Anda di halaman 1dari 11

RINGKASAN MATERI KULIAH

PENGANTAR PAJAK PENGHASILAN (PPh 21) TENTANG PENGAWAI TETAP

Dosen Pengampu Dr. Sohidin SE., M.Si.,Akt

Disusun Oleh :

TAREQ KEMAL AZIZ/K7722080

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

FAKULLTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2023
A. SEJARAH PAJAK PENGHASILAN

Awal mula pajak sudah terdapat sejak zaman romawi kuno antara lain adanya pungutan
yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan
pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai
Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak
penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, di mana dasar
pengenaan pajak adalah ” a person’s faculty, personal faculties and abilities". Pada tahun
1646 di Massachusetts dasar pengenaan pajak didasarkan pada “returns and gain”. “Tersonal
faculty and abilities” secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi,
sedangkan “Returns and gain” berkonotasi pada pajak penghasilan badan.

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement


tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap
mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada
periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk
pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat
banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa
jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty“.
Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak
tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status
pribadi, pemilikan rumah dan tanah.

Karena desakan kebutuhan banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti


perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak
perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) Ordonansi ini telah
mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak
Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck
lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No.
8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs
1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday). Ordonasi PPs 1925 berlaku
sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak
Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925
dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan
untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannny Ordonasi
Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932,
No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak
penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia
hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini
juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.

Semakin banyaknya perusahaan-perusahaan di Indonesia maka kebutuhan akan


mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada
tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi
kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif
progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia
II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada
tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak. Ord. PPd.
1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968
yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara
Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang
lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9
tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan
diadakannya reformasi pajak di Indonesia.

B. SUBJEK PAJAK
 SUBJEK PAJAK PENGHASILAN

Menurut undang-undang no.17 tahun 2000 Subjek pajak adalah orang pribadi, warisan
yang belum dibagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan yang terdiri dari
Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Firma,
Kongsi, Koperasi, Yayasan atau organisasi yang sejenis lembaga dana pensiun, dan bentuk
badan usaha lainnya, serta Bentuk Usaha Tetap.

Pada 2 pasal ayat 1 UU no.17 tahun 2000 mengelompokkan pajak sebagai berikut:

a) Subyek Pajak Orang Pribadi.


b) Subyek Pajak Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan
yang berhak.
c) Subyek Pajak badan, adalah sekumpulan orang atau modal merupakan sebuah
kesatuan dalam melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
d) Subyek Pajak Badan Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
Menurut undang-unnang perpajakan Indonesia BUT yang dipergunakan subjek
pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di indoneia,
daoat dikatan sebagai BUT yang dapat berupa :
1) tempat kedudukan manajemen
2) cabang perusahaan
3) kantor perwakilan
4) gedung kantor
5) pabrik
6) bengkel
7) pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran
yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan
8) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
9) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
10) pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
11) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas
12) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.

 SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI

Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau
bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut
adalah Subjek Pajak luar negeri.

Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap
orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang
pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan
demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek
Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal
penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka
pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.

 TIDAK TERMASUK PAJAK


Menurut pasaal 3 ayat (1) UU no. 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, yang tidak
termasuk subjek pajak dalam negeri maupun luar negeri..
1) Kantor Perwakilan Negara Asing
2) Pejabat—pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing dan orang—orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama merek dengan syarat bukkan
warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik..
3) Organisasi-organisasi internasional dengan syarat
a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
b) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota
4) Pejabat-pejabat perwakilan organisassi internasional sebagaimana dimaksud pada
huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

C. OBBJEK PAJAK
 OBJEK PAJAK PENGHASILAN

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, obyek pajak


penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak bersangkutan dengan nama dan dalam
bentuk apapun termasuk keuntungan:

a) Penggantian atau imbalan yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan dalam undang-undang.
b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
c) Laba usaha
d) Keuntungan penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2) keuntungan karena diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan
atau pengambil-alihan usaha.
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan
e) Penerimaaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
f) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
g) Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apa pun termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis
h) Royalti, Premi asuransi
i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k) Keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
l) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
m) Selisih lebih karena penilaian aktiva
n) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
o) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
 PENGGHASILAN YANG DIKENAL PPH FINAL

PPh Final berarti pajak yang sudah selesai atau dikenakan langsung saat Wajib Pajak
menerima penghasilan. Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi
b. penghasilan berupa hadiah undian
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah

 DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK

Yang tidak termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal

21 adalah:

a) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari luar
jabatannya di Indonesia serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik.
b) Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.
D. PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21
 PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PPh PASAL 21

Menurut Harnanto (2003: 186), menyatakan bahwa Pajak Penghasilan Pasal 21


merupakan atas penghasilan obyek pajak berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi dalam negeri; baik dalam hubungan kerja maupun
pekerjaan bebas. Dasar pemotongan dari PPh pasal 21 ini adalah penghasilan yang
pemungutan dan pembayarannya dilakukan melalui pemotongan oleh pihak lain, yaitu
pemberi kerja atau pemberi penghasilan.

 SUBJEK PPh 21
Menurut Tisnawati (2015:181) Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 yaitu:
a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b) Penghasilan yang diterima penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun
atau pengasilan sejenisnya.
c) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua, dan
pembayaran lain sejenis.Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas,
berupa upah harian, upah Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa
honorarium, komisi, fee dan imbalan sehubungan dengan pekerjan, jasa dan
kegiatan yang dilakukan.
d) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
e) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
 OBJEK PPh

Harnanto (2003: 186-187) menyatakan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan
pasal 21 berdasarkan Ketentuan UndangUndang Pajak Penghasilan secara garis besar
dikelompokan dalam 6 kategori, yaitu:

a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun
bulanan, upah, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang bantuan, uang tunggu,
uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan
siswa, hadiah atau penghargaan dengan nama dan bentuk apapun, premi asuransi
yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa: jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus,
premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya
dibayarkan sekali dalam setahun.

 PERHITUNGAN PPh 21 Bagi Pengawai Tetap


Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dibedakan menjadi dua, yaitu:

a) Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21
yang terutang untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT masa PPh
Pasal 21;
b) Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721-A1 atau 1721-A2,
yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21. Penghitungan kembali ini
dilakukan pada:
1) Bulan saat pegawai tetap berhenti kerja atau pensiun;
2) Akhir tahun pajak bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun
takwin.
DAFTAR PUSTAKA

https://sg.docworkspace.com/d/sIMfznYmIAcjAjagG?sa=e1&st=0t

https://sg.docworkspace.com/d/sIGPznYmIAaHBjagG?sa=e1&st=0t

Anda mungkin juga menyukai