Anda di halaman 1dari 3

Kelompok :

Nama Anggota :

1. Danish Arfani (2220501085)


2. Zihan Zahiroh Susanti (2220501093)
3. Calvin Fara Renovta (2220501097)
4. Dita Lailatul Khasanah (2230501104)
5. Hernandang Ibnu Satriawan (2240501117)
6. Ganesha Suryandhika Utomo (2240501119)

Ringkasan

Kenaikan suhu global telah mencapai 0.85°C dibandingkan dengan kondisi


rata-rata pada masa praindustri. Jika kenaikan tingkat emisi GRK terus berlanjut, maka
diprediksi pada tahun 2100 konsentrasi CO2 di atmosfer akan melampaui 1.000 ppm,
dan kenaikan suhu global diperkirakan mencapai lebih dari 4-5°C.1 Apabila hal ini
terjadi, maka dampak perubahan iklim akan menjadi semakin sulit untuk diatasi,
kerugian akibat bencana iklim menjadi semakin besar, dan sebagai konsekuensinya
investasi yang harus dikeluarkan untuk pembangunan/pengembangan infrastruktur dan
restorasi ekosistem yang tangguh iklim akan menjadi semakin mahal.
The 21st Session of the Conference of the Parties to the United Nations
Framework Convention on Climate Change/COP 21 UNFCCC (Sidang Konferensi
Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Perubahan Iklim ke-21) telah dilaksanakan di Paris pada 2015 dengan dihadiri oleh 195
(seratus sembilan puluh lima) negara yang merupakan para pihak pada UNFCCC dan
berhasil mengadopsi Persetujuan Paris Agreement to the United Nations Framework
Convention on Climate Change (Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) pada tanggal 12 Desember 2015.
Persetujuan Paris (Paris Agreement) ini memuat ketentuan mengenai Kontribusi yang
ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yang
diharapkan akan diimplementasikan pada tahun 2020.
Persetujuan Paris ini pada dasarnya merupakan komitmen bersama untuk
menahan laju kenaikan suhu rata-rata global dibawah 2°C di atas suhu di masa
praindustrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C
di atas suhu di masa praindustrialisasi. Upaya ini diharapkan akan secara signifikan
mengurangi risiko dan dampak merugikan perubahan iklim.
Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon belum cukup memadai
untuk mencapai target Persetujuan Paris, dalam menjaga kenaikan suhu bumi di bawah
1.5 derajat celsius sejak zaman pra-industri. Melalui studi Deep Decarbonization of
Indonesia’s Energy System yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services
Reform (IESR), untuk mencapai target Perjanjian Paris netral karbon pada 2050,
Indonesia harus mencapai puncak emisi di sektor energi pada tahun 2030 dan bauran
energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan mencapai 45%. Sektor energi sendiri
harus mengurangi penurunan emisi sebesar 314 juta ton CO2e untuk dapat mencapai
target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030 sesuai dengan komitmen
Indonesia pada Persetujuan Paris.
IESR memberikan beberapa masukan yang dapat digunakan oleh Pemerintah
Indonesia dalam menguatkan NDC melalui pengurangan emisi di sektor energi:
1. Kepastian Indonesia mencapai target net-zero
Pemerintah perlu memperjelas skenario untuk mencapai net-zero emission dengan
sisa waktu 10 tahun yaitu dari tahun 2051 sampai dengan 2060 karena
ketidaksinambungan antara tahun akhir proyeksi yang dibuat serta target untuk
mencapai netral karbon
2. Minimnya target bauran Energi Terbarukan (ET)
Bauran ET pada sektor ketenagalistrikan hanya sebesar 43%, sedangkan bauran
batubara sebesar 38%, gas alam sebesar 10% dan bioenergy with carbon capture
and storage (BECCS) sebesar 8%. Dengan terus menurunnya harga energi
terbarukan khususnya teknologi modul surya dan teknologi penyimpanan energi,
Indonesia akan mampu mencapai nol emisi di sektor ketenagalistrikan (100% dari
energi terbarukan) pada tahun 2045, dengan biaya pembangkitan listrik dan
kebutuhan investasi yang bahkan lebih rendah dibanding tetap mempertahankan
PLTU batubara.
Penggunaan energi alternatif untuk menurunkan gas karbon yaitu dengan :
1. Menggunakan kendaraan listrik
2. Menggunakan biodigester untuk mengubah limbah pertanian dan peternakan
menjadi bahan bakar gas
3. Memanfaatkan Bahan Bakar Nabati (BNN), salah satu jenis BBN
berbasis biofuel yang sudah diterapkan pemerintah sampai saat ini adalah
bieotanol. Ethanol fuel grade 99.5% merupakan bio-energi yang mampu
menjadi pengganti bahan bakar fosil.

Anda mungkin juga menyukai