Anda di halaman 1dari 49

TUGAS PERPAJAKAN 1

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN 26

Nama Kelompok : - Putri Maharani

- Nelly Safitri

- Elisabet Marito .S

Mata Kuliah : Perpajakan

Dosen Pengasuh : Susanti,Se.,Mak


PAJAK PENGHASILAN UMUM

A. Pengertian Pajak Penghasilan


Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan
dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak.
Ditinjau dari segi sejarahnya, pajak sudah ada sejak jaman dahulu kala yang saat itu pemberiannya
sukarela dari rakyat kepada rajanya. Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara
cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus
dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan
upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya
seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk
keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang
dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-
olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya
dibandingkan rakyat.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata
cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
B. Sejarah Pajak Penghasilan
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax
(huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang
menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan
tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan
Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas
dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang
Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di
samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan
status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan
badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya.
Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak
gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala.
Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920
dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan
diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun
1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang
berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak
pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas
sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia
seperti perkebunan-perkebunan (on dememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak
perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap
laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami
beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak
Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO
dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak
mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan cuti
pajak (tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat
diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi
Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul
kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi
Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111)
yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah
diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas
penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan
asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan
pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah
Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk
memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%.
Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan
ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan).
Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak
Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat
dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan
tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan
Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang
lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970
yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di
Indonesia.

Jenis-jenis Pajak Penghasilan (PPh)

1. PPh Pasal 15
PPh Pasal 15 diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No.
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. PPh Pasal 15 merupakan salah satu jenis pengenaan pajak
atau pungutan pajak pada industri di bidang penerbangan dalam negeri, pelayaran dalam negeri,
pelayaran atau penerbangan luar negeri, serta perusahaan asing. Subjek pajak dalam PPh Pasal 15 ini
biasanya perusahaan pelayaran dan penerbangan yang ada di dalam negeri serta Kantor Perwakilan
Dagang (KPD di Indonesia yang belum memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
dengan Indonesia, serta Perusahaan yang melaksanakan kegiatan maklon internasional.

2. PPh Pasal 19
PPh Pasal 19 merupakan pajak yang dipungut atas penilaian aset tetap yang ketika diukur
kembali terdapat selisih keuntungan dan/atau harga beli untuk saat ini jauh lebih murah dibandingkan
nilai pasarannya. Sama dengan yang dimaksud dengan penilaian, yang mana dapat diartikan sebagai
revaluasi. Dasar hukum pengenaan pajak ini adalah UU No. 36 Tahun 2008 dan dipertegas kembali
dalam UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 dan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan
(UU HPP) yang mendefinisikan bahwa pajak yang dikenakan pada suatu penghasilan yang berasal dari
wajib pajak (pribadi dan/atau badan). Penghasilan ini bisa diperoleh dari dalam negeri maupun luar
negeri.

3. PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 adalah pajak yang dibebankan atas penghasilan baik yang tetap dan teratur
setiap bulan yang diterima oleh pegawai seperti gaji dan tunjangan, serta penghasilan yang tidak tetap
dan tidak teratur yang diterima oleh pegawai, bukan pegawai, dan peserta kegiatan seperti honor
kegiatan, honor narasumber , dan sebagainya.

4. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa PPh Pasal 22
adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan terhadap wajib pajak dan berkaitan
dengan kegiatan perdagangan barang di pasar internasional yang memperjualbelikan barang-barang
mewah. PPh Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun
swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor.

5. PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyertaan jasa,
hadiah, bunga, deviden, royalti, atau hadiah dan penghargaan, selain yang dipotong PPh Pasal 21.
Pemotongan PPh 23 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan terkait dengan pembayaran berupa
dividen, bunga , royalti, sewa, dan jasa kepada Wajib Pajak, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).

6. PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 adalah pembayaran pajak atas penghasilan yang membayar secara angsuran
setiap bulannya dengan tujuan untuk meringankan beban Wajib Pajak yang kesulitan untuk melunasi
pajak terutang dalam rentang waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan tidak bisa
diwakilkan.

7. PPh Pasal 26
PPh ini dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia, yang mana diterima oleh
wajib pajak luar negeri. Dengan mengirimkannya selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang ada di
Indonesia.
8. PPh Pasal 29
PPh Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan kurang bayar yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh
yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21,
22, 23, dan 24) dan PPh Pasal 25 dengan dasar hukum UU No. 36 Tahun 2008 Subjek PPh 29 adalah
Wajib Pajak Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Sementara itu, objek pajak PPh 29 adalah penghasilan
yang kurang bayar pajak dari SPT Tahunan WP Pribadi dan Badan yang bersangkutan.

9. PPh Pasal 4 Ayat 2 (PPh Final)


Pajak yang dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa
jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final. Istilah final di sini
berarti bahwa pemotongan pajaknya hanya sekali dalam suatu masa pajak dengan pertimbangan
kemudahan, kemudahan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu dan pertimbangan lainnya.
Pajak ini dipotong dari bunga deposito dan tabungan lainnya, serta bunga obligasi dan surat utang
negara, bunga simpanan yang membuka koperasi, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas
lainnya.

C. Subjek Pajak dan Wajib Pajak


Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah :
1. a. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Warisan yang belum belum terbagi satu kesatuan menggantikan yang berhak warisan merupakan
subjek pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.
2. badan, terdiri atas perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD
dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif,
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Perusahaan luar negeri yang bergerak dalam kegiatan ekonomi suatu negara, dalam hal ini negara
Indonesia. Subjek pajak dapat pula dibedakan yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak
luar negeri. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa subjek pajak dalam negeri adalah wajib pajak
membuat SPT sementara subjek pajak luar negeri tidak wajib membuat SPT.

Subjek pajak dapat dibedakan menjadi :


1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
a. Subjek pajak orang pribadi, yaitu :
 Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
 Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai nilai
bertempat tinggal di Indonesia.

b. Subjek pajak badan, yaitu :


Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintahan yang memenuhi criteria :

 Pembentukkannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,


 Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah,
 Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintahan pusat atau pemerintah daerah, dan
 Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.

c. Subjek pajak warisan, yaitu :


Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2. Subjek pajak luar negeri yang terdiri dari :


a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia tidak dari menjalakan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
c. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak
badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi wajib
pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau
yang melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, wajib pajak adalah orang
pribadi atau badan yang yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Perbedaan wajib pajak dalam dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara lain adalah :

Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri

 Dikenakan pajak atas penghasilan  Dikenakan pajak hanya atas


baik yang diterima atau diperoleh penghasilan yang berasal dari
dari Indonesia dan dari luar sumber penghasilan di Indonesia
indonesia.  Dikenakan pajak berdasarkan
 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
penghasilan netto.  Tarif pajak yang digunakan
 Tarif pajak yang digunakan adalah adalah tarif sepadan (tarif UU
tarif umum (tariff UU PPh pasal 17) PPh pasal 26)
 Wajib menyampaikan SPT  Tidak wajib menyampaikan SPT.

Kewajiban Pajak Subjektif


Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berakhirnya sebagai subjek pajak dalam
negeri maupun subjek pajak luar negeri, berikut ini diberikan table mulai dan berakhirnya pajak
subjektif.
Kewajiban pajak subjektif
MULAI BERAKHIR
Subjektif pajak dalam negeri orang Subjektif pajak dalam negeri orang
pribadi: pribadi:
 Saat dilahirkan  Saat meninggal
 Saat berada di indonesia atau  Saat meninggalkan indonesia untuk
bertempat tinggal di indonesia selama-lamanya
Subjektif pajak dalam negeri badan: Subjektif pajak dalam negeri badan:
 Saat didirikan atau bertempat  Saat dibubarkan atau tidak bertempat
kedudukan di indonesia kedudukan di indonesia

MULAI BERAKHIR

Subjek pajak luar negeri melalui Subjek pajak luar negeri melalui BUT:
BUT:  Saat tidak lagi menjalankan usaha
 Saat menjalankan usaha atau atau melakukan kegiatan melalui
melakukan kegiatan melalui BUT di BUT di indonesia.
indonesia

Subjek pajal luar negeri tidak melalui Subjek pajal luar negeri tidak melalui
BUT: BUT:
 Saat menerima atau memperoleh  Saat tidak lagi menerima atau
penghasilan dari indonesia memperoleh penghasilan dari
indonesia
Warisan belum terbagi: Warisan belum terbagi:
 Saat timbulnya warisan yang belum  Saat warisan telah selesai dibagikan
terbagi
TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK
Yang tidak termasuk subjek pajak adalah :
1. Kantor perwakilan Negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara asing, dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama
mereka, dengan syarat :
a. Bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
b. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasiinternasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan menteri keuangan no
661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana telah diubah terkhir dengan
keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional, sebagai mana dimaksud dalam keputusan Menteri
Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah dengan
keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
a. Bukan warga Negara Indonesai.
b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di
Indonesia.
OBJEK PAJAK
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapar dipakai untuk konsumsi atau utnuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1. Pergantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, grafitasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal;
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pegambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali, yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagai atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan penegmbalian utang;
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus Bank Indonesia.
Penghasilan tersebut dapat dikelompokan menjadi:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium,
penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalty, keuntungan
dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari
tiga kelompok penghasilan di atas, seperti:
a. Keuntungan karena pembebanan utang.
b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
d. Hadiah undian.

Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri, yang menjadi
Objek Pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
1. a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan zamil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat
yang berhak atau sumbanan keagamaan yang sifatnya wajib pajak bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikian atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham.
4. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa
6. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak
dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
• Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
• Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling rendah 25% Dari
jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan Saham
tersebut.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang telah ditanamkan oleh dana pensiun
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.
10. Penghasilan yang diterima perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut :
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan usaha dalam sektor-
sektor usaha yang diatur dengan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.
12. Laba lebih yang diterima atau lembaga nirlaba bidang pendidikan
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu.
DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK
Dasar pengenaan Pajak
Untuk wajib pajak dalam negeri dan untuk usaha tetap ( BUT ) yang menjadi dasar pengenaan pajak
adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Yang perlu diingat besarnya penghasilan kena pajak untuk wajib pajak pada badan dihitung sebesar
penghasilan netto
Penghasilan kena pajak (WP badan ) = penghasilan netto

Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung dari pengfhasilan netto – PTKP
Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi ) = penghasilan netto- PTKP

Cara menghitung penghasilan kena pajak


Penghitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak didalam negeri dan badan usaha
tetap dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan norma penghitungan penghasilan netto
Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan pembukuan, Pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan
dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan
laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir pembukuan
Untuk WP badan besar penghasilan kena pajak = penghasilan netto yaitu penghasilan bruto
dikurangi PPH .
Penaghasilan Kena pajak ( WP badan)
= Penghasilan Netto
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh-PTKP

Untuk WP Orang Pribadi besar penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan netto dikurangi
dengan PTKP
Penghasilan Kena pajak ( WP orang pribadi)
= Penghasilan Netto-PTKP
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh
Besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan dari
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan , menagih , dan memelihara penghasilan
termasuk:
1. Biaya secara langsung dan tidak langsung
2. Penyusutan atas pengeluaran
3. Iuran kepada dana pensiun yang telah didahkan oleh menteri keuangan
4. Kerugian karna penjualan
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian pengembangan perusahaan yang dilakukan di indonesia
7. Biaya beasiswa,magang, pelatihan
8. Piutang yang nyata
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang sudah diatur dengan peraturan
pemerintah
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
11. Biaya pembangunan insprastruktur sosial
12. Sumbangan fasilitas pendidikan
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
14. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya( min 5 th)
Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan usaha tetap
tidak boleh dikurangkan:
1. Pembagian laba
2. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi
3. Pembentukan atau pemupukan dana cabang kecuali
4. Cadangan piutang
5. Cadangan untuk usaha asuransi
6. Cadangan penjaminan
7. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
8. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
9. Cadangan biaya penutypan dan pemeliharaan tempat
10. Premi asuransi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
11. Penggantian atau imbalan
12. Jumlah yang melebihi kewajaran sebagai imbalan yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
13. Harta yang dihibahkan
14. Pajak penghasilan
15. Biaya yang dibebankan
16. Gaji
17. Sanksi administrasi
18. Biaya pengeluaran yang dikenakan PPH yang bersifat final dan bukan objek PPH
19. Biaya-biaya pengeluaran yang digunakan penghitungan penghasilan netto

Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan Netto
Untuk menghitung penghasilan kena pajak maka wajib pajak menggunakan norma
penghitungan penghasilan netto.
Dimana penghasilan netto adalah besar penghasilan netto sama dengan besarnya (persentase)
NPPN
Untuk Menghitung menentukan penghasilan netto perlu disempurnakan secara terus menerus
dan di terbikan oleh direktur jendral pajak yang di tentukan mentri keuangan
Wajib pajak yang boleh menggunakan NPPN adalah WP orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Predaran bruto kurang dari Rp.4.800.000.000,00 Per tahun
2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun buku
3. Menyelenggarakan pencatatan
Contoh penghitungan pajak yang terutang (NPPN)
Diket :
anto menikah ( istri tidak bekerja) dan memiliki 3 orang anak, anto seorang dokter bertempat tinggal
dijakarta ia memiliki industri rotan. Misalnya besar presentase norma untuk industri rotan dicirebon
12,5% , dan dokter jakarta 45%.
Peredaran usaha dari industri rotan dicirebon setahun Rp.400.000.000 , penerimaan seorang dokter
dijakarta setahun Rp. 100.000.000, hitunglah penghasilan netto?
Jawaban:
Dari industri rotan: 12,5% x Rp.400.000.000 Rp. 50.000.000
Sebagai seorang dokter: 45% x Rp. 100.000.000 RP. 45.000.000
Jumlah penghasilan netto RP. 95.000.000
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK Rp. 21.120.000
Penghasilan kena pajak Rp. 73.880.000

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)


Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini adalah ;
1. Rp.36.000.000,00 untuk wajib pajak orang pribadi
2. Rp.3.000.000,00 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
3. Rp.36.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya di gabung dengan
penghasilan suami, dengan syarat
a. Penghasilan istri tidak semata-mata di terima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah
di potong pajak berdasarkan ketentuan dalam UU PPh pasal 21, dan
b. Pekertjaan istri tidak ada hubungan dengan usah atau pekerjaan bebas suami atau anggota
keluarga lainnya
4. Rp 3.000.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang )

Contoh penghitungan PTKP :


1. Joko sudah menikah dengan mempuyai seorang anak. PTKP Joko adalah :
PTKP setahun :
Untuk wajib pajak sendiri Rp 36.000.000,00
Tambahan WP kawin Rp 3.000.000,00
Tambahan 1 anak Rp 3.000.000,00
Jumlah Rp 42.000.000,00
2. John (warga negara asing) bekerja di Indonesia pada tanggal 1 Maret 2015 dengan kontrak kerja
selama 2 tahun. John sudah menikah dan mempunyai 3 anak. PTKP John adalah :
PTKP Setahun :
Untuk WP sendiri Rp 36.000.000,00
Tambahan WP kawin Rp 3.000.000,00
Tambahan 3 anak Rp 9.000.000,00
Jumlah Rp 48.000.000,00

TARIF PAJAK
Wajib pajak orang pribadi dalam negri
1. Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajip pajak orang pribadi dalam negri
adalah sebagai berikut
Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak
Sampai dengan Rp.50.0000.000,00 5%
Di atas Rp 50.0000.000,00 sampai dengan Rp
15%
250.0000.000,00
Diatas 250.0000.000,00 sampai dengan Rp. 500.0000.000,00 25 %
Diatas Rp. 500.0000.000,00 30%

2. Wajib pajak badan usaha dalam negri dan bentuk usaha tetap
a. Sedangkan tarif pajak yang di terapkan untuk penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan
dalam negri dan bentuk usaha tetap Adalah sebesar 28 % .
b. Sedangkan tarif pajak yang di terapkan untuk penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan
dalam negri mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25 %
c. Wajib pajak badan dalam negri berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40 % dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di indonesia dan memenuhi
persyaratan tertentu lainnya memperoleh tarif sebesar 5 %
d. Wajib pajak badan dalam negri dengan peredarfan bruto sampai dengan Rp.50.0000.000,00
mendapat fasilitas pengurangan tarif 50 % yang dikenakan atas penghasilan kenapajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,00.
Cara menghitung pajak
Pajak penghasilan (Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap) setahun dihitung
dengan cara mengalikan penghasilan kena pajak dengan tariff pajak sebagaimana diatur UU PPh pasal
17:

Rumus menghitung wajib pajak badan


Pajak penghasilan ( wajib pajak badan)
= penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
= penghasilan netto x tarif pasal 17
= (penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) x tarif pasal 17

Rumus menghitung wp orang pribadi


Pajak penghasilan ( WP orang pribadi)
= penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
= penghasilan netto – PTKP ) x tarif pasal 17
= (penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) -PTKP x tarif pasal 17
Catatan:
untuk keperluan menghitung PPh yangn terutang pada akhir tahun, penghasilan kena pajak dibulatkan
kebawah hingga ribuan penuh.
Contoh:
1. Gunawan pada tahun 2010 mempunyai PKP sebesar Rp.241.850.600,00 besarnya pajak
penghasilan yang harus dibayar atau terutang oleh gunawan adalah:

Penghasilan kena pajak Rp.241.850.600,00


(dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh)
Pajak penghasilan yang harus dibayar : Rp.2.500.000,00
5% x Rp. 50.000.000,00 Rp.28.777.500,00
15% x Rp. 191.850.000,00 Rp. 31.277.500,00

2. Peredaran Bruto PT. Makmur dalam tahun pajak 2015 sebesar Rp. 4.500.0000.000 dengan
penghasilan kena pajak sebesar Rp. 500.000.000. penghitungan pajak yang terhutang :
Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif
sebesar 50% dari tarif pajak penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran
bruto PT. Makmur tidak melebihi Rp 4.800.000.000

Pajak penghasilan yang terutang:


(50% x 25%) x Rp 500.000.000 = Rp. 62.500.000

3. Peredaran bruto PT. Jaya dalam tahun 2015 sebesar Rp. 30.000.000.000 dengan penghasilan
kena pajak sebesar Rp. 3.000.000.000. penghitungan hasil pajak penghasilan yang terutang:

Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas :
(Rp. 4.800.000.000 : Rp. 30.000.000.000) x Rp. 3.000.000.000=
Rp. 480.000.000
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas:
Rp 3.000.000.000 – Rp. 480.000.000 = Rp. 2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50% x 25%) x Rp. 480.000.000 =Rp. 60.000.000
- 25% x Rp 2.520.000.000 =Rp. 630.000.000(+)
Jumlah pajak penghasilan yang terutang =Rp. 690.000.000
PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL
Pemotongan atau pemungutan PPh tetap dilaporkan dalam surat pemberitahuan ( SPT ), hanya
saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan penghasilan lainnya.

CARA MELUNASI PAJAK


Cara melunasi pajak ada 2 cara:
1. Pelunasan pajak tahun berjalan,yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang meliputi:
a. Pembayaran sendiri oleh WP ( PPh pasal 25 ) untuk setiap masa pajak.
b. Pembayaran pajak melalui pemotongan / pemungutan pihak ketiga berupa kredit pajak yang
dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak yang terutang selama tahun pajak, yaitu:
 Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan (PPh pasal 21)
 Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau lainnya(PPh pasal
22)
 Pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan dharta oleh orang lain,jasa,
hadiah , dan penghargaan ( PPh pasal 23)
 Pelunasan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri ( PPh pasal 24)
 Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas WP luar negeri ( PPh pasal 26)
 Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya(PPh pasal
4 ayat (2) untuk PPh 4 ayat (2)ntidak dapat dikredit.

2. Pelunasan pajak sesudah akhir tahun.


pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:
a. Menbayar pajak yang kurang disetor yaitu dengan menghitung sendiri jumlah pajak
penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak tahun
yang bersangkutan.
b. Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan
pajak yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak, apabila terdapat bukti bahwa jumlah
pajak penghasilan terutang tidak benar.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan
penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan
usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
Pengertian Pajak PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

Siapa Subjek atau Wajib Pajak PPh pasal 21


Wajib pajak yang dipotong PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang
merupakan :
a) Pegawai.
b) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua termasuk ahli warisnya.
c) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

Yang tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21 yaitu :


a) Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan orang
– orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut,
serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
b) Pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang – Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan
atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Kebijakan Pajak Penghasilan PPh pasal 21

Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 yaitu :


 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun
2007.
 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.\
 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh
Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak,
dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara
Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan
Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan
Pajak Penghasilan.
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal
21/26.
 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.

Siapa Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21


Pemotong PPh pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU
adalah :

d) Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat
maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau
bukan pegawai.
e) Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas
yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan
kegiatan.
f) Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja dan badan – badan
lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
g) Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar
 Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa
dan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek
pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas
nama persekutuannya.
 Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek
pajak luar negeri.
 Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan dan
magang.
 Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga
lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium,
hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang
pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

Penghasilan apa saja yang dipotong PPh Pasal 21 (Objek Pajak)

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :

a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima paensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon,
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua dan pembayaran lain
jenis;
d) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
f) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun,dan,imbalansejenisdengannamaapapun.
Objek Pajak PPh Pasal 21 yang Dikecualikan:
1.Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi jiwa, asuransi beasiswa, asuransi kesehatan, dan asuransi
kecelakaan
2.Penerimaan dalam bentuk Natura atau kenikmatan lainnya oleh wajib pajak
3.Zakat yang diterima oleh pribadi berasal dari badan atau lembaga amil zakat yang telah disahkan oleh
pemerintah
4.Beasiswa pendidikan dalam negeri dari Pemberi Beasiswa
5.Iuran Pensiun dan Iuran Jaminan Hari Tua

Pengurangan Yang Diperbolehkan. Dalam PMK 262/PMK.03 Tahun 2010, menyatakan


bahwa pengurangan yang diperbolehkan dalam menghitung besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang adalah sebagai berikut :
1. Biaya Jabatan, batas yang diperkenankan untuk biaya jabatan adalah 5% (lima persen)
dari penghasilan bruto dan setinggi - tingginya Rp.6.000.000 per tahun atau Rp.500.000
per bulan.
2. Biaya Pensiun, yang dikurangkan adalah biaya pensiun yang dibayar kepada seorang
pensiunan secara bulanan.
3. Iuran yang Terkait dengan Gaji, yaitu iuran yang dibayar kepada lembaga yang disahkan
oleh Menteri Keuangan, lembaga tersebut berupa lembaga pensiun atau badan
penyelenggara hari tua.

Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang
merupakan :
a.pegawai;
b.penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua,
termasuk ahli warisnya;
c.bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan, antara lain meliputi :
1.tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2.pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
3.olahragawan;
4.penasihat,pengajar,pelatih,penceramah, penyuluh, dan moderator;
5.pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6.pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan
7.agen iklan;
8.pengawas atau pengelola proyek;
9.pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
10.petugas penjaja barang dagangan;
11.petugas dinas luar asuransi;
12.distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya

4. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah batasan penghasilan yang akan dikenakan
PPh Pasal 21. Jadi untuk penghasilan dibawa PTKP tidak dikenakan Pajak PPh Pasal 21.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 Yang Dipotong Bendahara Pemerintah

1. Perhitungan PPh Pasal 21 yang Bersifat Tidak Final


- Perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap yang menerima tunjangan
Contoh kasus
Pak Auriga merupakan PNS pada Inspektorat Daerah Kabupaten Minahasa Selatan.
Penghasilan per bulan yang didapat terdiri dari gaji pokok sebesar Rp.3.112.900, tunjangan
istri sebesar Rp.289.055, tunjangan anak sebesar Rp.115.622, tunjangan struktural sebesar
Rp. 195.000, dan tunjangan beras sebesar Rp. 279.040. Perhitungan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk Pak Auriga adalah sebagai berikut :

Penghasilan :
Gaji Pokok Rp. 3.112.900
Tunjangan Istri Rp. 289.055
Tunjangan Anak Rp. 115.622
Tunjangan Struktural Rp. 195.000
Tunjangan Beras Rp. 279.040
Tunjangan lain-lain Rp. 1.128
Penghasilan Bruto Rp. 3.992.745

Pengurangan:
Biaya Jabatan/Biaya Pensiun Rp. 199.585
Iuran Pensiun/Iuran THT Rp. 167.084
(Rp. 366.168)
Penghasilan Neto Sebulan Rp. 3.626.076
Penghasilan Neto Setahun Rp.43.512.912
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Wajib Pajak (WP) sendiri Rp.54.000.000
Wajib Pajak Kawin Rp. 4.500.000
Anak/Tanggungan (2) Rp. 9.000.000 : Rp.67.500.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
PPh Pasal 21 Terutang Nihil
Jadi PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh Pak Auriga adalah nihil,
karena penghasilan Pak Auriga berada dibawah jumlah PTKP.
2. Perhitungan PPh Pasal 21 yang Bersifat Final
Contoh kasus:
Pada bulan Agustus Pak Auriga menerima honorarium atas kegiatan monitoring yang
dilakukan oleh Inspektorat Daerah Kabupaten Minahasa Selatan. Honorarium yang diterima
adalah berupa uang pemeriksaan yang diterima sejumlah Rp.2.000.000. Pak Auriga adalah
PNS dengan golongan III D. Maka perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang adalah :

PPh Pasal 21 = Penghasilan Bruto x Tarif Final (disesuaikan dengan golongan pegawai yang
bersangkutan)
PPh Pasal 21 = Rp. 2.000.000 x 5%= Rp.100.000,-
Jadi PPh Pasal 21 yang terutang atas honorarium yang diterima oleh Pak Auriga adalah
sebesar Rp.100.000,-.
Atas pemotongan yang dilakukan, maka bendahara pengeluaran wajib
membuat bukti potong PPh Pasal 21. Bukti potong untuk PPh Pasal 21 yang bersifat final
adalah berupa formulir 1721-VII, sedangkan untuk PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final
adalah berupa formulir 1721-A2.
3. Pemotongan PPh Pasal 21
Pemotongan PPh pasal 21 dilakukan saat pembayaran penghasilan kepada pegawai yang
bersangkutan. Setelah dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, bendahara pemerintah wajib
memberikan bukti potong berupa formulir 1721-VII untuk pajak yang bersifat final dan 1721
– A2 untuk pajak yang bersifat tidak final.
Cara Perhitungan Pajak Penghasilan PPh pasal 21

Perhitungan Perubahan PTKP Terbaru Tahun 2016 :

PTKP 2016 Wajib Pajak Tidak Kawin (TK)

Uraian Status PTKP


Wajib Pajak TK0 54.000.000,-
Tanggungan 1 TK1 58.500.000,-
Tanggungan 2 TK2 63.000.000,-
Tanggungan 3 TK3 67.500.000,-

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin

Uraian Status PTKP


WP Kawin K0 58.500.000,-
Tanggungan 1 K1 63.000.000,-
Tanggungan 2 K2 67.500.000,-
Tanggungan 3 K3 72.000.000,-

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin, penghasilan istri dan suami digabung

Uraian Status PTKP


WP Kawin K/I/0 112.500.000,-
Tanggungan 1 K/I/1 117.000.000,-
Tanggungan 2 K/I/2 121.500.000,-
Tanggungan 3 K/I/3 126.000.000,-
Catatan:
 Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang
 TK : Tidak Kawin
 K : Kawin
 K/I : Kawin dan penghasilan pasangan digabung
Tarif pajak

Penghasilan Netto Tarif pajak


Sampai dengan 60 juta 5%
60 juta sampai dengan 250 juta 15%
250 juta sampai dengan 500 juta 25%
Diatas 500 juta 30%

Perhitunganya :
Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP yang lama (selama bulan Januari – Juni 2016):
Andi Ahmad pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Abadi Selamat dengan memperoleh
gaji sebulan Rp 5.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Andi
menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan Rp 5.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan : 5% x Rp 5.000.000,00 Rp 250.000,00
2. Iuran pensiun Rp 100.000,00 (+)
Rp 350.000,00 (-)
Penghasilan neto sebulan Rp 4.650.000,00

Penghasilan neto setahun adalah 12 x Rp 4.650.000,00 = Rp 55.800.000,00


PTKP setahun
– untuk WP sendiri Rp 36.000.000,00
– tambahan WP kawin Rp 3.000.000,00 (+) Rp 39.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 16.800.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% x Rp 16.800.000,00 = Rp 840.000,00
PPh Pasal 21 sebulan :
Rp 840.000,00 : 12 = Rp 70.000,00
Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP yang baru (selama tahun 2016):
Andi Ahmad pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Abadi Selamat dengan memperoleh
gaji sebulan Rp 5.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Andi
menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan Rp 5.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan : 5% x Rp 5.000.000,00 Rp 250.000,00
2. Iuran pensiun Rp 100.000,00 (+) Rp 350.000,00 (-)
Penghasilan neto sebulan Rp 4.650.000,00
Penghasilan neto setahun adalah 12 x Rp 4.650.000,00 = Rp 55.800.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00
– tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00 (+) Rp 58.500.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 0,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% x Rp 0,00 = Rp 0,00
PPh 21 Masa Januari – Desember 2016 terutang = Rp. 0,00
PPh 21 Masa Januari – Juni 2016 yang telah disetor = Rp. 420.000,00
Terdapat Lebih bayar PPh 21 tahun 2016 sebesar Rp. 420.000,00, dan jika atas lebih bayar
tersebut perlakuannya sama dengan lebih bayar yang timbul karena kenaikan PTKP 2015, maka
atas lebih bayar tersebut dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya / tahun 2017.
Kesimpulan

Pajak Penghasilan Pasal 21 atau biasa disebut dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri. Saat ini PPh pasal 21 harus menjadi
perhatian bagi wajib pajak yang dikenakan PPh pasal 21, oleh karena itu kita akan membahasnya
secara perlahan-lahan agar mudah dimengerti.
Pemungutan serta tarif pajak pph didasarkan atas undang – undang yang ada. Pajak
merupakan penyumbang terbesar bagi kas negara. Ingat, bayarlah pajak sesuai dengan UU yang
berlaku. Demikianlah kesimpulan ini, Semoga tulisan ini dapat bermanfaat
Contoh soal perhitungan PPh 21 Pegawai Tetap dengan Gaji Bulanan

Contoh Kasus 1
Tommy bekerja di Universitas Nusantara. Ia memperoleh gaji sebulan beripa gaji poko Rp.
6.000.000. Tommy juga membayar iuran pensiun sebesar Rp. 100.000. Tomm sudah menikah tapi
belum mempunyai anak. Penghitungan PPh 21 adalah: jawab:

Gaji sebulan Rp. 6.000.000


Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp. 6.000.000) = Rp. 300.000
2. Iuran Pensiun Rp. 100.000 (Rp. 400.000)
Penghasilan neto sebulan = Rp. 5.600.000
Penghasilan neto setahun: 12 x 5.600.000 = Rp.67.200.000
PTKP (K/0):
Untuk diri Wajib Pajak– Tambahan WP Menikah: 54.000.000+.4.500.000 (58.500.000)
Penghasilan Kena Pajak =Rp. 8. 700.000
PPh 21 Setahun: 5% x Rp.8.700.000 = 435.000
PPh 21 sebulan: Rp. 435.000: 12 = Rp. 36.250

Contoh Kasus 2
Tommy bekerja di Universitas Nusantara. Ia memperoleh gaji sebulan beripa gaji poko Rp. 6.000.000.
Tommy juga membayar iuran pensiun sebesar Rp. 100.000. Tomm sudah menikah tapi belum
mempunyai anak. Penghitungan PPh 21 adalah:

Gaji sebulan Rp. 6.000.000

Pengurangan:

1. Biaya jabatan (5% x Rp. 6.000.000) Rp. 300.000

2. Iuran Pensiun Rp. 100.000

(Rp. 400.000)

Penghasilan neto sebulan Rp. 5.600.000

Rp.67.200.00
Penghasilan neto setahun: 12 x 5.600.000
0
PTKP (K/0):– Untuk diri Wajib Pajak– Tambahan
Rp.54.000.000 Rp.4.500.000
WP Menikah

(Rp.58.500.00
0)

Rp. 8.
Penghasilan Kena Pajak
700.000

PPh 21 Setahun: 5% x Rp.8.700.000 Rp. 435.000

Rp. 36.250
PPh 21 sebulan: Rp. 435.000: 12

Contoh Kasus 3
Endang adalah karyawati dengan status menikah tanpa anak. Ia bekerja di PT. X dengan gaji Rp.
7.500.000 per bulan. Endang membayar iuran pensiun sebesar Rp. 100.000 setiap bulan. Diketahui
bahwa suami Enda tidak mempunyai penghasilan apa pun. Pada bulan Juli, selain menerima gaji,
Endang juga menerima pembayaran atas lembur sebesar Rp. 2.500.000. Penghitungan PPh 21 pada
bulan Juli adalah:

Gaji sebulan Rp. 7.500.000

Lembur Rp. 2.500.000

Rp.
Penghasilan bruto sebulan
10.000.000

Pengurangan:1. Biaya jabatan: 5% x Rp.10.000.0002. Iuran


Rp.500.000 Rp.100.000
Pensiun

(Rp.600.000)

Penghasilan neto sebulan Rp. 9.600.000

Rp.112.800.0
Penghasilan neto setahun: 12 x Rp. 9.600.000
00

Rp.54.000.000
PTKP (K/0):– Untuk Diri Wajib Pajak– Tambahan WP
Rp.4.500.00

(Rp.58.500.00
0)
Rp.54.300.00
Penghasilan Kena Pajak
0

Penghasilan Kena Pajak:

PPh Pasal 21 setahun:5% x Rp. 50.000.00015% x Rp.


Rp.2.500.000 Rp.645.000
4.300.000

Total PPh setahun Rp.3.145.000

PPh 21 sebulan: Rp. 3.145.000:12 Rp. 262.083

Contoh Kasus 4
Hiduplah sebuah keluarga disebuah desa. Ia adalah Bapak Deni danistrinya beserta 4 anaknya.
Untuk mencukupi kebutuhannya ia bekerjasebagi Kepala Sekolah denagn upah sebesar Rp.
9.800.000,00. Hitunglahbesar pajak penghasilannya yang harus dibayarkan perbulannya?

Jawab :
Besar penghasilan = Rp. 9.800.000,00
Dana jabatan : 5 % x Rp. 9.800.000,00 = (Rp. 300.000,00 )
HASIL =Rp. 9.500.000,00

Gaji dalam waktu 1 tahun : 12 x Rp. 9.500.000,00 = Rp. 114.000.000,00


PTKP :DWP = Rp. 54.000.000,00 TAK 3 x Rp. 4.500.000,00
= Rp. 13.500.000,00+
Gaji yang kena pajak =Rp. 67.500.000,00

Jumlah pajak yang harus diBayar :


5 % x Rp. 2.500.000,00 = Rp. 125.000,0010 % x Rp. 2.500.000,00 = Rp. 250.000,0015 % X Rp
4.800.000,00 = Rp. 720.000,00 +Hasil = Rp 1.095.000,00
Pajak perbulannya yang harus dibayar : Rp. 1.095.000,00 : 12 = Rp.91.250,00
Jumlah pajak penghasilan yang harus dibayar oleh Pak Deni perbulannyasebesar Rp. 91.250,00

Contoh Kasus 5
Hasan bekerja pada perusahaan PT. ABC dengan memperoleh gajih sebulanRp. 2000.000,00 dan
membayar iuran pensiun sebesar Rp. 50.000,00 hasanmenikah dan memiliki 1 anak.
Hitunglah perhitung PPH pasal 21.
Jawab :
Gajih sebulan = Rp. 2.000.000
Biaya jabatan = 5% X Rp. 2.000.000 = Rp. 100.000
Iuran pensiun = Rp. 50.000,00+ (=Rp. 150.000,00)
Penghasilan neto sebulan =Rp. 1.850.000,00
Penghasilan neto 1 thn = 12X Rp. 1.850.000,00 =Rp. 22.200.000,00
Ptkp:
DWP = Rp. 54.000.000
ST.Kwain = Rp. 4.500.000 Tak 1x4.500.000 =Rp. 4.500.000 + = Rp. 63.000.000
Penghasilan kena pajak 1 thn =Rp 6.600.000
Pph pasal 21 terutang = 5%X 6.600.000 = Rp 330.000
Pph pasal 21 sebulan = Rp. 330.000 : 12 bulan = Rp 27.500
Contoh Kasus 6
Pak Bambang memiliki gaji Rp 30.000.000/bulan (neto) dengan status menikah dan memiliki dua
orang anak. Maka PPh terutang pak Bambang adalah..

Jawaban:

Penghasilan pertahun : Rp 30.000.000 x 12 bulan = Rp 360.000.000


PTKP
Wajib pajak : Rp 54.000.000
Kawin : Rp 4.500.000
2 anak : Rp 4.500.000 x 2 = Rp 9.000.0000

Total PTKP = Rp 54.000.000 + 9.000.0000


PKP = Rp 292.500.000

5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% x Rp 42.500.000 = Rp 10.625.000
PPh 21 Rp 2.500.000 + Rp 30.000.000 + Rp 10.625.000 = Rp 43.125.000

Jadi, PPh 21 yang harus dibayarkan Pak Bambang setiap tahunnya adalah Rp 43.125.000/tahun.

Contoh Kasus 7
Saeroyi memiliki gaji sebesar Rp10.000.000/bulan, maka untuk menghitung gaji neto dalam satu
tahunnya adalah..
Jawab:
Rp10.000.000 x 12 bulan = Rp120.000.000/tahun

Dari hasil di atas, maka bisa disimpulkan bahwa gaji Saeroyi yang akan digunakan untuk menghitung
PPh 21 adalah sebesar Rp120.000.000

Contoh Kasus 8
Mas Danar bekerja di PT.EDG sebagai karyawan tetap dengan gaji pokok Rp4.700.000 per bulan,
tunjangan makan dan transportasi Rp1.000.000. Ia belum berkeluarga dan tidak memiliki tanggungan.
Lantas berapa PPh 21 Mas Danar?

Total gaji: 5.700.000


Biaya jabatan : 5%
PTKP (TK/0): 54.000.000
Perhitungan
5.700.000 X 5% = 285.000
5.700.000 – 285.000 = 5.415.000 (penghasilan neto sebulan)
5.415.000 X 12 = 64.980.000 (penghasilan neto setahun)
64.980.000-54.000.000 = 10.980.000 (penghasilan kena pajak setahun)
10.980.000 X 5% = 549.000 (PPh 21 setahun)
549.000 : 12 = 45.750 (PPh 21 sebulan)

Contoh Kasus 9
Pegawai A menerima gaji dari kantornya sebesar Rp 6.000.000 setiap bulan. Kantornya tersebut
mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan bagi para karyawannya. Perusahaan tersebut
menanggung iuran pensiun dari BPJS sebesar 1% dari jumlah gaji, yakni sekitar Rp 30.000 setiap
bulan, Kemudian untuk Jaminan Hari Tua (JHT) para pegawainya setiap bulan dikenakan iuran
sebesar 3,70% dari jumlah gaji pegawai. Pegawai tersebut membayar iuran JHT setiap bulan
sebesar 2,00% dari jumlah gajinya. Untuk Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan
Kematian (JK) sudah dibayar oleh perusahaan yang besarnya masing-masing 1,00% dan 0,30%
dari total gaji. Apabila pada bulan tersebut pegawai bersangkutan mendapatkan tambahan uang
lembur sebesar Rp 3.000.000, berapakah besaran PPh 21 nya?

Jawab:
– Total penghasilan kotor (Bruto) = Gaji pokok + Uang Lembur + JKK 0,24% + JK 0,3%
– Untuk penghasilan kotor (Bruto) = 6000.000 + 3.000.000 + 14.400+ 18.000
– Total akhir Bruto = Rp 9.032.400
– Sedangkan penghasilan bersih (Netto) = Bruto – Biaya Jabatan – Iuran JHT – Jaminan
Pensiun
– Maka penghasilan bersih (Netto) karyawan = 9.032.400 – 401.620 – 120.000 – 60.000 =
8.450.780,00
– Jika dikalikan 12 bulan dan dibulatkan persentasenya maka PPh Pasal 21 = 1.770.450,00 :
12 = 147.538,00
– Maka, besaran pajak yang harus dibayar adalah sebesar 147.538

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha
tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner).

Wajib Pajak PPh Pasal 26


Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26 adalah Wajib pajak luar negeri (orang pribadi atau
badan) selain bentuk usaha tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan.
Pemotong PPh Pasal 26
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984),
pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1) adalah :
a. Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini.
Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah
Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di
bawahnya.
b. Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan
dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan
mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu
istilah bertempat
kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana
pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap
c. Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu
event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir
suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga
menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib
Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban
Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan
manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.

e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya


Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan
pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari perusahaan-perusahaan
asing.

Pihak yang dipotong di dalam PPh Pasal 26


Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap Wajib
Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia
tanpaperlumelakukankegiatanusahadi Indonesiamelalui BUT. Misalnya warganegara Singapura yang
memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat. Di sisi lain,
pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam
negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.

Objek Pajak Penghasilan 26


Penghasilan yang menjadi objek PPh pasal 26 adalah:
a. Dividen,
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian uang,
c. Royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan,
e. Hadiah dan penghargaan,
f. Pensiun dan pembayaran.
Disamping itu, atas setiap penghasilan dari penjualan harta di Indonesia (termasuk capital
gain) kecuali yang diatur dalam pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi dan premi asuransi yang
dibayarkan pada perusahaan asuransi luar negeri, dikenakan pemotongan pajak. Besarnya tarif
pemotongan adalah 20% dari perkiraan penghasilan netto.

Tarif Pajak Penghasilan 26


 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri berupa :
PPh pasal 26 = penghasilan bruto x 20%
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang.

 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :

PPh pasal 26 = (penghasilan bruto x perkiraan penghasilan neto) x 20%


a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia. Besarnya perkiraan penghasilan neto
untuk penjualan harta di Indonesia adalah 25% dari harga jual.
b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang
(broker) kepada perusahaan asuransi di luar negeri. Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk
premi asuransi dan premi

reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi adalah sebagai berikut :


 Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri
baik secara langsung maupun melalui pialang (broker), sebesar 50% dari jumlah premi yang
dibayar.
 Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Indonesia kepada perusahaan asuransi di Luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar.
 Atas premi yang dibayar oleh perusahaan Reasuransi yangberkedudukan di
Indonesia kepada perusahaan asuransidi Luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar.

 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;

PPh pasal 26 = (penghasilan bruto x perkiraan penghasilan neto) x

Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% dari harga jual.

 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
PPh pasal 26 = (PKP-PPh terutang) x 20%

Penanaman kembali tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah


dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;

 Penanaman kembali dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat- lambatnya


tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan
tersebut;

 Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai dimaksud


pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte
pendiriannya, paling lama satu tahun sejak perusahaan tersebut didirikan

 Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-


kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman
dilakukan, mulai berproduksi komersil.

Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26

1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau


akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih
dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26
rangkap 3 :
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
b. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti
pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke
KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Apabila pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran


paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling
lambat tanggal 20 Juni 2009.Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal
26 bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah orang
pribadi yang merupakan :
a.pegawai;
b.penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
c.bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
1.tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

2.pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat,
pelukis, dan seniman lainnya;
3.olahragawan;
4.penasihat,pengajar,pelatih,penceramah, penyuluh, dan moderator;
5.pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6.pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
7.agen iklan;
8.pengawas atau pengelola proyek;
9.pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10.petugas penjaja barang dagangan;
11.petugas dinas luar asuransi;
12.distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya;
Penghitungan PPh Pasal 26

Contoh Kasus 1
Keisuke Shimaru (mantan kapten sepakbola dari Jepang) status kawin belum punya anak, diundang ke
Indonesia untuk melatih tim PS Sriwijaya selama tiga bulan dengan honorarium US$7.000/bulan. Dengan
kurs pasar US$1=Rp10,000 dan kurs SK Menkeu US$1=9.600.
Diminta:
Hitunglah PPh 26 tiap bulan!
Berapa yang diterima Keisuke Shimaru?
Pembahasan:
PPh 26 atas hororarium:
20% x (7.000 X Rp9.600,00) = Rp13.440.000/bulan
Keisuke Shimaru menerima:
(7000 X Rp96.000) – Rp13.440.000,00 = Rp53.760.000/bulan

Contoh Kasus 2
Messi atlet dari Nigeria mengikuti perlombaan lari marathon di Indonesia pada mei 2007 dan berhasil
merebut hadiah sebesar US$30,000. Kurs untuk US$1 = Rp9.000

Jawab:
Jadi PPh Pasal 26 yang dipotong penyelenggara kegiatan di Indonesia adalah :
20% x US$30,000 x Rp9.000 = Rp54.000.000

Contoh Kasus 3
Penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia pada tahun 2015 sebesar
Rp17.500.000.000. Pajak penghasilan yang harus dibayarkan yaitu sebesar 25% x
Rp17.500.000.000 = Rp4.375.000.000. Penghasilan BUT setelah kena pajak yaitu sebesar
Rp13.125.000.000. Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:
PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp13.125.000.000 = Rp2.625.000.000.

Penghasilan bruto berupa gaji sebulan: US$10.000 x Rp10.500 = Rp105.000.000


PPh Pasal 26 = 20% x Rp105.000.000 = Rp21.000.000
Pegawai Outsource Bisa Termasuk Pegawai Tetap dalam Hitungan PPh 21
Contoh Kasus 4
Seorang atlet dari China yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari maraton di
Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang tunai sebesar Rp100.000.000.
Atas penghasilan dari hadiah tersebut dikenakan PPh Pasal 26. Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:
PPh Pasal 26 = 20% x Rp100.000.000 = Rp 20.000.000

Contoh Kasus 5
Aland Addison yang adalah seorang warga negara Inggris yang memiliki 25% saham atas PT
Jayaraya Indonesia. Tahun ini Aland menjual seluruh sahamnya senilai Rp8 miliar kepada Charles
seorang warga negara Argentina. Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina serta
Inggris sehubungan dengan transaksi tersebut. Hitunglah PPh Pasal 26 dari transaksi tersebut?

Jawaban:
PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp8.000.000.000 = Rp400.000.000 (bersifat final).
Contoh Kasus 6
Seorang WNA Inggris memiliki 25% saham atas sebuah perusahaan di Indonesia. Tahun ini
Aland menjual seluruh sahamnya senilai Rp. 1 miliar kepada Charles seorang WNA Argentina.
Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina serta Inggris sehubungan dengan
transaksi tersebut. Hitunglah PPh Pasal 26 dari transaksi tersebut?

Jawab:
PPh Pasal 2620% x 25% x Rp. 1.000.000.000 Rp 50.000.000 (bersifat final).
Contoh Kasus 7
Seorang atlet dari Thailand yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari maraton di
Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang tunai sebesar Rp. 50.000.000. Atas
penghasilan dari hadiah tersebut dikenakan PPh Pasal 26. Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawab:
PPh Pasal 26 20% x Rp. 50.000.000 Rp 10.000.000,-
Maka, atas penghasilan yang diterima oleh atlet dari China tersebut akan dipotong PPh
Pasal 26 sebesar Rp. 10.000.000

Anda mungkin juga menyukai