Anda di halaman 1dari 30

BAB III

PENGELOLAAN PBB-P2
(PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN
DAN PERKOTAAN)

Standar Kompetensi

Setelah mempelajari materi Bab III ini, pembaca mampu memahami berbagai
pengelolaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2)
dan penentuan tarif sebagai dasar dalam perhitungan pendapatan asli daerah
(PAD).

Indikator Keberhasilan:

Setelah mempelajari materi ini, pembaca dapat:

1. Menjelaskan PBB-P2 sebagai Pajak Pusat.


2. Menjelaskan PBB-P2 sebagai Pajak Daerah
3. Menyebutkan fungsi dan pelaksanaan PBB-P2
4. Menyebutkan langkah-langkah optimalisasi PBB-P2
5. Menguraikan berbagai masalah dalam pemungutan PBB-
P2
A. LATAR BELAKANG

Berpindahnya pengelolaan PBB-P2 yang sebelumnya dikelola oleh


Direktorat Jenderal Pajak sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah berdampak pada beberapa hal terkait
pelaksanaan operasional pajak. PBB-P2 pada dasarnya merupakan pajak
objektif yang mengacu pada objeknya dan memiliki karakter yang berbeda
dengan jenis pajak lain, seperti Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Siapapun pemiliknya, penggunanya, maupun yang
mendapat manfaat dari suatu objek PBB-P2 akan menjadi subjek pajak yang
apabila memenuhi kriteria akan menjadi wajib pajak.

PBB-P2 yang selama ini dikelola oleh pemerintah pusat, dalam hal ini
oleh Direktorat Jenderal Pajak, telah memiliki sistem aplikasi dan database
yang sudah sejak lama dibangun dan dikumpulkan. Suatu sistem dibuat untuk
mempermudah suatu pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Begitu juga
dengan sistem yang telah dibangun untuk pengelolaan PBB-P2 ini. Beberapa
sistem yang digunakan antara lain adalah Sistem Manajemen Informasi Objek
Pajak (SISMIOP) yang memudahkan fiskus dalam mengadministrasikan
maupun menganalisis kebijakan apa saja yang akan diambil dalam rangka
memaksimalkan penerimaan dan kepatuhan wajib pajak. Selain itu, Sistem
Informasi Geografis PBB (SIG PBB) dalam pengelolaan PBB-P2 tidak dapat
begitu saja diabaikan karena dengan menggunakan sistem ini dapat diketahui
posisi relatif terhadap kondisi sekitarnya.

Sistem yang sudah dibangun sejak lama tersebut telah menghasilkan


banyak sekali data yang berada di database Direktorat Jenderal Pajak. Data
tersebut nilainya sangat tinggi dan merupakan hasil kerja bertahun- tahun.
Seiring dengan berpindahnya pengelolaan PBB-P2 dari pemerintah ke
pemerintah daerah maka semua sistem dan data yang terkait harus ditransfer
ke pemerintah daerah. Cukup kompleksnya sistem dan data yang sudah
dimiliki Direktorat Jenderal Pajak menjadikan semua sistem yang terkait
dengan PBB-P2 menjadi sesuatu yang sangat berharga apabila dapat
dikelola oleh pemerintah daerah setempat.
Melalui pemberian otonomi daerah secara luas, daerah diharapkan
mampu mengelola dan menggali potensinya sehingga dapat membiayai
penyelenggaraan urusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu perlu
diciptakan sumber-sumber penerimaan untuk keuangan daerah. Dengan
demikian, maka kemandirian daerah, peningkatan kualitas pelayanan dan
pemberdayaaan masyarakat dapat diwujudkan untuk mempercepat
terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Pada tanggal 15 September 2009, telah disahkan Undang Undang


Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang Undang Nomor 18
Tahun 1987 dan Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dan berlaku effektif pada tanggal 1 Januari
2010. Latarbelakang pembentukan Undang Undang Nomor 28 Tahun
2009 antara lain untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
daerah dalam mengatur pajak daerah dan retribusi daerah, meningkatkan
akuntabilitas dalam penyediaan layanan dan pemerintahan, memperkuat
otonomi daerah, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan
dunia usaha.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah kini mempunyai
tambahan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak
daerah, antara lain Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(PBB-P2) yang baru diberlakukan sejak 1 Januari 2014. Pengalihan PBB-
P2 ini menjadi pajak daerah diharapkan akan mampu memberikan
kontribusi yang besar bagi peningkatan PAD.

Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah mempunyai


tujuan sebagai berikut.

a. memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan


pemungutan baru;
b. memberikan kewenangan kepada daerah dalam menetapkan tarif
pajak daerah;
c. meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah;
d. menyerahkan fungsi pajak sebagai instrument penganggaran dan
pengaturan daerah;
e. memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan
retribusi dengan memperluas pajak daerah

II. PBB-P2 SEBAGAI PAJAK PUSAT

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang telah


dipungut dalam kurun waktu yang sangat lama, yaitu mulai dari jaman
kerajaan, jaman penjajahan, jaman kemerdekaan, hingga sampai saat ini.
Dalam melakukan pemungutan PBB, pemerintah daerah harus memahami
sejarah pemungutan PBB dengan mempelajari sejarah pengaturan dan
praktek pemungutan PBB, hubungan antara pemajakan atas tanah
dengan kepemilikan tanah, permasalahan sosial serta konsekwensi
hukum yang timbul karena dikeluarkannya produk hukum pemungutan
PBB (seperti Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)). Pemungutan
Pajak Atas Tanah Setelah Kemerdekaan

Pajak bumi digantikan dengan Pajak Hasil Bumi berdasarkan


Undang-undang No 14 tahun 1951 (L.N 1951 No 84) tentang Penggantian
Pajak Bumi dengan Pajak Peralihan Tahun 1944. Dalam
perkembangannya, pemerintah menyempurnakan Undang-undang No 14
tahun 1951 dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (L.N.
1959 No 104) dan ditetapkan kembali dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1961. Undang-undang ini hanya mengatur tentang pungutan pajak
atas tanah adat (tidak termasuk tanah hak barat).

Dengan diberlakukannya UUPA pada tahun 1960 serta ditegaskan


lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun
1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967, maka Undang-undang Nomor 11 Tahun
1959 tentang Pajak Hasil Bumi yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi
harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil
Bumi. Termasuk tanah-tanah yang diatur dalam Ordonansi Verponding
Indonesia tahun 1923 dan tahun 1928. Pungutan Pajak hasil Bumi pada
saat itu dikelola oleh Jawatan Pajak Hasil Bumi yang pada tahun 1963
diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi.

Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah


Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA
(Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran
Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai
1 November 1965. Kelembagaan Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah
menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (Di Bawah Ditjen
Moneter). IPEDA merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat atas tanah, yang kemudian hasil pemungutan tersebut seluruhnya
dikembalikan kepada daerah untuk kegiatan pembangunan. Dengan
keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976,
Direktorat IPEDA diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada
Direktorat Jenderal Pajak.

Pada tanggal 27 Desember 1985 dengan diberlakukannya Undang-


undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi
Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Demikian juga unit kantor di
daerah yang semula bernama Inspeksi IPEDA diganti menjadi Inspeksi
Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar IPEDA diganti menjadi
Kantor Dinas Luar PBB. Perubahan yang terjadi dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 (Undang-undang PBB) adalah
dengan hanya menerapkan satu jenis pajak yang dipungut atas objek
pajak berupa tanah dan atau bangunan yang sebelumnya dikenakan
atasnya beberapa jenis pajak. Ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan
diberlakukan atas sektor P2 dan P3 sebagaimana juga jenis sektor yang
diberlakukan dalam IPEDA.

IPEDA merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat


atas tanah, yang kemudian hasil pemungutan tersebut
seluruhnya dikembalikan kepada daerah untuk kegiatan pembangunan

Sebagaimana pungutan melalui IPEDA, penerimaan PBB sebagian


besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Bagi hasil penerimaan
PBB diformulasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985
sebagai berikut:

• 10% (sepuluh persen) dari hasil penerimaan merupakan bagian


penerimaan untuk Pemerintah Pusat dan harus disetor sepenuhnya ke
Kas Negara;

• 90% (sembilan puluh persen) dari hasil penerimaan merupakan bagian


untuk Pemerintah Daerah

• Hasil penerimaan (sebesar 90%), setelah dikurangi dengan biaya untuk


melakukan pemungutan sebesar 10% (sepuluh persen), dibagi untuk
Pemerintah Daerah Tingkat I sebesar 20% dan Daerah Tingkat II
sebesar 80%

Dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), maka pungutan PBB yang
sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat, untuk sektor perdesaan dan
perkotaan, dikelola oleh kabupaten/kota. Latar belakang pendaerahan
pengelolaan PBB ini selaras dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang
didesain dalam rangka mendukung perkembangan otonomi daerah. Hasil
penerimaan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) seluruhnya
merupakan penerimaan kabupaten/kota.

Perkembangan Administrasi Pajak atas Tanah Setelah


diberlakukannya UU PBB

Sebelum diberlakukanya UU Nomor 12 tahun 1985, dalam


pengadministrasian Pajak hasil bumi/IPEDA antara lain dikenal formulir
pembukuan data PBB berupa: buku A (daftar pokok pajak), buku B (daftar
perincian pajak), buku C (daftar himpunan ketetapan pajak), blangko
girik/petok D (daftar keterangan objek pajak untuk ketetapan pajak).
Dengan diberlakukannya UU PBB, maka formulir yang dipergunakan
adalah:

1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak individu/kolektif (Lampiran


Kep.Menkeu Nomor 1006/ KMK.04/1985)

2) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (Lampiran Kep.Menkeu Nomor


19/KMK.04/1986)

3) Register Desa (KP. PBB-36);

4) Buku Carakan/Abjad (KP. PBB-37);

5) Pokok Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-38);

6) Daftar Perincian Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-39);

7) Himpunan Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-40);

8) Daftar Keterangan obyek Pajak Untuk Ketetapan Pajak Bumi dan


Bangunan (KP. PBB-41).

Dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-


62/PJ.7/1988 tentang penggunaan nama (penyebutan) formulir
pembukuan bahwa :

1) KP. PBB-38 disamakan dengan buku A

2) KP. PBB-39 disamakan dengan buku B

3) KP. PBB-40 disamakan dengan buku C

4) KP. PBB-41 disamakan dengan girik/petok D 1

Dengan diberlakukanya ketentuan yang baru maka dalam rangka


kadaster pajak juga dilakukan upaya pembaharuan data PBB. Ketentuan
pembaharuan data PBB tersebut diatur sebagai berikut (Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ.7/1987 tentang Tata Cara
Pendataan/Pembaharuan Data Pajak Bumi dan Bangunan):

1) Untuk obyek pajak eks IPEDA sektor Perkotaan pada umumnya dapat
dilaksanakan dengan memberikan Surat Pemberitahuan Objek Pajaka
(SPOP) kepada subyek pajaknya. Namun mengingat jumlah
subyek/obyek pajak yang demikian banyak serta dengan sifat-sifat yang
heterogen, maka pendataan/pembaharuan data PBB dapat dilaksanakan
pula dengan jalan pemetaan dan pengukuran obyek pajak/rincikan objek
pajak.

2) Untuk tanah eks IPEDA sektor Pedesaan, pembaharuan datanya tetap


dilaksanakan dengan cara Klasiran Praktis sesuai Pedoman Klasiran
Praktis (Vide SE-01/PJ.7/1984 tanggal 4 anuari 1984). Dalam
pelaksanaannya dibuatkan lebih dahulu Peta Ikhtisar kelurahan/Desa
yang terbagi menjadi persil-persil Sawah (S) dan Darat (D) lengkap
dengan nomor-nomor persil. Pembukuan dari hasil pembaharuan data ini
berupa Register Desa, Buku A, Buku B. Buku Abjad/Carakan, Buku C
dan lain- lain.

3) Mengingat banyaknya subyek pajak eks IPEDA, serta kemampuannya


untuk mengisi SPOP, maka dibuat bentuk formulir SPOP kolektif.

Sistem pembukuan PBB tersebut selanjutnya diubah dengan


komputerisasi melalui aplikasi SISTEP (Sistim Tempat Pembayaran) yang
dimulai tahun 1990 s/d tahun 1993. Langkah awal yang dilakukan adalah
dengan melakukan perekaman data (hasil rekaman dicetak pada DHR
dan divalidasi). Sistem ini mengganti formulir pembukuan data PBB yang
diadministrasikan sebelumnya secara manual. Hasil

Keluaran berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT),


Surat Tanda Terima Setoran (STTS), Daftar Hasil Rekaman (DHR) dan
Daftar Himppunan Ketetapan Pajak (DHKP) dicetak secara otomasi.

Namun demikian, meskipun telah terbentuk SISTEP, Kantor


Pelayanan PBB masih menerbitkan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan
Objek Pajak (KP.PBB 41). Pada kenyataannya sampai saat tersebut
masih banyak Kepala KP.PBB yang menerbitkan Girik/Petak
D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB 41) atau salinannya atas
permintaan perseorangan atau badan yang akan digunakan oleh yang
bersangkutan sebagai alat pembuktian hak atas tanah. Dan hal ini telah
banyak menimbulkan masalah dan mengganggu tugas pokok KP.PBB

Sehubungan dengan hal tersebut, maka diterbitkan Surat Edaran


Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ.6/1993 tentang Larangan Penerbitan
Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP.PBB 41). Apabila
masyarakat memerlukan pelayanan yang berhubungan dengan penentuan
status hukum/hak atas tanah disarankan agar menghubungi Kantor
Pertanahan setempat, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tanggal 1
Agustus 1962, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.26/DDA/1970
tanggal 14 Mei 1970 juncto Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: Reg.
34.K/Sip/1960 tanggal 10 Februari 1960.

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak


atas
bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan
oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan

(Pasal 1 angka 37 UU 28/2009)

Dalam hal memenuhi panggilan dari instansi Kepolisian, Kejaksaan,


Pengadilan, maupun instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan
masalah girik, maka Kantor Pelayanan PBB agar tetap berpedoman
kepada: Instruksi Menteri Keuangan RI Nomor: 05/IMK.01/ 1978 dan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-21/PJ.7/1991 tanggal 26
September 1991.

Setelah SISTEP terbentuk, maka Direktorat Jenderal Pajak


mengembangkan aplikasi SISMIOP yang sampai saat ini masih
digunakan. Pembentukan Basis Data SISMIOP dilakukan dengan konversi
data SISTEP atau dengan melakukan pendataan (dalam rangka
pembentukan Basis Data SISMIOP). Sesuai dengan SE -04/ PJ.6/1994
maka mulai tahun pajak 1994 seluruh program pencetakan data keluaran
penetapan PBB menggunakan aplikasi SISMIOP. Mengingat
pembentukan basis data SISMIOP memerlukan biaya dan waktu yang
cukup besar, maka sampai saat ini belum semua daerah telah
diadministrasikan dengan pola SISMIOP (masih diadministrasikan dengan
pola SISTEP).

PBB-P2 pada dasarnya merupakan suatu jenis pajak pusat, yang


dipungut oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak,
Kementerian Keuangan, di mana hasilnya sebagian besar diserahkan
kepada daerah. Seluruh administrasi PBB-P2 dilakukan oleh Pemerintah
Pusat, sedangkan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan
proporsi tertentu. Namun, guna meningkatkan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, khususnya dari penerimaan PBB, maka paling lambat
tanggal 1 Januai 2014 seluruh proses pengelolaan PBB-P2 dilakukan oleh
Pemda, sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan masih tetap menjadi pajak pusat.

Pengertian dari pada Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan


dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.

Adapun yang termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:

a. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan


seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan
suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;

b. Jalan tol;

c. Kolam renang;

d. Pagar mewah;

e. Tempat olahraga;

f. Galangan kapal, dermaga;


g. Taman mewah;

h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;


dan

i. Menara.

Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan


Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang :

a. Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk


penyelenggaraan pemerintahan;

b. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di


bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan
nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan;

c. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang


sejenis dengan itu;

d. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,


taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh
desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

e. Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat


berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan

f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional


ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan

Dalam hal besarnya Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
paling rendah sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap Wajib Pajak. Selanjutnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pengertian tentang subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan


Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas
Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
Bangunan. Selanjutnya yang dimaksud dengan Wajib Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh
manfaat atas Bangunan.

Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan


Perkotaan adalah NJOP. Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,
kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai
dengan perkembangan wilayahnya. Penetapan besarnya NJOP dilakukan
oleh Kepala Daerah. Sedangkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol
koma tiga persen), dan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Adapun besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan


Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan
dasar pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak.

Selanjutnya dikemukakan bahwa tahun Pajak adalah jangka waktu 1


(satu) tahun kalender. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah
menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Tempat pajak yang
terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak.

Pendataan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan


Objek Pajak (SPOP). Adapun SPOP harus diisi dengan jelas, benar, dan
lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah
yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek
Pajak.

Selanjutnya berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT.


Berdasarkan kewengannya Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD
dalam hal-hal sebagai berikut :
a. SPOP tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur
secara tertulis oleh Kepala Daerah sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;

b. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata


jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang
dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib
Pajak.

Walaupun telah ditetapkan menjadi salah satu jenis pajak


kabupaten/kota, tetapi sepanjang pada suatu kabupaten/kota belum ada
peraturan daerah tentang PBB-P2, pemungutan PBB tetap menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat sampai dengan tahun 2013. Hal ini
didasarkan pada Undang Undang Nomor 28 tahun 2009Pasal 180 ayat (5)
yang menyatakan bahwa Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang
Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang terkait
dengan peraturan pelaksanaan mengenai Perdesaan dan Perkotaaan
masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013,
sepanjang belum ada Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan
Bangunan yang terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan.

Ketentuan Pasal 180 ayat (5) tersebut membuat pemungutan PBB


Perdesaan dan Perkotaan pada setiap kabupaten/kota mungkin saja tidak
serempak, tergantung kesiapan pemerintah kabupaten/kota untuk
menetapkan peraturan daerah yang berkaitan. Hanya saja diharapkan 1
Januari 2014, PBB-P2 telah menjadi pajak daerah pada semua
kabupaten/kota.

III. PBB-P2 SEBAGAI PAJAK DAERAH


Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar
dapat melaksanakan otonomi, khususnya yang berasal dari pajak daerah
dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan
perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. sebagai pengganti UU
No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 18 Tahun 1997. Pelaksanaan UU No.28
Tahun 2009 diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah dalam
rangka memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Setelah adanya perubahan kebijakan pajak daerah sebagaimana


diatur dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, ada beberapa perubahan yang cukup signifikan
yang berpengaruh pada hubungan keuangan pusat dan daerah. Salah
satu di antaranya adalah pengalihan pajak yang sebelumnya merupakan
pajak pusat menjadi pajak daerah, yaitu PBB-P2 (PBB Perdesaan dan
Perkotaan) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan).
Ketika PBB-P2 dan BPHTB merupakan pajak pusat, maka daerah
mendapat bagi hasil dari pendapatan yang dipungut oleh pusat. Namun,
setelah PBB-P2 dan BPHTB dijadikan pajak daerah, maka tidak ada lagi
dana bagi hasil dari kedua jenis pajak tersebut. Bila sebelumnya PBB
Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB ini merupakan pajak pusat dan
daerah mendapat bagi hasil dari PBB Perdesaan dan Perkotaan dan
BPHTB, maka setelah diberlakukannya
Undang-Undang No.28 Tahun 2009 ini dana bagi hasil untuk PBB
Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB tidak ada lagi.

Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan mempunyai


fungsi sebagai pajak atas kekayaan/ kepemilikan perorangan atau badan.
Salah satu pertimbangan diundangkannya UU PBB adalah adanya pajak
berganda yang dikenakan pada satu bidang tanah/bangunan. Jenis pajak
yang dicabut dengan diberlakukannya Undang-undang PBB adalah
sebagai berikut: (1) Pajak Rumah Tangga 1908; (2) Verponding Indonesia
1923; (3) Verponding 1928; (4) Pajak Kekayaan 1932; (5) Pajak Jalan
1942; (6) Pasal 14 huruf j, k, dan i Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun
1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah; dan (7) Pajak Hasil Bumi/
IPEDA

Optimalisasi peningkatan PAD melalui Pajak Bumi dan Bangunan


sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum seluruhnya dapat dilakukan di
seluruh kabupaten/kota mengingat PBB-P2 dan BPHTB sifatnya masih
relatif baru, dalam arti merupakan pajak pusat yang dialihkan menjadi
pajak daerah berdasarkan UU N0. 28 Tahun 2009 tentang PDRD.
Sementara pengalihan pajak tertentu dari provinsi ke kabupaten/kota
sudah dapat diimplementasikan dalam perda sejak berlakunya UU N0. 28
Tahun 2009.

Pajak daerah adalah pungutan wajib atas orang pribadi atau badan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Pajak
daerah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah, merupakan
sumber pendapatan riil bagi pemerintah daerah. Suatu daerah mempunyai
hak untuk mengatur, mendapatkan, dan memelihara aspek sumber
Pendapatan Asli Daerahnya yang hasilnya 100% dikelola oleh pemerintah
daerah itu sendiri.

Penerapan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah


mengubah sistem pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan khususnya
sektor Perdesaaan dan Perkotaan. PBB-P2 yang awalnya merupakan
pajak pusat kini menjadi pajak daerah. Pengalihan pengelolaan PBB-P2
dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah ini merupakan suatu
bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi.

IV. FUNGSI DAN PELAKSANAAN PBB-P2


a. Fungsi PBB-P2

Seabagaimana telah diketahui, PBB-P2 adalah bagian dari pajak


secara keselutuhan. Dengan demikian fungsi PBB-P2 juga sejalan
dengan fungsi pajak secara umum, yang meliputi dua fungsi, seagai
berikut.

1) Fungsi Penerimaan (Budgeter)


Yaitu sebagai alat (sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-
banyaknya ke dalam kas daerah dengan tujuan untuk membiayai
pengeluaran daerah baik untuk pennyelengaraan pemerintahan
daerah maupun untuk pembangunan daerah. Penerimaan pajak
daerah diharapkan meningkat dari tahun ke tahun, terutama untuk
membiayai pembangunan daerah.
2) Fungsi Mengatur
Yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
keuangan. Pelaksanaan fungsi ini bisa bersifat negatif dan positif.
Pelaksanaan fungsi pajak daerah yang bersifat positif maksudnya
jika suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat oleh
pemerintah daerah dipandang positif, maka kegiatan tersebut akan
didukung dalam bentuk pembebasan atau pengurangan pajak.
Sementara itu, pelaksanaan fungsi yang bersifat negatif
dimaksudkan untuk mencegah atau menghalangi perkembangan
yang menjuruskan kehidupan masyarakat ke arah kehidupan
tertentu.

b. Pelaksanaan PBB-P2

Pelaksanaan pemungutan PBB-P2 terlebih dahulu harus didukung


dengan:

1) Peraturan Daerah (Perda)


Sesuai dengan Pasal 95 ayat (3) Undang Undang Nomor 28 Tahun
1999, Perda tersebut harus mengatur:
a) nama, objek, dan subjek PBB-P2;
b) dasar pengenaan tarif, dan cara penghitungan PBB-P2;
c) wilayah pemungutan;
d) masa pajak;
e) penetapan;
f) tata cara pembayaran dan penagihan;
g) kedaluarsa;
h) sanksi administratif; dan
i) tanggal mulai berlakunya

Selain itu, Perda tentang PBB-P2 dapat juga mengatur tentang:

a) pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam


hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
b) tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluarsa; dan/atau
c) asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan,
dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan
perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman
internasional.

Sebelum ditetapkan menjadi Perda, Raperda tentang PBB-P2 wajib


disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat
tiga hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama antara
bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota. Gubernur melakukan
evaluasi terhadap Raperda untuk menguji kesesuaian Raperda
dengan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009, kepentingan
umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam proses evaluasi, gubernur berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
Hasil evaluasi dapat berupa persetujuan atau penolakan. Apabila
hasil evaluasi berupa persetujuan, maka Raperda dapat langsung
ditetapkan. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan, maka
bupati/walikota harus melakukan revisi terlebih dahulu. Perda yang
telah ditetapkan, wajib disampaikan bupati/walikota kepada Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama tujuh hari kerja
setelah ditetapkan.

2) Peraturan Kepala Daerah


Setelah penetapan Perda tentang PBB-P2, daerah perlu menyusun
beberapa Peraturan Kepala Daerah (Perkada), yang mengatur
berbagai hal, sebagai berikut.

a) Perkada tentang Bentuk dan Isi Formulir Surat Pemberitahuan


Pajak Terutang PBB-P2 (SPPT PBB-P2).
Perkada ini mengatur mengatur tentang: (1)nomor seri formulir;
(2) nama kantor Dinas Pendapatan Daerah atau sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi yang memungut; (3) informasi berupa
tulisan “SPPT PBB-P2” bukan merupakan bukti kepemilikan
hak; (4) kode akun; (5) tahun pajak dan jenis sektor “PBB-P2”;
(6) Nomor Objek Pajak (NOP); (7) letak objek pajak; (8) nama
dan alamat wajib pajak; (9) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
(10) luas bumi dan/atau bangunan; (11) kelas bumi dan/atau
bangunan; (12) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) per m 2 bumi
dan/atau bangunan; (13) total NJOP bumi dan/atau bangunan;
(14) NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2; (15) Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP); (16) NJOP untuk
penghitungan PBB-P2; (17) Nilai Jual Kena Pajak (NJKP); (18)
PBB-P2 yang terutang; (19) PBB-P2 yang harus dibayar; (20)
tanggal jatuh tempo; (21) tempat pembayaran; (22) nama
petugas penyampai SPPT; (23) tanggal penyampaian; (24)
tanda tangan petugas; dan (24) informasi lainnya sesuai dengan
kebutuhan.
Untuk mempermudah pengisiannya, Perkada ini ini dapat
mengatur pula mengenai petunjuk pengisian formulir SPPT
PBB-P2.

b) Perkada tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan


Sanksi Administratif dan Pengurangan atau Pembatalan
Ketetapan PBB-P2.
Perkada ini mengatur tata cara kepala daerah memberikan
pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan
pengurangan atau pembatalan atas ketetapan PBB-P2.
Sanksi administratif PBB-P2 yang dapat diberikan pengurangan
atau penghapusan adalah sanksi administratif berupa bunga,
denda dan kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan wajib
pajak atau bukan karena kesalahan wajib pajak yang tercantum
dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) PBB-P2 dan
Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) PBB-P2. Ketetapan PBB-
P2 yang dapat diberikan pengurangan atau pembatalan adalah
ketetapan berupa SPT PBB-P2, SKPD PBB-P2, STPD PBB-P2
yang tidak benar. Pengurangan atas ketetapan berupa SPT
PBB-P2, SKPD PBB-P2, STPD PBB-P2 dapat dilakukan dalam
hal terdapat ketidakbenaran atas:
(1) luas objek;
(2) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP); dan/atau
(3) penafsiran peraturan perundang-undangan PBB, yang
terdapat dalam SPPT PBB-P2, SKPB PBB-P2, dan STPD
PBB-P2. Pembatalan SPT PBB-P2, SKPD PBB-P2, STPD
PBB-P2 dapat dilakukan apabila seharusnya SPT PBB-P2,
SKPD PBB-P2, STPD PBB-P2 tersebut seharusnya tidak
diterbitkan.
Selain ketentuan tersebut, Perkada ini dapat juga mengatur
persyaratan dalam mengajukan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi dan permohonan
pengurangan atau pembatalan atas ketetapan PBB-P2.

c) Perkada tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan.


Ketentuan yang dapat diatur dalam Perkada ini adalah:
(1) Syarat bagi wajib pajak untuk dapat mengajukan keberatan,
yaitu manakala besarnya pajak terutang yang tercantum
dalam SPPT PBB-P2 atau SKPD PBB-P2 yang diterima
dianggap tidak sesuai dengan keadaan objek yang
sebenarnya.
(2) Ketentuan-ketentuan bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan.

Setelah surat keberatan diajukan, wajib pajak akan diberi tanda


penerimaan

d) Perkada tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan


Pembayaran PBB-P2.
Perkada ini memuat ketentuan:
(1) Keadaan yang menyebabkan timbulnya kelebihan
pembayaran PBB-P2, yaitu apabila: (a) PBB-P2 yang
dibayar ternyata lebih besar dari pada yang seharusnya
terutang; dan (b) dilakukan pembayaran PBB-P2 yang
seharusnya tida terutang;
(2) Ketentuan bagi wajib pajak untuk memperoleh pengembalian
pembayaran PBB-P2; dan
(3) Standard Operating Procedure (SOP) pengembalian
kelebihan pembayaran PBB-P2.
e) Perkada tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan
Tempat Pembayaran PBB-P2.
Hal yang dapat diatur dalam Perkada ini antara lain:
(1) mekanisme pembayaran PBB-P2 secara manual maupun
secara online/elektronik;
(2) penunjukan tempat pembayaran PBB-P2 yang dilakukan
secara manual maupun secara online/elektronik; dan
(3) mekanisme penyetoran penerimaan PBB-P2 dari bank ke
kas daerah.

f) Perkada tentang Tata Cara Pelaporan PBB-P2.


Perkada ini mengatur mengenai:
(1) periode pelaporan penerimaan PBB-P2;
(2) penanggung jawab penyusunan laporan penerimaan PBB-
P2;
(3) mekanisme pelaporan; dan
(4) substansi pelaporan.

g) Perkada tentang Tata Cara Pembetulan Ketetapan PBB-P2.


Ketentuan yang dapat diatur antara lain:
(1) jenis ketetapan yang dapat dilakukan pembetulan, yaitu: (a)
SPPT; (b) SKPD; (c) STPD); (d) Surat Keputusan
Pembetulan; (e) Surat Keputusan Keberatan; (f) Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; (g) surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; (h) Surat
Keputusan Pemberian Pengurangan PBB-P2 atas SPPT; (i)
Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB-P2 atas
SKPD; (j) Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak
Daerah; (k) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak Daerah; dan (l) Surat Keputusan Pemberian
Imbalan Bunga;
(2) ruang lingkup pembetulan SKPD, meliputi: (a) kesalahan
tulis; (b) kesalahan hitung; dan (c) kekeliruan penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan;
(3) persyaratan bagi wajib pajak untuk mengajukan permohonan
pembetulan;
(4) tata cara pengajuan permohonan pembetulan;
(5) rentang waktu proses pembetulan;
(6) surat keputusan pembetulan.

h) Perkada tentang Tata Cara Penagihan PBB-P2.


Ketentuan yang dapat diatur antara lain:
(1) tata cara penerbitan surat teguran/surat peringatan/surat
lainnya yang sejenis;
(2) tata cara penerbitan STPD;
(3) tata cara penerbitan surat paksa; dan
(4) batas waktu pelunasan tagihan.

3) Standard Operating Procedure (SOP)


SOP menguraikan hal terkait tata cara penyelesaian pelayanan
PBB-P2 kepada wajib pajak yang secara nyata mempunyai hak
atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.
Dalam SOP dijabarkan juga proses pemungutan PBB-P2 antara
lain:
a) pendataan dan penilaian;
b) penetapan dan pelayanan;
c) penerimaan dan manajemen IT;
d) penagihan; dan
e) pengawasan.

Masing-masing proses bisnis tersebut dijabarkan dalam bentuk


SOP yang berisi tentang:

a) pihak yang terkait dalam proses pemungutan PBB-P2;


b) tugas dan fungsi masing-masing pihak terkait;
c) formulir yang digunakan;
d) dokumen yang dihasilkan; dan
e) alur proses dari masing-masing proses bisnis pemungutan
PBB-P2.

V. LANGKAH-LANGKAH OPTIMALISASI PBB-P2

Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan PBB yang selama ini,


kita dapat mengambil pelajaran guna keberhasilan dalam pengelolaan PBB-
P2 oleh kabupaten/kota, antara lain:

1. Aspek hukum.

Meskipun tidak terkait dengan bukti (atas hak) atas suatu


kepemilikan tanah, penerbitan SPPT (baru) harus dilakukan dengan
prinsip kehati-hatian. Banyak permohonan penerbitan SPPT dengan bukti
pendukung berupa fotocopy segel yang menyatakan terdapat jual beli
antara pihak penjual dan pembeli, yang dilampiri dengan surat pengantar
dari kelurahan (seharusnya surat keterangan lurah), di kemudian hari
ternyata bersangkutan dengan permasalahan persengketaan tanah dan
kasus hukum lainnya.

2. Pendataan.

Karena jumlah wajib pajak badan terbatas, di masa lalu optimalisasi


dukungan teknologi informasi di pemerintah kabupaten/kota dengan
menggunakan teknologi komputer yang bersifat stand- alonesudah dapat
dianggap cukup memadai. Namun, ketika jumlah wajib pajak meningkat
karena kemudian mayoritas wajib pajaknya adalah perseorangan,
pemerintah kabupaten/kota harus mengoptimalkan teknologi komputer
berbasis jaringan (network). Sebab, pemberian layanan ke wajib pajak
perseorangan yang jumlahnya banyak tidak lagi bisa diberikan oleh satu
atau dua orang pegawai pemerintah kabupaten/kota saja. Keseluruhan
pegawai pemerintah kabupaten/kota harus terlibat dalam proses
pemberian layanan tersebut. Untuk itu, mereka harus didukung oleh suatu
teknologi informasi yang andal, terutama perangkat komputer yang
berbasis jaringan. Bahkan, dengan perkembangan teknologi informasi dan
tuntutan masyarakat, optimalisasi teknologi informasi berbasis web dan
mobile sudah harus dipertimbangkan oleh pemerintah kabupaten/ kota.
Sebab, wajib pajak perseorangan akan menuntut layanan yang mudah
diakses berbagai saluran komunikasi, sesuai dengan perangkat yang
dimilikinya.

3. Penilaian

Selama ini KPP tidak pernah menerbitkan formulir konfirmasi


tentang PBB-P2 yang diterima dari setiap wajib pajak. KPP hanya
menerbitkan SPPT tahun berjalan. Akhirnya, wajib pajak kurang dapat
mengendalikan berapa sebenarnya pajak terhutang mereka. Mereka baru
mengetahui pajak terhutang mereka ketika mereka datang ke KPP. Hal ini
terjadi ketika wajib pajak akan melakukan transaksi menjual
tanah/bangunannya. Sebab, salah satu prasyarat untuk melakukan
transaksi penjualan tanah/bangunan melalui notaris adalah SSP-BPHTB
yang tervalidasi. Untuk kepentingan validasi di KPP, wajib pajak harus
membayar hutang-hutang pajak sebelumnya.

Sementara itu, mengelola teknologi informasi berbasis jaringan


akan berbeda dengan mengelola teknologi informasi berbasis stand-
alone. Jika pada teknologi berbasis stand-alone pengelola teknologi
informasi dapat merangkap sebagai pengguna aplikasi yang juga
melakukan updating data secara langsung, pada teknologi informasi
berbasis jaringan peran antara pengelola teknologi informasi dan
pengguna harus dipisahkan. Hal ini terutama untuk menjaga
terimplementasinya tata kelola teknologi informasi, di mana check and
balances tetap terjaga di antara para pihak. Jika tidak, updating data tidak
akan terkendali.

4. Penetapan.

Lambatnya proses pemutakhiran data PBB-P2 di KPP selama ini


juga terjadi pada sistem pembayaran. Mengingat banyaknya pintu
gerbang untuk melakukan pembayaran PBB-P2, KPP harus secara rutin
melakukan rekonsiliasi dan verifikasi data. Untuk penerimaan pembayaran
PBB-P2 yang tidak online, bahkan KPP juga harus merekam data
pembayaran ini satu per satu. Rumitnya, keseluruhan proses rekonsiliasi,
verifikasi, dan perekaman data pembayaran ini dilakukan oleh Seksi PDI.
Hal ini menjadi penyebab seringnya komplain dari masyarakat bahwa
mereka merasa telah melakukan pembayaran, tetapi di database KPP
ternyata masih dianggap belum melakukan pembayaran. Karena itu,
sampai sekarang masih muncul keraguan mengenai akurasi saldo piutang
PBB-P2 per wajib pajak

5. Penagihan.

Sementara itu, jika diamati, baik di pemerintah kabupaten/kota


ataupun kantor pelayanan pajak (KPP), saat ini tidak terjadi pemisahan
fungsi pengihan. Pada praktiknya, pengelola teknologi informasi masih
merangkap sebagai pengolah data/informasi. Hal ini pun banyak terjadi di
instansi pemerintah lain. Pengelola teknologi informasi di instansi
pemerintah masih merangkap fungsi updating data transaksi. Padahal,
dengan teknologi berbasis jaringan, pengolahan data/ informasi harus
dilakukan langsung oleh pemilik data (data owner), yang dalam hal ini
adalah seksi/ bagian lain di luar seksi/bagian teknologi informasi. Di KPP
sendiri, walaupun pada dasarnya telah menggunakan teknologi informasi
berbasis jaringan, umumnya setiap data transaksi yang masuk dientri
sendiri oleh Seksi Pengolahan Data/Informasi (PDI). Sementara itu, seksi-
seksi lain lebih fokus ke pengurusan substansi perpajakan. Sebagai
contoh, ketika wajib pajak mengajukan permohonan perubahan data
pemilik di SPPT, petugas layanan hanya bertugas memberikan tanda-
terima permohonan tersebut. Selanjutnya, permohonan tersebut akan
direview oleh seksi-seksi terkait. Kemudian, jika disetujui, barulah Seksi
PDI melakukan updating data. Karena itu, dapat dimaklumi jika sampai
sekarang terdapat banyak keluhan tentang data SPPT yang menurut wajib
pajak tidak update di beberapa daerah.

6. Pelayanan.

Wajib Pajak PBB-P2 meliputi masyarakat dari semua kalangan


masyarakat dari beberapa strata sosial dan ekonomi. Demikian pula
bidang tanah (objek pajak) yang diadministrasikan cukup banyak.
Pengelolaan PBB memerlukan ketentuan perudang-undangan (tax law)
serta administrasi (tax administrasion) yang handal namun efisien/tidak
terlalu birokratis sehingga dapat memberikan pelayanan yang memuaskan
kepada Wajib Pajak.

7. Daya Pikul.

Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah/bangunan dilakukan


secara cermat dengan memperhatikan kondisi data pasar properti dan
daya pikul masyarakat.
Langkah-langkah optimalisasi dalam pemungutan PBB-P2 perlu
dilakukan, karena dalam kenyataan di lapangan selalu dijumpai masalah atau
kendala yang dapat menghambat realisasi pemungutan PBB-P2. Masalah
dan kendala yang dijumpai mungkin saja berbeda-beda pada setiap daerah,
namun secara umum langkah-langkah optimalisasi yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut.
a. Melakukan pengawasan dan pengendalian secara sistematis dan
berkelanjuan terhadap pemungutan PBB-P2 dengan melakukan evaluasi
kinerja setiap tahun.
b. Melakukan sortasi data yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
dan tetap menjalin komunikasi dengan pihak DJP.
c. Melakukan pelatihan terhadap SDM SKPD yang ditugasi melakukan
pemungutan PBB-P2 melalui kerja sama dengan instansi pusat yang
kompeten dan relevan.
d. Menyempurnakan organisasi SKPD yang ditugasi melakukan pemungutan
PBB-P2 dengan memperhatikan tantangan nyata yang dihadapi di
lapangan.
e. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui media cetak dan
elektronik.
f. Memberikan insentif kepada aparat SKPD dalam hal target yang
ditetapkan dapat dicapai.
g. Melakukan strategi jemput bola dengan mobil keliling dan survey
lapangan.
h. Meninjau kembali penentuan tarif dan NJOP yang telah ditetapkan dan
pengembangan sasaran sesuai dengan Peraturan Daerah yang ada dan
mengkaji ulang Peraturan Darah tersebut untuk diajukan perubahan.

VI. MASALAH-MASALAH DALAM PEMUNGUTAN PBB-P2

Meskipun NJOP hanya sebagai dasar penetapan PBB-P2 terhutang,


akan tetapi juga digunakan untuk banyak kepentingan seperti: dasar
perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dasar
ganti rugi dalam rangka pembebasan tanah dan lain-lain. Oleh karena itu,
nilai NJOP dalam setiap penerbitan SPPT harus ditentukan dengan benar,
baik letak bidang objek pajak serta nilai NJOP-nya.

Kegiatan pemungutan melalui petugas pemungut/kolektor yang selama


ini telah dilakukan oleh pemerintah daerah sebaiknya dilanjutkan dan
ditingkatkan efektifitasnya. Salah satu keuntungan (advantage) dialihkannya
pengelolaan PBB-P2 sepenuhnya kepada pemerintah daerah adalah
efektifias penagihannya. Hal ini terkait dengan kedudukan pemerintah daerah
sebagai "penguasa daerah” serta mempunyai kewenangan otonom untuk
mengkaitkan kewajiban pembayaran PBB-P2 dengan ketentuan daerah
lainnya.

Administrasi pengelolaan komputer melalui aplikasi SISMIOP dengan


komponen basis data SISMIOP dan peta digital (SIG) harus dipertahankan,
dengan pertimbagan:

a. Diskontinuitas dalam fiskal kadaster yang telah berlangsung selama ini


menyebabkan terputusnya riwayat tanah atas bidang tanah yang belum
bersertifikat.

b. Sebaiknya di wilayah Republik Indonesia tersedia tata kelola fiskal


kadaster yang seragam
Masalah dan kendala yang dihadapi dalam pemungutan PBB-P2 bisa
berbeda-beda untuk setiap kabupaten/kota. Masalah-masalah ini harus
diidentifikasi dalam rangka optimalisasi pemungutan PBB-P2. Secara umum
masalah yang dihadapi di lapangan adalah:
a. Data dari DJP yang tidak lengkap atau tidak sesuai dengan kondisi
lapangan.
b. Bisa terjadi adanya Nomor Objek Pajak (NOP) ganda.
c. Objek pajak yang tidak ditemukan atau adanya data palsu.
d. Wajib pajak yang tidak mau membayar karena merasa terbebani dengan
tarif yang dikenakan atau tidak percaya dengan fiskus.
e. Perubahan objek pajak, misalnya menjadi fasilitas umum yang tidak bisa
dikenakan pajak.
VII. Soal-soal Latihan

1. Jelaskan latar belakang perubahan PBB-P2 dari pajak pusat


menjadi pajak daerah.
2. Apa perbedaan yang paling mendasar dalam hal penggunaan
(penyaluran) PBB-P2 sebelum dan sesudah ditetapkan sebagai
pajak daerah?
3. Jelaskan proses yang harus dilalui dalam penetapan Perda dan
Perkada tentang PBB-P2.
4. Apa masalah atau kendala yang menurut Saudara perlu segera
diatasi dalam rangka optimaliasi pemungutan PBB-P2?
5. Menurut pendapat Saudara, mana yang lebih penting:
menyempurnakan organisasi SKPD ataukah meningkatkan kualitas
SDM dalam rangka optimalisasi pemungutan PBB-P2?

Anda mungkin juga menyukai