan
Pegawai Negeri.
n. Dalam hal pengadaan Barang/Jasa bersifat khusus dan/atau
memerlukan keahlian khusus, Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
dapat menggunakan tenaga ahli yang berasal dari Pegawai Negeri atau
swasta.
o. Kepala ULP dan Anggota Kelompok Kerja ULP dilarang duduk sebagai :
(1) PPK;
(2) Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM);
(3) Bendahara; dan
(4) APIP, terkecuali menjadi Pejabat Pengadaan/anggota ULP untuk
Pengadaan Barang/Jasa yang dibutuhkan instansinya;
p. Ketentuan pembentukan, persyaratan, tugas pokok dan kewenangan
ULP/Kelompok Kerja ULP sebagaimana tercantum dalam Pasal 17
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Kepala
LKPP Nomor 5 Tahun 2012 tentang Unit Layanan Pengadaan.

4. Panitia /Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan


Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang
bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa
sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak.

72
Ketentuan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah sebagai berikut:
a. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan ditetapkan oleh PA/KPA;
b. Anggota Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan berasal dari pegawai
negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya.
c. Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan terdiri dari 1 (satu) orang.
d. Panitia Penerima Hasil Pekerjaan berjumlah gasal;
e. Susunan keanggotaan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan di SKPD
sekurang-kurangnya terdiri dari :
(1) Ketua merangkap anggota;
(2) Sekretaris merangkap anggota; dan
(3) Anggota.
f. Dikecualikan dari ketentuan pada huruf b, anggota Panitia/Pejabat
Pengadaan Hasil Pekerjaan pada Institusi lain pengguna APBN/APBD
atau Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola dapat berasal dari
bukan pegawai negeri.
g. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
(1) Memiliki intergritas, disiplin dan tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas;
(2) Memahami isi kontrak;
(3) Memiliki kualifikasi teknis;
(4) Menandatangani pakta intergritas; dan
(5) Tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah
Membayar (PPSPM) atau Bendahara.
h. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan mempunyai tugas pokok dan
kewenangan untuk :
(1) Melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/jasa
sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak;
(2) Menerima hasil pengadaan Barang/Jasa setelah melalui
pemeriksaan/pengujian; dan
(3) Membuat dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil
Pekerjaan.
i. Dalam hal pemeriksaan Barang/Jasa memerlukan keahlian teknis
khusus, dapat dibentuk tim/tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan
tugas Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
j. Tim/Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada huruf i ditetapkan oleh
PA/KPA.
q. Dalam hal pengadaan Jasa Konsultansi, pemeriksaan pekerjaan
sebagaimana dimaksud pada huruf h angka (1), dilakukan setelah
berkoordinasi dengan Pengguna Jasa Konsultansi yang bersangkutan.

73
III. TANDA BUKTI PERJANJIAN
Tanda Bukti Perjanjian pengadaan barang/jasa terdiri atas :
(1) Bukti Pembelian, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya
sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
(2) Kuitansi, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai
dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
(3) Surat Perintah Kerja (SPK), digunakan untuk pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi /Jasa Lainnya sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan untuk Jasa Konsultansi dengan nilai sampai dengan
Rp50.000.000,00
(4) Surat Perjanjian, digunakan untuk pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai diatas Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan untuk jasa konsultansi dengan nilai diatas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan
(5) Surat Pesanan digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa melalui E-
Purchasing dan pembelian secara online.

IV. PELAKSANAAN PENGADAAN MELALUI PENGADAAN LANGSUNG


Pengadaan barang/jasa dengan metode pengadaan langsung adalah
pengadaan barang/jasa langsung kepada Penyedia Barang/Jasa tanpa melalui
Pelelangan/Seleksi/Penunjukkan Langsung.
1) Pengadaan Langsung dapat dilakukan terhadap pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Kebutuhan operasional SKPD
b. Teknologi sederhana;
c. Resiko kecil; dan/atau
d. Dilaksanakan oleh penyedia Barang/Jasa usaha orang-perseorangan
dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket
pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi
oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil.
2) Pengadaan Langsung dilaksanakan berdasarkan harga yang berlaku di
pasar kepada Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya.
3) PA/KPA dilarang menggunakan metode Pengadaan Langsung sebagai
alasan untuk memecah paket Pengadaan menjadi beberapa paket dengan
maksud untuk menghindari pelelangan.
4) Pengadaan Langsung dapat dilakukan terhadap pengadaan Jasa
Konsultansi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
b. PA/KPA dilarang menggunakan metode Pengadaan Langsung sebagai

74
alasan untuk memecah paket Pengadaan menjadi beberapa paket
dengan maksud untuk menghindari seleksi.
Proses Pengadaan langsung dengan menggunakan bukti pembelian dan
Kuitansi dapat dilaksanakan sebagai berikut :
1. PPK memerintahkan kepada Pejabat Pengadaan untuk melakukan proses
Pengadaan Langsung yang harganya sudah pasti dan tidak perlu
dinegosiasi dengan nilai sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) berdasarkan spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh PPK, spesifikasi
teknis dimaksud mengacu pada DPA-SKPD masing-masing kegiatan dan
dapat dibuat satu kali dalam satu kegiatan atau sesuai dengan kebutuhan.
2. Pengadaan Langsung dilaksanakan berdasarkan harga yang berlaku di
pasar;
3. Pejabat Pengadaan dapat memerintahkan seseorang (PPTK/BPP/staf)
untuk melaksanakan Proses pengadaan langsung sebagai berikut :
a. Memesan barang sesuai dengan kebutuhan atau mendatangi langsung
ke Penyedia Barang/Jasa;
b. Melakukan kesepakatan harga;
c. Melakukan pembayaran;
d. Menerima barang;
e. Menerima bukti pembelian atau kuitansi;
f. Melaporkan kepada Pejabat Pengadaan.

V. DOKUMEN PENGADAAN LANGSUNG


1. Untuk Pengadaan Barang/Jasa sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) Dokumen yang digunakan adalah Bukti Pembelian, yang
memuat :
a. Identitas penyedia;
b. Nilai pembelian;
c. Jenis dan jumlah barang/jasa;
d. Nota pembelian ditandatangani dan dibubuhi stempel oleh penyedia
barang/jasa dan diketahui oleh PPK.
2. Untuk Pengadaan Barang/Jasa diatas Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dokumen
pengadaan yang digunakan adalah:
a. Surat permintaan proses pengadaan dari PPK kepada Pejabat
Pengadaan;
b. HPS dan Spesifikasi Teknis yang ditetapkan oleh PPK;
c. Jadual Pengadaan
(1) Survey harga
(2) BA. Survey harga
(3) Undangan pengadaan langsung/permintaan penawaran

75
(4) Pembukaan dan Evaluasi penawaran
(5) Klarifikasi dan Negosiasi harga
(6) Surat Pesanan
d. Kuitansi yang ditandatangani oleh penyedia barang/jasa dan PPK
diatas materai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pekerjaan yang tidak dapat menggambarkan hak dan kewajiban antara para
pihak dengan menggunakan Tanda Bukti Perjanjian berupa Kuitansi, walaupun
nilainya dibawah Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka Tanda Bukti
Perjanjian dapat menggunakan Surat Perintah Kerja (SPK).
Hal-hal lain yang berkenaan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang
belum diatur dalam Peraturan Bupati ini agar mengacu dan berpedoman pada
Perpres Nomor 54 tahun 2010 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.

II. PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM


1. Khusus untuk Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum, ketentuannya diatur dalam :
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk kepentingan Umum;
b. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
c. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 20 Tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Persiapan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Gubernur Jawa Timur Nomor 22 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis
Persiapan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum;
d. Peraturan Bupati Trenggalek yang mengatur tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk kepentingan Umum
2. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
dilaksanakan Pelaksana Pengadaan Tanah yang ditetapkan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari
5 (lima) hektar dilaksanakan oleh Pelaksana Pengadaan yang dibentuk
oleh Bupati;

76
b. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 5
(lima) hektar dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur selaku Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah.
3. Proses pencairan ganti rugi dalam bentuk uang dilaksanakan secara
langsung ke nomor rekening bank atas nama pihak yang berhak atas tanah
atau salah satu ahli waris yang sah dan tidak boleh melalui kuasa atau
perantara pihak manapun.

77
BAB VI
PEDOMAN TATA CARA PENYELENGGARAAN
BELANJA MODAL FISIK KONSTRUKSI DAN FISIK NON KONSTRUKSI
PEMERINTAH

Pedoman dan tata cara penyelenggaraan Belanja Modal fisik konstruksi dan
fisik non konstruksi pemerintah ini merupakan petunjuk pelaksanaan bagi para
penyelenggara pembangunan bangunan pemerintah, dalam hal pengendalian,
pelaksanaan pengoperasian dan pembiayaannya. Anggaran biaya pembangunan
tersedia dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang terdiri atas komponen biaya
konstruksi, perencanaan konstruksi, pengawasan konstruksi atau manajemen
konstruksi dan biaya pengelolaan kegiatan.

Pembangunan yang dimaksud dalam pedoman tata cara ini meliputi :


a. Pembangunan baru;
b. Perbaikan sebagian atau seluruhnya, maupun perluasan bangunan fisik yang sudah
ada, dan/atau lanjutan pembangunan fisik yang belum selesai; dan/atau
c. Perawatan dan pemeliharaan bangunan (rehabilitasi,renovasi,restorasi).

A. TAHAPAN PENGELOLAAN KEGIATAN


1. Tahap persiapan dan perencanaan konstruksi yang terdiri dari :
a. persiapan dan penetapan organisasi pengelola kegiatan;
b. penyiapan pemaketan pekerjaan, cara pengadaan dan strategi penyelesaian
Kegiatan;
c. rencana penganggaran biaya-biaya;
d. penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK).
2. Tahap Pelaksanaan Konstruksi yang terdiri dari :
a. pengadaan jasa konsultan perencana teknik;
b. pengadaan jasa konsultan pengawas teknik;
c. pengadaan jasa pemborongan dan sub pemborong;
d. pengendalian kegiatan pengawasan;
e. pengendalian kegiatan konstruksi dan penilaian atas kemajuan tahap
konstruksi;
f. penyusunan berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk pembayaran
angsuran dan berita acara lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan konstruksi;
g. penerimaan bangunan yang telah selesai dari pemborong dengan berita
acara.

78
B. BIAYA PEMBANGUNAN
Biaya Pembangunan adalah anggaran yang tersedia dalam APBD yang digunakan
untuk pelaksanaan pembangunan bangunan pemerintah (konstruksi) yang meliputi
komponen biaya :
1. Perencanaan Teknis Konstruksi;
2. Biaya Pengawasan Teknis Konstruksi;
3. Konstruksi Fisik; dan
4. Pengelolaan Kegiatan

1. Biaya Perencanaan Teknis Konstruksi


Yaitu komponen biaya pembangunan yang digunakan untuk membiayai
perencanaan bangunan konstruksi yang dilakukan oleh konsultan perencana
secara kontraktual dari hasil seleksi, pengadaan langsung dan penunjukan
langsung, pemilihan langsung atau penunjukan langsung pengadaan penyedia
jasa konsultansi.
Penggunaan biaya perencanaan selanjutnya diatur sebagai berikut :
a. biaya perencanaan ditetapkan dari hasil pengadaan penyedia jasa
konsultansi untuk pekerjaan perencanaan yang tercantum dalam dokumen
kontrak.
b. biaya perencanaan digunakan untuk :
1) honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang;
2) materi dan penggandaan laporan;
3) pembelian dan atau sewa peralatan untuk kepentingan perencanaan
dan pengawasan;
4) sewa kendaraan;
5) biaya rapat-rapat;
6) biaya perjalanan;
7) jasa dan over head;
c. tata cara pembayaran biaya perencanaan diatur sesuai tahapan
berdasarkan pada prestasi/kemajuan pekerjaan yang dicantumkan dalam
dokumen kontrak. Pelaksanaan prestasi/kemajuan pekerjaan tersebut
meliputi :
1) tahap konsep rancangan
2) tahap pra-rancangan
3) tahap pengembangan rancangan
4) tahap rancangan gambar detail dan penyusunan RKS serta RAB
5) tahap pelelangan
6) tahap pengawasan berkala
d. Pembayaran biaya jasa konsultansi dibayarkan setelah pekerjaan selesai
100% dari nilai kontrak atau dapat dibayarkan dengan cara tahap/termin
dari nilai kontrak sesuai yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak.

79
2. Biaya Pengawasan Teknis
Yaitu komponen biaya pembangunan yang digunakan untuk membiayai
pengawasan bangunan konstruksi yang dilakukan oleh konsultan pengawasan
secara kontraktual dari hasil pengadaan penyedia jasa konsultansi.
Penggunaan biaya pengawasan selanjutnya diatur sebagai berikut :
a. biaya pengawasan ditetapkan dari hasil pengadaan penyedia jasa
konsultansi untuk pekerjaan pengawasan yang tercantum dalam dokumen
kontrak.
b. biaya pengawasan digunakan untuk :
1) honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang;
2) materi dan penggandaan laporan;
3) pembelian dan atau sewa peralatan untuk kepentingan perencanaan
dan pengawasan;
4) sewa kendaraan;
5) biaya rapat-rapat;
6) biaya perjalanan;
7) jasa dan over head pengawasan;
c. tata cara pembayaran biaya pengawasan diatur sesuai tahapan berdasarkan
pada prestasi/kemajuan pekerjaan yang dicantumkan dalam dokumen
kontrak. Pelaksanaan prestasi/kemajuan pekerjaan tersebut meliputi :
1) tahap survey lapangan (uitzet)
2) tahap pengecekan bahan dan tenaga
3) tahap pengawasan lapangan
4) tahap pelaporan dan penyerahan.
d. Pembayaran biaya jasa konsultansi dibayarkan setelah pekerjaan selesai
100% dari nilai kontrak atau dapat dibayarkan dengan cara tahap/termin
dari nilai kontrak sesuai yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak.

3. Biaya Konstruksi Fisik


Yaitu komponen biaya pembangunan yang digunakan untuk membiayai
pelaksanaan konstruksi fisik bangunan yang dilaksanakan oleh pemborong
secara kontraktual dari hasil pengadaan penyedia barang/jasa.
Penggunaan biaya konstruksi fisik selanjutnya diatur sebagai berikut :
a. biaya konstruksi fisik ditetapkan dari hasil pengadaan penyedia barang/jasa
untuk pekerjaan yang bersangkutan dan dicantumkan dalam dokumen
kontrak.
b. biaya konstruksi fisik digunakan untuk :
1) pelaksanaan pekerjaan di lapangan (material, tenaga, dan alat);
2) jasa dan overhead;
3) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB);
4) pajak dan retribusi daerah;

80
5) biaya asuransi dan lain-lain selama pelaksanaan konstruksi.
c. tatacara pembayaran biaya konstruksi fisik dapat diatur secara bulanan atau
tahapan tertentu berdasar pada prestasi/kemajuan pekerjaan fisik di
lapangan yang dicantumkan dalam dokumen kontrak.
4. Biaya Pengelolaan Kegiatan
Yaitu komponen biaya pembangunan yang digunakan untuk membiayai
pengelolaan kegiatan yang dilaksanakan oleh pengelola kegiatan pembangunan
konstruksi.
Penggunaan biaya pengelolaan kegiatan diatur sebagai berikut :
a. biaya pengelolaan kegiatan digunakan untuk biaya operasional organisasi
pengelola kegiatan yang meliputi :
1) honorarium pengelola kegiatan berdasarkan ketentuan yang berlaku;
2) biaya proses pengadaan penyedia barang/jasa termasuk honorarium
panitia/pejabat pengadaan barang/jasa dan panitia penerima hasil
pekerjaan;
3) rapat-rapat yang dilaksanakan oleh pengelola kegiatan;
4) bahan dan alat atau ATK kegiatan yang bersangkutan;
5) penatausahaan kegiatan mulai dari tahap perencanaan sampai
penyerahan hasil kegiatan.
b. tatacara pembayaran biaya pengelolaan kegiatan dapat di atur setiap bulan
berdasarkan ketentuan penatausahaaan keuangan daerah.
5. Penetapan Biaya Perencanaan, Pengawasan dan Pengelolaan Kegiatan (P3K)
Dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran ini penetapan biaya perencanaan
pengawasan dan pengelolaan kegiatan diatur dengan berpedoman pada
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 45/PRT/M/2007 dan disesuaikan
dengan kondisi pelaksanaan pembangunan fisik konstruksi dan kondisi
kemampuan keuangan Kabupaten Trenggalek.
Penyesuaian terhadap pedoman tersebut dilandasi prinsip efisiensi penggunaan
anggaran dan prioritas pada pencapaian hasil pembangunan dengan tetap
memperhatikan efektifitas pelaksanaan pembangunan.
Berdasarkan hal tersebut maka penetapan biaya perencanaan, pengawasan
dan pengelolaan kegiatan diatur sebagaimana tercantum dalam Tabel 1 Biaya
Perencanaan, Pengawasan dan Pengelolaan Kegiatan Belanja Modal Bangunan
Pemerintah (Konstruksi).

C. TAHAPAN PEMBANGUNAN
1. Perencanaan Teknis Konstruksi
a. perencanaan teknis konstruksi merupakan tahap penyusunan rencana
teknis (disain) bangunan, termasuk yang penyusunannya dilakukan dengan
menggunakan disain berulang atau dengan disain prototipe, sampai dengan
penyiapan dokumen lelang.

81
b. penyusunan rencana teknis bangunan, dilakukan dengan menggunakan
penyedia jasa perencanaan konstruksi, baik perorangan ahli maupun badan
hukum yang kompeten, sesuai ketentuan yang berlaku dan apabila tidak
terdapat penyedia jasa perencanaan konstruksi yang bersedia, dapat
dilakukan oleh instansi Pekerjaan Umum/instansi teknis terkait.
c. rencana teknis disusun berdasarkan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang
disusun oleh Pengguna Anggaran (PA)
Dokumen rencana teknis bangunan secara umum meliputi :
1) gambar-gambar rencana teknis bangunan, seperti rencana arsitektur,
rencana struktur, dan rencana utilitas bangunan.
2) rencana kerja dan syarat (RKS), yang meliputi persyaratan umum,
administrasi dan persyaratan teknis bangunan yang direncanakan.
3) Rencana anggaran biaya pembangunan.
4) laporan akhir perencanaan, yang meliputi :
a) laporan arsitektur;
b) laporan perhitungan struktur termasuk laporan penyelidikan tanah
(soil test);
c) laporan perhitungan mekanikal dan elektrikal;
d) laporan perhitungan IT (Informasi & Teknologi);
e) laporan tata lingkungan.
5) Keluaran akhir tahap perencanaan meliputi dokumen perencanaan,
berupa : Gambar Rencana Teknis, Rencana Kerja dan Syarat-syarat
(RKS), Rencana anggaran biaya (Engineering Estimate), dan Daftar
Volume (Bill of Quantity) yang disususun sesuai ketentuan.
6) Penyusunan Kontrak Kerja Perencanaan Konstruksi dan Berita Acara
Kemajuan Pekerjaan/Serah Terima Pekerjaan Perencanaan disusun
dengan mengikuti ketentuan yang tercantum dalam Perpres nomor 54
tahun 2010 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Perpres nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan Standar Dokumen Bidding (SDB) dari Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
2. Pelaksanaan Konstruksi
a. pelaksanaan konstruksi merupakan tahap pelaksanaan mendirikan,
memperbaiki, dan atau memperluas bangunan, dan atau lanjutan bangunan
yang belum selesai, dan atau perawatan (rehabilitasi, renovasi, restorasi)
dilakukan dengan menggunakan penyedia jasa pelaksana konstruksi sesuai
ketentuan.
b. pelaksanaan konstruksi fisik dilakukan berdasarkan dokumen pelelangan
yang telah disusun oleh perencana konstruksi, dengan segala tambahan
dan perubahannya pada penjelasan pekerjaan pelelangan, serta ketentuan
teknis (pedoman dan standar teknis) yang dipersyaratkan.

82
c. pelaksanaan pekerjaan konstruksi fisik harus memperhatikan kualitas
masukan (bahan, tenaga dan alat), kualitas proses (tata cara pelaksanaan
pekerjaan), dan kualitas hasil pekerjaan. Kecuali terjadi perubahan
pekerjaan seperti yang tercantum dalam Rencana Kerja dan Syarat (RKS)
atau yang disepakati dan dicantumkan dalam berita acara, ketidaksesuaian
hasil pekerjaan dengan rencana teknis yang telah ditetapkan harus
dibongkar dan disesuaikan.
d. pelaksanaan konstruksi fisik harus mendapatkan pengawasan dari penyedia
jasa pengawasan konstruksi atau penyedia jasa manajemen konstruksi.
e. pelaksana pekerjaan konstruksi fisik juga harus memperhatikan ketentuan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang berlaku.
f. Penyedia Jasa sebelum mulai pekerjaan/kegiatan harus memberitahukan
kepada Pengguna Anggaran dengan tembusan Camat dan Kades setempat.
g. keluaran akhir yang harus dihasilkan pada tahap ini adalah :
 bangunan pemerintah yang sesuai dengan dokumen untuk pelaksanaan
konstruksi.
 dokumen hasil pelaksanaan konstruksi, meliputi :
1) gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (as built drawings).
2) semua berkas perizinan yang diperoleh pada saat pelaksanaan
konstruksi fisik, termasuk Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
3) kontrak pekerjaan pelaksanaan konstruksi fisik, pekerjaan pengawasan
beserta segala perubahan /addendumnya.
4) laporan harian, mingguan, bulanan yang dibuat selama pelaksanaan
konstruksi fisik, laporan akhir manajemen konstruksi/pengawasan, dan
laporan akhir pengawasan berkala.
5) berita acara perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah/kurang, serah
terima I dan II, pemeriksaan pekerjaan, dan berita acara lain yang
berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi fisik.
6) foto-foto dokumentasi pada setiap tahapan kemajuan pelaksanaan
konstruksi fisik yang diambil dari titik pengambilan gambar yang sama.
7) manual pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung, termasuk
petunjuk yang menyangkut pengoperasian dan perawatan peralatan dan
perlengkapan mekanikal-elektrikal bangunan.
h. penyusunan Kontrak Kerja Pelaksanaan Konstruksi dan Berita Acara
Kemajuan Pekerjaan/serah Terima Pekerjaan Pelaksanaan Konstruksi
maupun Pengawasan Konstruksi mengikuti ketentuan yang tercantum
dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
beserta aturan pelaksanaannya.
3. Pemeliharaan Konstruksi
a. pemeliharaan konstruksi adalah tahap uji coba dan pemeriksaan atas hasil
pelaksanaan konstruksi fisik yang telah diserahkan tahap pertama. Di dalam

83
masa pemeliharaan ini penyedia jasa pelaksana konstruksi berkewajiban
memperbaiki segala cacat atau kerusakan yang terjadi selama masa
pemeliharaan.
b. dalam masa pemeliharaan semua peralatan yang dipasang di dalam dan di
luar bangunan, harus diuji coba sesuai fungsinya. Apabila terjadi
kekurangan atau kerusakan yang menyebabkan peralatan tidak berfungsi,
maka harus diperbaiki sampai berfungsi dengan sempurna.
c. masa pemeliharaan konstruksi apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak
kerja pelaksanaan konstruksi, untuk pekerjaan permanen 6 (enam) bulan,
untuk pekerjaan semi permanen 3 (tiga) bulan dan masa pemeliharaan
dapat melampaui tahun anggaran terhitung sejak serah terima pertama
pekerjaan konstruksi.

D. PEMELIHARAAN/PERAWATAN BANGUNAN PEMERINTAH


1. Umur Bangunan
Umur bangunan adalah jangka waktu bangunan dapat tetap memenuhi fungsi
dan keandalan bangunan, sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
Untuk bangunan pemerintah umur bangunan gedung diperhitungkan 50 tahun.
2. Kerusakan Bangunan
Kerusakan bangunan adalah tidak berfungsinya bangunan atau komponen
bangunan akibat penyusutan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah
manusia atau perilaku alam seperti beban fungsi yang berlebih, kebakaran,
gempa bumi, atau sebab lainnya yang sejenis.
3. Perawatan Bangunan
Perawatan bangunan adalah usaha memperbaiki kerusakan yang terjadi agar
bangunan dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Perawatan
bangunan dapat digolongkan sesuai dengan tingkat kerusakan pada bangunan
yaitu :
a. perawatan tingkat kerusakan ringan;
b. perawatan tingkat kerusakan sedang;
c. perawatan tingkat kerusakan berat.
4. Pemeliharaan Bangunan
a. pemeliharaan bangunan adalah usaha mempertahankan kondisi bangunan
agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya atau dalam usaha
meningkatkan wujud bangunan, serta menjaga terhadap pengaruh
kerusakan yang meluas.
b. pemeliharaan bangunan juga merupakan, upaya untuk menghindari
kerusakan komponen / elemen bangunan akibat keusangan / kelusuhan /
keausan sebelum umurnya berakhir.
c. besarnya biaya pemeliharaan bangunan tergantung pada fungsi dan
klasifikasi bangunan. Biaya pemeliharaan per m² bangunan gedung setiap

84
tahunnya maksimum adalah sebesar 2% dari harga satuan per m² tertinggi
yang berlaku.
E. PENGENDALIAN DAN PELAPORAN
1. Pengendalian
a. pengendalian di tingkat kegiatan
1) dalam rangka pembinaan di lapangan, Pengguna Anggaran, Kuasa
Pengguna Anggaran, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan bertanggung
jawab terhadap kelancaran dan hasil kegiatan.
2) Kuasa Pengguna Anggaran mengadakan bimbingan terhadap kelancaran
kegiatan termasuk segi teknisnya.
3) Pengguna Anggaran berkewajiban melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan jadual kegiatan yang telah
ditentukan.
4) jika terdapat hambatan dalam pelaksanaan kegiatan, maka Pengguna
Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran, atas dasar laporan bulanan
harus menguraikan dan memberi solusi masalah - masalah yang timbul.
b. pengendalian di tingkat Kabupaten
1) mengendalikan pelaksanaan kegiatan tahun anggaran ini yang ada di
wilayah Kabupaten Trenggalek.
2) inventarisasi permasalahan pembangunan secara menyeluruh yang timbul
dan alternatif pemecahan masalahnya.
3) peningkatan pengawasan pelaksanaan kegiatan dalam rangka mencapai
- tepat waktu;
- tepat mutu dan jumlah;
- tepat administrasi;
- tepat sasaran dan tepat manfaat.
4) secara berkala diadakan evaluasi, baik fisik dan keuangan.
2. Pelaporan
a. Laporan harian, mingguan dan bulanan dibuat oleh penyedia jasa,
diperiksa oleh tim pengawas pekerjaan/kegiatan yang disetujui
oleh PPK.
b. Selanjutnya Pengguna Anggaran melaporkan kemajuan fisik dan keuangan
tiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada Bupati c.q.
Kepala Bagian Administrasi Pembangunan Setda Kabupaten Trenggalek.
d. Kepala Bagian Administrasi Pembangunan Setda sesuai dengan fungsinya
mengolah laporan tersebut sebagai bahan pengendalian, monitoring dan
evaluasi pelaksanaan kegiatan/pekerjaan.

F. BELANJA MODAL FISIK NON KONSTRUKSI


Adalah anggaran belanja yang tersedia dalam APBD yang digunakan untuk belanja
modal non bangunan pemerintah (non konstruksi) dan bersifat menambah aset

85
yang meliputi komponen biaya fisik non konstruksi dan biaya pengelolaan
kegiatan.
1. Biaya fisik non konstruksi
Yaitu komponen belanja modal yang digunakan untuk membiayai pengadaan
barang modal non bangunan pemerintah (non konstruksi) yang dilakukan oleh
penyedia barang secara kontraktual atau dilakukan oleh Pengguna
Barang/Pengguna Anggaran sesuai dengan peraturan pengadaan barang yang
berlaku.
2. Biaya pengelolaan kegiatan
Yaitu komponen belanja modal yang digunakan untuk membiayai pengelolaan
kegiatan pengadaan barang modal non bangunan pemerintah (non konstruksi)
yang dilaksanakan oleh pengelola kegiatan atau Pengguna Barang/Pengguna
Anggaran.
Penggunaan dan penetapan biaya pengelolaan kegiatan belanja modal non
bangunan pemerintah (non konstruksi) diatur sebagai berikut :
a. biaya pengelolaan kegiatan digunakan untuk biaya operasional organisasi
pengelola kegiatan yang meliputi :
1) honorarium pengelola kegiatan yang diatur berdasarkan peraturan yang
berlaku;
2) perjalanan dinas;
3) rapat-rapat;
4) bahan dan alat atau ATK kegiatan yang bersangkutan;
5) penatausahaan kegiatan mulai tahap perencanaan sampai penyerahan
hasil kegiatan;
6) biaya proses pengadaan penyedia barang termasuk honorarium
panitia/pejabat pengadaan dan panitia penerima hasil pekerjaan
b. penetapan biaya pengelolaan kegiatan belanja modal non bangunan
pemerintah (non konstruksi) diatur sebagaimana tercantum dalam Tabel II.
G. SERAH TERIMA PEKERJAAN
1. Setelah pekerjaan selesai 100% (seratus perseratus) sesuai dengan ketentuan
yang tertuang dalam kontrak, Penyedia barang/jasa mengajukan permintaan
secara tertulis kepada PA/KPA melalui PPK untuk penyerahan pekerjaan;
2. PA/KPA menunjuk Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan untuk melakukan
penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan;
3. Apabila terdapat kekurangan dalam hasil pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada angka 2, Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan melalui PPK
memerintahkan Penyedia barang/jasa untuk memperbaiki dan/atau melengkapi
kekurangan pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam Kontrak;
4. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan menerima penyerahan pekerjaan
setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak;
5. PPK menerima penyerahan pekerjaan setelah :

86
a. Seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak dan
diterima oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; dan
b. Penyedia menyerahkan sertifikat garansi kepada PPK (apabila diperlukan).
6. PPK menyerahkan seluruh hasil pekerjaan yang telah diterima dari
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan kepada PA/KPA dengan Berita Acara
Penyerahan Hasil Pekerjaan;
7. PA/KPA menyerahkan seluruh hasil pekerjaan yang diserahkan oleh PPK kepada
penyimpan barang dengan Berita Acara Penerimaan Barang;
8. Khusus pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya :
a. Penyedia pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya melakukan pemeliharaan atas
hasil pekerjaan selama masa yang ditetapkan dalam Kontrak, sehingga
kondisinya tetap seperti pada saat penyerahan pekerjaan;
b. masa pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen selama 6
(enam) bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 (tiga)
bulan; dan
c. masa pemeliharaan dapat melampaui Tahun Anggaran.
9. Setelah masa pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada huruf h berakhir, PPK
mengembalikan Jaminan Pemeliharaan/uang retensi kepada Penyedia
Barang/Jasa;
10. Khusus pengadaan barang, masa garansi diberlakukan sesuai kesepakatan para
pihak dalam Kontrak;
11. Penyedia Barang/Jasa menandatangani Berita Acara Serah Terima Akhir
Pekerjaan pada saat proses serah terima akhir (Final Hand Over);
12. Penyedia Barang/Jasa yang tidak menandatangani Berita Acara Serah Terima
Akhir Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada huruf k dimasukkan dalam Daftar
Hitam.
13. Serah Terima Pekerjaan Konstruksi
a. Dalam rangka penilaian hasil pekerjaan PPK menugaskan Panitia Penerima
Hasil Pekerjaan untuk melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang
telah diselesaikan oleh penyedia jasa selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
setelah diterimanya surat permintaan dari penyedia jasa. Apabila terdapat
kekurangan dan/atau cacat hasil pekerjaan, penyedia jasa wajib
menyelesaikan/memperbaiki, (khusus untuk kegiatan pembangunan jalan
wajib disertai dengan hasil laboratorium) kemudian Panitia Penerima Hasil
Pekerjaan melakukan pemeriksaan kembali dan apabila sudah sesuai
dengan ketentuan kontrak, maka dibuat berita acara penyerahan pertama
pekerjaan.
b. Setelah penyerahan pertama pekerjaan, Pejabat Pembuat Komitmen
membayar 100% (seratus persen) dari nilai kontrak, penyedia jasa
menyerahkan jaminan pemeliharaan sebesar 5% (lima persen) dari nilai
kontrak, PPK menyerahkan Jaminan Pelaksanaan kepada Penyedia Jasa.

87
c. Setelah masa pemeliharaan berakhir penyedia jasa mengajukan permintaan
secara tertulis kepada Pejabat Pembuat Komitmen untuk penyerahan akhir
pekerjaan.
d. Pejabat Pembuat Komitmen menerima penyerahan akhir pekerjaan setelah
penyedia jasa melaksanakan semua kewajibannya selama masa
pemeliharaan dengan baik, setelah diperiksa oleh Panitia Penerima Hasil
Pekerjaan dan telah dibuat berita acara penyerahan akhir pekerjaan.
H. LAIN-LAIN DALAM HAL SERAH TERIMA HASIL PEKERJAAN.
1. Berita acara serah terima hasil pekerjaan dinyatakan sah apabila telah
ditandatangani oleh Pejabat/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan. Dalam hal
terdapat anggota yang berhalangan dan tidak menandatangani Berita Acara
Serah Terima Hasil Pekerjaan, Berita Acara tersebut tetap dinyatakan sah
apabila ditandatangani sekurang-kurangnya lebih dari setengah jumlah anggota
panitia (Ketua/Anggota, Sekretaris/Anggota dan Anggota) serta Pihak Penyedia
Barang/Jasa. Anggota Panitia berhalangan dan tidak menandatangani Berita
Acara Penerimaan Hasil Pekerjaan pada saat melakukan penilaian hasil
pekerjaan, harus dibuatkan surat keterangan yang ditandatangani oleh ketua
atau sekretaris Panitia Penerima Hasil Pekerjaan.
2. Dalam melakukan penilaian hasil pekerjaan untuk pengadaan barang
diupayakan melibatkan Pengurus Barang/Pembantu pengurus Barang
unit/SKPD yang bersangkutan, dengan tujuan agar pendaftaran/pencatatan
barang yang akan menjadi inventaris sebagai Barang Milik Daerah dapat
dilakukan secara tepat waktu sesuai dengan metode pengakuan akuntansi,
sehingga diperoleh data barang yang up to date dan akurat.
3. Seluruh barang hasil pengadaan yang berasal dari penyedia barang dengan
nilai sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) diserahkan
langsung oleh Penyedia Barang/Jasa kepada Penyimpan Barang yang
dituangkan dalam Berita Acara Penerimaan Barang dan diketahui oleh
Pengguna Anggaran, khusus pengadaan barang inventaris meskipun nilainya
dibawah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan Pengadaan barang dengan
nilai diatas Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) penerimaan barang
dilaksanakan setelah diadakan penilaian hasil pekerjaan oleh Panitia/Pejabat
Penerima Hasil pekerjaan dan hasil penilaian pekerjaannya dituangkan dalam
Berita Acara Serah Terima Hasil pekerjaan.
F. PEMUTUSAN KONTRAK
1. PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila :
a. Kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya
kontrak;
b. Berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu
menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan
sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya

88
pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
c. Setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50
(lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan,
Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan;
d. Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya
dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan;
e. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau
pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang
berwenang; dan/atau
f. Pengaduaan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau
pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan barang/Jasa
dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.
2. a. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Pasal 93 ayat (1.a)
bahwa Pemberian kesempatan kepada Penyedia Barang/Jasa
menyelesaaikan pekerjaan sampai dengan 50 (limapuluh) hari kalender,
sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 huruf a dapat melampaui Tahun Anggaran.
b. Mengingat mekanisme penganggaran sisa pekerjaan melebihi tahun
anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a belum diatur oleh
Kementerian Dalam Negeri, maka di dalam pemberian kesempatan
penyelesaian pekerjaan (Addendum Kontrak) kepada penyedia diberikan
batasan waktu paling lama sampai dengan 2 hari sebelum tahun anggaran
berakhir;
3. Dalam hal pemutusaan kontrak dilakukan karena kesalahan penyedia
barang/jasa :
a. Jaminan pelaksanaan dicairkan;
b. Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa atau Jaminan
Uang Muka dicairkan;
c. Penyedia barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan
d. Penyedia barang/jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.
4. Dalam hal dilakukan pemutusan Kontrak secara sepihak oleh PPK karena
kesalahan penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada angka 1,
Kelompok Kerja ULP dapat melakukan Penunjukan Langsung kepada pemenang
cadangan berikutnya pada paket pekerjaan yang sama atau Penyedia
Barang/Jasa yang mampu dan memenuhi syarat.

G. BATAS AKHIR PENYELESAIAN PEKERJAAN DAN ADMINISTRASI


Untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari hasil pembangunan fisik konstruksi
dan non konstruksi, semua penyelesaian pekerjaan dan administrasi kegiatan
harus sudah selesai sebelum berakhirnya tahun anggaran.

89
BAB VII
GAJI DAN TUNJANGAN

A. PENGERTIAN UMUM
Untuk meningkatkan produktivitas dan menjamin kesejahteraan Aparatur
Sipil Negara (ASN), dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara ditegaskan bahwa ASN berhak memperoleh gaji yang adil dan layak
sesuai dengan beban kerja, tanggungjawab dan resiko pekerjaannya. Selain hal
tersebut ASN berhak memperoleh jaminan sosial dan Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 menyebutkan bahwa ASN berhak atas gaji dan tunjangan.
Selanjutnya pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN
dinyatakan bahwa :
1. Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS serta
menjamin kesejahteraan PNS.
2. Gaji dibayarkan sesuai dengan beban kerja, tanggungjawab, dan resiko
pekerjaan.
3. Gaji sebagaimana dimaksud di atas pelaksanaanya dilakukan secara bertahap.
4. Gaji PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja negara.
5. Gaji PNS yang bekerja pada pemerintah daerah dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
Selain gaji, PNS juga menerima tunjangan dan fasilitas. Tunjangan
dimaksud meliputi tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan. Tunjangan kinerja
dibayarkan sesuai pencapaian kinerja dan Tunjangan kemahalan dibayarkan sesuai
dengan tingkat kemahalan berdasarkan indeks harga yang berlaku di daerah
masing-masing. Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan
pada anggaran pendapatan dan belanja negara, sedang Tunjangan PNS yang
bekerja pada pemerintah daerah dibebankan pada anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
Penggajian PNS didasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
2015 tentang Perubahan Ketujuh Belas Atas Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun
1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, dimana untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna serta kesejahteraan PNS perlu dilakukan kenaikan gaji
PNS. Yang dimaksud dengan ”gaji” adalah kompensasi dasar berupa honorarium
sesuai dengan beban kerja, tanggungjawab jabatan dan resiko pekerjaan yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Gaji pegawai dan tunjangan yang melekat pada gaji adalah penghasilan
yang diterima oleh PNS yang telah diangkat oleh pejabat yang berwenang dengan
surat keputusan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pembayaran gaji pegawai
tersebut diberikan kepada pegawai setiap awal bulan sebelum yang bersangkutan
melaksankan tugasnya.

90
Sistem penggajian yang dianut untuk PNS adalah sistem skala tunggal
digabung dengan skala ganda atau sistem skala gabungan. Dengan sistem
penggajian semacam ini, negara memberikan gaji sama kepada pegawai yang
berpangkat sama dan diberikan tunjangan jabatan kepada PNS yang memikul
tanggung jawab atau melakukan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan
ketrampilan khusus.

B. KOMPONEN YANG MELEKAT PADA GAJI SEBAGAI BELANJA WAJIB


1. Gaji Pokok
Gaji Pokok adalah hak gaji yang timbul atas pengangkatan Calon Pegawai
Negeri Sipil oleh pejabat yang berwenang mulai berlaku pada tanggal yang
bersangkutan secara nyata melaksanakan tugasnya yang dinyatakan dengan
surat pernyataan oleh kepala satuan kerja/unit kerja yang bersangkutan
dengan catatan tidak berlaku surut sebelum tanggal surat keputusan
pengangkatan sebagai CPNS. Besaran gaji pokok PNS diatur dalam daftar
skala gaji yang terinci menurut golongan dan ruang serta masa kerja golongan
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, khusus bagi Calon Pegawai
Negeri Sipil diberikan gaji pokok yang besarnya 80 % dari gaji pokok pada
daftar skala gaji tersebut.
Gaji pokok Pegawai Negeri akan mengalami kenaikan skala gajinya sehubungan
dengan bertambahnya masa kerja, kenaikan gaji istimewa karena penghargaan
dan kenaikan pangkat serta perubahan akibat penyesuaian gaji pokok
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
a. Kenaikan Gaji Berkala
Seorang Pegawai Negeri Sipil (termasuk CPNS) apabila telah mencapai
masa kerja tertentu serta memenuhi persyaratan nilai Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dibidang tugas pekerjaannya, berhak untuk
memperoleh kenaikan gaji secara berkala.
Tata cara pemberian kenaikan gaji berkala dan hak pembayarannya adalah
sebagai berikut:
1) Pemberian kenaikan gaji berkala dilakukan dengan surat pemberitahuan
oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah/Kepala Satuan Kerja (Dinas
Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah, Dinas Pertanian, Kehutanan
dan Perkebunan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) setempat atas
nama Pejabat yang berwenang;
2) Penundaan kenaikan gaji berkala ditetapkan dengan surat keputusan
oleh pejabat yang berwenang.
b. Kenaikan Gaji Istimewa
Kenaikan gaji istimewa diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang
berdasarkan penilaian prestasi kerja sebagaimana tertuang dalam Sasaran
Kerja Pegawai (SKP) memiliki nilai angka terhadap capaian SKP Sangat Baik

91
(> 90). Pemberian kenaikan gaji istimewa didasarkan atas keputusan
pejabat pembina kepegawain.
c. Kenaikan Pangkat
Kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas pengabdian PNS
yang bersangkutan terhadap Negara. Selain dari pada itu, kenaikan pangkat
juga dimaksudkan sebagai dorongan kepada PNS untuk lebih meningkatkan
pengabdiannya. Oleh karena itu kenaikan pangkat diberikan pada orang
yang tepat dan tepat waktunya.
Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam suatu pangkat yang lebih
tinggi dari pangkat lama, diberikan gaji pokok baru berdasarkan pangkat
baru yang segaris dengan gaji pokok dan masa kerja golongan dalam
golongan ruang menurut pangkat lama.
2. Tunjangan Keluarga
Disamping gaji pokok, Pegawai Negeri Sipil yang telah berkeluarga berhak
memperoleh tunjangan keluarga, meliputi :
a. Tunjangan Istri/Suami
Tunjangan istri/suami adalah adalah tunjangan yang diberikan kepada
pegawai negeri yang beristeri/suami. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan tunjangan isteri/suami adalah :
1) diberikan untuk 1 (satu) istri/suami pegawai negeri yang sah;
2) besarnya tunjangan isteri/suami adalah 10 % dari gaji pokok;
3) tunjangan isteri/suami diberhentikan pada bulan berikutnya setelah
terjadi perceraian atau meninggal dunia;
4) untuk memperoleh tunjangan isteri/suami harus dibuktikan dengan
surat nikah/akta nikah dari Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan
Sipil.
b. Tunjangan Anak
Yang dimaksud dengan tunjangan anak adalah tunjangan yang diberikan
kepada pegawai negeri yang mempunyai anak (anak kandung, anak tiri dan
anak angkat) dengan ketentuan :
1) belum melampaui batas usia 21 tahun;
2) tidak atau belum pernah menikah;
3) tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan
4) nyata menjadi tanggungan pegawai negeri yang bersangkutan.
Selain hal tersebut ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tunjangan
anak adalah :
1) diberikan maksimal untuk 2 (dua) orang anak;
2) dalam hal pegawai negeri pada tanggal 1 Maret 1994 telah memperoleh
tunjangan anak untuk lebih dari 2 (dua) orang anak, kepadanya tetap
diberikan tunjangan anak untuk jumlah menurut keadaan pada tanggal
tersebut. Apabila setelah tanggal tersebut jumlah anak yang

92
memperoleh tunjangan anak berkurang karena menjadi dewasa, kawin
atau meninggal, pengurangan tersebut tidak dapat digantikan, kecuali
jumlah anak menjadi kurang dari dua;
3) besarnya tunjangan anak adalah 2 % per anak dari gaji pokok;
4) tunjangan anak diberhentikan pada bulan berikutnya setelah tidak
memenuhi ketentuan pemberian tunjangan anak atau meninggal dunia;
5) Pegawai wajib melaporkan bahwa anak yang masuk dalam tanggungan
pegawai tersebut telah tidak memenuhi ketentuan pemberian tunjangan
anak atau meninggal dunia;
6) batas usia anak seperti tersebut diatas dapat diperpanjang dari usia 21
tahun sampai usia 25 tahun, apabila anak tersebut masih bersekolah
dengan ketentuan sebagai berikut:
(a) dapat menunjukan surat pernyataan dari kepala sekolah/kursus/
perguruan tinggi bahwa anak tersebut masih sekolah/kursus/kuliah;
(b) masa pelajaran pada sekolah/kursus/perguruan tinggi tersebut
sekurang-kurangnya satu tahun;
(c) tidak menerima beasiswa.
7) Untuk memperoleh tunjangan anak harus dibuktikan dengan:
(a) Surat Keterangan Kelahiran Anak dari pejabat yang berwenang pada
Kantor Catatan Sipil/lurah/camat setempat;
(b) Surat Keputusan Pengadilan yang memutuskan/mensahkan
perceraian dimana anak menjadi tanggungan penuh janda/duda
untuk tunjangan anak tiri bagi janda/duda yang bercerai;
(c) Surat Keterangan dari lurah/camat bahwa anak-anak tersebut adalah
perlu tanggungan si janda/duda untuk tunjangan anak tiri bagi
janda/duda yang suami/isterinya meninggal dunia;
(d) Surat Keputusan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak
(hukum adopsi) untuk tunjangan anak bagi anak angkat (apabila
pegawai mengangkat anak lebih dari 1 anak angkat, maka
pembayaran tunjangan anak untuk anak angkat maksimal 1 anak).
8) Untuk tunjangan anak tiri/anak angkat dibayarkan mulai bulan
diterimanya surat kelahiran oleh satuan kerja/pejabat administrasi
belanja pegawai (pembayaran tunjangan anak tiri/anak angkat tidak
berlaku surut) dengan syarat :
(a) ayah yang sebenarnya dari anak tersebut telah meninggal dunia
yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dari pamong praja
(serendah-rendahnya camat);
(b) ayah yang sebenarnya dari anak tersebut bukan pegawai negeri dan
tunjangan anak untuk anak-anak itu diberikan kepada ayahnya yang
harus dibuktikan dengan surat keterangan dari kantor tempat
ayahnya bekerja;

93
(c) anak tersebut tidak lagi menjadi tanggungan ayahnya yang
dibuktikan dengan surat keputusan dari pengadilan negeri bahwa
anak tersebut telah diserahkan sepenuhnya kepada ibu dari anak
tersebut dan disahkan oleh pamong praja (serendah-rendahnya
camat)
9) Dalam hal tunjangan keluarga, setiap PNS wajib melaporkan status
susunan keluarganya tiap kali terjadi perubahan, disamping laporan
rutin di setiap awal tahun anggaran.
3. Tunjangan Beras
Yang dimaksud dengan tunjangan beras adalah tunjangan beras yang diberikan
kepada pegawai negeri dan anggota keluarganya dalam bentuk natura (beras)
atau dalam bentuk inatura (uang) dengan besaran sesuai ketentuan yang
berlaku.
Ketentuan-ketentuan mengenai tunjangan beras diatur sebagai berikut :
a) tunjangan beras diberikan kepada pegawai negeri dalam bentuk natura
(beras) atau inatura (uang);
b) besaran tunjangan beras kepada pegawai negeri sipil diberikan sebanyak 10
kg/orang/bulan, atau setara itu yang diberikan dalam bentuk uang dengan
besaran harga beras per kg nya ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c) besaran tunjangan beras kepada anggota keluarga pegawai negeri sipil
diberikan sebanyak 10 kg/orang/bulan atau setara itu yang diberikan dalam
bentuk uang dengan besaran harga beras per kg nya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan;
d) banyaknya jumlah orang yang dapat diberikan tunjangan beras adalah
pegawai yang bersangkutan ditambah jumlah anggota keluarga yang
tercantum dalam daftar gaji.
4. Tunjangan Jabatan Struktural
Tunjangan Jabatan Struktural adalah tunjangan jabatan yang diberikan kepada
pegawai negeri yang menduduki jabatan struktural sesuai dengan peraturan
perundangan dan ditetapkan dengan surat keputusan dari pejabat yang
berwenang, dengan ketentuan :
a) besaran tunjangan jabatan struktural dibedakan menurut tingkat eselon
jabatan berdasarkan Peraturan Pemerintah, yang terakhir diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan
Struktural;
b) tunjangan jabatan struktural sekaligus menentukan perpanjangan batas
usia pensiun bagi pegawai yang bersangkutan sesuai dengan peraturan
yang berlaku;
c) tunjangan jabatan struktural dibayarkan pada bulan berikutnya setelah
tanggal pelantikan. Apabila pelantikan dilaksanakan pada tanggal 1 bulan
berkenaan atau tanggal berikutnya apabila tanggal 1 bertepatan pada hari

94
libur maka tunjangan jabatan struktural dibayarkan pada bulan berkenaan;
d) pembayaran tunjangan jabatan struktural dihentikan terhitung mulai bulan
berikutnya sejak pegawai negeri yang bersangkutan:
1) tidak lagi menduduki jabatan struktural;
2) diberhentikan sementara;
3) dijatuhi hukuman disiplin berupa pembebasan dari jabatan;
4) sedang menjalani cuti diluar tanggungan negara (kecuali cuti diluar
tanggungan negara karena persalinan anak ke-1 dan ke-2);
5) dijatuhi hukuman penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
6) dibebaskan dari tugas jabatannya selama lebih dari 6 bulan;
contoh :
Seorang Pegawai BPKAD Drs. Unang Baskara NIP.19700101 199401 1
006 ditugaskan untuk mengikuti pendidikan program Magister selama 2
(dua) tahun terhitung mulai tanggal 1 September 2012.
Dalam hal demikian, maka mulai Bulan Oktober 2012 pembayaran
tunjangan jabatan struktural diberhentikan.
7) sedang menjalani cuti besar.
e) tunjangan jabatan struktural bagi pegawai negeri yang diangkat dan dilantik
dalam jabatan struktural di luar satuan unit penggajiannya, maka yang
berkewajiban mengajukan permintaan tunjangan jabatan struktural adalah
satuan kerja unit penggajian instansi dimana PNS tersebut menduduki
jabatan struktural.
Contoh :
Seorang PNS BKD bernama Muchdir, SH NIP.19651006 198702 1 012
dipekerjakan pada KPUD Kabupaten Trenggalek diangkat dan dilantik dalam
jabatan Sekretaris KPUD (eselon IIIa).
Dalam hal demikian, gaji Sdr. Muchdir, SH dibayarkan oleh BKD, sedangkan
tunjangan jabatan strukturalnya dibayarkan oleh KPUD.
5. Tunjangan Jabatan Fungsional
Tunjangan jabatan fungsional adalah tunjangan jabatan yang diberikan kepada
pegawai negeri yang menduduki jabatan fungsional sesuai dengan peraturan
perundangan dan ditetapkan dengan surat keputusan dari pejabat yang
berwenang menurut peraturan perundang-undangan, dengan ketentuan:
a) besaran tunjangan jabatan fungsional dibedakan berdasarkan Peraturan
Presiden;
b) bagi PNS yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat
merangkap jabatan fungsional dan struktural, hanya diberikan satu
tunjangan jabatan yang menguntungkan baginya;
c) tunjangan jabatan fungsional sekaligus menentukan perpanjangan batas
usia pensiun bagi pegawai yang bersangkutan sesuai peraturan yang

95
berlaku;
d) tunjangan jabatan fungsional dibayarkan pada bulan berikutnya setelah
tanggal melaksanakan tugas. Apabila tanggal melaksanakan tugas terhitung
mulai tanggal 1 bulan berkenaan atau tanggal berikutnya apabila tanggal 1
bertepatan pada hari libur maka tunjangan jabatan fungsional dibayarkan
pada bulan berkenaan;
e) tunjangan jabatan fungsional tidak dapat berlaku surut dari tanggal
penetapan keputusan pengangkatan dalam jabatan fungsional;
f) pembayaran tunjangan jabatan fungsional dihentikan terhitung mulai bulan
berikutnya sejak pegawai negeri yang bersangkutan:
1) tidak lagi menduduki jabatan fungsional
2) diberhentikan sementara
3) dijatuhi hukuman disiplin berupa pembebasan dari jabatan
4) sedang menjalani cuti diluar tanggungan negara (kecuali cuti di luar
tanggungan negara karena persalinan anak ke-1 dan ke-2)
5) dijatuhi hukuman penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
6) dibebaskan dari tugas jabatannya selama lebih dari 6 bulan (dihentikan
terhitung mulai bulan ketujuh).
Contoh :
Seorang pejabat fungsional untuk mengikuti tugas belajar mulai tanggal
1 Nopember 2012 s.d 30 April 2014. Pejabat fungsional tersebut
dinyatakan bekerja kembali terhitung mulai tanggal 10 Juli 2014.
Dalam hal ini :
- tunjangan jabatan fungsional untuk bulan Nopember 2012 s.d April
2013 tetap dibayarkan;
- tunjangan jabatan fungsional diberhentikan terhitung mulai bulan Mei
2013 sampai Juli 2014;
- Tunjangan jabatan fungsional dibayarkan kembali mulai bulan Agustus
2014 dan seterusnya, berdasarkan keputusan pengangkatan kembali
dalam jabatan fungsional dan SPMT.
7) sedang menjalani cuti besar.
g) tunjangan jabatan fungsional dibuktikan dengan surat pernyataan
melaksakan tugas;
h) untuk kepastian pembayaran tunjangan jabatan fungsional, setiap awal
tahun anggaran pejabat yang berwenang diharuskan membuat surat
pernyataan masih menduduki jabatan;
i) tunjangan jabatan fungsional bagi pegawai negeri yang diperbantukan,
dibayarkan oleh instansi tempat pegawai negeri yang bersangkutan
bekerja;
j) tunjangan jabatan fungsional bagi pegawai negeri yang dipekerjakan tetap

96
dibayarkan oleh instansi induknya.
6. Tunjangan Yang Dipersamakan Dengan Tunjangan Jabatan
Ketentuan tentang tunjangan yang dipersamakan dengan tunjangan jabatan
pada dasarnya sama dengan tunjangan jabatan fungsional. Namun karena
tunjangan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga tidak dapat dimasukkan
sebagai tunjangan jabatan fungsional. Tunjangan yang dipersamakan dengan
tunjangan jabatan meliputi Tunjangan Tenaga Kependidikan dan tunjangan
jabatan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
7. Tunjangan Kompensasi Kerja (Risiko Bahaya atas Pekerjaan)
Tunjangan Risiko tidak dapat digolongkan ke dalam Tunjangan Struktural
maupun Fungsional. Tunjangan ini diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang
dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya dituntut tanggungjawab yang tinggi
namun senantiasa dihadapkan dengan dampak resiko bahaya kesehatan atas
dirinya sehingga kepada pegawai tersebut diberikan kompensasi. Jenis-jenis
tunjangan kompensasi kerja antara Tunjangan Bahaya Radiasi bagi Pekerja
Radiasi, Tunjangan Pengamanan Persandian, dan tunjangan lain yang sejenis
dengan tunjangan kompensasi/bahaya yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.
8. Tunjangan Umum
Tunjangan Umum adalah tunjangan yang diberikan kepada Pegawai Negeri
Sipil (termasuk CPNS) yang tidak menerima Tunjangan Jabatan Struktural atau
Tunjangan Jabatan Fungsional atau tunjangan yang dipersamakan dengan
tunjangan jabatan dan diberikan setiap bulan diberlakukan terhitung mulai
tanggal 1 Januari 2006.
Selain ketentuan tersebut, Tunjangan Umum diberikan pula kepada Calon
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan sebagai Guru berlaku
setelah tanggal 11 Mei 2006, dan dihentikan pembayarannya pada saat yang
bersangkutan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil atau menerima Tunjangan
Tenaga Kependidikan.
Pembayaran Tunjangan Umum dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan :
a. menerima tunjangan jabatan struktural atau tunjangan jabatan fungsional;
b. menerima tunjangan yang dipersamakan dengan tunjangan jabatan;
c. menjalani cuti besar atau cuti di luar tanggungan negara (kecuali karena
persalinan anak ke-1 dan ke-2);
d. berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil;
e. diberhentikan dari jabatan organik;
f. diberhentikan sementara dari jabatan negeri;
g. menjalani masa bebas tugas/masa persiapan pensiun;
h. menjalani masa uang tunggu;
i. menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;

97
j. dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
9. Tunjangan Perbaikan Penghasilan
Dalam rangka meningkatkan mutu, prestasi kerja, serta mencapai daya guna
dan hasil guna yang sebesar-besarnya Pemerintah dapat memberikan
Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) untuk periode tertentu. TPP dapat
berupa tambahan penghasilan sebesar persentase tertentu atas Gaji Pokok
ditambah Tunjangan Keluarga, atau besaran nilai nominal tertentu yang
ditambahkan pada gaji kotor. Ketentuan tentang tunjangan perbaikan
penghasilan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10. Tunjangan PPh
Pegawai Negeri Sipil diberikan tunjangan pajak sebesar Pajak Penghasilan yang
terhutang atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya yang
dibebankan kepada Keuangan Negara. Pemberian tunjangan atas kewajiban
pajak penghasilan ini adalah dalam rangka meningkatkan kesadaran wajib
pajak di lingkungan pemerintahan dan menjadi teladan bagi wajib pajak
lainnya. Perihal tata cara perhitungan dan pemotongan PPh 21 mengacu pada
ketentuan perpajakan.
11. Pembulatan
Untuk memudahkan penyelesaian administrasi pembayaran gaji pegawai, maka
dalam perhitungan pembayaran gaji diadakan pembulatan. Angka pembulatan
sebagai salah satu unsur perhitungan penghasilan bruto yang harus
dicantumkan pada lajur yang telah tersedia dalam daftar gaji. Angka
pembulatan dicantumkan agar gaji yang diterima pegawai jumlah bersihnya
menjadi bulat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Unsur penghasilan diadakan pembulatan ke atas menjadi satuan rupiah (Rp
1,00);
b. Unsur potongan diadakan pembulatan ke bawah menjadi nol rupiah (Rp
0,00);
c. Jumlah akhir dibulatkan ke atas menjadi ratusan rupiah (Rp 100,00).

C. TUNJANGAN YANG TIDAK MELEKAT PADA GAJI


1. Tambahan Penghasilan
Pemerintah Daerah memberikan tambahan penghasilan Pegawai Negeri Sipil
dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja
atau tempat bertugas, kondisi kerja dan pertimbangan obyektif lainnya.
Kriteria pemberian tambahan penghasilan tersebut telah ditetapkan dengan
Peraturan Bupati tersendiri.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian tambahan penghasilan untuk
PNS/CPNS sebagai berikut :

98
a. Berbeda dengan pembayaran gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji,
tambahan penghasilan baru dapat dibayarkan paling cepat pada awal bulan
berikutnya setelah pegawai yang bersangkutan selesai melaksanakan
pekerjaannya dan tidak bisa dibayar lintas tahun anggaran.
b. Tambahan Penghasilan diberikan setiap bulan dalam bentuk uang dan
bersifat Lumpsum yang besarnya sesuai yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Bupati yang mengatur pemberian tambahan penghasilan
dimaksud.
c. Pegawai Negeri Sipil/CPNS tidak diperbolehkan menerima tunjangan
Tambahan Penghasilan lebih dari satu jenis tambahan penghasilan.
3. Prosedur dan Tata Cara Pembayaran Tambahan Penghasilan :
a. Pembayaran Tambahan Penghasilan dilakukan dengan mekanisme
pembayaran langsung dan dapat diajukan untuk beberapa bulan sekaligus
setelah bulan berjalan, khusus untuk pembayaran Bulan Desember diajukan
pada bulan berkenaan;
b. Pembayaran Tambahan Penghasilan dikenakan pajak penghasilan (PPh)
Pasal 21 sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c. Pengajuan Tambahan Penghasilan untuk penerbitan Surat Perintah
Membayar Langsung (SPM-LS) dilengkapi dengan :
1) Keputusan Pengguna Anggaran tentang Penerima Tambahan
Penghasilan;
2) Daftar Penerimaan Tambahan Penghasilan;
3) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak;
4) Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 21.

D. POTONGAN–POTONGAN YANG MELEKAT PADA GAJI


1. Iuran Wajib Pegawai Negeri Sipil
Kepada PNS dipungut iuran sebesar 10 % dari penghasilan (gaji pokok +
tunjangan keluarga) setiap bulan dengan rincian :
- 4,75 % untuk dana pensiun;
- 2% untuk iuran pemeliharaan kesehatan;
- 3,25 % untuk iuran tabungan hari tua serta perumahan.

Potongan ini di kelola PT. Taspen (Persero) yang bertujuan memberikan


jaminan pada masa pensiun, asuransi kematian, dan nilai tunai asuransi
sebelum pensiun dengan memberikan suatu jumlah sekaligus (lumpsum)
kepada peserta atau ahli warisnya, di samping pembayaran bulanan dari
pensiun yang bersangkutan.
2. Tabungan Perumahan
Tabungan Perumahan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan Pegawai
Negeri Sipil dalam sektor perumahan dengan cara menghimpun dana melalui

99
potongan/ tabungan wajib PNS, yaitu berupa :
- Bantuan Uang Muka (BUM)
- Pengembalian Tabungan (PT) bagi PNS yang tidak memanfaatkan bantuan
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran No.SE-9/A/56/0193
besarnya potongan dibedakan menurut golongan/pangkat PNS, yaitu :
- Golongan I Rp 3.000
- Golongan II Rp 5.000
- Golongan III Rp 7.000
- Golongan IV Rp 10.000
Potongan Taperum dikelola oleh BAPERTARUM yang bertujuan agar PNS aktif
dapat memanfaatkan fasilitas bantuan memiliki rumah. Bantuan diberikan
sepanjang PNS dapat memenuhi persyaratan utama yaitu minimal masa kerja
5 tahun dan belum menggunakan TAPERUM-PNS, serta syarat lain yang telah
ditetapkan.
3. Potongan PPh
Setiap PNS yang mempunyai penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) dikenakan PPh Pasal 21 dan ditanggung oleh Pemerintah. Pemungutan
dan penyetoran serta pelaporan PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS dilakukan
oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu Gaji.

E. PEMBAYARAN GAJI
1. Gaji Induk
Gaji Induk/gaji bulanan adalah gaji yang diterima setiap bulan oleh CPNS/PNS
melalui Bendahara Pengeluaran Pembantu Gaji yang bersangkutan. Gaji induk
dibayarkan setiap tanggal 1 (satu) atau awal bulan berkenaan. Pembayaran
gaji induk untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), hak atas gajinya berlaku
pada bulan CPNS yang besangkutan secara nyata melaksanakan tugas, yang
dinyatakan dengan surat pernyataan atasan langsung yang membawahi calon
pegawai negeri sipil bersangkutan.
Pada gaji induk terdapat kemungkinan terjadinya mutasi, yaitu :
a. mutasi bertambah dan berkurangnya pegawai;
b. mutasi kenaikan pangkat atau kenaikan gaji berkala dari satu atau lebih
pegawai;
c. mutasi bertambah/berkurangnya susunan keluarga dari masing-masing
pegawai dan lain-lain.
2. Gaji Susulan
Yang dimaksud gaji susulan adalah gaji seseorang pegawai negeri yang belum
dibayarkan untuk satu bulan atau lebih karena pembayaran gajinya tidak
dilakukan tepat pada waktu pegawai yang bersangkutan melaksanakan tugas
pada suatu tempat. Gaji Susulan dapat berupa gaji pertama bagi calon pegawai
negeri sipil/pegawai negeri sipil dan gaji pegawai yang dipindahkan karena

100
dinas, atau pegawai yang karena kasus tertentu dihentikan pembayaran
gajinya kemudian harus dibayarkan lagi gaji yang sempat dihentikan tersebut.
Pembayaran gaji susulan dapat dilakukan sebelum dimintakan gaji bulanannya
atau setelah dibayarkan gaji bulanannya.
Persyaratan pengajuan Gaji Susulan CPNS adalah sebagai berikut :
a. Fotocopy Keputusan Pengangkatan CPNS;
b. Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas (SPMT);
c. Surat Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga (SKUMTK)
/KP.4/Model C untuk menetapkan besarnya tunjangan keluarga yang dapat
dibayarkan oleh Negara, dengan didukung oleh Akta Nikah sepanjang yang
bersangkutan telah menikah dan Akta Kelahiran sepanjang yang
bersangkutan telah mempunyai anak.
d. SKPP (bagi Pegawai Negeri Sipil pindahan dari daerah/SKPD lain).
3. Gaji Kekurangan
Yang dimaksud dengan gaji kekurangan adalah kekurangan pembayaran gaji
seseorang pegawai negeri karena adanya kenaikan besaran komponen gaji,
sedangkan pembayaran gajinya atas dasar kenaikan besaran komponen gaji
tersebut tidak dilaksanakan tepat waktunya sesuai dengan berlakunya
perubahan besaran komponen penghasilan tersebut. Kenaikan besaran
komponen gaji ditetapkan dengan surat penetapan/keputusan seperti kenaikan
pangkat, gaji berkala, penyesuaian harga beras, dan lain-lain.
Ketentuan yang menyangkut pembayaran gaji kekurangan sebagai berikut :
a. Disusun dalam suatu daftar tersendiri/terpisah dari gaji induk yang berisi
pegawai yang berhak atas pembayaran kekurangan gaji pada satuan kerja
bersangkutan dengan perhitungan selisih antara penghasilan yang
seharusnya diterima dengan penghasilan yang telah dibayarkan;
b. Kekurangan gaji dibayarkan paling cepat bersamaan dengan gaji induk
berdasarkan kenaikan besaran komponen gaji tersebut;
c. Dalam hal tunjangan pangan diberikan dalam bentuk natura, maka pada
kekurangan gaji tunjangan pangannya diberikan dalam bentuk uang.
d. Dalam rangka tertib administrasi pengelolaan gaji PNSD, SPM Gaji
Kekurangan agar diajukan tiap akhir triwulan pada minggu kedua yaitu
minggu kedua bulan Maret, bulan Juni dan bulan September, khusus untuk
bulan Desember pengajuannya pada minggu pertama, kecuali apabila pagu
anggaran belanja pegawai tidak mencukupi dapat diajukan dalam triwulan
pertama pada bulan Maret tahun anggaran berikutnya.
e. Apabila ada PNS yang mengalami mutasi/perpindahan tempat pembayaran
gaji ke SKPD lain dan masih mempunyai kekurangan gaji yang belum
dimintakan oleh BPP Gaji di SKPD lama, maka permintaannya diajukan oleh
BPP Gaji SKPD yang baru.

101
4. Gaji Terusan
Yang dimaksud dengan gaji terusan adalah gaji yang dibayarkan kepada ahli
waris dari pegawai yang meninggal dunia sebesar gaji terakhir selama 4
(empat) bulan berturut-turut. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut
pembayaran gaji terusan adalah sebagai berikut :
a. Gaji terusan dibayarkan setiap tanggal satu bulan berkenaan atau tanggal
berikutnya apabila tanggal 1 adalah hari libur dan diajukan bersamaan gaji
induk;
b. Gaji terusan dibayarkan pada bulan berikutnya sejak suami/isteri dari
janda/duda tersebut meninggal dunia;
c. Disusun dalam suatu daftar tersendiri/terpisah dari gaji induk yang berisi
pegawai yang berhak atas pembayaran gaji terusan pada satuan kerja
dengan tambahan penjelasan :
1) pada baris nama pegawai yang dimintakan gaji terusan supaya diberi
catatan “ Meninggal dunia tanggal.......”;
2) dalam lajur tanda tangan supaya dicantumkan nama lengkap ahli waris
yang menerima terusan penghasilan.
d. Gaji terusan tidak dikenakan potongan iuran wajib 10% tetapi dikenakan
iuran wajib asuransi kesehatan sebesar 2%;
e. Terusan penghasilan belanja pegawai tidak dibayarkan apabila tidak ada
keluarga pegawai yang berhak memperoleh pensiun janda/duda/ahli waris,
kecuali apabila pegawai yang bersangkutan tewas;
f. Pembayaran gaji terusan harus dihentikan pada bulan ke-5 (kelima) baik
surat keputusan pensiunan janda/duda telah atau belum diterima;
g. Apabila terdapat keterlanjuran pemotongan iuran wajib sebesar 10% maka
terhadap kelebihan potongan sebesar 8% harus dikembalikan kepada
janda/duda yang bersangkutan oleh PT. Taspen (Persero). Kelebihan
potongan iuran wajib harus dicantumkan dalam SKPP Pensiun.
5. Uang Tunggu
Yang dimaksud dengan uang tunggu adalah penghasilan yang diberikan kepada
pegawai negeri sipil yang diberhentikan dengan hormat dari jabatan negeri
yang disebabkan antara lain :
a. Sebagai tenaga kelebihan yang diakibatkan oleh penyederhanaan satuan
organisasi dan tidak dapat disalurkan pada instansi lain serta belum
memenuhi syarat-syarat pensiun;
b. Menderita penyakit atau kelainan yang berbahaya bagi dirinya sendiri dan
atau lingkungan kerjanya serta belum memenuhi syarat-syarat pensiun;
c. Setelah berakhirnya cuti sakit, belum mampu bekerja kembali dan belum
memenuhi syarat-syarat pensiun;
d. Tidak dapat dipekerjakan kembali setelah selesai menjalani cuti diluar
tanggungan negara karena tidak ada lowongan dan belum memenuhi

102
syarat-syarat pensiun.
Ketentuan-ketentuan yang menyangkut pembayaran uang tunggu adalah
sebagai berikut :
a. Uang tunggu dibayarkan sebesar :
1) 80 % (delapan puluh persen) dari gaji pokok untuk tahun pertama;
2) 75 % (tujuh puluh lima persen) dari gaji pokok untuk tahun-tahun
selanjutnya.
b. Uang tunggu diberikan mulai bulan berikutnya dari bulan pegawai negeri
sipil yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari jabatan negeri;
c. Penerima uang tunggu masih tetap berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil,
oleh sebab itu kepadanya diberikan kenaikan gaji berkala, tunjangan
keluarga, tunjangan pangan (beras), dan tunjangan lain berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku kecuali tunjangan jabatan;
d. Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu dapat diangkat kembali
dalam jabatan negeri apabila masih ada lowongan;
e. Pegawai Negeri Sipil penerima uang tunggu yang menolak untuk diangkat
kembali dalam jabatan negeri, diberhentikan dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil pada akhir bulan yang bersangkutan menolak untuk
diangkat kembali;
f. Pegawai Negeri Sipil penerima uang tunggu yang diangkat kembali dalam
jabatan negeri, dicabut pemberian uang tunggunya terhitung sejak
menerima penghasilan penuh kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pencabutan pemberian uang tunggu dicantumkan dalam salah satu diktum
surat keputusan pengangkatan kembali dalam jabatan negeri;
g. Uang tunggu yang diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 1951 terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1979 disesuaikan dengan
ketentuan pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 dengan
keputusan pejabat yang berwenang.

6. Gaji Ketiga Belas


Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri, Pejabat Negara
dan Penerima Pensiun/Tunjangan, Pemerintah dapat memberikan gaji ketiga
belas kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima
Pensiun/Tunjangan.
Pegawai Negeri dimaksud juga termasuk :
a. pegawai negeri yang ditempatkan atau ditugaskan di luar negeri;
b. Pegawai negeri yang dipekerjakan di luar instansi pemerintah yang gajinya
dibayar oleh instansi induknya;
c. Pegawai Negeri yang diberhentikan sementara;
d. Pegawai Negeri penerima uang tunggu, dan
e. Calon Pegawai Negeri.

103
Besarnya gaji ketiga belas adalah sebesar penghasilan sebulan yang diterima
pada bulan tertentu yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan
jabatan/tunjangan umum, tunjangan khusus pajak, dan tanpa potongan kecuali
pajak. Gaji induk yang dijadikan dasar pembayaran gaji ketiga belas dan
macam tunjangan jabatan yang termasuk dalam gaji ketiga belas serta tatacara
pembayarannya ditetapkan dengan peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.

F. PEMBAYARAN UANG DUKA PEGAWAI


1. Uang Duka Tewas
Uang Duka Tewas adalah uang yang diberikan kepada ahli waris dari pegawai
negeri yang tewas. Yang dimaksud dengan tewas adalah :
a. Meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas;
b. Meninggal dunia dalam keadaan lain yang ada hubungannya dengan dinas,
sehingga kematian itu disamakan dengan meninggal dunia dalam dan
karena menjalankan tugas;
c. Meninggal dunia yang langsung diakibatkan oleh luka atau cacat
rohani/jasmani yang didapat dalam/atau karena menjalankan tugas;
d. Meninggal dunia karena perbuatan anasir tidak bertanggung jawab atau
sebagai akibat tindakan dari anasir itu.
Ketentuan-ketentuan yang menyangkut pembayaran uang duka tewas sebagai
berikut :
a. Uang duka tewas dibayarkan sebesar 6 (enam) kali penghasilan terakhir
(seluruh penghasilan kecuali tunjangan pajak) sebulan tanpa potongan;
b. Pembayaran uang duka tewas didasarkan pada surat keputusan pejabat
yang berwenang setelah mendapat persetujuan dari kepala BKN tentang
pemberian uang duka tewas.
Uang Duka Tewas juga diberikan bagi PNS yang mengalami kecelakaan pada
saat berangkat ke kantor dan mengakibatkan meninggal dunia. Walaupun tidak
ada surat perintah dinas, akan tetapi kecelakaan yang menimpanya dapat
dipersamakan dengan kecelakaan yang terjadi dalam atau karena menjalankan
tugas dinas.
2. Uang Duka Wafat
Yang dimaksud dengan Uang Duka Wafat adalah uang yang diberikan
Pemerintah kepada ahli waris Pegawai Negeri yang meninggal dunia biasa atau
bukan dalam dan karena menjalankan tugas. Ketentuan-ketentuan yang
menyangkut pembayaran uang duka wafat sebagai berikut :
a. Dibayarkan kepada ahli waris sebesar 3 (tiga) kali penghasilan (seluruh
penghasilan kecuali tunjangan pajak) sebulan tanpa potongan;
b. Pembayaran uang duka wafat didasarkan pada surat kematian yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang serendah-rendahnya camat

104
atau surat keterangan yang menyatakan pegawai bersangkutan meninggal
dunia/Visum dari Rumah Sakit.

G. PEMBERHENTIAN PEMBAYARAN GAJI


1. Pembayaran gaji PNS diberhentikan, apabila PNS yang bersangkutan
mengalami :
a. Pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, diantaranya:
1) meninggal dunia atau hilang;
2) atas permintaan sendiri;
3) mencapai batas usia pensiun;
4) adanya penyederhanaan organisasi;
5) pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan rohani berdasarkan
peraturan undang-undangan yang berlaku yang dinyatakan dengan
surat keterangan tim penguji kesehatan.
b. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil; dan
c. Sedang menjalankan cuti di luar tanggungan negara.
2. Tata cara dan prosedur penghentian pembayaran gaji :
a. Bendahara Pengeluaran Pembantu Gaji menghapus dari daftar pengajuan
pembayaran setelah menerima Surat Keputusan tentang pemberhentian
PNS sesuai dengan berlakunya keputusan tersebut;
b. Apabila Surat Keputusan tersebut sudah berlaku dan terlanjur diajukan
dalam pembayaran gaji bulan berkenaan, maka Bendahara Pengeluaran
Pembantu Gaji menyetor gaji yang bersangkutan ke Kas Daerah.

H. SURAT KETERANGAN PENGHENTIAN PEMBAYARAN (SKPP)


1. Surat Keterangan Penghentian pembayaran (SKPP)
Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP) adalah surat keterangan
tentang penghentian pembayaran gaji terhitung mulai bulan dihentikan
pembayarannya berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Pada
SKPP selain dicantumkan perincian penghasilan bulan terakhir yang telah
dibayar, juga dicantumkan utang-utang kepada negara dari pegawai yang
bersangkutan bila ada.
2. Adapun prosedur penerbitannya sebagai berikut :
a. SKPP wajib diterbitkan bagi pegawai yang berdasarkan surat keputusan
pejabat yang berwenang mengalami mutasi ke SKPD/Unit Kerja lain, pindah
tempat tugas ke daerah lain/instansi vertikal dan pegawai yang memasuki
masa pensiun;
b. SKPP bagi pegawai yang mengalami mutasi ke SKPD/Unit Kerja lain masih
dalam satu daerah diterbitkan oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu Gaji
yang diketahui Kepala SKPD/Unit Kerja dengan dilampiri surat keputusan
yang mendasarinya dan fotocopy daftar gaji terakhir;

105
c. SKPP bagi pegawai yang pindah tempat tugas ke daerah lain/ instansi
vertikal dan pegawai yang memasuki usia pensiun diterbitkan oleh
Bendahara Umum Daerah dalam hal ini adalah Kepala Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Trenggalek atas usulan Kepala SKPD
dengan dilampiri surat keputusan yang mendasarinya dan fotocopy daftar
gaji terakhir. Khusus untuk Unit Kerja, permohonan penerbitan SKPP ini
diajukan oleh Kepala SKPD atas usulan Kepala Unit;
d. Mengingat pembuatan daftar gaji dilakukan menggunakan Aplikasi SIMGAJI,
maka pembuatan SKPP juga wajib menggunakan Aplikasi SIMGAJI agar
secara otomatis pegawai pindah/pensiun tersebut dikeluarkan dari daftar gaji
dan masuk ke dalam database pegawai non aktif;
e. SKPP diterbitkan paling cepat setelah gaji terakhir dibayarkan.

106
BAB VIII
KETENTUAN PERPAJAKAN BAGI BENDAHARA

A. PENJELASAN UMUM
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa KPPN dan Bendahara
Pemerintah ditunjuk oleh Pemerintah melalui undang-undang perpajakan sebagai
pemotong dan pemungut beberapa pajak pusat, yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 26, PPN dan PPn BM serta Bea
Materei. Pemotongan dan pemungutan masing-masing jenis pajak oleh KPPN dan
Bendahara tersebut diatur sendiri baik dalam hal perhitungan, pemungutan,
penyetoran, pelaporan, dan bentuk formulir yang dipergunakan dalam memotong
dan memungut pajak tersebut di atas oleh KPPN dan Bendahara Pemerintah.

B. KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI


Bendahara Pemerintah yang mengelola APBN/APBD diwajibkan mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi domisili instansi tempat bendahara berada.
Bendahara pemerintah yang sebelumnya telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dapat
langsung melaporkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi instansi tempat bendahara berada.
Tatacara pendaftaran untuk mendapatkan NPWP adalah :
14. Mengisi dan menandatangani formulir pendaftaran yang tersedia di KPP
setempat;
15. Fotocopy Kartu Identitas;
16. Fotocopy Surat Keputusan penunjukan dan pengangkatan sebagai Bendahara.
Dalam hal terjadi perubahan kelembagaan dan atau mutasi pegawai yang
mengakibatkan kelembagaan yang terdahulu berubah dan atau pegawai yang
telah ditunjuk dan diangkat sebagai bendahara diganti oleh pegawai lain, maka
dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Perubahan kelembagaan yang mengubah Satuan Kerja Perangkat Daerah lama
menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah baru dan mengakibatkan nama Satuan
Kerja Perangkat Daerahnya berubah, kepada bendaharawan diwajibkan
melapor kepada Kepala KPP setempat guna penghapusan NPWP lama untuk
diganti dengan NPWP baru sesuai dengan nama Satuan Kerja Perangkat
Daerah baru;
2. Apabila terjadi mutasi pegawai yang ditunjuk sebagai bendahara, maka
bendahara yang menggantikan tidak perlu mendaftarkan NPWP baru, tetapi
memberitahukan kepada KPP dengan melampirkan :
- Fotocopy kartu identitas;
- Fotocopy Surat Keputusan sebagai Bendahara yang baru.

107
3. Bagi bendaharawan yang telah terdaftar sebagai wajib pajak tersebut apabila
Satuan Kerja Perangkat Daerahnya dibubarkan, maka yang bersangkutan
mengajukan untuk dilakukan penghapusan NPWP kepada Kepala KPP
setempat;
4. Bagi Bendahara Pengeluaran Pembantu yang Kegiatannya telah selesai, maka
yang bersangkutan diwajibkan mengajukan permohonan penghapusan NPWP
kepada kepala KPP setempat dengan dilampiri dokumen-dokumen pendukung
yang telah ditentukan.
Untuk optimalisasi dan perbaikan administrasi pemungutan pajak, semua
pemungutan, pemotongan dan pelaporan perpajakan hanya memakai NPWP
Bendahara Pengeluaran pada SKPD yang bersangkutan. Apabila masih ada
Bendahara Pengeluaran Pembantu yang memiliki NPWP sendiri, maka yang
bersangkutan diwajibkan melapor kepada Kepala KPP setempat guna penghapusan
NPWP dengan mengisi formulir yang ditentukan dan menyerahkan kepada KPP
tempat Bendahara pemerintah terdaftar.

Kewajiban bendaharawan atas PPh terdiri dari :


1. Pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji/honorarium kegiatan;
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang/jasa, pengadaan barang;
3. Pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa berupa :
a. hadiah dan penghargaan, selain hadiah dan penghargaan yang telah
dipotong PPh Pasal 21;
b. sewa penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain tanah
dan/atau bangunan;
c. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultansi dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
4. pemotongan PPh Pasal 26 atas imbalan jasa pekerjaan dan kegiatan yang
diterima wajib pajak luar negeri; dan
5. pemotongan PPh Pasal 4 (2) atas pembayaran penghasilan berupa persewaan
tanah dan atau bangunan serta penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 2 yang dimaksud
pengenaan PPh bersifat final adalah pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak
ketiga/bendahara atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan terhadap utang pajak
pada akhir tahun dalam perhitungan SPT Tahunan namun tetap dilaporkan dalam
SPT Tahunan dimaksud sesuai form yang tersedia pada SPT Tahunan, sedangkan
yang dimaksud dengan pengenaan PPh yang bersifat tidak final adalah atas
penghasilan tersebut dimasukkan dalam unsur penghasilan lain didalam SPT
Tahunannya dan atas pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak
ketiga/bendaharawan atau dibayar sendiri dapat dikreditkan terhadap utang pajak
pada akhir tahun dalam perhitungan SPT Tahunan.

108
C. PAJAK PENGHASILAN Pasal 21 ( PPh Pasal 21)
Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh Ps. 21 adalah cara pelunasan pajak dalam
tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan. Bendahara Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan/jasa/kegiatan
wajib melakukan pemotongan PPh Ps. 21.
Pembayaran penghasilan yang wajib dipotong PPh Ps. 21 oleh bendahara
pemerintah antara lain adalah pembayaran atas gaji, tunjangan, honorarium,
upah, uang makan dan pembayaran lainnya (tidak termasuk pembayaran biaya
perjalanan dinas) baik kepada pegawai maupun bukan pegawai.
1. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
a. Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau
APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD, meliputi
penghasilan tetap dan teratur bagi :
1) Pejabat Negara, untuk :
a) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan;
atau
b) imbalan tetap sejenisnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2) PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain
yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
3) Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap
dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 atas jenis penghasilan ini dihitung
dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya
jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
f. Penghasilan selain sebagaimana huruf a berupa honorarium atau imbalan
lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD.
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas jenis penghasilan ini bersifat final dengan
tarif :
1) sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
2) sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan
lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;

109
3) sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau
imbalan lain bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira
Tinggi, dan Pensiunannya.
Bendahara Pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain ini
sekaligus juga memotong Pajak Penghasilannya.
2. Pemotongan PPh Pasal 21
Dalam menghitung PPh Pasal 21, bagi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap
kecuali pembayaran yang tidak dihitung atas dasar banyaknya hari dan
pembayaran kepada tenaga ahli, diberikan pengurangan berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan Pasal 7 UU PPh Nomor 36
Tahun 2008 yang disesuaikan dengan PMK 122/PMK.010/2015
- Untuk diri Wajib Pajak orang pribadi Rp 36.000.000,00
- Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp 3.000.000,00
- Tambahan untuk isteri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami (sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 (1)) Rp 36.000.000,00
- Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus (paling
banyak 3 orang) Rp 3.000.000,00
Tarif Pajak yang diterapkan atas lapisan Penghasilan Kena Pajak, untuk WP
orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Nomor 36
Tahun 2008
- Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
- Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 250.000.000,00 15%
- Di atas Rp 250.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00 25%
- Di atas Rp 500.000.000,00 30%

Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP
lebih tinggi 20% dari pada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan NPWP (Pasal 21 ayat (5a) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008).
Pasal 21 ayat (5a) hanya sebagai tambahan Pasal 21 ayat (5) dan itu berlaku
untuk seluruh pemotongan PPh Pasal 21. Dalam hal penerima penghasilan yang
telah dipotong PPh yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud diatas,
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, maka PPh Pasal 21 yang telah
dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang
untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP (Pasal 20 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008).

110
Contoh Penghitungan berdasarkan Penjelasan Pasal 21 Ayat (5a) UU Nomor 36
Tahun 2008 :
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00 
Jumlah = Rp 6.250.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong bagi Wajib pajak yang tidak memiliki NPWP adalah :
5% x 120% x Rp 50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
15% x 120% x Rp 25.000.000,00 = Rp 4.500.000,00 
Jumlah = Rp 7.500.000,00
Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk
penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap ditetapkan sebesar
5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000,00 setahun
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008).
Selain Pejabat Negara/PNS/TNI/POLRI/Pensiunannya, batas Penghasilan Bruto
yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak
tetap lainnya sampai dengan jumlah Rp 200.000,00 sehari tidak dikenakan
pemotongan PPh. Tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto dimaksud
jumlahnya melebihi Rp 2.025.000,00 sebulan atau dalam hal penghasilan
dimaksud dibayar secara bulanan (Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK
162/PMK.011/2012 diubah dengan PMK 206/PMK.011/2012).

D. PAJAK PENGHASILAN Pasal 22 (PPh Pasal 22)


PPh Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan sehubungan dengan pembayaran atas
impor barang/jasa, pembelian barang dan penjualan barang sangat mewah yang
dananya bersumber dari keuangan Negara atau Daerah (APBN/APBD).
Pada prinsipnya bendaharawan wajib memungut PPh Pasal 22 atas semua
penyerahan barang, yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Diberikan dengan Surat Keterangan Bebas :
a) impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh;
b) emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan
dari emas untuk tujuan ekspor.
2. Dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai :
a) Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai;
b) Impor sementara jika saat impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
disetor kembali.

111
3. Dilaksanakan tanpa Surat Keterangan Bebas :
a) Pembelian barang yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
b) Pembelian untuk BBM, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos;
c) Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara;
d) Pembelian gabah dan/atau beras oleh Bulog;
e) Pembelian barang dengan menggunakan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS);
f) Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Tarif dan Cara Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 22 adalah sebagai


berikut :

1,5% x Harga Pembelian (tidak termasuk PPN/PPnBM)

Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan kepada Wajib Pajak (rekanan)
yang tidak memiliki NPWP, besarnya pemungutan lebih tinggi 100% daripada tarif
yang diterapkan kepada Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP (Pasal 22
ayat 3 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008).

Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 :


Dasar Pengenaan Pajak (pembelian barang oleh Bendaharawan) Rp 10.000.000,00
PPh Pasal 22 yang harus dipungut bagi rekanan yang memiliki NPWP adalah :
1,5% x Rp 10.000.000,00 = Rp 150.000,00
PPh Pasal 22 yang harus dipungut bagi rekanan yang tidak memiliki NPWP adalah :
1,5% x 200% x Rp 10.000.000,00 = Rp 300.000,00
Ketentuan lain terkait PPh Pasal 22 akan diatur lebih lanjut sesuai dengan tata
urutan peraturan perundang-undangan.

E. Pajak Penghasilan Pasal 23/Pasal 26


Pajak Penghasilan Pasal 23/Pasal 26 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berasal dari modal, penyerahan jasa
atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Dipotong Pajak oleh pihak yang wajib membayarkan (Pasal 23 UU PPh Nomor 36
Tahun 2008) :
1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas :
Deviden, Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang, Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21;

112
2. Sebesar 2% dari jumlah bruto atas :
- Sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan harta yang telah dikenai PPh
Pasal 4 ayat (2)
- Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan;
- Jenis jasa-jasa lain antara lain : Jasa penilai (appraisal); Jasa aktuaris; Jasa
akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; Jasa perancang
(design); Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan
gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
Jasa penunjang di bidang penambangan migas dan selain migas; Jasa
penunjang di bidang penerbangan dan Bandar udara; Jasa penebangan
hutan; Jasa pengolahan limbah; Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing
servise); Jasa perantara atau keagenan; Jasa di bidang perdagangan surat
berharga; Jasa custodian/penyimpanan/penitipan; Jasa pengisian suara
(dubbing); Jasa Mixing Film; Jasa sehubungan dengan software computer,
termasuk perawatan,pemeliharaandan perbaikan; Jasa instalasi
/pemasangan mesin, peralatan, listrik telepon air, gas, AC dan/atau TV
kabel; Jasa maklon; Jasa penyelidikan dan keamanan; Jasa
penyelenggaraan kegiatanatau event organizer; Jasa pengepakan; Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruangan
atau media untuk penyampaian informasi; Jasa pembasmian hama; Jasa
kebersihan atau cleaning servise; Jasa catering atau jasa boga.
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh Penghasilan tidak
memiliki NPWP, maka besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%
daripada tarif sebagaimana dimaksud diatas.
Jenis jasa-jasa lain yang dipotong PPh Pasal 23 (sebesar 2% dari jumlah Bruto
tidak termasuk PPN) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008.

F. PAJAK PENGHASILAN Pasal 4 (2) atau PPh Pasal 4 (2)


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 (2) adalah pajak yang dipotong atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari hadiah undian,
persewaan tanah dan atau bangunan, penghasilan yang diterima wajib pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha
dibidang jasa konstruksi serta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Atas hadiah undian dikenakan PPh Final Pasal 4 (2) sebesar 25% dari jumlah
bruto.
Sedangkan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan PPh yang bersifat
final dengan tarif sebagai berikut (Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
187/PMK.03/2008) :

113
1. 2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa konstruksi
dengan klasifikasi usaha kecil
2. 3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa konstruksi
selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a
3. 4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa (bukan
penyedia jasa konstruksi)
4. 4% untuk perencanaan dan/atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa konstruksi
5. 6% untuk perencanaan dan/atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa (bukan penyedia jasa konstruksi)
Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud diatas adalah
jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif PPh untuk Jasa Konstruksi.
Ketentuan lain terkait PPh Jasa Konstruksi akan diatur lebih lanjut sesuai dengan
tata urutan peraturan perundang-undangan.
Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
Besarnya tarif PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau
Bangunan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, yang diatur
lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 adalah
sebagai berikut :
1. Sebesar 5% dari jumlah bruto pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan;
2. Kecuali, atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun
Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dikenai PPh sebesar 1%;
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh final Pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan adalah :
1. Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp. 60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah
yang terpecah-pecah;
2. Orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
3. koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang
hibah tersebut tidak ada hubungan dengan pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
4. Badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dengan
cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
5. Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan karena warisan.

114
Tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan
pajak-pajak penghasilan sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
Ketentuan lain terkait PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas tanah dan
atau Bangunan akan diatur lebih lanjut sesuai dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, apabila Surat Pemberitahuan
tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dikenai sanksi
administrasi sebesar :
- Rp 500.000,00 untuk SPT Masa PPN
- Rp 100.000,00 untuk SPT Masa lainnya
- Rp 1.000.000,00 untuk SPT Tahunan PPh Badan
- Rp 100.000,00 untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

G. PEMUNGUTAN PPN/PPnBM
Bendaharawan wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) atas pengadaan Barang Kena Pajak (BKP)
dan Jasa Kena Pajak (JKP) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaharawan
Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara untuk Memungut,
Menyetor dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporannya.
1. Objek yang dikenakan PPN dan PPnBM
Pada dasarnya PPN adalah pajak yang dikenakan atas semua barang dan jasa
dalam daerah pabean, kecuali yang dikecualikan menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Objek PPN diatur dalam dalam Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D UU Nomor 8
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan UU
Nomor 42 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 4 UU PPN 1984
- Penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha
- Impor BKP
- Penyerahan JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean
- Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
- Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak

115
b. Berdasarkan Pasal 16C UU PPN 1984
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
c. Berdasarkan Pasal 16D UU PPN 1984
Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN yang dibayarkan pada
saat perolehan dapat dikreditkan.
Yang menjadi objek pemungutan PPN oleh Bendaharawan adalah Pemerintah
setiap pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) yang sumber dananya berasal dari APBN/APBD.

2. Jenis Barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


a. Barang Hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, meliputi :
1) Minyak mentah (crude oil);
2) Gas Bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
3) Panas Bumi;
4) Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung,
batu permata, bentonit, dolomite, feldspar (feldspar), garam batu
(halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit,
mika, marmer, nitrat, opsiden, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa,
perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome,
tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
5) Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
6) Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak,
serta bijih bauksit;
7) Barang hasil pertambangan dan pengeboran lainnya yang diambil
langsung dari sumbernya;
b. Barang-barang hasil kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak yaitu :
1) beras;
2) gabah;
3) jagung;
4) sagu;
5) kedelai;
6) garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
7) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui
proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas
atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan
cara lain, dan/atau direbus;

116
8) telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
9) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan
maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan
lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
10) buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah
melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
11) sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan,
dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang
dicacah.
c. Makanan dan minuman yang disajikan dihotel, restoran, rumah makan,
warung dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi ditempat maupun tidak; termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha catering atau usaha jasa boga;
Ketentuan huruf c dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak
berganda karena sudah merupakan obyek pengenaan Pajak Daerah.
d. Uang, emas batangan dan surat-surat berharga;

3. Jenis Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai


a. Jasa di bidang pelayanan medis, meliputi :
1) Jasa dokter umum, jasa dokter spesialis, jasa dokter gigi;
2) Jasa dokter hewan;
3) Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, fisioterapi, ahli gigi;
4) Jasa kebidanan dan dukun bayi;
5) Jasa paramedis dan perawat;
6) Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium
kesehatan dan sanatorium;
7) Jasa psikologi dan psikiater;
8) Jasa pengobatan alternative, termasuk yang dilakukan oleh
paranormal.
b. Jasa dibidang pelayanan sosial, meliputi :
1) Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2) Jasa pemadam kebakaran;
3) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4) Jasa lembaga rehabilitasi;
5) Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk
krematorium;
6) Jasa dibidang olah raga kecuali yang bersifat komersial;
c. Jasa dibidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh
PT.Pos Indonesia (Persero);

117
d. Jasa di bidang keuangan meliputi :
1) Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang
dipersamakan;
2) Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana
kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3) Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
berupa :
- sewa guna usaha dengan hak opsi;
- anjak piutang;
- usaha kartu kredit; dan/atau
- pembiayaan konsumen.
4) Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hokum gadai, termasuk gadai
syariah dan fidusia; dan
5) Jasa penjaminan.
e. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi; dan
Yang dimaksud dengan “jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang
meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan
oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk
jasa penunjang asuransi sperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi,
dan konsultan asuransi.
f. Jasa dibidang keagamaan meliputi :
1) Jasa pelayanan rumah ibadah;
2) Jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan
3) Jasa lpenyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4) Jasa lainnya dibidang keagamaan.
g. Jasa dibidang pendidikan, meliputi :
1) Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan
luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik dan pendidikan profesional;
2) Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah seperti kursus-kursus.
h. Jasa dibidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak hiburan
termasuk jasa dibidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti
pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
i. Jasa dibidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran
radio atau televisi baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun
swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang
bertujuan komersial.
j. Jasa dibidang angkutan umum di darat dan di atas air, meliputi jasa

118
angkutan umum di dilaut, didanau maupun di sungai yang dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh swasta; serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar
negeri.
k. Jasa dibidang tenaga kerja, meliputi :
1) Jasa tenaga kerja dengan syarat :
a. tenaga kerja tersebut menerima imbalan dalam bentuk gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan sejenisnya; dan
b. tenaga kerja tersebut bertanggung jawab langsung kepada pengguna
jasa tenaga kerja atas jasa tenaga kerja yang diserahkannya.
2) Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga
kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja
tersebut. Jasa yang tidak termasuk kategori ini adalah :
a. pengusaha penyedia jasa tenaga kerja tersebut semata-mata hanya
menyerahkan jasa penyediaan tenaga kerja yang tidak terkait dengan
pemberian Jasa Kena Pajak Lainnya, seperti jasa teknik, jasa
manajemen,jasa konsultasi, jasa pengurusan perusahaan, jasa
bongkar muat, dan/atau jasa lainnya (Cleaning Service);
b. pengusaha penyedia tenaga kerja tidak melakukan pembayaran gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan/atau sejenisnya kepada tenaga
kerja yang disediakan;
c. pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil
kerja tenaga kerja yang disediakan setelah diserahkan kepada
pengguna jasa tenaga kerja; dan
d. tenaga kerja yang disediakan masuk dalam struktur kepegawaian
pengguna jasa tenaga kerja.
3) Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
l. Jasa dibidang perhotelan, meliputi :
1) Jasa penyewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel serta fasilitas yang terkait dengan
kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
2) Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel,
rumah penginapan, motel, losmen dan hostel.
m.Jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah seperti pemberian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB),
pemberian Ijin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak
dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
n. Jasa Penyediaan tempat parkir;
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. Jasa Pengiriman uang dengan wesel Pos;

119
q. Jasa boga atau katering.
4. PPN yang dibebaskan Atas Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu yang Bersifat Strategis
Dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya
saing, Pemerintah menetapkan jenis-jenis barang kena pajak tertentu yang
bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
yang bertujuan untuk menjamin tersedianya barang-barang yang bersifat
strategis tersebut. Pemberian fasilitas perpajakan ini bersifat sementara.
Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari
pengenaan PPN meliputi :
a. Impor barang yang dibebaskan PPN
1) Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, dimana impor
tersebut :
a) Diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena
Pajak;
b) Diimpor oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena
Pajak tersebut;
c) Tidak dipindahtangankan atau digunakan tidak sesuai dengan tujuan
semula, baik sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak impor dan atau perolehan. Apabila butir c tersebut
ternyata tidak dipenuhi maka PPN yang telah dibebaskan tetap
dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak barang modal
tersebut dialihkan penggunaannya atau dipindahtangankan, sedang
PPN yang telah dibayarkan tidak dapat dikreditkan;
2) Makanan ternak, unggas dan ikan dan atau bahan baku untuk
pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan.
3) Barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan
atau penangkapan, maupun penangkaran atau perikanan dari
penangkapan atau budidaya, yang dipetik langsung, diambil langsung
atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal
dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah
proses lebih lanjut.
b. Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang
dibebaskan PPN meliputi :
1) Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, dimana
penyerahan tersebut :
a) Diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan barang kena
pajak oleh pengusaha kena pajak yang menghasilkan barang kena
pajak tersebut.

120
b) Tidak dipindahtangankan atau digunakan tidak sesuai dengan tujuan
semula, baik sebagaian atau seluruhnya dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak impor dan atau perolehan.
2) Makanan ternak, unggas dan ikan dan atau bahan baku untuk
pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan.
3) Barang hasil pertanian yaitu barang hasil pertanian yang dipetik
langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya
termasuk pemrosesannya yang dilakukan dengan cara :
- Dikeringkan dengan cara dijemur atau dengan cara lain;
- Dirajang;
- Diasinkan atau digarami;
- Dibekukan atau didinginkan;
- Dipecah;
- Dicuci atau disucihamakan;
- Direndam, direbus;
- Disayat, dikupas, dibelah;
- Diperam;
- Digaruk;
- Pemisahan dari kulit atau biji atau pelepah;atau
- Dikemas dengan cara sangat sederhana untuk tujuan melindungi
barang yang bersangkutan.
4) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan, penangkaran atau perikanan.
5) Air bersih yang dialirkan melalui pipa termasuk air bersih yang diserahkan
dengan cara lain seperti penyerahan melalui mobil tangki air, oleh
Perusahaan Air Minum milik Pemerintah dan atau Swasta.
6) Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya diatas 6600 watt.
c. Untuk lebih menunjang keberhasilan sektor-sektor kegiatan ekonomi yang
berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia
usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung ketahanan nasional serta
memperlancar pembangunan nasional pemerintah memberikan fasilitas
pembebasan PPN atas impor dan atau penyerahan barang kena pajak
tertentu.
Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN meliputi :
1) Impor barang yang dibebaskan PPN
a) Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan dibawah air, alat
angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja,
kendaraan patroli dan kendaraan khusus lainnya serta suku cadangnya
yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia
(TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) atau oleh pihak
lain yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI untuk

121
melakukan impor tersebut, dan komponen atau bahan yang belum
dibuat di dalam negeri, yang diimpor oleh PT (PERSERO) PINDAD, yang
digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan
Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI;
b) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
c) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran
agama;
d) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal
angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan
pelayaran atau keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan
Nasional, Perusahaan Penyelenggaraan Jasa Kepelabuhan Nasional
atau Perusahaan Penyelenggaraan Sungai, Danau dan Penyeberangan
Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
e) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan
atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan
atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang
ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional;
f) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT
(PERSERO) Kereta Api Indonesia, dan komponen atau bahan yang
diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta Api
Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang
akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;dan
g) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen
Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data tata batas dan photo
udara wilayah Negara republik Indonesia yang dilakukan untuk
mendukung pertahanan nasional, yang diimpor oleh Departemen
Pertahanan, TNI atau pihak yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan
atau TNI.
Apabila penyerahan BKP pada angka 4,5 dan 6 diatas ternyata digunakan
tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak
lain, baik sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak impor maka PPN yang telah dibebaskan tetap wajib dibayar dalam

122
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak barang modal tersebut dialihkan
penggunaannya atau dipindahkan, sedangkan PPN yang telah dibayarkan
tidak dapat dikreditkan.
2) Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang atas impornya dibebaskan
dari pengenaan PPN
a) Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana,
pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya,
yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar
pertimbangan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah;
b) Senjata, amunisi, alat angkutan di atas air, alat angkutan di bawah air,
alat angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja,
kendaraan patroli dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku
cadangnya yang diserahkan kepada Depertemen Pertahanan, TNI atau
Polri dan komponen atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan
senjata dan amunisi oleh PT (PERSERO) PINDAD untuk keperluan
Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI;
c) Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
d) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran
agama;
e) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang dan suku cadang serta alat keselamatan
pelayaran atau keselamatan manusia yang diserahkan kepada dan
digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Nasional, Perusahaan
Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa
Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa angkutan
Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional sesuai dengan kegiatan
usahanya;
f) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan
atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan yang diserahkan kepada dan digunakan oleh perusahaan
angkutan udara niaga nasional dan suku cadang serta peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diperoleh oleh pihak
yang ditunjuk Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
g) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diserahkan kepada dan digunakan
oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia dan komponen atau bahan
yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta

123
Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku
cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana
yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;
h) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan
data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk
mendukung pertahanan nasional yang diserahkan kepada Departemen
Pertahanan Nasional atau TNI.
Apabila penyerahan BKP pada angka 5,6 dan 7 diatas ternyata digunakan
tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak
lain, baik sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak perolehan, maka PPN yang telah dibebaskan tetap wajib dibayar
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak barang modal tersebut dialihkan
penggunaannya atau dipindahkan, sedangkan PPN yang telah dibayarkan
tidak dapat dikreditkan.
3) Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan PPN
a) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional,
Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara
Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa
Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional yang meliputi :
- Jasa persewaan kapal;
- Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan
jasa labuh;
- Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;
b) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional
yang meliputi :
- Jasa persewaan pesawat udara
- Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara
c) Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT
(PERSERO) Kereta Api Indonesia
d) Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan
rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana,
pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya,
yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar
pertimbangan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah dan
pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah;
e) Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana dan rumah
sangat sederhana;
f) Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang
dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan
nasional.

124
5. Obyek Pemungutan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)
Yang menjadi objek PPnBM secara umum adalah :
a. Penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha
yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut (PKP Pabrikan),
dan;
b. Impor BKP yang tergolong mewah.
Apabila bendaharawan melakukan pembayaran atas pembelian BKP yang
tergolong mewah dari PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah
tersebut (PKP Pabrikan) maka bendaharawan juga wajib memungut
PPnBM, disamping memungut PPN.

6. Pengecualian dari Pemungutan PPN dan PPnBM oleh Bendaharawan


Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 Tanggal
24 Desember 2003, PPN dan PPnBM tidak dipungut Bendaharawan dalam
hal :
a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,00 dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
b. Pembayaran untuk pembebasan tanah;
c. Pembayaran atas penyerahan BKP/JKP yang menurut ketentuan undang-
undang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan atau dibebaskan dari
pengenaan PPN;
d. Pembayaran atas penyerahan BBM dan bukan BBM oleh Pertamina;
e. Pembayaran atas rekening telepon;
f. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan
penerbangan;
g. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang/jasa yang menurut undang-
undang tidak dikenakan PPN.
Untuk pembelian BKP/JKP yang jumlahnya tidak melebihi Rp. 1.000.000,00
(termasuk PPN dan PPnBM) maka PPn dan PPnBM yang terhutang dipungut
dan disetor oleh PKP rekanan yang bersangkutan.

7. Besarnya PPN dan PPnBM yang harus dipungut oleh Bendaharawan


Tarif PPN adalah tarif tunggal yaitu 10% dari Dasar Pengenaan Pajak.
Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% dan paling tinggi 200%.
Dasar Pengenaan Pajak PPN dan PPnBM adalah jumlah pembayaran yang
dilakukan oleh Bendaharawan, apabila pembayaran tersebut sudah termasuk
PPN dan PPnBM yang terutang.
Apabila jumlah pembayaran sudah termasuk PPN dan PPnBM maka
perhitungan PPN dan PPnBM yang harus dipungut adalah sebagai berikut :

125
- Jika pembayaran hanya terutang PPN maka

PPN yang dipungut = x Jumlah Pembayaran

Contoh :
Jumlah Pembayaran Rp 11.000.000,00

PPN yang dipungut = x 11.000.000,00


= 1.000.000,00

- Jika pembayaran terutang PPN dan PPnBM maka

PPN yang dipungut = x Jumlah Pembayaran

PPnBM yang dipungut = x Jumlah Pembayaran

T = Tarif PPnBM

Contoh :
Jumlah Pembayaran = 13.000.000,00
Misal tarif PPnBM = 20%
PPN yang dipungut = x 13.000.000,00
= 1.000.000,00
PPnBM yang dipungut = x 13.000,00
= 2.000.000,00

H. LAIN-LAIN KETENTUAN PAJAK PUSAT


1. Berdasarkan Pasal 19 ayat 1 huruf k beserta penjelasannya PP Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-447/PJ./2001 tentang Tata Cara
Pemberian Surat Keterangan Fiskal (SKF) tanggal 7 September 2001
sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : PER-69/PJ./2007, ditegaskan bahwa setiap Wajib Pajak sebagai
penyedia barang/jasa untuk Instansi Pemerintah harus memenuhi persyaratan
terdaftar sebagai Wajib Pajak dan sudah memenuhi kewajiban perpajakan
tahun terakhir. Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak tersebut telah
memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir, maka Wajib Pajak tersebut
diwajibkan untuk memberikan Surat Keterangan Fiskal (SKF) kepada
Bendahara. SKF tersebut diperoleh Wajib Pajak (rekanan) dari Kantor
Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) tempat Wajib Pajak terdaftar.

126
2. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKF wajib memenuhi
persyaratan :
a) Tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana perpajakan dan,
b) Mengisi formulir permohonan yang disediakan oleh Direktorat Jenderal
Pajak dan melampirkan:
1) Fotocopy Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan
untuk tahun terakhir beserta tanda terima penyerahan SPT;
2) Fotocopy Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat
Tanda Terima Setoran Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir; dan
3) Fotocopy Surat Setoran Bea (SSB) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), khusus untuk Wajib Pajak yang baru memperoleh
hak atas tanah dan bangunan karena pindahan hak (antara lain jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya) maupun pemberian hak baru.

3. Pemotongan PPh atas rekanan yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB)
Wajib Pajak (rekanan) yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 (pajak 1%) dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat
final kepada Direktur Jenderal Pajak. Pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan ini diberikan oleh
Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas
yang berlaku sampai dengan berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Bendahara Pemerintah tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan
PPh (PPh Pasal 21, 22, dan 23) apabila telah menerima foto copy SKB yang
telah dilegalisasi oleh KPP tempat rekanan menyampaikan kewajiban SPT
Tahunan.
Untuk lebih dapat memantau pemenuhan kewajiban perpajakan bagi
Rekanan/Wajib Pajak penyedia barang/jasa oleh KPP Pratama Tulungagung
serta untuk lebih meningkatkan sisi penerimaan dari APBD Kabupaten
Trenggalek dari Dana Bagi Hasil sesuai PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang
Dana Perimbangan, sebaiknya Rekanan/Wajib Pajak penyedia barang/jasa
mempunyai NPWP di lokasi tempat terjadinya penyerahan barang/jasa atau
dalam hal ini dengan kode NPWP tiga digit terakhir adalah 629.

I. PENGENAAN BEA METERAI ATAS DOKUMEN-DOKUMEN YANG MENJADI


OBYEK BEA METERAI;
Pengertian dokumen disini adalah kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi
seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan.

127
Dokumen-dokumen yang dikenakan Bea Meterai dibedakan menjadi :
1. Dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp. 3.000,00 adalah :
a. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau
sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan yang mempunyai
harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 s.d. Rp 1.000.000,00.
b. Cek dan Bilyet Giro tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal;
c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga
nominal sampai dengan Rp 1.000.000,00
d. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum
dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan
Rp 1.000.000,00
2. Dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 6.000,00
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata;
b. akta-akta notaris termasuk salinannya;
c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk
rangkap-rangkapnya;
d. surat berharga seperti wesel, promes dan aksep atau
e. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan
yaitu :
1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, selain dari maksud semula;
f. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau
sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan yang
mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00;
5) sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal
lebih dari Rp 1.000.000,00.

128
J. PEMUNGUTAN PAJAK-PAJAK DAERAH
Sebagai upaya optimalisasi pemungutan pajak-pajak daerah, Pemerintah
Kabupaten Trenggalek telah menetapkan Bendaharawan yang mengelola dana-
dana yang bersumber dari APBD Kabupaten Trenggalek dan melakukan
pembayaran dari dana-dana tersebut sebagai Wajib Pungut Pajak Restoran dan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan .
1. Pajak Restoran
Bendaharawan dan atau Bendaharawan Pembantu yang mengelola dana dari
APBD Kabupaten Trenggalek dan atas pelaksanaan kegiatan yang dikelolanya
melakukan pembelian makanan dan atau minuman pada restoran, termasuk
rumah makan, depot, café, kantin, depot, bar, warung dan catering/jasa boga
dan atau sejenisnya di Wilayah Kabupaten Trenggalek maka ia sebagai
subjek pajak mewakili badan. Atas pembelian makanan dan atau minuman
tersebut, bendaharawan dan atau bendaharawan pembantu diwajibkan
memungut Pajak Restorannya.
a. Subjek Pajak Restoran
Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli
makanan dan /atau minuman dari restoran. (sesuai Perda Pajak Restoran
Pasal 4)
b. Objek Pajak Restoran
Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran, rumah
makan, café, kantin, depot, bar, warung dan catering/jasa boga dan atau
sejenisnya, yang meliputi pelayanan penjualan makanan dan atau
minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat
pelayanan maupun di tempat lain.
c. Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima
atau yang seharusnya diterima restoran.
d. Tarif Pajak
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 19 Tahun
2010 tentang Pajak Restoran, besarnya tarif pajak adalah sebesar 10%.
e. Pembayaran Pajak
Pajak yang telah dipungut oleh bendaharawan dan atau bendaharawan
pembantu disetorkan ke Bendahara Penerimaan Dinas Pendapatan
Kabupaten Trenggalek dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah
(SSPD).
Contoh :
Dalam rangka penyusunan Buku Pedoman Pelaksanaan APBD, Tim
Penyusun melakukan rapat pembahasan. Bendaharawan Pengeluaran
Pembantu telah menyediakan makan siang berupa nasi ayam goreng dalam
kotak dengan membelikannya di “SALERO BUNDO” sebanyak 20 kotak

129
dengan harga per kotak Rp. 15.000,00.
Pajak Restoran yang harus dipungut oleh BPP Kegiatan Penyusunan
Pedoman dan Sosialisasi pelaksanaan APBD adalah sebagai berikut :
Didalam Nota Pembayaran yang dijadikan Pertanggungjawaban
Bendaharawan ditulis sebagai berikut :
20 kotak nasi @ Rp 15.000,00 = Rp. 300.000,00
Pajak Restoran 10% = Rp. 30.000,00
Jumlah Pembayaran = Rp. 330.000,00
Atas pembayaran tersebut, Bendaharawan Pengeluaran Pembantu
diwajibkan memungut Pajak Restoran sejumlah Rp 30.000,00 dan
menyetorkannya ke RKUD melalui Bendahara Penerimaan Dinas
Pendapatan Kabupaten Trenggalek dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak Daerah (SSPD). Bendaharawan menggunakan Nota Pembayaran
dan SSPD tersebut sebagai dokumen pertanggungjawaban pengelolaan
keuangan yang menjadi tanggungjawabnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pajak Restoran ini berpedoman pada
Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 19 Tahun 2010 dan
peraturan pelaksanaannya.
4. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di
dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
Bendahara Pengeluaran dan/atau Bendahara Pengeluaran Pembantu yang
mengelola dana dari APBD Kabupaten Trenggalek sebagai wajib pungut
diwajibkan memungut Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang
berkenaan dengan kegiatan proyek Pemerintah Daerah atas pelaksanaan
pemeliharaan, perbaikan dan atau pembangunan fisik berupa bangunan
yang dikontrakkan kepada Penyedia Jasa Konstruksi dan melakukan
pembelian Bahan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
a. Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau
badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
b. Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pengambilan Mineral
Bukan Logam dan Batuan;
1). Batu bangunan;
2). Tanah urug pasir dan kerikil;
- Pasir bangunan
- Pasir urug
- Grosok (endapan lahar)
- Sirtu (endapan sungai)

130
3). Batu kapur;
4). Batu Filspard (batu putih/traso);
5). Batu marmer;
6). Batu bentonit (batu hias);
7). Batu kaolin (bahan keramik);
8). Tanah liat;
9). Batu brobos;
10). Batu andesit;
11). Batu granit.

c. Dasar Pengenaan Pajak


Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan
adalah Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan
Nilai jual tersebut dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil
pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis
Mineral Bukan Logam dan Batuan.
d. Tarif Pajak
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan tarif sebesar 25%
(dua puluh lima persen)
e. Besarnya Pajak Terutang
Besarnya Pajak Terutang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dihitung
dengan cara menghitung jumlah produksi pengambilan bahan mineral
bukan logam dan/batuan dan/atau jumlah hasil pengolahan bahan mineral
bukan logam dan batuan dikalikan harga standar yang ditetapkan oleh
instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan Mineral Bukan
Logam dan Batuan dikalikan tarif pajak sebesar 25%.
Besarnya Jumlah Pajak Terutang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD).
f. Pembayaran Pajak Terutang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
disetorkan ke RKUD melalui Bendahara ke Penerimaan Dinas Pendapatan
Kabupaten Trenggalek dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah
(SSPD).
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
ini berpedoman pada Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 20
Tahun 2010 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan berikut
peraturan pelaksanaannya.

131
BAB IX
PEMBINAAN, PENGAWASAN PENGELOLAAN KEUANGAN
DAN PENYELESAIAN KERUGIAN DAERAH

A. SISTEM PENGENDALIAN
Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, Bupati menyelenggarakan sistem pengendalian intern di
lingkungan pemerintahan daerah.
Pengendalian intern merupakan proses yang dirancang untuk memberikan
keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang
tercermin dari kehandalan laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
program dan kegiatan serta dipatuhinya peraturan perundang-undangan.
Pengendalian intern, sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. terciptanya lingkungan pengendalian yang sehat;
b. terselenggaranya penilaian risiko;
c. terselenggaranya aktivitas pengendalian;
d. terselenggaranya sistem informasi dan komunikasi;
e. terselenggaranya kegiatan pemantauan pengendalian; dan
f. meningkatkan akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah.
Penyelenggaraan pengendalian intern dilaksanakan oleh Satuan Tugas SPIP di
SKPD dengan pembinaan oleh Inspektorat Kabupaten Trenggalek, sedangkan
pengendalian ekstern yang berupa pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B. KERUGIAN DAERAH
Kerugian Daerah adalah berkurangnya kekayaan daerah yang disebabkan oleh
suatu tindakan melanggar hukum atau kelalaian bendaharawan atau
pegawai/orang bukan bendaharawan dan/atau disebabkan suatu keadaan di luar
dugaan dan di luar kemampuan manusia (force majeure). Setiap kerugian daerah,
baik yang langsung maupun tidak langsung sebagai akibat perbuatan melanggar
hukum atau kelalaian, harus diganti oleh yang bersalah dan/atau lalai. Kerugian
Daerah yang dimaksud adalah yang nyata dan pasti jumlahnya. Termasuk dalam
hal kerugian daerah adalah pembayaran dari daerah kepada orang atau badan
yang tidak berhak. Oleh karena itu, setiap orang atau badan yang menerima
pembayaran demikian itu tergolong melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Setiap Kepala SKPD wajib memproses tuntutan ganti kerugian segera setelah
diketahui bahwa dalam SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat
perbuatan dari pihak manapun. Penyelesaian kerugian daerah dilakukan menurut
peraturan perundang-undangan.

132
C. TUNTUTAN PERBENDAHARAAN DAN TUNTUTAN GANTI RUGI
1. Ketentuan Umum
Tuntutan Perbendaharaan selanjutnya disingkat TP adalah suatu tata cara
perhitungan terhadap Bendaharawan, jika dalam pengurusan terdapat
kekurangan perbendaharaan dan kepada Bendaharawan yang bersangkutan
diharuskan mengganti kerugian.
Tuntutan Ganti Rugi selanjutnya disingkat TGR adalah suatu proses tuntutan
terhadap pegawai/orang dalam kedudukannya bukan sebagai bendaharawan,
dengan tujuan menuntut penggantian kerugian disebabkan oleh perbuatannya
melanggar hukum dan/atau melalaikan kewajibannya atau tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya sehingga baik secara
langsung ataupun tidak langsung daerah menderita kerugian.
Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi selanjutnya disingkat TP-
TGR adalah suatu proses tuntutan melalui TP dan TGR bagi bendaharawan
atau pegawai bukan bendaharawan yang merugikan keuangan dan barang
daerah.
Kekurangan Perbendaharaan adalah selisih kurang antara saldo Buku Kas
dengan saldo Kas atau selisih kurang antara Buku Persediaan Barang dengan
sisa barang yang sesungguhnya terdapat di dalam gudang atau tempat lain
yang ditunjuk.
Kerugian Daerah adalah berkurangnya kekayaan Daerah yang disebabkan
oleh suatu tindakan melanggar hukum atau kelalaian bendaharawan atau
pegawai/orang bukan bendaharawan dan/atau disebabkan suatu keadaan di
luar dugaan dan di luar kemampuan manusia (force majeure).
Pelaksanaan TP-TGR diberlakukan terhadap bendaharawan atau
pegawai/orang bukan bendaharawan baik langsung atau tidak langsung
merugikan daerah yang berada pada:
a. Seluruh SKPD di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Trenggalek;
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
2. Infomasi, Pelaporan dan Pemeriksaan
Informasi mengenai adanya kekurangan perbendaharaan yang
mengakibatkan kerugian Daerah dapat diketahui dari berbagai sumber, antara
lain :
a. Hasil pengawasan melekat yang dilaksanakan oleh Atasan Langsung;
b. Hasil verifikasi SKPD atau pejabat yang diberikan kewenangan melakukan
verifikasi pada Badan Usaha Milik Daerah;
c. Hasil pemeriksaan aparat pengawas fungsional auditor, atau;
d. Laporan dari pihak-pihak lain yang bisa dipertangungjawabkan.
Kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala SKPD
kepada kepala daerah dan diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui, dan apabila tidak

133
melaporkan paling lambat 7 hari sejak diketahui kejadian dianggap telah lalai
melaksanakan tugas dan kewajiban sehingga terhadapnya dapat dikenakan
tindakan hukuman disiplin.
Bupati setelah memperoleh laporan, wajib segera menugaskan Inspektur
Kabupaten untuk melakukan pemeriksaan terhadap kebenaran laporan dan
melakukan tindakan dalam rangka pengamanan maupun upaya pengembalian
kerugian daerah.
Pemeriksaan atas dugaan atau sangkaan kerugian daerah harus didasarkan
pada kenyataan sebenarnya dan jumlah kerugian daerah yang pasti.
3. Penerbitan Surat Keputusan Pembebanan
Setelah Pemerintah Daerah menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP BPK-
RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan Laporan Hasil
Pemeriksaan Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)/Pengawas
Penyelenggaraan Umum Pemerintah Daerah (P2UPD) yang menyebabkan
kerugian daerah perlu disesuaikan dengan mekanisme penerbitan Surat
Keputusan Pembebanan oleh Bupati yang diajukan oleh Majelis Pertimbangan
TP-TGR. Penyelesaian kerugian Daerah lebih lanjut dalam pemantauan
penyelesaian kerugian daerah untuk menjamin pengembalian kerugian sesuai
dengan ketentuan.
4. Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan
Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan (TP) dapat dilaksanakan dengan
cara :
a. Upaya Damai, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Penyelesaian tuntutan perbendaharaan sedapat mungkin dilakukan
dengan upaya damai oleh bendaharawan/ahli waris baik sekaligus
(tunai) atau angsuran;
2) Pelaksanaan Upaya Damai, diproses oleh Inspektorat Kabupaten
Trenggalek;
3) Dalam keadaan terpaksa Bendaharawan yang bersangkutan dapat
melakukan dengan cara angsuran selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
sejak ditandatanganinya Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak
(SKTJM) dan/atau jaminan barang yang nilainya lebih besar atau
nilainya sama dengan kerugian daerah;
4) Penyelesaian dengan cara angsuran, apabila melalui pemotongan
gaji/penghasilan harus dilengkapi dengan Surat Kuasa Pemotongan
Gaji/penghasilan dan/atau jaminan barang beserta Surat Kuasa
pemilikan yang sah dan harus dilengkapi Surat Kuasa menjual;
5) Apabila Bendaharawan tidak dapat melaksanakan pembayaran
angsuran dalam waktu yang ditetapkan dalam Surat Keterangan
Tanggung Jawab Mutlak, maka barang jaminan pembayaran angsuran
dapat dijual sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

134
6) Apabila terdapat kekurangan dari hasil penjualan barang, tetap
menjadi kewajiban Bendaharawan yang bersangkutan dan apabila
terdapat kelebihan dari penjualan barang tersebut akan dikembalikan
kepada Bendaharawan yang berangkutan;
7) Keputusan TP (eksekusi) dikeluarkan oleh Bupati, dilakukan oleh
Majelis Pertimbangan.
b. Tuntutan Perbendaharaan Biasa, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) usaha untuk mendapatkan penggantian kerugian melalui upaya damai
tidak berhasil, proses tuntutan perbendaharaan dimulai dengan suatu
pemberitahuan tertulis dari Bupati kepada pihak yang akan dituntut,
dengan menyebutkan :
a) Identitas pelaku;
b) Jumlah kekurangan perbendaharaan yang diderita oleh Daerah
yang harus diganti;
c) Sebab-sebab serta alasan penuntutan dilakukan;
d) Tenggang waktu 14 (empat belas) hari yang diberikan untuk
mengajukan keberatan/pembelaan diri.
2) Apabila Bendaharawan tidak mengajukan keberatan/pembelaan diri
sampai dengan batas waktu yang ditetapkan atau telah mengajukan
pembelaan diri tetapi tidak dapat membuktikan bahwa ia bebas sama
sekali dari kesalahan/kelalaian, Bupati menetapkan Surat Keputusan
Pembebanan;
3) Berdasarkan Surat Keputusan Pembebanan tersebut, bagi
Bendaharawan yang telah mengajukan keberatan tertulis akan tetapi
Bupati tetap berpendapat bahwa yang bersangkutan salah/lalai dan
dengan demikan tetap membebankan penggantian kekurangan
perbendaharaan kepadanya, ia dapat mengajukan permohonan
banding kepada pejabat yang berwenang selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah diterima Surat Keputusan Pembebanan oleh yang
bersangkutan;
4) Tuntutan perbendaharaan ini dilakukan atas dasar perhitungan yang
diberikan oleh Bendaharawan yang bersangkutan kepada Bupati sesuai
dengan Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak;
5) Bendaharawan bertanggungjawab atas kekurangan perbendaharaan
yang terjadi dalam pengurusannya, kecuali apabila ia dapat
memberikan pembuktian bahwa ia bebas dari kesalahan atau kelalaian
atas kekurangan perbendaharaan tersebut;
6) Apabila dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten
terhadap Bendaharawan terbukti,kekurangan perbendaharaan
dilakukan oleh beberapa pegawai atau atasan langsung, maka kepada

135
yang bersangkutan dikenakan tanggung jawab renteng sesuai dengan
bobot keterlibatan dan tanggung jawabnya, urutan inisiatif dan
kelalaian atau kesalahannya;
7) Keputusan Bupati mengenai pembebanan kekurangan Perbendaharaan
mempunyai kekuatan hukum untuk pelaksanaanya dapat dilakukan
dengan memotong gaji dan penghasilan lainnya. Pelaksanaan
pemotongan gaji dan penghasilan lainnya dilakukan dengan cara
mengangsur dan dilunasi selambat-lambatnya 2 (dua) tahun;
8) Keputusan Pembebanan tetap dilaksanakan, meskipun yang
bersangkutan naik banding.
c. Tuntutan Perbendaharaan Khusus, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) apabila seorang bendaharawan meninggal dunia, melarikan diri atau
berada di bawah pengampuan dan lalai membuat perhitungan setelah
ditegur tiga kali berturut-turut belum menyampaikan perhitungan,
maka pada kesempatan pertama Atasan Langsung atas nama Bupati
melakukan tindakan pengamanan untuk menjamin kepentingan
Pemerintah Daerah, terdiri atas :
a) Buku Kas dan semua Buku Bendaharawan diberi garis penutup;
b) Semua uang, surat dan barang berharga, surat-surat bukti maupun
buku-buku disimpan/dimasukan dalam lemari besi dan disegel.
Khusus untuk Bendaharawan Barang, dilakukan penyegelan
terhadap gudang dan atau tempat penyimpanan barang-barang
yang menjadi tanggung jawab Bendaharawan;
c) Tindakan-tindakan tersebut di atas harus dituangkan dalam Berita
Acara Penyegelan dan bagi yang meninggal dunia disaksikan oleh
ahli waris, bagi yang melarikan diri disaksikan oleh keluarga terdekat
dan bagi bendaharawan yang berada di bawah pengampuan
disaksikan oleh pengampu (kurator) serta pejabat Pemerintah
Daerah setempat.
2) Atas dasar laporan Atasan Langsung, Bupati menunjuk pegawai atas
saran Majelis Pertimbangan yang ditugaskan untuk membuat
perhitungan ex officio :
a) Hasil perhitungan ex officio satu eksemplar diberikan kepada
pengampu, ahli waris, keluarga terdekat atau Bendaharawan yang
tidak membuat perhitungan dan dalam batas waktu 14 (empat
belas) hari diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan;
b) Biaya pembuatan perhitungan ex officio dibebankan kepada yang
bersangkutan atau ahli waris atau pengampu;
c) Besarnya biaya pembuatan perhitungan ex officio ditetapkan oleh
Bupati.

136
3) Tata cara Tuntutan Perbendaharaan Khusus yang
dipertanggungjawabkan kepada ahli waris bagi Bendaharawan yang
meninggal dunia, keluarga terdekat bagi Bendaharawan yang
melarikan diri dan pengampu bagi yang di bawah perwalian atau
Bendaharawan yang tidak membuat perhitungan, apabila terjadi
kekurangan perbendaharaan berlaku ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam tuntutan perbendaharaan biasa.
d. Pencatatan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Bupati menerbitkan Surat Keputusan Pencatatan jika proses TP belum
dapat dilaksanakan karena Bendaharawan meninggal dunia tanpa ada
ahli waris yang diketahui, atau ada ahli waris tetapi tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya, atau Bendaharawan melarikan
diri dan tidak diketahui alamatnya;
2) Dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pencatatan, kasus
bersangkutan dikeluarkan dari administrasi pembukuan;
3) Pencatatan, sewaktu-waktu dapat ditagih apabila yang bersangkutan
diketahui alamatnya atau ahli waris dapat dimintakan
pertanggungjawabannya atau upaya penyetoran ke Kas Daerah.
5. Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi
Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi (GR) dapat dilaksanakan dengan cara :
a. Upaya Damai, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Penyelesaian Kerugian Daerah sedapat mungkin dilakukan dengan
upaya damai oleh pegawai/orang ahli waris sekaligus (tunai) atau
angsuran;
2) Dalam keadaan terpaksa yang bersangkutan dapat melakukan dengan
cara angsuran selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak ditanda
tanganinya Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) dan
harus disertai jaminan barang yang nilainya lebih besar atau sama
dengan nilai kerugian daerah;
3) Dalam hal penyelesaian dengan angsuran, apabila melalui pemotongan
gaji/penghasilan harus dilengkapi dengan Surat Kuasa dan Jaminan
Barang serta Surat Kuasa Pemilikan yang sah serta dilengkapi surat
kuasa menjual;
4) Pelaksanaan upaya damai, dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten;
5) Apabila Pegawai/Orang tidak dapat melaksanakan pembayaran
angsuran dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat
Keterangan Tanggung Jawab Mutlak, maka barang jaminan
pembayaran angsuran dapat dijual sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
6) Apabila terdapat kekurangan dari hasil penjualan barang, tetap
menjadi kewajiban Pegawai/Orang yang bersangkutan dan apabila

137
terdapat kelebihan dari penjualan barang tersebut akan dikembalikan
kepada pegawai/orang bersangkutan;
7) Pelaksanaan Keputusan TGR (eksekusi) dilakukan oleh Majelis
Pertimbangan.
b. Tuntutan Ganti Rugi Biasa, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Apabila usaha untuk mendapatkan penggantian kerugian upaya damai
tidak berhasil, proses TGR diberitahukan secara tertulis oleh Bupati
kepada Pegawai/Orang yang bersangkutan dengan menyebutkan :
a) Identitas pelaku;
b) Jumlah kerugian yang diderita oleh Daerah yang harus diganti;
c) Sebab-sebab serta alasan penuntutan dilakukan;
d)Tenggang waktu yang diberikan untuk mengajukan pembelaan diri
selama 14 (empat belas) hari, terhitung sejak diterimanya
pemberitahuan oleh pegawai/orang bersangkutan.
2) Tuntutan Ganti Rugi dilakukan atas dasar :
a) Pada kenyataan yang sebenarnya dari hasil pengumpulan bahan-
bahan bukti dan penelitian Inspektorat Kabupaten terhadap pegawai
bersangkutan;
b) Semua pegawai daerah bukan bendaharawan atau ahli warisnya,
apabila merugikan daerah wajib dikenakan TGR;
c) Kerugian daerah yang diakibatkan oleh perbuatan melanggar hukum
atau perbuatan melalaikan kewajiban atau tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana mestinya yang dipersalahkan pegawai, serta
ada hubungannya dengan pelaksanaan fungsi ataupun dengan
status jabatannya baik langsung maupun tidak langsung;
d) Berdasarkan Keputusan Pembebanan, pejabat yang ditunjuk Bupati
melaksanakan penagihan atas pembayaran ganti rugi kepada yang
bersangkutan;
e) Keputusan Pembebanan Ganti Rugi tersebut pelaksanaannya dapat
dilakukan dengan cara memotong gaji dan penghasilan lainnya yang
bersangkutan, memberi izin untuk mengangsur dan dilunaskan
selambat-lambatnya 2 (dua) tahun, dan apabila dianggap perlu
dapat meminta bantuan kepada yang berwajib untuk dilakukan
penagihan dengan paksa;
f) Permohonan Banding kepada Gubernur dapat diajukan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari, setelah diterimanya Keputusan
Pembebanan oleh yang bersangkutan;
g) Keputusan Tingkat Banding dari Gubernur dapat berupa
memperkuat atau membatalkan Surat Keputusan Pembebanan, atau
menambah/ mengurangi besarnya jumlah kerugian yang harus
dibayar oleh yang bersangkutan;

138
h) Apabila permohonan banding diterima, Bupati menerbitkan Surat
Keputusan tentang Peninjauan Kembali.
3) Pelaksanaan TGR sebagai akibat perbuatan melanggar hukum atau
melalaikan kewajiban yang dipersalahkan kepadanya dan/atau tidak
menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya diserahkan
penyelesaiannya melalui Tim Majelis Pertimbangan.
c. Penyelesaian Kerugian Barang Daerah, dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Pegawai/Orang yang bertanggung jawab atas terjadinya kehilangan
Barang Daerah (bergerak/tidak bergerak) dapat melakukan
penggantian dengan bentuk uang atau barang sesuai dengan cara
penggantian kerugian yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
2) Penggantian kerugian dengan bentuk barang dilakukan khusus
terhadap barang bergerak berupa kendaraan bermotor roda 4 (empat)
dan roda 2 (dua) yang umur perolehan/pembeliannya antara 1 sampai
3 tahun;
3) Penggantian kerugian dengan bentuk uang dapat dilakukan terhadap
barang tidak bergerak atau yang bergerak selain tersebut diatas
dengan cara tunai atau angsuran selama 2 (dua) tahun;
4) Nilai (taksiran) jumlah harga benda yang akan diganti rugi dalam
bentuk uang maupun barang tersebut diatas ditetapkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
d. Pencatatan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pegawai Negeri yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau melarikan
diri tidak diketahui alamatnya, dalam pencatatan wajib dikenakan TGR
setelah mendapat pertimbangan Majelis;
2) Pegawai/Orang yang melarikan diri TGR tetap dilakukan terhadap ahli
warisnya, dengan memperhatikan harta peninggalan yang dihasilkan
dari perbuatan yang menyebabkan kerugian Daerah tersebut;
3) Dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pencatatan, kasus
bersangkutan dikeluarkan dari Administrasi Pembukuan;
4) Pencatatan sewaktu-waktu dapat ditagih apabila yang besangkutan
diketahui alamatnya.
6. Daluwarsa
a. Tuntutan Perbendaharaan :
1) Tuntutan Perbendaharaan Biasa dinyatakan daluwarsa (lewat waktu)
apabila baru diketahui setelah lewat 30 (tiga puluh) tahun kekurangan
kas/barang tersebut, dalam kasus dimaksud tidak dilakukan upaya-
upaya damai;

139
2) Tuntutan Perbendaharaan Khusus terhadap ahli waris atau yang
berhak lainnya dinyatakan daluwarsa (lewat waktu) apabila jangka
waktu 3 (tiga) tahun telah berakhir setelah:
a. Meninggalnya Bendaharawan tanpa ada pemberitahuan;
b. Jangka waktu untuk mengajukan keberatan berakhir, sedangkan
Surat Keputusan Pembebanan tidak pernah ditetapkan.
b. Tuntutan Ganti Rugi Biasa :
TGR dinyatakan daluwarsa setelah lewat 5 (lima) tahun sejak akhir tahun
kerugian Daerah diketahui atau setelah 8 (delapan) tahun sejak akhir tahun
perbuatan terakhir diketahui.
7. Penghapusan
a. Bendaharawan/pegawai/orang ataupun ahli waris/keluarga terdekat
pengampu yang berdasarkan Keputusan Bupati diwajibkan mengganti
kerugian daerah tidak mampu membayar ganti rugi, maka yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati
untuk penghapusan atas kewajibannya;
b. Dalam permohonan sebagaimana tersebut diatas, Bupati mengadakan
penelitian yang dilakukan oleh Majelis Pertimbangan, apabila ternyata yang
bersangkutan memang tidak mampu, maka dengan persetujuan DPRD,
Bupati dengan Surat Keputusan dapat menghapuskan TP/TGR baik
sebagian ataupun seluruhnya;
c. Penghapusan dapat ditagih kembali apabila bendaharawan/pegawai/orang
/ahli waris bersangkutan terbukti mampu;
d. Berdasarkan pertimbangan efisiensi, maka kerugian Daerah yang bernilai
sampai dengan Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh Juta Rupiah) dapat diproses
penghapusannya bersama dengan penetapan Peraturan Daerah tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tahun anggaran berkenaan.
8. Pembebasan
Dalam hal Bendaharawan atau pegawai/orang bukan bendaharawan ternyata
meninggal dunia tanpa ahli waris atau tidak layak untuk ditagih, yang
berdasarkan Surat Keputusan Bupati diwajibkan mengganti kerugian daerah,
maka Majelis Pertimbangan memberitahukan secara tertulis kepada Bupati
untuk memohonkan pembebasan atas sebagian/seluruh kewajiban
bersangkutan, setelah mendapat persetujuan DPRD.
9. Penyetoran
Penyetoran/pengembalian secara tunai/sekaligus atau angsuran kekurangan
perbendaharaan/kerugian daerah atau hasil penjualan barang jaminan/
kebendaan harus melalui Kas Daerah yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah.
Dalam kasus kerugian Daerah penyelesaian diserahkan melalui Pengadilan,
Bupati berupaya agar Putusan Pengadian atas barang yang dirampas
diserahkan ke daerah dan selanjutnya disetorkan ke Kas Daerah. Khusus

140
penyetoran kerugian daerah yang berasal dari Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) setelah diterima Kas Daerah segera dipindahbukukan kepada
Rekening BUMD bersangkutan.
10. Pelaporan
Bupati wajib melaporkan perkembangan pelaksanaan penyelesaian kerugian
Daerah setiap semester kepada Gubernur selaku wakil pemerintah.
Departemen Dalam Negeri melakukan pemantauan terhadap laporan Bupati
tersebut.
D. MAJELIS PERTIMBANGAN TP-TGR
Bupati dalam melaksanakan TP-TGR, dibantu oleh Majelis Pertimbangan. Majelis
Pertimbangan ditetapkan dengan Keputusan Bupati dan bertanggung jawab
langsung kepada Bupati. Adapun keanggotaan Majelis Pertimbangan secara ex
officio terdiri dari :
1. Sekretaris Daerah selaku Ketua merangkap anggota dan tidak diwakilkan;
2. Inspektur Kabupaten selaku Wakil Ketua I merangkap anggota;
3. Asisten Administrasi Umum Sekda, selaku Wakil Ketua II merangkap Anggota;
4. Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, selaku Sekretaris
merangkap Anggota;
5. Kepala Badan Kepegawaian Daerah, selaku Anggota;
6. Kepala Bidang Aset BPKAD, selaku Anggota;
7. Kepala Bagian Hukum Setda, selaku Anggota;
8. Kepala Bagian Umum dan Perlengkapan Setda, selaku Anggota; dan
9. Kepala Bidang Perbendaharaan BPKAD, selaku Anggota.
Keanggotaan Majelis Pertimbangan tidak dapat diwakilkan dalam sidang dan
anggota Majelis Pertimbangan sebelum menjalankan tugasnya mengucapkan
sumpah/janji dihadapan Bupati sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang
berlaku. Tugas Majelis Pertimbangan adalah memberikan pendapat dan
pertimbangan pada setiap kali ada persoalan yang menyangkut TP-TGR Keuangan
dan Barang Daerah.
Dalam melaksanakan tugas, Majelis Pertimbangan TP-TGR dibantu oleh
Sekretariat Majelis Pertimbangan yang berada pada Badan Pengelola Keuangan
dan Aset Daerah. Kepala BPKAD selaku Sekretaris Majelis Pertimbangan dalam
melaksanakan tugasnya dibantu oleh anggota Sekretariat Majelis, yang terdiri dari
unsur BPKAD dan unsur instansi terkait yang ditetapkan dengan Keputusan
Bupati. Dalam pelaksanaan tugas, Majelis TP-TGR biayanya dibebankan pada
APBD.

141
BAB X
PENUTUP

Hal-hal yang belum diatur di dalam Buku Pedoman Pelaksanaan APBD


Kabupaten Trenggalek ini akan diatur tersendiri.
Demikian Buku Pedoman Pelaksanaan APBD Kabupaten Trenggalek dibuat
sebagai pedoman bagi pejabat pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Trenggalek
untuk dilaksanakan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.

BUPATI TRENGGALEK,

TTD

MULYADI WR
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN HUKUM,

ANIK SUWARNI
Nip . 19650919 199602 2 001

142

Anda mungkin juga menyukai