JAKARTA, 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas penghasilan
yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib
pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib
pajak diwajibkan untuk membayar pajak. Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber
pengeluaran(cash disbursment) tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut.
Sehingga biasanya banyak perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya
sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkanPada hakekatnya perpajakan di Indonesia
di tetapkan berdasarkan undang-undang, hal ini merupakan pencerminan bagian dari
pelaksanaan tonggak demokrasi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam hubungan ini
merupakan suatu realita negara yang merdeka dan berdaulat. Sesuai perjalanan sejarah
perpajakan nasional di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa dalam penyusunan kerangka
acuan perubahan undang-undang dan peraturan perpajakan sebagian besar bersumber dari
sistem perpajakan warisan kolonial penjajah, terutama ketika negara Republik Indonesia baru
terbentuk. Dalam beberapa dekade terakhir ini perubahan tersebut telah banyak mengalami
perubahan yang bersumber dari sistem perpajakan negara lain.
Dalam teori ekonomi klasik yang kini masih relevan diterapkan di berbagai negara
menyebutkan bahwa : “salah satu sumber penerimaan negara ialah dari sektor pajak.”
Pernyataan ini tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2 yang
berbunyi sebagai berikut : “segala pajak dipungut berdasarkan undang-undang demi
kepentingan negara dan ditunjukan kesejahteraan rakyat”.
Pajak adalah salah satu alat yang digunakan pemerintah didalam mencapai tujuan untuk
mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat,
untuk itu diperlukan adanya kesadaran dari masyarakat akan kewajiban pajaknya karena pajak
yang dikumpul digunakan untuk kepentingan dan membiayai pengeluaran rutin serta
pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.
Pajak merupakan fenomena umum sebagai sumber penerimaan negara yang berlaku di
berbagai negara. Tiap negara membuat aturan dan dalam mengenakkan dan memungut pajak
di negaranya. Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar perannya dalam mengamankan
anggaran negara dalam APBN setiap tahun. Kondisi itu tercapai ketika harga minyak bumi
berfluktuasi di pasar internasional dalam kurun waktu yang relatif panjang pada awal dekade
1980-an. Fluktuasi harga tersebut telah membuat struktur penerimaan negara yang saat itu
sangat mengandalkan penerimaan dari minyak bumi dan gas (migas) tidak bisa diandalkan lagi
untuk kesinambungannya. Dari aspek budgeting, bila penerimaan andalan dari migas tetap di
pertahankan, maka akan merusak tatanan atau struktur penerimaan negara di APBN.
Akibatnya, pembangunan nasional yang telah dilaksanakan dan diprogramkan diberbagai
bidang, dan membutuhkan biaya saat itu, bisa saja tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan
rencana (program pembangunan).
Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah
pajak penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha
atas penghasilan dan laba usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri.
Salah satu kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan
sebagai suatu proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Sumber
penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah pajak
penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas
penghasilan dan laba usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah
satu kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan
sebagai suatu proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Dalam
rangka menyukseskan pembangunan nasional, peranan penerimaan pajak sangat penting dan
mempunyai kedudukan yang strategis. Tidak mungkin pemerintah dapat mengerakkan roda
pemerintahan dan pembangunan nasional tanpa adanya dukungan dana, terutama yang
bersumber dari penerimaan pajak. Oleh sebab itu setiap tahun penerimaan pajak senantiasa
diupayakan untuk terus meningkat. Ada tiga unsur yang menentukan penerimaan pajak, yakni
undang-undang perpajakan yang tepat, kepatuhan serta kesadaran dari Wajib Pajak dan aparat
perpajakan yang cakap dan bersih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau
perseorangan dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
selama satu tahun pajak. Ditinjau dari segi sejarahnya, pajak sudah ada sejak jaman dahulu kala
yang saat itu pemberiannya sukarela dari rakyat kepada rajanya. Pada mulanya pajak
merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu
kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada
seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa
berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan
lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau
kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang
dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan
seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status
sosialnya dibandingkan rakyat.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum
dan tata cara perpajakan adalah“kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
B. Sejarah Pajak Penghasilan
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax
(huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka
yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode
sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk
pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat
banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa
jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya
business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882
hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan
rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa,
dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang
sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun
barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan
pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria
tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang
selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak
pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene
Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk
pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah
diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di
Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (on dememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah
Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak
yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan).
Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan
Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun
1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya
adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke
dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat
diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri
Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni
dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de
Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi
(Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk
Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang
dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan
mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935
ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada
majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0%
sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang)
menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama
Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama
Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord.
PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan
perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan
Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak
Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah
dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni
dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia.
C. Ketentuan
1. Subyek pajak Penghasilan
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah
sebagai berikut:
a. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah
meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan
pajak.
c. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali
unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
d. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang
melakukan kegiatan di Indonesia.
D. Pajak Pengahasilan
Menurut Waluyo (2006) : “pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun
pajak.”Menurut ketentuan pajak, pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang
kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya pajak tersebut
dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainya. Oleh karena itu dalam rangka
memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
subjektif yang penting. Dalam pajak penghasilan tarifnya dapat dibedakan menjadi beberapa
tarif,sebagai berikut :
1) Tarif marginal
Persentase tarif ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Sebagai
contoh , tarif pajak penghasilan untuk tahun 2009 bagi wajib pajak orang (perhatikan contoh
tarif progresif) bahwa tarif marginal untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak yang
melebihi 0 sampai dengan Rp.50.000.000,00 sebesar 5% yang diikuti pula setiap tambahan
penghasilan kena pajak diatas Rp.50.000.000,00 sampai dengan tarif marginal 15% dan
seterusnya.
2) Tarif efektif
Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan
pajak tertentu.
1. Kutipan Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan
a. Yang termasuk subjek pajak penghasilan
1) Orang pribadi
Adalah mereka yang tinggal atau (berdomisili) atau berada di Indonesia ataupun diluar
indonesia tanpa melihat batas umur, jenjang sosial ekonomi dan kebangsaan dan
kewarganegaraannya.
2) Warisan
Warisan yang belum belum terbagi satu kesatuan menggantikan yang berhak warisan
merupakan subjek pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.
3) Badan
Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha.
4) Bentuk usaha tetap (BUT)
Perusahaan luar negeri yang bergerak dalam kegiatan ekonomi suatu negara, dalam hal
ini negara Indonesia. Subjek pajak dapat pula dibedakan yaitu subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa subjek pajak dalam negeri adalah
wajib pajak membuat SPT sementara subjek pajak luar negeri tidak wajib membuat SPT.
Pajak penghasilan biasa disebut dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 atau PPh 25 adalah pajak
yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau badan hukum lainnya atas penghasilan
yang didapat. Dasar hukum untuk pajak penghasilan adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7
Tahun 1983. Kemudian mengalami perubahan berturut-turut, dari mulai UU Nomor 7 & Tahun
1991, UU Nomor 10 & Tahun 1994, UU Nomor 17 & Tahun 2000, serta terakhir UU Nomor 36 &
Tahun 2008.
Di Indonesia, awalnya pajak penghasilan diterapkan pada perusahaan perkebunan yang banyak
didirikan di Indonesia. Pajak tersebut dinamakan dengan Pajak Perseroan (PPs). Pajak
Perseroan adalah pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan dan diberlakukan pada tahun
1925. Setelah pajak dikenakan hanya untuk perusahaan-perusahaan yang didirikan di
Indonesia, berangsur-angsur akhirnya diterapkan pula pajak yang dikenakan untuk perorangan
atau karyawan yang bekerja di suatu perusahaan.
Pada tahun 1932 misalnya, diberlakukan yang disebut dengan Ordonansi Pajak Pendapatan.
Ordonansi Pajak Pendapatan ini dikenakan untuk orang Indonesia maupun orang yang bukan
penduduk Indonesia tetapi memiliki pendapatan di Indonesia. Setelah itu pada tahun 1935
diberlakukan Ordonansi Pajak Upah yang mengharuskan majikan memotong gaji atau upah
pegawai untuk membayar pajak atas gaji atau upah yang diterima.
Subjek Pajak
Adapun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang menjadi subjek pajak
adalah sebagai berikut:
1. Subjek pajak pribadi, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia, dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia.
2. Subjek pajak harta warisan belum dibagi, yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal
dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
3. Subjek pajak badan, yakni badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-
orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama
mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia (WNI) dan negara yang bersangkutan
memberikan perlakukan timbal balik
3. Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat
Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tesebut tidak melakukan kegiatan usaha
di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
4. Pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Objek Pajak
Lalu apa sih sebenarnya objek pajak dari PPh 25? Objek pajak PPh 25 adalah setiap tambahan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan bagi wajib pajak yang bersangkutan. Objek pajak bisa darimana saja asalnya, baik
yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia.
Objek pajak PPh 25 dihitung dalam satu tahun sehingga jika dalam satu tahun tersebut wajib
pajak mengalami kerugian, maka pajaknya akan dikompensasikan dengan penghasilan lainnya,
kecuali kerugiannya terjadi di luar negeri. Namun jika ada penghasilan yang dikecualikan atau
mempunyai tarif pajak tersendiri, maka jika mengalami kerugian tidak dapat dikompensasikan
dengan penghasilan lainnya yang memiliki tarif pajak umum.
Caranya begini, Anda jumlahkan saja penghasilan secara keseluruhan pada bulan berjalan.
Maksudnya tidak hanya gaji pokok Anda saja yang masuk dalam perhitungan, namun juga
tunjangan lainnya bila ada, seperti tunjangan transport, tunjangan perumahan, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja, premi Jaminan Kematian, premi asuransi kesehatan, dan tunjangan lain yang
sifatnya teratur.
Selain itu, uang tambahan di luar gaji pokok juga ikut dijumlahkan, seperti uang lembur, uang
perjalanan dinas, bonus, uang cuti, tunjangan hari raya, dan tunjangan lainnya. Nah Anda
jumlahkan saja semuanya, hasilnya nanti merupakan penghasilan bruto pada bulan berjalan
atau satu bulan penghasilan.
Langkah kedua menemukan penghasilan bersih atau neto Anda selama satu bulan
Untuk menemukan penghasilan bersih atau neto Anda selama satu bulan mudah saja. Anda
hanya perlu mengurangi penghasilan bruto Anda pada bulan berjalan dengan pengurangnya. Nah
yang dimaksud pengurang di sini, misalnya adalah biaya jabatan (biasanya 5% dari gaji pokok),
iuran pensiun (biasanya 2% dari gaji pokok), iuran Jaminan Hari Tua (biasanya 2% dari gaji
pokok).
Langkah ketiga adalah menghitung penghasilan bersih atau neto selama satu tahun
Caranya mudah, Anda juga pasti sudah bisa melakukannya. Anda tinggal mengalikan 12 kali
penghasilan bersih satu bulan Anda.
Langkah keempat adalah menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Anda bisa menghitungnya dengan cara mengurangi PKP, yaitu penghasilan bersih Anda selama
satu tahun yang sudah Anda hitung tadi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP
ini berbeda-beda, tergantung dari status wajib pajak tersebut, antara yang belum kawin, kawin
dan belum punya anak (K-0), kawin dan punya anak 1 (K-1), kawin dan punya anak dua (K-2),
dan kawin dan punya anak 3 (K-3) berbeda-beda.
Setelah Anda mengetahui PKP selama satu tahun, Anda tinggal mengalikannya dengan tarif PPh
25 yang berlaku. Namun jika Anda ingin mengetahui berapa PPh 25 Anda per bulannya, maka
Anda tinggal membagi total pajak setahun dengan 12. Dengan mengetahui PPh 25 Anda per
bulan, Anda bisa menghitung penghasilan bersih Anda dengan mengurangi penghasilan bersih
pada bulan berjalan dengan PPh 25 pada bulan berjalan.
Berdasarkan pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
maka tarif potongan pajak penghasilan pribadi adalah sebagai berikut :
Tarif pajak di atas diberlakukan setelah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dikurangi dari
penghasilan bersih dalam satu tahun. Besarnya PTKP tergantung dari status pekerja (Wajib
Pajak). Ada perbedaan PTKP antara yang belum kawin, kawin dan belum punya anak , kawin
dan punya anak 1, kawin dan punya anak dua, dan kawin dan punya anak 3. Sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016, PTKP bagi pekerja yang belum kawin
adalah sebesar Rp.54.000.000
Berapa tarif Pajak Penghasilan bagi pekerja yang sudah kawin dan/atau yang sudah
memiliki anak menurut Undang-Undang?
Dasar hukum atas kenaikan PTKP adalah PMK Nomor 101/PMK.010/2016 Tanggal 22 Juni
2016 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Untuk menghitung pajak
penghasilan, harus diketahui besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana diatur
dalam dengan Peraturan Menteri tersebut, yakni:
Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak Tahun 2015 Tahun 2016
No (PTKP) (dalam Rp) (dalam Rp)
1 Untuk diri Wajib Pajak orang pribadi 36,000,000 54,000,000
2 Tambahan untuk Wajib Pajak kawin 3,000,000 4,500,000
3 Tambahan untuk istri yang penghasilannya
36,000,000 54,000,000
digabung dengan penghasilan suami
4 Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan 3,000,000 4,500,000
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk
setiap keluarga
Berdasarkan tabel di atas, maka tarif PTKP 2016 yang berlaku adalah sebagai berikut :
Perbedaan perhitungan antara karyawan yang telah kawin dan yang belum kawin terletak pada
Penghasilan Tidak Kena Pajak -nya. PTKP untuk pegawai yang belum kawin adalah
Rp.54.000.000,-, sedangkan untuk pegawai yang telah kawin PTKP-nya menjadi Rp.
54.000.000,- ditambah Rp.4.500.000,- sehingga menjadi Rp.58.500.000,-.
Jika pegawai tersebut telah kawin, penghasilannya digabung dengan suami/istri dan memiliki 2
anak, maka PTKP-nya menjadi:
BAGAN PENGHASILAN
PENGHASILAN
INCOME/REVENUE
P P
OVER UNDER
0) 0) POSITIF POSITIF
0) 0)
KOREKSI KOREKSI
NEGATIF POSITIF 0) 0)
P P
POSITIF POSITIF
0) 0)
BEBAN PAJAK
Beban pajak (penghasilan pajak) adalah jumlah gabungan pajak kini dan pajak tangguhan yang
diperhitungkan dalam menentukan laba-rugi pada suatu periode. Beban pajak (penghasilan pajak) terdiri
dari beban pajak kini (penghasilan pajak kini) dan beban pajak tangguhan (penghasilan pajak
tangguhan).
Bagan BEBAN
BEBAN
COST/EXPENSE
OVER UNDER
KOREKSI KOREKSI
POSITIF NEGATIF