Anda di halaman 1dari 5

Akutansi Perpajakan

Achmad Andru Desember 1927000018

Pertanyaan
a. Menurut saudara darimana lahirnya PPh, PPN, PBB, BPHTB dan Bea Meterai secara filosofi
teori ? Jelaskan !
b. Mengapa laporan keuangan yang diwajibkan oleh UU KUP hanya neraca dan laporan laba
rugi saja ?
c. Mengapa PPh Pasal 22, Pasal 25 dan PPN Masukan merupakan Current Asset ?
d. Mengapa PPh Pasal 21, Pasal 26 dan PPN (Keluaran merupakan Current Liabilities)
e. Mengapa terjadi Deferred Tax Asset atau Deferred Tax Liability ?
f. Mengapa PPh Pasal 23 ada sebagai Prepaid Tax dan juga sebagai Tax Payable ?

Jawaban
Jawaban No 1
A. Sejarah dan Filosofi PPh :

1. Di awali oleh Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal
dengan “UU MPO dan MPS”.
2. Ord. PPs. (Ordinasi Pajak Perseroan) 1944
3. UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan
Pajak Pendapatan 1944,
4. UU No. 9 tahun 1970 Undang-undang (UU) tentang Perubahan dan Tambahan
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944
5. UU No. 7 tahun 1983 Pajak Penghasilan
6. UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Kempat Atas UU No. 7 tahun 1983.

UU di atas telah mengatur terkait subjek dan objek pajak serta dengan cara perhitungan
dan pelaporanya.

Sejarah dan Filosofi PPN :

Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
dikenakan secara ber ngkat di se ap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola
konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai.
Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di ngkat nasional, regional, maupun
internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai
contoh, di bidang jasa, banyak mbul transaksi jasa baru atau modifi kasi dari transaksi
sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Pada akhir 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan reformasi perpajakan yang


kedua setelah reformasi perpajakan 1970 sebagai langkah mengoptimalkan penerimaan
pendapatan dari sektor pajak. Pada reformasi perpajakan 1983 ini, di samping
diperkenalkannya prinsip self assessment dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh),
juga terjadi perubahan terhadap PPn (Fuad Bawazier, 2011).
1. UU PPN Nomor 8 Tahun 1983
2. UU PPN Nomor 11 Tahun 1994
3. UU PPN Nomor 18 Tahun 2000
4. UU PPN Nomor 42 Tahun 2009

PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah pabean yang dikenakan
secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat
dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang
merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat
dinamis terus menciptakan jenis serta transaksi bisnis baru. Sebagai contoh, di bidang
jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang
pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai.”

Dari kutipan Penjelasan Bagian UMUM dari UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 di atas dapat
disimpulkan bahwa latar belakang dilakukannya perubahan terhadap UU PPN adalah
karena terjadinya perkembangan transaksi bisnis dan ekonomi yang sangat dinamis
sehingga dibutuhkan UU PPN yang mampu mencakup berbagai perkembangan tersebut.

Sejarah dan Filosofi PPB :

PBB merupakan jenis pajak objektif yang mulai berlaku sejak Januari 1986 berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Jenis pajak ini bukanlah
tergolong jenis pajak baru karena pada dasarnya terdapat jenis pajak yang memiliki
kesesuaian dengan PBB yang telah lama dikenal dan dikenakan jauh sebelum
diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985.
Dengan adanya reformasi perpajakan pertama yang dimulai pada tahun 1983, antara
lain dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui
pengundangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, maka 7 (tujuh) jenis pajak
kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan disederhanakan mejadi PBB. Dasar
hukum pelaksanaan ketujuh jenis pajak tersebut yang dicabut dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1985 meliputi:
1) Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908;
2) Ordonansi Verponding Indonesia 1923;
3) Ordonansi Verponding 1928;
4) Ordonansi Pajak Kekayaan 1932;
5) Ordonansi Pajak Jalan 1942;
6) Undang-Undang Darurat Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Pasal
14 huruf j, k, dan l;
7) Undang-undang Nomor 11 Prp. Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi.

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan


Bangunan didasari pemikiran antara lain bahwa bumi dan bangunan memberikan
keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan
yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu
wajar apabila kepada mereka di wajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang perolehnya kepada negara melalui pajak. Kesederhanaan pengenaan
PBB antara lain tercermin dari pemberlakuan tarif tunggal 0,5% dan dasar pengenaan
pajak yang hanya satu jenis, yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

BEA MATERAI

Bea Meterai merupakan pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen
tersebut ditanda tangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada
pihak lain bila dokumen tersebut hanya dibuat oleh satu pihak.

Jika dokumen tersebut dibuat di luar negeri, maka Bea Meterainya baru terutang sejak
dokumen tersebut digunakan di Indonesia.

Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat
dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.
Jawaban No 2

Persyaratan pencatatan perpajakan adalah menggambarkan jumlah penghasilan bruto dan


menggambarkan penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

Jawaban no 3

Proses tersebut di bayar di muka dimana biaya dibayar di muka atau prepaid expenses
adalah pengeluaran yang dibayarkan untuk keperluan dalam tahun buku mendatang. Atau
bisa dikatakan, biaya dibayar di muka adalah biaya-biaya yang belum merupakan kewajiban
perusahaan untuk membayarnya pada periode bersangkutan, tetapi perusahaan sudah
membayarnya terlebih dahulu.
Biaya dibayar di muka belum merupakan beban perusahaan untuk periode yang
bersangkutan. Dengan kata lain, pengeluaran tersebut belum merupakan biaya dalam
tahun buku berjalan. Karena itu, jumlah yang dibayarkan tersebut merupakan uang muka
dan termasuk dalam Aktiva Lancar (current assets).

Jawaban No 4

Utang Pajak (Taxes Payable)


Pengertian utang pajak adalah kewajiban pajak perusahaan yang harus dilunasi dalam
periode berikutnya.
Misalnya:

 Utang PPh 21 (pajak penghasilan atas gaji, upah, honorarium)


 Utang PPh 25 (pajak penghasilan badan)
 Utang PPN (pajak pertambahan nilai)

Jawaban No 5

Deferred Tax atau Pajak Tangguhan pada dasarnya timbul karena adanya perbedaan
temporer atau beda waktu atas pengakuan penghasilan dan biaya antara praktik
akuntansi dengan ketentuan perpajakan. Misalnya, biaya penyusutan. Meskipun
demikian, pada akhir masa manfaat aktiva total biaya penyusutan akan sama (sehingga
disebut beda waktu).
Pajak Tangguhan terdiri atas:
1. Aktiva Pajak Tangguhan atau Deferred Tax Assets (DTA) adalah jumlah pajak
penghasilan terpulihkan (recoverable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya
beda waktu yang boleh dikurangkan (deductable temporary differences) dan sisa
kompensasi kerugian.
2. Kewajiban Pajak Tangguhan atau Deferred Tax Liabilities (DTL) adalah jumlah pajak
penghasilan yang terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya
beda waktu kena pajak (taxable temporary differences). Deferred Tax Assets timbul jika
laba fiskal lebih besar daripada laba komersial. Sehingga ada PPh yang dibayar sekarang
untuk penghasilan yang akan diakui di masa mendatang.

Pajak tangguhan sudah diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
Nomor 46 tentang ‘Akuntansi Pajak Penghasilan’. Aturan ini menyangkut 4 kegiatan,
yaitu pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan:

Anda mungkin juga menyukai