Anda di halaman 1dari 4

NAMA : NIKO HAFRI

NPM : B2A017048
HUKUM PAJAK

“PERALIHAN BPHTB DARI PAJAK PUSAT MENJADI PAJAK


DAERAH”

Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


(BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu
bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Bentuk
kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan, dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan
dan Perkotaan. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses pendataan,
penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan
pelayanan BPHTB akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
(Kabupaten/Kota).

Adapun tujuan Pengalihan pengelolaan BPHTB menjadi pajak daerah sesuai


dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
a. meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah
b. memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan
baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah),
c. memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan
retribusi dengan memperluas basis pajak daerah,
d. memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak
daerah, dan
e. menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan
pengaturan pada daerah.

Persiapan Pendaerahan Pbb P2 Dan Bphtb


Untuk melakukan pendaerahan PBB P2 dan BPHTB diperlukan persiapan
yang matang yang harus dilakukan oleh pemeritah daerah yang bersangkutan
yang meliputi peralatan, peraturan, pembiayaan, dan personil.
Peralatan yang harus dipersiapkan meliputi perangkat lunak dan perangkat
keras. Perangkat lunak merupakan sistem aplikasi yang selama ini telah
dioperasikan oleh Diretkorat Jederal Pajak dalam mengelola PBB yang terdiri dari
sistem aplikasi oracle, Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB), Bank Data
Nilai Pasar Properti (BDNPP), Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak
(Sismiop), dan lain-lain. Sedangkan perangkat keras merupakan peralatan-
peralatan yang dipergunakan untuk menunjang pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan yang terdiri dari High Speed Printer, Scanner dan Plotter, Komputer
dan Printer, Global Posistioning System (GPS), Distometer, Theodolit, File
Storage, Digital Camera, dan lain-lain.

Di bidang peraturan, maka harus dipersiapkan beberapa peraturan daerah


yang berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan PBB P2 dan BPHTB yang
menyangkut pendataan, penilaian/penentuan NJOP, pencetakan
SPPT/STTS/DHKP, penerbitan salinan SPPT/Surat Keterangan NJOP,
penetapan pajak (NJOPTKP, NPOPTKP, ketetapan minimal, dan lain-lain),
administrasi penerimaan, pemungutan dan tempat pembayaran, penagihan,
tunggakan, pemeriksaan/penelitian, pengurangan dan keberatan, dan lain-lain.

Di bidang pembiayaan, jelas merupakan suatu investasi awal yang tidak


sedikit yang meliputi pendataan dan penilaian objek dan subjek PBB P2 dalam
rangka pembentukan basis data, pengadaan barang (formulir SPPT/STTS, dll),
peralatan, honorarium tim (petugas pungut, dll.), pelatihan SDM, biaya
administrasi, pencetakan data keluaran, dan lain-lain.

Di bidang personil, pemerintah daerah harus menyiapkan personil yang


bertugas sebagai pendata atausurveyor, penilai (valuer), operator
console dan operator data entry, administrasi pemungutan, pemungut,
penagih/juru sita, pendistribusi SPPT, dan lain-lain.

Dampak Pengalihan Pbb P2 Dan Bphtb


Pengalihan PBB P2 dan BPHTB dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah jelas memiliki dampak yang bersifat positif maupun negatif bagi
pemerintah daerah yang bersangkutan.
1. Dampak Positif
a. Akurasi data objek dan subjek PBB P2, dapat lebih ditingkatkan
karena aparat pemerintah daerah lebih menguasai wilayahnya
apabila dibandingkan dengan aparat pemerintah pusat sehingga
dapat meminimalisir pengajuan keberatan dari para wajib pajak
PBB P2;
b. Daerah memiliki kemampuan meningkatkan potensi PBB P2 dan
BPHTB sepanjang penentuan NJOP selama ini oleh pemerintah
pusat dinilai masih dibawah nilai pasar objek yang bersangkutan
(optimalisasi NJOP);
c. Pemberdayaan local taxing power, yaitu kewenangan penuh
daerah dalam penentuan tarif dan pengelolaan administrasi
pemungutan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas;

2. Dampak Negatif
a. Peningkatan NJOP yang sama dengan nilai pasar dapat
mengakibatkan naiknya ketetapan PBB yang dapat menimbulkan
gejolak masyarakat;
b. Penggunaan tarif maksimum guna meningkatkan potensi PBB P2
apabila tidak hati-hati dan dikaji secara mendalam dapat
menimbulkan gejolak masyarakat karena penggunaan tarif
maksimum dapat menaikkan PBB P2 sebesar tiga kali lipat;
c. Dalam rangka pengelolaan PBB P2 dan BPHTB, pemerintah
daerah harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, baik untuk
kemungkinan penambahan kantor dan pegawai baru maupun
untuk melengkapi peralatan administrasi, komputerisasi dan
pelatihan SDM;
d. Kesenjangan penerimaan PBB P2 antar daerah makin menonjol
karena disparitas potensi penerimaan pajak daerah lainnya.
Daerah yang memiliki potensi penerimaan pajak daerah lainnya
atau mengandalkan bagi hasil lain dari pemerintah pusat,
cenderung mengabaikan pemungutan PBB P2 (karena sulit dan
kompleks bahkan tidak dipungut) dan sebaliknya daerah yang
semata-mata mengandalkan penerimaan PBB P2 kemungkinan
akan menerapkan tarif yang maksimal guna menggenjot
penerimaannya;
e. Pendaerahan PBB P2 dan BPHTB dapat mengakibatkan
beragamnya kebijakan antara satu daerah dengan daerah
lainnya, misalnya perbedaan tarif, NJOPTKP, dan NPOPTKP.
Perbedaan tersebut dapat mengakibatkan ketidakadilan baik bagi
masyarakat wajib pajak, pelaku bisnis, maupun masyarakat pada
umumnya.
Peralihan BPHTB perkotaan dan pedesaan dari pajak pusat menjadi pajak
daerah yang diatur dalam UU 28 Tahun 2009, akan memberi dampak juga
terhadap keuangan negara dan keuangan daerah. Pada prinsipnya secara
administrasi terjadi perpindahan pencatatan hasil pemungutan BPHTB, jika
sebelumnya penerimaan BPHTB tercatat pada keuangan negara (APBN) dalam
penerimaan perpajakan, kemudian setelah mekanisme peralihan berjalan akan
masuk dalam PAD khususnya pajak daerah.

Implikasi Sosial Dan Ekonomi


Peralihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mempunyai
implikasi sosial dan ekonomi sebagai berikut:
1. Menjamin ketersediaan anggaran untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan
jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.

2. Meningkatkan kepastian hukum.


3. Meningkatkan pelayanan publik, dengan syarat masyarakat tidak
dipungut secara berlebihan.
4. Menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Kemudian, agar terciptanya kelancaran dalam pengelolaan BPHTB-P2,


pemerintah kabupaten/kota harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan
keseimbangan antar wilayah
2. Kebijakan tarif BPHTB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat
3. Menjaga kualitas pelayanan kepada WP, dan
4. Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga

Anda mungkin juga menyukai