Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang cukup besar
dan sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia terutama pada
pelaksanaan pembangunan nasional. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara
paling besar, maka penting untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
seluruh rakyat Indonesia dalam membayar pajak.

Salah satu jenis pajak adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan
dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam tahun pajak. Pajak penghasilan terdiri dari PPh pasl 21, PPh pasal
22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25, dan PPh pasal 26.

I.II. Rumusan Masalah

II.I. Jelaskan Sejarah Pajak Penghasilan !

II.II. Jelaskan Tentang Pajak Penghasilan !

II.III. Jelaskan Tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 !

II.IV. Berikan Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai !

II.V. Jelaskan Tentang Pajak Penghasilan Pasal 22 !

II.VI. Jelaskan Tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 !

I.III. Tujuan Masalah

Untuk mengetahui tentang pajak penghasilan pasal 21, 22, dan 23, beserta
contoh perhitungannya.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 1


BAB II

PEMBAHASAN

II.I. Sejarah Pajak Penghasilan

A. Sejarah Pajak Penghasilan di Dunia


Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak
penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan
adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun
167 Sebelum Masehi.
Pengenaan pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam
suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris
pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali
dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, di mana dasar pengenaan
pajak adalah "A person's faculty, personal faculties and abilitites",

Pada tahun 1646 di Massachusetts dasar pengenaan pajak


didasarkan pada "returns and gain". “Personal faculty and abilities" secara
implisit adalah pengenaan pajak penghasilan atas orang pribadi, sedangkan
"Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-
tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-
Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali
mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-
an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan
sampai dengan tahun 1962.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 2


B. Sejarah Pajak Penghasilan di Indonesia
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan
adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang
dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai
tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan
tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk
pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam
perlakuan perpajakan. Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya
diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business
tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak
tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya
berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan
untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa
memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan
pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak
gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan
pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3%
atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun
unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan
diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak
pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene
Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik
bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi
pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni
asas keadilan domisili dan asas sumber.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 3


Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan
yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing),
pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925
(Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan
tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan).
Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan
penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak
Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925
yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan
penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak
mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925.,
khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983,
yakni pada saat diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an
yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan
dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul
kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan
ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de
Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan
kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan
telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk
Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di
Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas
domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka
kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan
perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak
Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk
memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari
0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 4


II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi
yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan
nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak
Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak
Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama
dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968
tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak
Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang
lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah
dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia.

II.II. Pajak Penghasilan


A. Pengertian Pajak Penghasilan Menurut Undang-undang No. 36 Tahun
2008 tantang Pajak Penghasilan (PPh) disebut wajib pajak. Wajib pajak
dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalambagian
tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir
dalam tahun pajak
Dengan kata lain Pajak Penghasilan dapat diartikan sebagai denda
atau bayaran yang dikenakan kepada seseorang atau badan usaha atas hasil
yang diperoleh atas usaha atau pekerjaannya.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 5


B. Jenia-jenis Pajak Penghasilan
Pada jenis – jenis pajak penghasilan pun mengenai ketentuannya sudah
dijelaskan dalam Undang – Undang Tahun 2008 Nomor 36.
1. Wajib Pajak Orang Pribadi
Tarif pajak ini diberlakukan untuk individu yang memenuhi kriteria
untuk dikenai beban pajak. Besar pejak yang dikenakan berdasarkan
jumlah penghasilan bruto pertahun, tanggungan, besar dana peniun,
jabatan, dan lain – lain. Semuanya sudah ditentukan dan diatur oleh
Undang – Undang yang berlaku.
2. Wajib Pajak Badan Usaha atau Badan Tetap Lainnya
Artinya, semua badan usaha termasuk perusahaan, PT, CV, dan
sejanisnya akan dikenai pajak seperti yang dikenakan pada pajak
pribadi. Besarnya tergantung kepada laba yang diperoleh oleh Badan
Usaha yang bersangkutan per tahunnya. Mengenai perhitungannya,
semua telah ditentukan oleh peraturan yang sudah ditetapkan.

C. Objek Pajak
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan
atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan
atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk
konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya
tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 6


diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai
kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya
yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk
konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas
maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu
tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau
kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian
yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis
penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau
dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh
digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Contohnya adalah laba usaha, dividen, bunga, royalty, asuransi, dan
keuntungan dari mata uang asing juga termasuk di dalamnya.
Ada beberapa hal yang meskipun termasuk pertambahan ekonomi tetapi
tidak dikenai pajak. Hal – hal yang termasuk ke dalam golongan tersebut
diantaranya adalah warisan, sumbangan, SHU koperasi, hibah, dan
sejenisnya.

D. Subjek Pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2, subjek pajak
penghasilan adalah sebagai berikut:
1. Subjek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 7


2. Subjek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari
seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan
pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
3. Subjek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah;
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
negara;
4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan,
atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang
melakukan kegiatan di Indonesia.

E. Bukan Subjek Pajak


Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008Pasal 3 menjelaskan tentang apa
yang tidak termasuk subjek pajak sebagai berikut:
1. Badan perwakilan negara asing;
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain
dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat
bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik;
3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri
keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 8


organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
Contoh: WTO, FAO, UNICEF;dan
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh
keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara
indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia

F. Kronologi Perubahan Undang-Undang


Sesuai dengan amendemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 23A, pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang.[2] Pajak Penghasilan(disingkat PPh) di Indonesia diatur pertama
kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan
pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50.
Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamendemen oleh
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan


sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 486/KMK.03/2003.

Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan


juga beberapa kali dalam:

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk


tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung
pemerintah);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk
tahun pajak 2006;

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 9


3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015[1] berlaku
untuk tahun pajak 2015;dan
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 berlaku mulai
27 Juni 2016;

II.III. Pajak Penghasilan Pasal 21

A. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21


PPh pasal 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
32/PJ/2015 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.

B. Peserta Wajib Pajak PPh Pasal 21


Sebelum mengetahui tentang tarif pajak PPh Pasal 21, mari kita pahami
dahulu siapa saja peserta yang harus melakukan wajib pajak PPh Pasal 21
menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3.
1. Pegawai.
2. Penerima uang pesangon, pensiun, atau uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya juga
merupakan peserta wajib pajak PPh 21.
3. Wajib pajak PPh 21 kategori bukan pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
 Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan
aktuaris.
 Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan
seniman lainnya.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 10


 Olahragawan.
 Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
 Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
 Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan
sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi,
dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.
 Petugas penjaja barang dagangan.
 Petugas dinas luar asuransi.
 Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya.
4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan.
5. Mantan pegawai.
6. Wajib pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
 Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah
raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
perlombaan lainnya.
 Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja
 Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu.
 Peserta pendidikan dan pelatihan.
 Peserta kegiatan lainnya.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 11


C. Dasar Hukum Perhitungan PPh Pasal 21
Dasar hukum perhitungan dan pemotongan pajak penghasilan ini terdapat
pada UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 21 (PPh Pasal 21) dan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 yang mengatur tarif terbaru
Penghasilan Tidak Kena Pajak 2016 (PTKP terbaru).

D. Komponen-Komponen Perhitungan PPh Pasal 21


Untuk memahami detail perhitungan PPh Pasal 21, Anda bisa mempelajari
komponen-komponen dan konsep dasar cara perhitungan PPh 21 di bawah
ini. Komponen-komponen tersebut terbagi dalam 3 bagian besar yaitu:

1. Penghasilan Bruto (Penghasilan Kotor) PPh Pasal 21

Penghasilan bruto atau penghasilan kotor adalah jenis penghasilan yang


dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. Unsur-unsur penambah
penghasilan yang termasuk dalam penghasilan bruto, adalah:

a. Penghasilan Rutin
Cara perhitungan PPh 21 2016 tidak akan terlepas dari penghasilan
rutin wajib pajak orang pribadi, yakni upah atau gaji yang diterima
secara teratur dalam jangka waktu tertentu, seperti:
 Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk melaksanakan satu
jabatan atau pekerjaan tertentu pada golongan pangkat dan waktu
tertentu.

 Tunjangan adalah penghasilan tambahan di luar gaji pokok yang


berkaitan dalam pelaksanaan tugas dan sebagai insentif. Misalnya
adalah tunjangan jabatan, tunjangan transportasi, tunjangan
makan, dll.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 12


b. Penghasilan Tidak Rutin
Penghasilan tidak rutin adalah upah atau gaji yang diterima secara
tidak teratur oleh seorang pegawai atau penerima penghasilan
lainnya, seperti:

 Bonus adalah tambahan penghasilan di luar gaji kepada pegawai


atau dividen tambahan kepada pemegang saham.

 Tunjangan Hari Raya Keagamaan ( THR ) adalah pendapatan


non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada
pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan dengan
perhitungan proporsional dan dibayarkan menjelang hari raya
keagamaan.

 Upah lembur adalah tambahan upah yang dibayarkan perusahaan


karena pekerja melakukan perpanjangan jam kerja dari jam kerja
normal yang telah ditentukan.

c. Iuran BPJS atau premi asuransi pegawai yang dibayarkan


perusahaan
BPJS adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan lembaga
nirlaba, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Setiap warga
negara Indonesia dan asing yang telah tinggal di Indonesia selama
lebih dari 6 bulan wajib menjadi anggota BPJS. Iuran BPJS ini
dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja dengan persentase iuran
dari gaji atau upah (tidak dijelaskan dalam peraturan bahwa apakah
gaji ini merupakan gaji pokok, gaji bruto, gaji bersih, dsb) yang telah
ditentukan dalam Peraturan Pemerintah. Iuran BPJS yang termasuk
dalam komponen cara perhitungan PPh 21 ini terdiri dari:

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 13


 Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah kompensasi dan
rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan saat
mulai berangkat kerja sampai tiba kembali di rumah atau
menderita penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan. Iuran
JKK dibayar sepenuhnya oleh perusahaan. Besarnya iuran
berdasarkan kelompok jenis usaha dan risiko:

o Kelompok I : premi sebesar 0,24% x upah kerja sebulan.

o Kelompok II : premi sebesar 0,54% x upah kerja sebulan.

o Kelompok III : premi sebesar 0,89% x upah kerja sebulan.

o Kelompok IV : premi sebesar 1,27% x upah kerja sebulan.

o Kelompok V : premi sebesar 1,74% x upah kerja sebulan.

 Jaminan Kematian (JK) diperuntukkan bagi ahli waris dari


peserta program BPJS Ketenagakerjaan yang meninggal bukan
karena kecelakaan kerja. Pengusaha wajib menanggung iuran
program Jaminan Kematian sebesar 0,3% dari gaji atau upah.

 Jaminan Kesehatan (JKes / BPJS Kesehatan) berlaku sejak


Juli 2015, tarif iuran Jaminan Kesehatan adalah 5% dari gaji per
bulan yaitu sebanyak 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% oleh
pegawai.
Gaji atau upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan iuran
Jaminan Kesehatan terdiri dari gaji atau upah pokok dan tunjangan
tetap. Batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan
sebagai dasar perhitungan iuran adalah 2 kali PTKP dengan status
kawin dengan 1 anak. Untuk keluarga lainnya, yaitu terdiri dari
anak keempat dan seterusnya, orang tua dan mertua, besarnya
iuran adalah 1% per orang dari gaji/upah.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 14


d. Tunjangan PPh 21 (yang dibayarkan perusahaan, jika ada)
Bagi pemberi kerja yang memberikan tunjangan PPh 21 kepada
pegawainya, dalam hal ini bisa tunjangan PPh 21 penuh atau sebagian
maka jumlah tunjangan PPh 21 ini merupakan komponen penambah
penghasilan bruto. Sedangkan metode perhitungan gaji bagi pegawai
yang menerima tunjangan PPh 21 adalah metode gaji bersih
atau gross-up.

e. Tunjangan BPJS (yang dibayarkan perusahaan, jika ada)


Bagi pemberi kerja yang memberikan tunjangan BPJS (JKK, JK, JP,
JKes) secara penuh dengan metode perhitungan gaji bersih atau gross
up, maka tunjangan ini dijadikan komponen penambah penghasilan
bruto.

2. Pengurang Penghasilan Bruto


Pengurang penghasilan bruto adalah biaya-biaya yang dapat
mengurangi penghasilan bruto atau kotor. Termasuk di dalamnya
adalah:

a. Biaya jabatan adalah biaya yang diasumsikan petugas perpajakan


bahwa sebagai pegawai pasti memiliki pengeluaran (biaya) selama
setahun yang berhubungan dengan pekerjaannya. Karena itu
ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
16/PJ/2016 bahwa biaya jabatan adalah sebesar 5% dari penghasilan
bruto setahun dan setinggi-tingginya Rp 500.000,- sebulan atau Rp 6
juta setahun. Dari staf biasa sampai direktur berhak mendapatkan
pengurang penghasilan bruto ini.

b. Biaya Pensiun adalah pengurang penghasilan bruto dalam


menghitung PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong atas
penghasilan yang diterima oleh penerima pensiun secara bulanan.
Besarnya biaya pensiun yang ditetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak No. PER-16/PJ/2016 adalah sebesar 5% dari penghasilan bruto

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 15


dan setinggi-tingginya Rp 200.000,- per bulan atau Rp 2.400.000,-
per tahun.

c. Iuran BPJS yang Dibayarkan Karyawan Dalam hal iuran BPJS


yang persentasenya dibayarkan karyawan, maka komponen
dimasukkan sebagai pengurang penghasilan bruto. Iuran BPJS yang
termasuk sebagai pengurang penghasilan bruto tersebut adalah:

 Jaminan Hari Tua (JHT) ditujukan sebagai pengganti


terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat atau
hari tua dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua.
Jumlah iuran program jaminan hari tua yang ditanggung
perusahaan adalah 3,7%, sedangkan yang ditanggung tenaga kerja
adalah 2%. Premi JHT yang diberikan pemberi kerja tidak
dimasukkan sebagai komponen penambah penghasilan.
Pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat karyawan
menerima JHT. Sedangkan premi JHT yang dibayar sendiri oleh
karyawan merupakan pengurang penghasilan bruto.

 Jaminan Pensiun (JP) adalah jaminan sosial yang bertujuan


memberikan derajat kehidupan yang layak bagi pesertanya
dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah
peserta memasuki usia pensiun, cacat total atau meninggal dunia.
Jaminan Pensiun (JP) ini berlaku sejak Juli 2015. Iuran program
JP adalah 3%, yang terdiri atas 2% iuran pemberi kerja dan 1%
iuran pekerja.

 Jaminan Kesehatan (JKes) Sejak 1 Juli 2015, tarif iuran Jaminan


Kesehatan yang dibayarkan oleh pegawai adalah 1%.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 16


3. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) merupakan komponen
penting cara perhitungan PPh 21 2018 adalah jumlah nilai penghasilan
bruto bagi wajib pajak yang tidak dikenakan pajak. Sesuai dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 dan PMK No.
101/PMK.010/2016 adalah:

a. Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 4.500.000 per bulan untuk diri


Wajib Pajak orang pribadi

b. Rp 4.500.000,- per tahun atau Rp 375.000 per bulan tambahan untuk


Wajib Pajak yang kawin

c. Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 375.000 per bulan untuk istri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami

d. Rp 4.500.000 per tahun atau Rp 375.000 per bulan tambahan untuk


setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

E. Penghasilan Kena Pajak (PKP)


PKP (Penghasilan Kena Pajak) PPh Pasal 21 menurut Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
1. Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar
penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
terbaru.
2. Pegawai tidak tetap dikenakan PKP sebesar penghasilan bruto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru.
3. Bagi bukan pegawai seperti tercantum dalam Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, PKP yang
dikenakan sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP
per bulan.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 17


F. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
Tarif PPh 21 merupakan tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak
orang pribadi dengan jumlah penghasilan tertentu. Tarif ini merupakan
salah satu komponen penting dalam cara perhitungan PPh 21 2018 dan
ditentukan berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, tarif PPh 21 ini.Tarif PPh 21 berikut ini
berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP):
1. WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,- adalah
5%
2. WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan
Rp 250.000.000,- adalah 15%

3. WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250.000.000,- sampai


dengan Rp 500.000.000,- adalah 25%

4. WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000,- adalah 30%

5. Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih
tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.

G. Metode Perhitungan Gaji Karyawan


Walaupun perhitungan PPh 21 telah diatur oleh DJP, namun pada
praktiknya, setiap perusahaan memiliki metode perhitungan PPh 21 sendiri
yang disesuaikan dengan tunjangan pajak atau gaji bersih yang diterima
karyawannya. Ada 3 metode perhitungan pph 21 2018 yang paling umum,
yaitu:
1. Metode Gross (Gaji Kotor Tanpa Tunjangan Pajak)
Metode gross ini diterapkan bagi pegawai atau penerima penghasilan
yang menanggung PPh Pasal 21 terutangnya sendiri. Ini berarti gaji
bruto atau kotor pegawai tersebut belum dipotong PPh Pasal 21.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 18


Misalnya Ardi, seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji sebulan
sebesar Rp 10.000.000,-, maka:

Gaji pokok : Rp 10.000.000,-

PPh 21 (yang ditanggung sendiri) : Rp 220.883,-

Gaji bersih (take home pay) : Rp 9.779.167,-

2. Metode Gross-Up (Gaji Bersih dengan Tunjangan Pajak)


Metode gross-up ini diterapkan bagi karyawan atau penerima
penghasilan yang diberikan tunjangan pajak (gajinya dinaikkan terlebih
dahulu) sebesar pajak yang dipotong.

Misalnya Ardi, seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji sebulan


sebesar Rp 10.000.000,-, maka:

Gaji pokok : Rp 10.000.000,-

Tunjangan pajak (dari perusahaan) : Rp 259.796,-

Total gaji bruto : 10.259.796,-

Nilai PPh 21 (yang dibayarkan perusahaan) : Rp 259.796,-

Gaji bersih (take home pay) : Rp 10.000.000,-

3. Metode Net (Gaji Bersih dengan Pajak Ditanggung Perusahaan)


Metode net ini diterapkan bagi karyawan atau penerima penghasilan
yang mendapatkan gaji bersih dengan pajak yang ditanggung
perusahaan.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 19


Misalnya jika Ardi, seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji
sebulan sebesar Rp 10.000.000,-, maka:

Gaji pokok : Rp 10.000.000,-

Total gaji bruto : Rp 10.000.000,-

Pajak yang ditanggung perusahaan : Rp 220.883,-

Nilai PPh 21 (yang dibayarkan perusahaan) : Rp 220.883,-

Gaji bersih (take home pay) : Rp 10.000.000,-

II.IV. Contoh Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Pegawai

A. Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan Tetap


Beikut ini adalah contoh penghitungan PPh 21 2016 untuk karyawan atau
pegawai tetap dengan PTKP 2016 ( PTKP Terbaru ) :
Sita Rianti adalah karyawati pada perusahaan PT. Onix Komunika
dengan status menikah dan mempunyai tiga anak. Suami Sita merupakan
pegawai negeri sipil di Kementrian Komunikasi & Informatika. Sita
menerima gaji Rp 6.000.000,- per bulan.
PT. Onix Komunika mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan.
Perusahaan membayarkan iuran pensiun dari BPJS sebesar 1% dari
perhitungan gaji, yakni sebesar Rp 30.000,- per bulan. Di samping itu
perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) karyawannya
setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Sita membayar iuran
Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) dibayar oleh
pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30%
dari gaji.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 20


Pada bulan Juli 2016 di samping menerima pembayaran gaji, Sita
juga menerima uang lembur (overtime) sebesar Rp 2.000.000,-.

Hasilnya adalah sebagai berikut:

Gaji Pokok 6.000.000,00

(i) Tunjangan Lainnya (jika ada) 2.000.000,00

(ii) JKK 0.24% 14.400,00

JK 0.3% 18.000,00

Penghasilan bruto (kotor) 8.032.400,00

Pengurangan

1.(iii) Biaya Jabatan: 5% x


401.620,00
8.032.400,00 = 401.620,00

2. Iuran JHT (Jaminan Hari Tua),


120.000,00
2% dari gaji pokok

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 21


3. (iv) JP (Jaminan Pensiun), 1%
60.000,00
dari gaji pokok, jika ada

(581.620,00)

Penghasilan neto (bersih)


7.450.780,00
sebulan

(v) Penghasilan neto setahun 12 x


89.409.360,00
7.450.780,00

(vi) Penghasilan Tidak Kena


54.000.000,00
Pajak (PTKP)

(54.000.000,00)

Penghasilan Kena Pajak


35.409.360,00
Setahun

(vii) Pembulatan ke bawah 35.409.000,00

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 22


PPh Terutang

5% x 50.000.000,00 1.770.450,00

PPh Pasal 21 Bulan Juli =


147.538,00
1.770.450,00 : 12

*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan 120%
: Rp 147.538,00 x 120% = Rp 177.046,00

Penjelasan:

Diasumsikan gaji pokok sebesar Rp 6.000.000.

(i) Tunjangan lainnya seperti tunjangan transportasi, uang lembur,


akomodasi, komunikasi, dan tunjangan tidak tetap lainnya. Umumnya
tunjangan tersebut dapat diberikan oleh perusahaan atau tidak, tergantung
dari kebijakan perusahaan itu sendiri.

(ii) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berkisar antara 0.24% -


1.74% sesuai kelompok jenis usaha seperti yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007. Di OnlinePajak, tarif iuran JPP yang
diterapkan adalah tarif JKK yang paling umum dipakai perusahaan-
perusahaan yaitu 0.24%.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 23


(iii) Biaya Jabatan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-
tingginya Rp 500.000 sebulan, atau Rp 6.000.000 setahun

(iv) Jaminan atau Iuran Pensiun ditentukan oleh lembaga keuangan yang
pendiriannya disahkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan ditunjuk
oleh perusahaan. Jumlah persentase yang diterapkan di sini adalah 1%.

(v) Penghasilan Neto: Jika pegawai merupakan pegawai lama (lebih dari
satu tahun) atau pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Januari tahun
itu, maka penghasilan neto dikalikan 12 untuk memperoleh nilai
penghasilan neto setahun, namun jika pegawai merupakan pegawai baru
yang mulai bekerja pada bulan Mei misalkan, maka penghasilan neto
setahun dikalikan 8 (diperoleh dari penghitungan bulan dalam setahun: Mei-
Desember = 8 bulan). Pada contoh ini diasumsikan pegawai merupakan
pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Januari.

(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berfungsi untuk mengurangi


penghasilan bruto, agar diperoleh nilai Penghasilan Kena Pajak yang akan
dihitung sebagai objek pajak penghasilan milik wajib pajak.

Pada contoh ini WP sudah menikah dan memiliki tiga tanggungan anak,
namun karena suami WP menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya
PTKP WP Sita adalah PTKP untuk dirinya sendiri (TK/0).

(vii) Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah hingga nominal


ribuan penuh, atau 3 angka di belakang (ratusan rupiah) adalah 0. Contoh:
56.901.200,00 menjadi 56.901.000.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 24


B. Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan Menerima Tunjangan Pajak

Cara menghitung PPh 21 karyawan atau pegawai tetap yang menerima


tunjangan pajak atau gross up dari perusahaan tempatnya bekerja adalah
dengan memperlakukan tunjangan pajak tersebut sebagai penghasilan
pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang
diterimanya.

Berikut ini adalah contoh penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang


menerima tunjangan pajak (mendapatkan gaji bersih setelah dipotong
pajak):

Fahri bekerja pada PT Kartika Kawashima yang berstatus belum menikah


dan tidak mempunyai tanggungan dengan memperoleh gaji bersih sebesar
Rp 5.500.000 sebulan. Perusahaan tempatnya bekerja memberikan
tunjangan pajak penuh kepada Fahri sebesar Rp 35.167. Iuran pensiun
yang dibayar oleh Fahri adalah sebesar Rp 55.000 sebulan.

Hasil penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 bulan Agustus 2016


bagi Fahri yang tidak menerima penghasilan lain dari PT. Kartika
Kawashima selain gaji adalah:

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 25


Gaji Pokok 5.500.000,00

(i) Tunjangan Pajak 35.167,00

Penghasilan bruto (kotor) sebulan 5.464.833,00

Pengurangan

1. Biaya Jabatan: 5% x 5.464.833,00


276.758,00
= 276.758,00

2. Iuran/Jaminan Pensiun, 1% dari


55.000,00
gaji pokok

3. (iv) JP (Jaminan Pensiun), 1% dari


60.000,00
gaji pokok, jika ada

(331.758,00)

Penghasilan neto (bersih) sebulan 5.203.408,00

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 26


Penghasilan neto setahun 12 x
62.440.900,00
5.203.408,00

Penghasilan Tidak Kena Pajak


54.000.000,00
(PTKP)

(54.000.000,00)

Penghasilan Kena Pajak Setahun 8.440.000,00

PPh Terutang

5% x 8.440.000,00 422.000,00

PPh Pasal 21 Bulan September =


35.167,00
422.000,00 : 12

*Berlaku bagi WP dengan NPWP, tanpa NPWP maka perlu dikalikan


120% : Rp 35.167,00 x 120% = Rp 42.200,00

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 27


C. Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap Tidak
Berkesinambungan

Berikut ini adalah cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai


tidak tetap yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan:

Ardi adalah pegawai tenaga lepas untuk desain grafis di PT. Cahaya
Kurnia dengan penghasilan sebesar Rp 5.000.000,-.

Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:

5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000,00

Bila Aditya tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang menjadi sebesar:

120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000,00

Penjelasan

Karena Ardi bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang
dikenakan sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto berdasarkan
peraturan PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c sedangkan tarif PPh Pasal 21
untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,- adalah 5%.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 28


II.V. Pajak Penghasilan Pasal 22

A. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21


Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak
Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau
pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap Wajib
Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat
sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh
Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh
21 atau pun PPh 23. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap
perdagangan barang yang dianggap ‘menguntungkan’, sehingga baik penjual
maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut.
Karena itulah, PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun
pembelian.

B. Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

Bendahara & badan-badan yang memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari
pembelian adalah:

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai


(DJBC) atas objek PPh Pasal 22 impor barang;

2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran


(KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;

3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian


barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 29


4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada
pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung
(LS);

5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang
meliputi:

o PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT


Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi
Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT
Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero)
Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT
Krakatau Steel (Persero);

o Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan


pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usahanya.

6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,


perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-
bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau
ekspornya.

7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang


batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 30


Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal
22 saat penjualan adalah:

1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas
penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;

2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek


(APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan
kendaraan bermotor di dalam negeri;

3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas;

4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang
merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan
industri antara dan industri hilir.

5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan


usahanya:

o mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,


dan perikanan; dan

o menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir


yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan.

6. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015,


pemerintah menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak
badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 31


C. Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
Landasan hukum PPh Pasal 22 adalah UU No. 36 Tahun 2008. Undang-
undang menyebutkan objek pajak PPh Pasal 22 adalah barang yang dianggap
“menguntungkan”. Menguntungkan di sini maksudnya adalah baik penjual
maupun pembeli sama-sama bisa mengambil keuntungan dari transaksi
perdagangan tersebut.

D. Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22


Secara spesifik, subjek pajak PPh Pasal 22 meliputi Badan Usaha (industri
semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi), Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), produsen atau importir bahan bakar minyak, badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri baja, dan pedagang pengumpul
(pengumpul hasil hutan, perkebunan, pertanian, dsb). Selain itu, penjualan
barang mewah, seperti pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari
Rp20.000.000.000, penjualan kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual
lebih dari Rp10.000.000.000, dan penjualan rumah beserta tanahnya dengan
harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000, juga
dikenakan PPh Pasal 22 ini.

E. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22


1. Atas Impor :

o yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai


impor;

o non-API = 7,5% x nilai impor;

o yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.

2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara


Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak
termasuk PPN dan tidak final.)

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 32


3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak, yaitu:

o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)

o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)

o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)

o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen


atau importir bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai
berikut:

o Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain


penyalur/agen bersifat tidak final

5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor


dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak
termasuk PPN)

6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang
menggunakan API = 0,5% x nilai impor.

7. Atas penjualan

o Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp


20.000.000.000,-

o Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp


10.000.000.000,-

o Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga


pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan
lebih dari 500 m2.

o Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau


pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas
bangunan lebih dari 400 m2.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 33


o Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari
10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi
purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual
lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual
tidak termasuk PPN dan PPnBM.

8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari
tarif PPh Pasal 22.

F. Pengecualian Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

Berikut ini adalah daftar pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22:

1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan


ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh.
Pengecualian tersebut, harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas
PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:

o yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea


masuk hingga barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor
atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor
(EPTE), yaitu tempat penimbunan barang dagangan karena
pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana mestinya;

o sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6


Tahun 1969 tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah
dan ditambah terakhir dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;

o berupa kiriman hadiah;

o untuk tujuan keilmuan.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 34


3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja
negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah).

4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air


minum/PDAM, benda-benda pos, dan telepon.

G. Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

1. Atas kegiatan impor barang

Besarnya PPh pasal 22 atas impor

o Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif


pemungutannya sebesar 2,5% dari nilai impor

PPh Pasal 22 =2,5% x Nilai Impor

o Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif


pemungutannya sebesar 7,5 % dari nilai impor

PPh Pasal 22 =7,5% x Nilai Impor

o Yang tidak dikuasai, tarif pemungutannya sebesar 7,5% dari harga


jual lelang.

PPh Pasal 22 =7,5% x Harga Jual Lelang

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 35


Catatan : Yang dimaksud denga nilai impor adalah berupa uang
yang digunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk. Nilai impor
dihitung sebesar Cost Insuranse and Freigh (CIF) + bea masuk +
pengutan pabean lainnya.

Contoh 1.

1. DELL, memiliki nomor API melakukan impor komputer dari Amerika


Serikat dengan perincian sebagai berikut:

Harga komputer (cost) US$.20.000,00


Asuransi (insurance) US$.1.000,00
Biaya angkut (freight) US$.4.000,00
Harga Pabean US$.25.000,00

Pungutan

- Bea Masuk 20% US$.5.000,00


- Bea Masuk Tambahan 10% US$.25.000,00
Nilai Impor US$.32.000,00

Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor :


Pemberitahuan impor barang) nilai kurs US$.1.00 = Rp.
10.000,00 maka :
- Dasar pengenaan PPh Pasal 22 : US$.32.500 x Rp.
10.000,00 = Rp.8.125.000,00
- PPh pasal 22yang harus dipungut Rp. 325.000.000,00
x 2,5% = Rp.8.125.000,00

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 36


Contoh 2

Seperti no 1 diatas akan tetapi PT Dell tidak memiliki nomor API , maka
perhitungan PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut:

 Dasar pengenaan PPh 22 : US$ 32.500 x RP.10.000,00 =


Rp.325.000.000
 PPh Pasal 22 yang harus dipungut Rp. Rp.325.000.000,00 x 7,5% =
Rp.24.375.000,00

2. Atas Pembelian Barang yang dibiayai dengan APBN/APBD

Atas pembelian barang yang dananya dari belanja negara atau belanja
daerah dikenakan pemungutan PPh 22 sebesar 1,5% dari harga
pembelian.

PPh Pasal 22 = 1,5% x Harga Pembelian

Contoh3

PT Bangun Maju melakukan penjualan lemari arsip kepada Departemen


Dalam Negeri seniali Rp.220.000.000,00 pembayaran dilakukan oleh
Bendaharawan Departemen Dalam Negeri. Dalam kontrak penjualan
dengan pemerintah yang didanai dari APBN/APBD, biasanya harga jual
sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%

 Dasar Pengenaan PPh Pasal 22: (100/110 x Rp.220.000.000,00) =


Rp.200.000.000,00
 PPh Pasal 22 yang dipungut Bendaharawan Pemerintah dari transaksi
pembayaran 1,5% x Rp.200.000.000,00

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 37


3. Penjualan Hasil Produksi Industri Otomotif di dalam Negeri

Besarnya PPh 22 atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda


dua atau lebih di dalam negeri adalah sebesar 0,45% dari dasar
pengenaan pajak (DPP)

PPh Pasal 22 = 0,45% x DPP PPN

Penjualan kendaraan bermotor yang dikecualikan dari pemungutan PPh


Pasal 22 atas industri otomotif adalah penjualan kendaraan kepada :

 Instansi pemerintah
 Korps diplomatik
 Bukan Subjek Pajak

4. Atas Penjualan Hasil Produksi Industri Rokok di Dalam Negeri

Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut oleh industri rokok pada saat
penjualan rokok di dalam negeri adalah 0,15% dari harga bandrol (pita
cukai), dan bersifat final.

PPh Pasal 22 = 0,15% x Harga Bandrol

5. Atas Penjualan Hasil Produksi Industri Kertas di Dalam Negeri

Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut oleh industri kertas pada saat
penjualan kertas di dalam negeri adalah 0,1% dari Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai

PPh Pasal 22 = 0,1% x DPP PPN

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 38


6. Atas Penjualan Hasil Produksi Industri semen di Dalam Negeri

Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut pasar oleh industri semen pada
saat penjualan semen dalam negeri adalah 0,25% dari Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) pajak Pertambahan Nilai

PPh Pasal 22 = 0,25% x DPP PPN

Yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah penjualan


semen dalam negeri PT Indosement, PT Semen Cibinong, dan PT
Semen Nusantara kepada distributor utama/tunggalnya

7. Atas Penjualan Hasil Produksi Industri Baja di Dalam Negeri

Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut pasar oleh industri Baja pada saat
hasil produksinya dalam negeri adalah 0,3% dari Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) pajak Pertambahan Nilai

PPh Pasal 22 = 0,3% x DPP PPN

8. Atas Pembelian Bahan Bahan Untuk Keperluan Industri atau


Ekspor oleh industri yang Bergerak dalam Sektor Perhutanan,
Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan dari Pedagang Pengumpul

Besarnya PPh pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri atau eksportir
yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan
perikanan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak adalah sebesar
0,25% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

PPh Pasal 22 = 0,25% x Harga Pembelian

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 39


9. Cara menghitung PPh Pasal 22 yang di pungut oleh Pertamina dan
Badan Usaha Selain Pertamina

Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut oleh pertamina dan badan usaha
lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix,
super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya adalah sebagai
berikut:

o Atas penebusan premium, solar, premix/super TT oleh SPBU


swastanisasi adalah 0,3% dari penjualan

PPh Pasal 22 = 0,3% x Penjualan

o Atas penebusan premium, solar, premix/super TT oleh SPBU


Pertamina adalah 0,25% dari penjualan

PPh Pasal 22 = 0,25% x Penjualan

o Atas penjualan minyak tanah, gas LPG, dan pelumas ada

PPh Pasal 22 = 0,25% x Penjualan

Catatan: Pemungutan PPh 22 ini bersifat final ats


penyerahan/penjualan hasil produksi kepada penyalur/agennya.
Sedangkan penjualan kepada pembeli lainnya (misalnya pabrikan)
pemungutannya tidak bersifat final, sehingga PPh pasal 22-nya
diperhitungkan sebagai kredit pajak.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 40


10. Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah

Besarnya PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat


mewah adalah sebesar 5% (lima persen) dari harga jual tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN
dan PPnBM)

PPh 22 = 5% x harga jual tidak termasuk PPN dan PPn BM

Besarnya PPh 22 yang dipungut terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (serratus persen) daripada
tarif yang diterapkan Wajib pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok
Wajib Pajak. Kepemilikan NPWP dapat dibuktikan oleh WP, antara lain
dengan cara menunjukkan kartu NPWP

II.VI. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

A. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23


Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) mengatur
mengenai pajak yang dipotong oleh pemungut pajak dari Wajib Pajak atas
penghasilan yang diperoleh dari modal (dividen, bunga, royalti dll.),
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong dalam
Pajak Penghasilan Pasal 21.
PPh Pasal 23 adalah peraturan pajak penghasilan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Pajak Penghasilan, pasal 23.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 41


B. Peraturan Khusus / Tertentu PPh Pasal 23

Ada beberapa kondisi di mana tarif akan dikenakan secara berbeda


dari aturan umumnya. Pengecualian ini khusus dikenakan kepada kategori
objek pajak hadiah dan penghargaan. Penjelasan lebih lanjut berdasarkan
KeputusanDirjen Pajak No. KEP-395/PJ/2001, adalah sebagai berikut:

 Hadiah undian atau lotere dianggap sebagai penghasilan, dan akan


dikenakan tarif pajak sebesar 25 %;
 Hadiah lainnya dan penghargaan, termasuk penghargaan karier akan
dikenakan tarif yang sama seperti halnya tarif pajak yang berlaku
menurut PPh Pasal 21;
 Jika penerima adalah ekspatriat, dan bukan termasuk Bentuk Usaha
Tetap internasional, tarif pajak sebesar 20 % akan diberlakukan;
 Jika penerima adalah sebuah organisasi, termasuk Bentuk Usaha Tetap,
tarif seperbesar 15 % akan diberlakukan.

C. Tarif dan Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau
jumlah bruto dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada
penghasilan yaitu 15% dan 2%, tergantung dari objek PPh 23 tersebut.
Berikut ini adalah daftar tarif PPh 23 dan objek PPh Pasal 23 :

1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas :

o Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan


final, bunga dan royalti;

o Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;

2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang
berkaitan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 42


3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi dan jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang
diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus
2015.
5. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih
tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
6. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajakdalam negeri atau bentuk usaha
tetap, tidak termasuk:

o Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain


sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh
Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;

o Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material


(dibuktikan dengan faktur pembelian);

o Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk


selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan
faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);

o Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian


pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh
pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan
atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 43


Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:

o Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;

o Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah


dikenakan pajak yang bersifat final.

D. Jenis Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23


Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga
menjadi 62 jenis jasa lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No.
141/PMK.03/2015. Berikut ini adalah daftar lengkap objek PPh Pasal 23,
tarif dan cara buat hitung, setor dan e-filing yang mudah, cepat, aman dan
gratis!

Berikut ini adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya tersebut:

1. Penilai (appraisal);

2. Aktuaris;

3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;

4. Hukum;

5. Arsitektur;

6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape;

7. Perancang (design);

8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi


(migas) kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);

9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan


gas bumi (migas);

10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 44


11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;

12. Penebangan hutan;

13. Pengolahan limbah;

14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);

15. Perantara dan/atau keagenan;

16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa


Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan
Efek Indonesia (KPEI);

17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;

18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;

19. Mixing film;

20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide,


klise, banner, pamphlet, baliho dan folder;

21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.

22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;

23. Internet termasuk sambungannya;

24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi,


dan/atau program;

25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC


dan/atau TV Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon,


air, gas, AC dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 45


yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.

28. Maklon;

29. Penyelidikan dan keamanan;

30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;

31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar
ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa
periklanan;

32. Pembasmian hama;

33. Kebersihan atau cleaning service;

34. Sedot septic tank;

35. Pemeliharaan kolam;

36. Katering atau tata boga;

37. Freight forwarding;

38. Logistik;

39. Pengurusan dokumen;

40. Pengepakan;

41. Loading dan unloading;

42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga


atau institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;

43. Pengelolaan parkir;

44. Penyondiran tanah;

45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 46


46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;

47. Pemeliharaan tanaman;

48. Permanenan;

49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau


perhutanan;

50. Dekorasi;

51. Pencetakan/penerbitan;

52. Penerjemahan;

53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15


Undang-Undang Pajak Penghasilan;

54. Pelayanan pelabuhan;

55. Pengangkutan melalui jalur pipa;

56. Pengelolaan penitipan anak;

57. Pelatihan dan/atau kursus;

58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;

59. Sertifikasi;

60. Survey;

61. Tester;

62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan


pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 47


E. Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek Pajak Badan dalam negeri.
3. Penyelenggaraan kegiatan.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur
Jenderal Pajak sesuai dengan KEP-50/PJ/1994, di antaranya:
 Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), kecuali camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan
pekerjaan bebas.
 Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan atas pembayaran berupa sewa.

F. Penerima Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23


1. Wajib Pajak (WP) dalam negeri dalam hal ini bisa orang pribadi atau
badan.

2. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

G. Jenis Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 23

Secara umum, hampir semua penghasilan bisa dikenakan ketentuan


PPh Pasal 23. Rincian detailnya bisa dilihat di bawah ini.

1. Dividen.
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan (PPh), yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang berasal dari penyelenggara
kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 48


5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa dari penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta yang telah dikenai PPh sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4
ayat (2) UU PPh.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh.
H. Jenis Penghasilan yang Dikecualikan PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 juga mengatur beberapa penghasilan yang tidak
dikenakan pajak dengan rincian daftar berikut ini.
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, dan BUMN/BUMD dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan
di Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b. bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah
modal yang disetor;
c. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi termasuk pemegang
unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
d. Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan koperasi kepada
anggotanya;
e. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 49


I. Ketentuan Mengenai Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 mengatur mengenai jadwal penyetoran dan pelaporan
PPh Pasal 23.
1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran,
disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. PPh Pasal 23 disetor Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling
lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Apabila jatuh tempo batas akhir pelaporan atau penyetoran PPh


Pasal 23 bertepatan dengan hari libur, termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

Dan dikenakan sanksi sebesar Rp 100.000,00 bagi wajib pajak yang


gagal melapor PPh Pasal 23.

J. Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23


1. Dalam rangka penerimaan mahasiswa Tahun Ajaran 2018/2019 maka
Universitas Muslimin Indonesia menunjuk CV. Sejahtera Advertising,
NPWP 01.562.631.0-805.000, sebuah perusahaan yang bergerak dalam
bidang jasa percetakan, beralamat di Jl. Sultan Alauddin No,121-123
Makassar untuk mencetak brosur Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur
SBMPTN Universitas Muslimin Indonesia Tahun 2018. CV. Sejahtera
Advertising sebagai pihak yang mengerjakan pembuatan brosur atas
pekerjaan ini disepakati biaya pengerjaan sebesar Rp11.182.500,00
(termasuk PPN). Bendahara Universitas Muslimin Indonesia, menerima
tagihan dari CV. Sejahtera Advertising atas pengerjaan brosur tersebut
pada tanggal 22 Oktober 2018 dengan Faktur Pajak bernomor seri
020.000- 14.00000237. Bendahara melunasi pembayarannya pada hari

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 50


itu juga tanggal 22 Oktober 2018. Atas kasus di atas, bagaimana
pengenaan PPh Pasal 23?

Penyelesaian :
Pemotongan/pemungutan PPh Atas pembayaran ongkos pembuatan
brosur kepada CV. Kenari Advertising dipotong PPh Pasal 23 atas jasa
percetakan sebesar: Karena nilai diatas termasuk PPN, jadi terlebih
dahulu harus dikeluarkan nilai PPN dari nilai barang tersebut:

DPP PPN : 100/110 x Rp 11.182.500,00 = Rp 10.165.909,00


Jadi perhitungan PPh 23 transaksi di atas adalah
PPh Pasal 23 ( 2% x Rp 10.165.909,00 ) = Rp 203.318,00

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 51


BAB III

PENUTUP

III.I. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pajak


penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada seorang maupun badan usaha atas
penghasilan yang diperolehnya pada periode tahun pajak.

PPh pasal 21 adalh pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium,
tunjangan, dan pembayaran dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.

PPh pasal 22 adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang


dilakukan satu pihak terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan
perdagangan barang.

PPh pasl 23 mengatur mengenai pajak yang dipotong oleh pemungut pajak
dari Wajib Pajak atas penghasilan yang diperoleh dari modal (dividen, bunga,
royalti dll.), penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong
dalam Pajak Penghasilan Pasal 21.

III.II. Saran

Bagi wajib pajak harus lebih ditingkatkan kesadaran dan pemahaman


mengenai pentingnya pemenuhan pajak itu sendiri. Dikarenakan pajak penghasilan
yang dibayarkan oleh wajib pajak digunakan sebagai biaya pembangunan nasional.

Bagi pemerintah, yaitu perlunya peningkatan sosialisasi melalui media


massa ataupun sosialisasi secara langsung, serta perlunya peningkatan pengawasan
terhadap jajaran pegawai yang mengelolah dana pajak, agar tidak ada lagi
penyelewengan dana pajak.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 52


DAFTAR PUSTAKA

Cek Kembali. PPh Pasal 22. Diambil dari: https://www.cekkembali.com/pph-pasal-


22/

Puspa, Dian. 2018. Cara Perhitungan PPh Pasal 21. Diambil dari:
https://www.online-pajak.com/cara-perhitungan-pph-21

Puspa, Dian. 2018. Pajak Penghasilan Pasal 21. Diambil dari: https://www.online-
pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-21
Puspa, Dian. 2018. Perhitungan PPh 21 Terbaru dengan PTKP 2016. Diambil dari:
https://www.online-pajak.com/perhitungan-pph-21

Puspa, Dian. 2018. Pajak Penghasilan Pasal 22. Diambil dari: https://www.online-
pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-22

Puspa, Dian. 2018. Pajak Penghasilan Pasal 23. Diambil dari: https://www.online-
pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-23

Pajak. 2018. Contoh Perhitungan PPh Pasal 23. Diambil dari:


http://www.pajak.go.id/content/33325-contoh-penghitungan-pph-pasal-23

Siahaan, Surtan. 2018. Ketentuan Penting dan Contoh Perhitungan PPh 23. Diambil
dari: https://www.online-pajak.com/tarif-pph-23

Wikipedia. 2019. Pajak Penghasilan. Diambil dari:


https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan

Wikipedia. Pajak Penghasilan Pasal 23. Diambil dari:


https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_Penghasilan_Pasal_23

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, DAN 23 53

Anda mungkin juga menyukai