NIM : 18210039
MK : ISU DAN KEBIJAKAN OTODA
FAKULTAS : FIA C
ND : DWI OKTISARI,S.Sos,M.Si
daerah
A. Pendahuluan
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi piscal secara utuh yang dimulai sejak
lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 menimbulkan reaksi
yang berbeda-beda bagi daerah. Pemerintah daerah yang memiliki Sumber Kekayaan alam
yang besar menyambut otonomi daerah dengan penuh harapan, sebaliknya daerah yang
miskin sumber daya alamnya menanggapinya dengan sedikit rasa khawatir dan was-was. Hal
ini di sebabkan karena sebagian besar pemerintah daerah masih mengandalkan seumber
pendapatan dan hasil kekayaan alamnya. Kekhawatiran beberapa daerah tersebut bisa di
pahami, karena pelaksanaan otonomi daerah dan Desentralisasi fiscal membawa konsekuensi
bagi pemerintahan daerah untuk lebih mandiri, baik dari sistem pembiayaan maupun dalam
menentukan arah pembangunan daerah sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat
di daerah.
Pengelolaan Penerimaan daerah harus di lakukan secara cermat, tepat, dan hati-hati.
Pemerintah daerah Hendaknya dapat menjamin bahwa semua potensi penerimaan telah
terkumpul dan di catat ke dalam suatu sistem akuntasi pemerintah daerah. Dalam hal ini,
pemerintah daerah perlu memiliki sistem pengendalian yang memadai untuk menjamin di
taatinya prosedur dan kebijakan manajemen yang telah di tetapkan . Pemerintah Daerah perlu
meneliti adakah penerimaan yang tidak di setor ke dalam kas pemerintah daerah dan di
salahgunakan oleh petugas di lapangan.perlu juga di teliti masyarakat yang tidak membayar
pajak dan pemberian sanksi atas tindakan penggelapan pajak . artinya selain ekstensifikasi
penerimaan, pemerintah daerah juga tidak boleh lengah dengan potensi yang sudah ada
sehingga tidak ke hilangan haknya . selain selain itu, perlu di lakukan penyederhanaan
prosedur administrasi, tetapi di tingkatkan prosedur pengendalianya. Penyederhanaan
prosedur administrasi di maksudkan untuk memberi kemudahan bagi masyarakat membayar
pajak dan retribusi daerah sehingga di harapkan dapat meningkatkan kepatuhan membayar
pajak.
Tingginya tingkat kebutuhan daerah ( fiscal need) yang tidak seimbang dengan
kapasitas fiscal (fiscal capacity) yang di miliki daerah, sehingga
menimbulkan fiscal gap.
Kualitas layanan publik yang masih memprihatinkan menyebabkan prosedur
layanan publik yang sebenarnya dapat di jual ke masyarakat di respons secara
negate. Keadaan tersebut juga menyebabkan ke engganan masyarakat untuk
taat membayar pajak dan retribusi daerah.
Lemahnya infrastruktur prasarana dan sarana umum dan
Belum di ketahui potensi PAD yang mendekati kondisi rill.
Langkah penting yang harus di lakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan
daerah adalah menghitung potensi pendapatan asli Daerah yang rill di miliki daerah.
Beberapa strategi yang dapat di lakukan pemerintah Daerah untuk menutupi kesenjangan
fiscal melalui manajemen penerimaan daerah antara lain:
1. Mempelajari kemungkinan meningkatkan pendapatan melalui charging for
service ( penjualan jasa public ).
2. Perlu di lakukan perbaikan administrasi penerimaan pendapatan daerah
(revenue administration ) untuk menjamin agar semua pendapatan dapat
terkumpul dengan baik.
3. Kemungkinan menaikan pajak melalui peningkatan tariff dan perluasan
subjek dan objek pajak dan;
4. Mengoptimalkan penerimaan pajak pusat yang dapat di bagi ( sharing )
dengan daerah (PPH perseorangan, BPHTB, PBB). Jika potensinya cukup
besar maka pemerintah daerah dapat membantu mobilisasi penerimaan pajak
pusat, sehingga bagian bagi hasil pajak untuk daerah tersebut tinggi.
Pemerintah daerah sebaiknya tidak menambah pungutan yang bersifat pajak ( menambah
jenis baru ). Jika mau menambah pungutan hendaknya yang bersifat retribusi, sedangkan
pajak justru di upayakan sebagai “ the last offort “ saja.Bahkan idealnya pungutan pajak yng
di bayar masyarakat adalah pajak pusat saja. Kebijakan untuk tidak menambah pungutan
pajak dan meningkatkan retribusi di dasarkan atas beberapa pertimbangan .
Sementara itu, Devas (1989) memberikan kriteria yang lebih rinci untuk menetapkan
kelayakan suatu pajak. Sejumlah kriteria yang harus di pertimbangkan untuk menilai pajak
daerah tersebut layak atau tidak, yaitu :
BUMD sebagai perusahaan milik daerah mulanya di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1962
tentang perusahaan daerah. Sehubungan dengan adanya desntralisasi dan otonomi daerah,
sebagai bagian dari daerah, BUMD juga diatur cukup detil pada UU Nomor 23 Tahun 2014
Tentang pemerintahan Daerah. Dalam PP Nomor 54 Tahun 2017, pemerintah daerah dapat
mendirikan Badan Usaha Milik Daerah melalui peraturan Daerah ( Perda ) dengan tujuan :
Dengan demikian dapat di ketahui bahwa harapan yang melekat pada sebuah BUMD adalah
untuk menjadi penggerak perekonomian daerah, menjadi penyedia layanan umum, seta
memberikan keuntungan kepada daerah dalam bentuk laba / deviden perusahaan. Melalui
berbagai kegiatan usahanya, BUMD di harapkan mampu berkontribusi dalam memberikan
nilai tambah terhadap produk Domestik Regional Bruto ( PDRB) Serta menyerap tenaga
kerja sehingga perekonomian daerah dapat tumbuh dengan baik serta menimbulkan multiplier
effect yang besar. BUMD sangat bergantung pada dukungan pemerintah daerah baik dari segi
finansial maupun non finansial.
- Dari segi finansial, pemerintah daerah harus memberikan dukungan sumber daya
yang cukup sehingga BUMD dapat beroperasi dan menjalankan usahanya dengan
baik.
- Dari segi non finansial, pemerintah dapat mendukung BUMD Melalui penugasan
khusus atau regulasi yang memberikan afirmasi kepada BUMD untuk dapat bersaing .
F. Optimalisasi Peran BLUD
Badan Layanana Umum ( BLU ) secara resmin di atur pertama kali dalam UU Nomor
1 Tahun 2004 tentang pembendaharaan Negar. Dalam UU tersebut, di sebutkan bahwa
BLU adalah instansi di lingkungan pemrintah yang di bentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan / atau jasa yang di jual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatanya didasarkan
pada prinsip efisiensi dan produktifitas.
Menurut PP Nomor 74 Tahun 2012, dalam menentukan tariff layanan BLU / BLUD
harus mempertimbangkan aspek-aspek :
Aspek-aspek di atas harus di perhitungkan secara cermat agar BLU / BLUD tidak menambah
beban masyarakat yang pada ujungnya justru kontradiktif dengan tujuan pendiriany. Dengan
demikian BLU / BLUD diharapka secara simultan dapat memberikan layanan yang
berkualitas kepada masyarakat sekaligus memberikan sumber pendapatan bagi daerah. Untuk
dapat menjalankan peran tersebut, BLU / BLUD memiliki bentuk yang sfesifik dan
menggunakan pola pengelolaan keuangan yang khusus. BLU / BLUD merupakan bagian
perangkat pencapaian tujuan kementrian Negara / lembaga / pemerintah daerah dan
karenanya status hokum BLU / BLUD tidak terpisahkan dari kementrian Negara / Lembaga /
pemerintah daerah sebagai instansi induk. Berbeda dengan BUMN / BUMD yang mengelola
bagian keuangan Negara / daerah yang di pisahkan. Sebagai pengelola keuangan Negara /
daerah yang tidak di pisahkan, BLU / BLUD memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi di
bandingkan dengan instansi pemerintah konvenisonal. Fleksibilitas tersebut salah satunya
terlihat dari kewenangan BLU / BLUD yang dapat langsung menggunakan penerimaanya
dalam rangka membiayai kegiatan operasionalnya untuk meningkatkan layanan kepada
masyarakat.
REFERENSI
Prof.Dr.Mardianto, MBA.,Ak.,CA.