Anda di halaman 1dari 29

Yang Fana Adalah Waktu,

Jejak Karbon Abadi


Sebuah kajian mengenai sistem transportasi di Kota Bandung

Divisi ENV Knowledge, Departemen Keilmuan


Badan Pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ITB
“Sandyakala” 2022/2023

Februari 2023
Ringkasan Eksekutif

“...we are not wise, and not very often kind. And much can never be redeemed.
Still, life has some possibilities left. Perhaps this is its way of fighting back, that sometimes
something happens better than all the riches or power in the world.”
— “Swan”, Mary Oliver (2010)

Berbagai dampak krisis iklim telah terjadi di belahan dunia akibat dihasilkannya gas-gas
rumah kaca yang memerangkap panas di atmosfer bumi oleh bermacam sektor, salah satunya
transportasi. Kota Bandung menyumbang emisi sebanyak 2,6% dari sektor tersebut untuk total
emisi karbon di Indonesia. Manusia dan lingkungan di kota yang masih didominasi oleh
kendaraan pribadi ini pun terdampak akibat pencemaran dari transportasi. Untuk itu, diperlukan
upaya-upaya berupa perbaikan infrastruktur transportasi umum dari pemerintah seperti
menambah rute dan armada bus, menyelenggarakan sosialisasi terkait transportasi umum,
membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat, dan menyusun kebijakan untuk
mendukung aksesibilitas dan keterjangkauan ekonomi dalam rangka menyokong Indonesia
yang lebih rendah emisi lewat transportasi.

Penyamaan Istilah
Berikut adalah penjelasan singkat beberapa istilah yang dipakai selama kajian untuk
menyamakan persepsi dan pengertian.
● Emisi: Emisi adalah pencemar udara yang dihasilkan dari kegiatan manusia yang masuk
dan/atau dimasukkannya ke dalam udara, mempunyai dan/atau tidak mempunyai
potensi pencemaran udara (PP 22/2021)
● Sumber emisi: Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak
bergerak maupun sumber tidak bergerak spesifik.
● Sumber emisi bergerak: Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau
tidak tetap pada suatu tempat yang berada dari kendaraan bermotor
● Sumber emisi tidak bergerak: Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap
pada suatu tempat.
● Faktor emisi kendaraan: Faktor emisi merupakan suatu koefisien yang menunjukkan
banyaknya emisi per unit aktivitas (ESDM, 2017).
● Gas rumah kaca: Gas Rumah Kaca yang selanjutnya disingkat GRK adalah gas yang
terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan
memancarkan kembali radiasi inframerah (Perpres 98/2001).

Emisi Karbon dan Perubahan Iklim


Pemanasan global adalah perubahan temperatur bumi dalam jangka panjang yang
terakselerasi selama beberapa ratus tahun ke belakang akibat penggunaan bahan bakar fosil
yang menghasilkan gas rumah kaca. Pemanasan global terjadi ketika panas yang seharusnya
dipantulkan kembali terperangkap oleh gas rumah kaca di atmosfer. Pemanasan global
merupakan sebagian kecil dari masalah yang lebih besar, yaitu perubahan iklim. Perubahan
iklim adalah perubahan pola cuaca dan suhu dalam jangka panjang (UN). Dampak dari
perubahan iklim tidak hanya terbatas pada kenaikan suhu. Kebakaran hutan, banjir bandang,
mencairnya gletser, kenaikan permukaan air laut, kemunculan kembali mikroorganisme patogen
kuno, dan sederetan masalah lain juga merupakan akibat dari perubahan iklim, baik langsung
maupun tidak langsung.

Kenaikan Suhu Kota Bandung


Bandung, sebagai salah satu kota metropolitan yang terletak di Jawa Barat, tidak luput
dari ancaman pemanasan global. Walaupun terkenal dengan hawa dingin dan keindahan
alamnya, Bandung kini mengalami peningkatan suhu setiap tahun. Tercatat semenjak 1975,
suhu rata-rata Bandung telah meningkat sebanyak 1,2°C. Rupanya, Bandung tidak luput dari
ancaman pemanasan global.
Kegiatan manusia yang kian beragam dan padat merupakan pemicu pemanasan global.
Layaknya reaksi berantai, penggunaan bahan bakar fosil dalam setiap aktivitas manusia
menghasilkan gas buang berupa gas rumah kaca yaitu CO2, CH4, serta N2O yang dilepaskan ke
atmosfer lalu menimbulkan efek rumah kaca yang menaikkan suhu permukaan bumi.
Besarnya dampak aktivitas manusia, dalam konteks gas buang atau emisi, dapat
dikonversi serta dikuantifikasi menjadi satuan emisi karbon (CO2) atau lebih dikenal dengan
nama jejak karbon (carbon footprint). Jejak karbon adalah total gas rumah kaca (GRK) yang
dihasilkan suatu kegiatan dan dinyatakan dalam satuan CO2eq.
Transportasi: Salah Satu Kontributor Utama Emisi Karbon
Indonesia telah mulai melakukan inventarisasi gas rumah kaca dalam bentuk CO2eq
mengikuti panduan yang dibentuk oleh IPCC semenjak 2019. Hasil inventarisasi pada 2020
menunjukkan bahwa tanpa memperhitungkan emisi karbon dari sektor kehutanan dan
kebakaran gambut, sektor transportasi merupakan kontributor terbesar kedua emisi karbon
setelah sektor energi. Sektor transportasi mencapai 18% dari total emisi karbon yang
dihasilkan, dengan jumlah sebesar 157.771 Gg CO2eq (KLHK, 2021).

Gambar 1. Emisi karbon per sektor di Indonesia


(Sumber: KLHK, 2021)
Kenaikan rata-rata emisi karbon sektor transportasi mencapai angka 7,17% setiap tahun
dan diprediksi akan terus meningkat seiring dengan besarnya produksi kendaraan bermotor
serta penggunaan bahan bakar fosil (ESDM, 2020).
Gambar 2. Emisi GRK pada kategori transportasi
(Sumber: ESDM, 2020)

Berbagai macam gas rumah kaca dihasilkan selama pembakaran bahan bakar fosil
yang digunakan sektor transportasi. Proses yang berbeda pada setiap kegiatannya
menghasilkan beberapa jenis gas rumah kaca.

Tabel 1. Gas rumah kaca dan sumber-sumber gas

Jenis Sumber

Karbon dioksida (CO2)


Pembakaran bahan
Nitrogen oksida (N2O)
bakar fosil
Metana (CH4)

Pendingin ruangan
Hydrofluorocarbon (HFCs)
moda transportasi

Moda transportasi serta bahan bakar yang digunakan sangat berpengaruh pada jenis,
jumlah, dan dampak akibat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Proyeksi emisi pada
skenario sustainable development goals (SDGs) menunjukkan bahwa dengan penggantian
bahan bakar fosil, jumlah emisi yang dihasilkan dapat menurun secara signifikan.
Gambar 3. Proyeksi emisi berdasarkan moda transportasi sesuai skenario pada SDG (2000 -
2070).
(Sumber: IEA, 2022)

Pemilihan moda transportasi dipengaruhi oleh banyak hal, seperti jarak, biaya, hingga
alternatif yang tersedia. Setiap alternatif memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,
meliputi dampak ke lingkungan akibat penggunaan dari moda transportasi tersebut. Selain
pemilihan transportasi yang dititikberatkan pada pengguna, sistem transportasi juga harus
memadai bagi pengguna dan mampu menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk
menunjang penggunaan yang baik dan sesuai kebutuhan.
Huru-Hara Transportasi Kota Bandung

Kontribusi Emisi oleh Kota Bandung


Emisi sektor transportasi Kota Bandung dalam CO2eq mencapai 4.198,65 Gg per tahun
atau sebesar 2,6% dari seluruh total emisi karbon Indonesia. Angka tersebut didapat
berdasarkan studi yang dilakukan oleh Dewanto (2021) menghitung besar emisi sektor
transportasi di Kota Bandung dengan menggunakan model IVE (International Vehicle
Emissions). Proses perhitungan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor
seperti jenis kendaraan, bahan bakar, jenis mesin, jarak yang ditempuh, serta faktor emisi. Dari
pengolahan data tersebut, didapat inventarisasi emisi sektor transportasi Kota Bandung.

Gambar 4. Beban Emisi Total (Ton/Tahun) Kendaraan Bermotor Kota Bandung


(Sumber: Dewanto, 2021)

Untuk memudahkan perbandingan serta pemahaman, dilakukan konversi terhadap GRK


(N2O dan CH4) menjadi satuan CO2eq yang dilakukan dengan menggunakan faktor konversi
IPCC. Global warming potential (GWP) adalah istilah yang digunakan untuk mengukur potensi
pemanasan global dari setiap jenis gas rumah kaca yang berbeda sebagai salah satu indikator
yang digunakan untuk mengukur dampak aktivitas manusia kepada lingkungan. Semakin tinggi
nilai GWP maka semakin besar pula dampak dari gas rumah kaca terhadap lingkungan.
Tabel 2. Global Warming Potential untuk Gas Rumah Kaca (GRK)

(Sumber: IPCC, 2007)

Total emisi dalam CO2eq diperoleh melalui pengalian besar emisi (Gambar 4) dengan
faktor emisi (GWP) sehingga didapatkan besar emisi sebagai berikut.

Tabel 3. Jumlah emisi gas rumah kaca dalam CO2eq

N2O dalam CO2eq (ton/tahun) CH4 dalam CO2eq (ton/tahun)

Sepeda Motor 703,28 124.341,5


Mobil Pribadi 18.154,16 63.816,25
Taksi 80,46 515,25
Angkot 542,36 2.742,75
Bus 7.944,68 0
Truk 5.098,78 11.339,75

Berdasarkan studi yang sama oleh Dewanto (2021), jika ditinjau dari kontribusi setiap
jenis kendaraan bermotor terhadap emisi total setiap polutan di Kota Bandung, yang paling
mendominasi adalah 43,4% mobil pribadi, diikuti 27,8% truk, 17,1% sepeda motor, dan 10,1%
berasal dari bus. Sementara itu, angkot dan taksi berkontribusi sangat minim < 2% terhadap
total emisi yang dihasilkan. Lebih dari setengah kontribusi emisi di Kota Bandung
disebabkan oleh kendaraan pribadi, yakni mobil dan sepeda motor.
Gambar 5. Jenis kendaraan bermotor di Kota Bandung
(Sumber: Dewanto, 2021)

Beban emisi yang diperhitungkan merupakan gabungan dari beban emisi start-up, yaitu
ketika kendaraan dipanaskan, dan running, saat kendaraan sedang digunakan. Emisi start-up
merupakan pencemar yang dihasilkan dari pembakaran internal mesin ketika aktivasi
kendaraan setelah kondisi idling, sedangkan emisi running merupakan pencemar yang
dihasilkan dari pembakaran internal mesin selama operasional kendaraan bermotor (Dewanto,
2021). Kondisi idle merupakan keadaan diam suatu kendaraan bermotor ketika kendaraan
berjalan pelan atau hanya sedikit menggunakan energi. Idling system adalah suatu sistem yang
mengotomasikan kendaraan agar berhenti bekerja ketika sedang tidak digunakan. Emisi yang
dihasilkan pada kondisi idle, start-up, dan running memiliki konsentrasi yang berbeda-beda
akibat perbedaan temperatur, tekanan, faktor emisi, dan lain-lain.
Berdasarkan hasil studi oleh Dewanto (2021), terjadi peningkatan CO2, NOx, dan PM,
serta penurunan CO dari proses start-up menjadi running. Pada kondisi start-up, tingginya
kontribusi emisi total CO disebabkan oleh kinerja mesin pasca-idling cenderung belum
maksimal untuk menciptakan kondisi panas (suhu) dan tekanan yang tinggi di dalam ruang
bakar mesin sehingga menyebabkan pembakaran bahan bakar tidak terjadi secara sempurna
(Rosid, 2016 dalam Dewanto, 2021), sedangkan pada kondisi running, emisi CO cukup rendah
karena hanya berupa sisa pembakaran yang tidak sepenuhnya sempurna sehingga masih
terdapat senyawa CO yang tidak teroksidasi menjadi CO2. Meskipun tidak termasuk gas rumah
kaca, CO menjadi salah satu gas yang diperhitungkan karena keberadaannya di atmosfir dalam
jumlah yang signifikan dapat memicu pembentukan gas rumah kaca lainnya (ACS, n.a).
Kontribusi emisi CO2 pada kondisi start-up (terbesar kedua setelah CO) berasal dari sebagian
kecil proses pembakaran telah mencapai kondisi sempurna selama periode kompresi mesin.
Pada kondisi start-up, rendahnya kontribusi NOx disebabkan oleh kinerja mesin belum terlalu
maksimal untuk mencapai panas (suhu) dan tekanan yang tinggi pada ruang bakar mesin
(Soenarto dan Furuhama, 1985 dalam Dewanto, 2021) sehingga, pada kondisi running, emisi
NOx meningkat signifikan (32%) karena panas (suhu) dan tekanan ideal pada ruang bahan
bakar mesin sudah maksimal untuk membentuk senyawa NOx (Flagan dan Seinfeld, 1988
dalam Dewanto, 2021). Pada kondisi running, emisi PM mengalami peningkatan signifikan yang
disebabkan oleh tingginya faktor emisi PM yang disertai dengan peningkatan kinerja mesin
diesel pada truk dan bus. Peningkatan tersebut dapat menghasilkan emisi PM lebih banyak
yang merupakan residu senyawa karbon pada bahan bakar diesel yang tidak ikut terbakar
dalam ruang bakar mesin (Flagan dan Seinfeld, 1988 dan Rosid, 2016 dalam Dewanto, 2021).

Gambar 6. Beban Emisi Start-Up (Ton/Tahun) Kendaraan Bermotor Kota Bandung


(Sumber: Dewanto, 2021)

Emisi total kendaraan bermotor di Kota Bandung tahun 2019 paling dominan dihasilkan
pada kondisi start-up yakni parameter CO sebesar 54,11% setara 33.512,52 ton/tahun, diikuti
CO2 sebesar 39,55% setara 24.494,93 ton CO2eq per tahu, dan NOx sebesar 3,97% setara
2.456,13 ton CO2eq per tahun. Proporsi emisi start-up terbesar di Kota Bandung berasal dari
47,4% sepeda motor, 34,9% mobil pribadi dan 15% merupakan emisi truk yang dipengaruhi
oleh tingginya tingkat populasi kendaraan bermotor tersebut di Kota Bandung (Dewanto, 2021).
Gambar 7. Beban Emisi Running (Ton/Tahun) Kendaraan Bermotor Kota Bandung
(Sumber: Dewanto, 2021)

Emisi CO2 menjadi kontributor terbesar dengan 95,1% setara 5.262.117,87 ton/tahun,
diikuti CO sebesar 3,99% setara 220.866,38 ton CO2eq per tahun, dan NOx sebesar 0,60%
setara 33.045,52 ton CO2eq per tahun. Proporsi emisi running terbesar di Kota Bandung berasal
dari 43,5% mobil pribadi, diikuti 27,9% truk, 16,7% sepeda motor, dan 10,2% bus. Peningkatan
signifikan pada truk dan bus disebabkan oleh efisiensi termal pada mesin diesel sudah tercapai
maksimal sehingga proses pembakaran bahan bakar dapat terjadi secara sempurna
(Gunadarma, 2019 dalam Dewanto, 2021). Efisiensi termal menggambarkan performa
peralatan termal seperti mesin pembakaran dalam mengonversi energi panas menjadi energi
gerak.
Seperti yang terangkum pada Gambar 4, terdapat tiga parameter polutan yang
mendominasi emisi total kendaraan bermotor di Kota Bandung, yakni karbon dioksida (CO2)
sebagai kontributor utama sebesar 94,48%, karbon monoksida (CO) sebesar 4,55%, dan
oksida nitrogen (NOx) setara 0,63% (Dewanto, 2021). Parameter tersebut adalah hasil
pembakaran internal mesin kendaraan bermotor yang paling sering diproduksi (Godish, 2004
dalam Dewanto, 2021). Emisi total tersebut berasal dari 98,9% kondisi running dan hanya
1,07% dari kondisi startup.

Perkara Transportasi Umum


Pada bagian sebelumnya, sudah terbukti bahwa kendaraan pribadi menyumbang emisi
yang lebih banyak dibandingkan kendaraan umum. Kepala Bidang Lalu Lintas dan
Perlengkapan Jalan Dishub Kota Bandung, Khairul Rijal, menyatakan bahwa jumlah kendaraan
pribadi di Kota Bandung hampir satu banding satu dengan jumlah penduduk (CNN, 2022).
Salah satu penyebab minimnya pengguna transportasi umum ialah keterbatasan akses
pelayanan akibat ukuran lebar jalan yang seringkali tidak memadai (Bahar dkk, 2011). Hal ini
menyebabkan penyediaan transportasi umum perkotaan di Indonesia banyak menggunakan
sarana berkapasitas dan berukuran kecil.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 1985 Tentang Hirarki Fungsi Jalan
menyebutkan bahwa lebar minimum jalan untuk dapat dilalui kendaraan bermotor roda empat
adalah 5,0 meter. Dari seluruh jalan di Kota Bandung, hanya terdapat 25,56% proporsi jalan
yang memenuhi kriteria tersebut. Sebanyak 52,72% jalan memiliki lebar kurang dari 5,0 meter
dan 19,27% jalan memiliki lebar kurang dari 3,5 meter. Kondisi ini mendorong munculnya
transportasi umum alternatif dengan kapasitas yang lebih kecil sehingga mengurangi akses
pelayanan.
Akibat dari akses layanan yang tidak menyeluruh dan ruas jalan yang kecil, banyak
masyarakat yang memilih untuk menggunakan transportasi pribadi. Dinas Perhubungan (2021)
menyampaikan bahwa mayoritas transportasi di Bandung merupakan milik pribadi, yakni
sebesar 96,59% dan jumlah pengguna transportasi pribadi mencapai angka 81,77%.
Jumlah kendaraan dan pengguna transportasi pribadi tersebut menunjukkan
keengganan untuk memakai transportasi umum. Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa
hal, salah satunya adalah keterbatasan akses layanan. Layanan bus yang tersedia di Bandung,
Trans Metro Bandung serta Damri, belum melintasi seluruh wilayah Bandung. Jumlah armada
yang kurang memadai disertai dengan kondisi lalu lintas yang tidak dapat diprediksi sering
menyebabkan keterlambatan bus. Hal tersebut membuat pengguna semakin enggan untuk
memakai transportasi umum. Selain layanan bus, terdapat pula angkot atau angkutan kota yang
memiliki cakupan layanan lebih luas namun angkot lebih tepat disebut transportasi paratransit
dibandingkan transportasi umum sebab angkot tidak memiliki tempat pemberhentian khusus
dan jadwal keberangkatan serta keberangkatan yang pasti. Secara keseluruhan, akses layanan
dan informasi mengenai ketersediaan transportasi umum di Kota Bandung masih kurang
memadai (Bahar et al, 2011).

Sederet Masalah di Sektor Transportasi


Kemacetan adalah salah satu dampak yang paling terlihat akibat ruas jalan yang sempit
dan pengguna transportasi pribadi yang lebih banyak dibandingkan transportasi umum.
Pemilihan moda transportasi pribadi menyebabkan jalanan dipenuhi oleh mobil atau motor
pribadi akibat kapasitas kendaraan yang lebih kecil dan volume kendaraan yang melebihi
kapasitas jalan. Di sisi lain, lebih dari 90% emisi berasal dari kondisi idle (diam/macet) (Sidjabat
dkk, 2016).
Kemacetan bisa menyebabkan pembakaran tidak sempurna. Faktor emisi kendaraan
bermotor roda empat dipengaruhi oleh jenis kendaraan dan kecepatan. Ketika kecepatan
melambat akibat jalanan yang padat, emisi yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna
akan meningkat. Kemacetan jalan tidak hanya meningkatkan penggunaan bahan bakar, tetapi
juga peningkatan emisi karbon dioksida dan polusi udara, sekaligus meningkatkan paparan
polusi terhadap penumpang (Bharadwaj dkk, 2021). Tingkat polusi tinggi berkaitan dengan
tingkat kemacetan tinggi di area perkotaan, baik polusi udara maupun suara (Mansour & Jamil,
2022).
Pencemaran udara, salah satunya akibat gas buang kendaraan bermotor, dapat
memberikan dampak negatif ke manusia dan lingkungan. Selain jejak karbon akibat gas rumah
kaca yang bisa meningkatkan pemanasan global, pencemaran udara juga bisa berdampak
pada kesehatan masyarakat, seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), kanker paru-paru,
penyakit pada tenggorokan, dan lain-lain. Melansir dari situs Dinas Kesehatan Kota Bandung
2022, ISPA termasuk dalam empat penyakit tertinggi di Kota Bandung. Di sisi lain, polusi suara
juga bisa ditimbulkan akibat kemacetan yang berujung pada gangguan kesehatan. Kemacetan
juga terbukti berdampak pada kesehatan emosional, seperti stres, gugup, dan agresivitas;
sedangkan durasi menyetir yang lama bisa berujung pada gangguan kesehatan fisik meliputi
sakit punggung, nyeri di kaki, sakit kepala, dan pusing (Alalool dkk, 2017).
Polutan yang terkandung di pencemaran udara umumnya meliputi (WHO, n.a):
● Particulate matter (PM), campuran dari padatan dan butiran air yang muncul
mayoritas akibat pembakaran bahan bakar dan kemacetan jalan;
● Nitrogen oksida dari kemacetan jalan;
● Sulfur dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil; dan
● Ozon di permukaan, akibat reaksi matahari dengan polutan dari gas buang
kendaraan.
PM berdiameter 10 mikron atau kurang (≤ PM10) dapat masuk ke dalam paru-paru, dan
partikel dengan ukuran lebih kecil yaitu 2.5 mikron atau kurang (≤ PM2.5) bisa lebih
membahayakan tubuh manusia. (Sebagai catatan: butuh 60 buah PM2.5 untuk mencapai lebar
sehelai rambut manusia. PM2.5 bisa menembus dinding paru-paru dan memasuki sistem
peredaran darah. Partikulat tersebut dapat meningkatkan penyakit hati dan pernapasan, serta
kanker paru-paru. Ozon adalah faktor utama penyebab asma, dan nitrogen oksida dan sulfur
oksida juga dapat menyebabkan asma, gejala bronkitis, inflamasi paru-paru, dan mengurangi
fungsi paru-paru.
Golongan yang rentan terjangkit penyakit akibat pencemaran udara adalah anak-anak,
orang tua, perempuan, dan masyarakat dengan komorbid. Hingga 14% anak-anak di dunia
berusia 5 - 18 tahun memiliki asma dengan polusi udara sebagai salah satu faktor. Setiap tahun
(WHO, 2018) sebanyak 543.000 anak-anak di bawah 5 tahun meninggal karena penyakit
pernapasan berkaitan dengan polusi udara. Polusi udara juga berkaitan dengan kanker
anak-anak (WHO, n.a). Paparan polusi udara terhadap di orang tua, akibat komorbid, bisa
mematikan (Simoni dkk, 2015).
Perempuan juga termasuk dalam golongan yang lebih rentan terhadap penyakit yang
berkaitan dengan pencemaran udara, salah satunya karena keterlibatan perempuan yang tinggi
di kegiatan rumah tangga (mencapai lebih dari dua kali dibandingkan laki-laki) akibat peran
gender yang terbentuk secara tradisional (Cerrato & Cifre, 2018), termasuk memasak dan
mengumpulkan kayu bakar (Shetty, 2022). Perempuan tidak hanya terpapar pencemaran udara
melalui udara ambien (luar ruangan), tetapi juga dalam ruangan. Dalam kondisi hamil,
perempuan memiliki risiko kesehatan yang lebih berbahaya jika terkena penyakit akibat
pencemaran udara. Jika ibu hamil terpapar dengan pencemaran udara, pertumbuhan otak bayi
di kandungan bisa terpengaruh (WHO, n.a). Pencemaran udara juga terbukti berkaitan dengan
tingkat keguguran, komplikasi hamil, dan kejadian bayi lahir mati yang dialami oleh ibu hamil
(Shetty, 2022).
Masyarakat dengan pendapatan rendah dan masyarakat marginal berpotensi lebih tinggi
terjangkit penyakit akibat pencemaran udara akibat jenis pekerjaan yang mereka lakukan,
minimnya akses ke layanan kesehatan, kurangnya informasi kesehatan, dan kondisi tempat
tinggal. Sebanyak 1 dari 10 penduduk dengan kemiskinan tinggi terpapar pencemaran udara
melebihi batas aman (Rentschler & Leonova, 2022). Paparan terhadap pencemaran udara
dalam batas tidak aman secara jangka panjang sangat berpengaruh pada kehidupan
masyarakat dengan tingkat kemiskinan tinggi, sebab dampak dari pencemaran tersebut
ditambah dengan minimnya akses kepada layanan kesehatan yang layak. Berdasarkan studi
tahun 2012, masyarakat yang tidak bekerja, berpendapatan rendah, dan kulit hitam
non-Hispanik cenderung tinggal di area dengan paparan partikel pencemar yang lebih tinggi
(American Lung Association, 2022).
Selain pengaruh fisik, pencemaran udara juga dapat berdampak pada kesehatan
mental. Pencemaran udara dapat menurunkan kebahagiaan dan meningkatkan depresi (Church
Z, 2020) Sebuah studi di Cina menunjukkan paparan jangka pendek terhadap pencemaran
udara, terutama SO2, berkaitan dengan risiko penyakit kesehatan mental (Chen dkk, 2018).

Neraca Transportasi: Publik dan Pribadi


Lingkungan, yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik, seringkali dikesampingkan
dan dianggap sebagai “eksternalitas”. Dalam ilmu ekonomi, eksternalitas lingkungan sendiri
didefinisikan sebagai manfaat dan biaya yang ditunjukkan oleh perubahan lingkungan secara
fisik hayati (Owen, 2004 dalam Yuniarti, 2019). Suatu kegiatan ekonomi dari produsen dan
konsumen dapat memberikan dampak pada pihak ketiga sebagai pengaruh yang tidak
diharapkan (tidak langsung) terhadap produsen dan atau konsumen lain, baik positif maupun
negatif (Yuniarti, 2019). Dampak lingkungan inilah yang harus diperhitungkan ketika membahas
suatu kegiatan ekonomi.
Di sektor transportasi, perhitungan CO2 sebagai salah satu GRK yang paling mudah
dihitung umumnya dilakukan dengan memperhitungkan karakteristik kendaraan (contoh: moda
transportasi, efisiensi bahan bakar) dan perjalanan (contoh: jarak, frekuensi perjalanan) (WRI
Indonesia, 2019). Dalam tulisan yang sama, WRI Indonesia menyatakan bahwa jarak yang jauh
dan konsumsi bahan bakar tinggi akan menghasilkan emisi yang lebih tinggi, sehingga emisi
dari kendaraan pribadi akan mengeluarkan emisi yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan
kendaraan umum. WRI Indonesia membuat perbandingan biaya yang harus dibayarkan untuk
“mengganti rugi” jejak karbon yang dihasilkan berbagai jenis kendaraan per kilometer. Ganti rugi
ini diestimasi menggunakan biaya penanaman dan perawatan pohon mangga yang mampu
menyerap 445 kg CO2/tahun.
Gambar 8. Biaya yang diperlukan untuk mengganti rugi emisi kendaraan per kilometer
(Sumber: WRI Indonesia)

Seperti yang terlihat pada gambar di atas, biaya yang harus dibayarkan oleh
penggunaan moda transportasi pribadi jauh lebih tinggi dibandingkan transportasi umum.
Transportasi umum juga memiliki keunggulan lain seperti kapasitas transportasi yang lebih
banyak sehingga dapat mengurangi volume kendaraan di jalan dan mengurangi pengeluaran
karena harga yang dibayarkan cenderung lebih murah.
Selain mengurangi emisi dari sektor transportasi dan lebih menguntungkan secara
ekonomi, transportasi publik terbukti memberikan manfaat akibat kegiatan fisik yang dilakukan
oleh penggunanya. Menggunakan transportasi publik umumnya meliputi berjalan ke lokasi
transit (persinggahan) kendaraan umum. Transportasi publik yang berkualitas tinggi (layanan
bus dan kereta yang mudah digunakan, nyaman, dan cepat) dan pembangunan yang
berorientasi pada lokasi transit (bisa dicapai dengan berjalan kaki dan digunakan oleh berbagai
komunitas di sekitar lokasi singgah) terbukti memengaruhi kegiatan perjalanan yang
memberikan manfaat kesehatan, berupa pengurangan polusi udara, meningkatkan kebugaran
fisik, memperbaiki kesehatan mental, memperbaiki akses ke layanan kesehatan dan makanan
sehat, serta mengurangi stres finansial kepada masyarakat dengan pendapatan rendah
(Litman, 2016). Studi oleh Morabia dkk (2010) menunjukkan bahwa manfaat yang didapat dari
kegiatan fisik berkaitan dengan penggunaan kendaraan umum untuk bekerja lebih besar
daripada risiko paparan PM2.5 yang mungkin didapat selama menggunakan transportasi
umum.
Dengan segudang manfaat penggunaan transportasi publik, mengapa Kota Bandung
masih didominasi oleh transportasi pribadi? Terdapat beberapa hal yang menjadi faktor penentu
dalam memilih moda transportasi untuk sehari-hari, seperti umur, kepemilikan terhadap mobil,
jarak tempuh, ketersediaan parkir, dan harga tiket (Rasca & Saeed, 2021). Peluang seorang
pekerja untuk menggunakan transportasi publik akan meningkat jika ia tidak memiliki seseorang
dalam tanggungannya, sedangkan frekuensi bus yang sedikit dan jarak tempuh kaki yang jauh
menuju titik transportasi umum dapat menurunkan minat seseorang dalam menggunakan
transportasi publik. Sebuah survei dari Altef dkk (2012) menunjukkan bahwa biaya, waktu, dan
kenyamanan memiliki peran penting dalam menggerakkan pengguna transportasi pribadi ke
publik.
Selama masa pandemi, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi seseorang untuk
kembali menggunakan transportasi pribadi. Aturan pembatasan jarak dan kontak manusia yang
diterapkan oleh pemerintah untuk menghindari penyebaran virus berdampak pula pada
pengguna transportasi umum. Sebuah studi di Jabodetabek (Ariyani dkk, 2020) menunjukkan
bahwa faktor yang menyebabkan pengguna transportasi publik beralih ke transportasi pribadi di
masa pandemi adalah batasan peraturan penumpang di transportasi publik, jam operasional
yang dibatasi, dan perasaan ketidaknyamanan dan ketidakamanan dalam menggunakan
transportasi umum.
Selain itu, isu transportasi juga merupakan masalah struktural. Banyak masyarakat yang
memiliki keterbatasan fisik dan ekonomi bergantung pada transportasi publik untuk mengakses
layanan kesehatan dan mendapatkan makanan yang terjangkau dan sehat (Litman, 2016).
Terdapat 3 faktor yang memengaruhi hubungan ketimpangan dengan transportasi, yaitu (1)
persebaran masyarakat secara geografis dan kelas sosial, (2) distribusi kesempatan yang
sama, termasuk pekerjaan dan pendidikan, dan (3) aksesibilitas ke moda transportasi tersebut,
termasuk biaya, jarak, waktu, dan keandalan suatu opsi transportasi (Gates dkk, 2019). Sistem
transportasi memiliki peran penting dalam kesejahteraan dan inklusivitas sosial yang dapat
berpengaruh pada kondisi sosial dan ekonomi, serta berkaitan sangat erat dengan kesempatan
dalam pekerjaan. Di daerah dengan kepadatan penduduk rendah, transportasi publik
cenderung lebih sulit dijalankan, dengan area pelayanan yang jauh, pendapatan yang lebih
rendah, dan biaya transportasi yang lebih tinggi. Laporan yang sama oleh Gates dkk (2019)
menunjukkan bahwa masyarakat yang bergantung pada jaringan transportasi bus untuk bekerja
cenderung dibayar lebih rendah, tinggal di daerah yang lebih jauh, dan memiliki kemungkinan
yang lebih tinggi untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dibandingkan masyarakat dengan
pendapatan lebih tinggi yang lebih sering menggunakan mobil dan kereta.
Transportasi publik terbukti memberikan banyak manfaat bagi penggunanya, baik
secara lingkungan, kesehatan, maupun ekonomi. Namun, terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi seseorang dalam memilih jenis transportasi, seperti waktu dan biaya,
kenyamanan dan keamanan, fasilitas sarana dan prasarana transportasi publik, hingga
ketimpangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Dengan demikian, diperlukan sebuah upaya
dari pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas transportasi publik yang
mempertimbangkan kekhawatiran dan isu-isu yang terjadi di masyarakat.

Target Penurunan Emisi Indonesia


Target terbaru Indonesia terkait penurunan emisi (dekarbonisasi) tercatat dalam
dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) negara Indonesia pada 23
September 2022 di forum COP27. Indonesia menyatakan akan meningkatkan persentase
reduksi emisi dari 29% ke 31.89% di kondisi “unconditional”. Kondisi unconditional berarti upaya
penurunan emisi dapat diimplementasikan secara mandiri tanpa bantuan dari lembaga
internasional lain. Dari sisi transportasi umum, Indonesia bertujuan untuk memperluas jaringan
mass rapid transit kota Jakarta secara signifikan menjadi 235 kilometer untuk mengurangi
kemacetan lalu lintas sekaligus meningkatkan kualitas udara di kota besar yang padat
penduduk. Fase selanjutnya dari perluasan ini termasuk MRT Fase 3 Jalur Timur-Barat, yang
akan membentang sepanjang 87 kilometer di wilayah Jabodetabek dan terdiri dari 40 stasiun
(Alstom, 2022). Sayangnya, rencana pemerintah di sektor transportasi hanya menunjukkan janji
dalam meningkatkan transportasi publik untuk wilayah Jabodetabek, tetapi tidak ada target
nasional yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan transportasi publik pada seluruh
wilayah di Indonesia.
Secara nasional, berdasarkan ENDC 2022, Indonesia memiliki dua target ambisius di
sektor transportasi: (1) peningkatan produksi dan penggunaan biofuel dan (2) pergantian
teknologi kendaraan menjadi berbasis listrik atau electric vehicle (EV). Namun, kedua target
memiliki hambatan dalam menjadi solusi dekarbonisasi Indonesia. Target-target tersebut
berpotensi tidak mengurangi emisi, tetapi memindahkannya tersebut ke sektor lain.
Produksi biofuel mendorong peningkatan deforestasi di Indonesia karena meningkatnya
kebutuhan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan bahwa 57% deforestasi di
negara Indonesia sebagian besar disebabkan oleh perubahan lahan menjadi yang menjadi
lahan perkebunan kelapa sawit dan 20% lainnya bersumber dari pulp dan kertas (Ariana, 2017).
Hal ini juga menjadi celah munculnya konflik sosial pada masyarakat yang tinggal di wilayah
sekitar hutan. Meskipun skema Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) telah digaungkan dalam
Peraturan Presiden No 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia, hanya 12,93% atau setara dengan 1,5 juta hektar dari 11,6 juta hektar
luas total area perkebunan yang telah berupaya menerapkan prinsip keberlanjutan di bawah
sistem ISPO (Forest Watch Indonesia, 2017). Kajian yang sama oleh Forest Watch Indonesia
(2017) menyatakan bahwa perkebunan yang telah menerapkan sistem ISPO masih belum tentu
terjamin bebas dari deforestasi dan konflik sosial, apalagi bagi area perkebunan yang belum
memperoleh sertifikat ISPO.
Deforestasi memiliki banyak kerugian lingkungan. UN IPCC telah memperkirakan bahwa
deforestasi dan degradasi hutan memberikan kontribusi global hingga mencapai 17% dari
seluruh emisi gas rumah kaca, melebihi sektor transportasi dan peringkat ketiga setelah energi
global (26%) dan sektor-sektor industri (19%) (KLHK, n.a). KLHK menyatakan bahwa lebih dari
60% dari emisi karbon di Indonesia dihasilkan dari deforestasi dan lahan gambut. Selain
deforestasi dan konflik sosial, isu yang dapat terjadi akibat perkebunan yang tidak menerapkan
sistem berkelanjutan seperti ISPO adalah tumpang tindih perizinan, kerusakan ekosistem
gambut, serta kerusakan/pencemaran lingkungan hidup (Forest Watch Indonesia, 2017).
Penggantian teknologi kendaraan menjadi berbasis listrik juga perlu dipertimbangkan
dengan matang. Meski gas buang dari kendaraan listrik terbukti mengurangi emisi polutan
pencemaran udara secara signifikan (Kompas, 2022), kendaraan listrik memiliki beberapa
kekurangan. Melansir dari sumber yang sama, bauran energi yang berasal dari PLTU pada
2021 berjumlah 62,8% dari total bauran pembangkit listrik Indonesia. Kebutuhan listrik akan
meningkat seiring perubahan teknologi kendaraan menjadi berbasis listrik, sehingga sumber
listrik menjadi salah satu faktor krusial dalam memperhitungkan emisi yang akan dihasilkan dari
alternatif teknologi ini. Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur
Ulang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adi Sasongko, berpendapat bahwa penurunan
emisi dari kendaraan listrik tidak akan signifikan apabila sumber listrik di Indonesia masih
mengandalkan batu bara. Pemerintah harus memprioritaskan peningkatan proporsi EBT
sekaligus membatasi penambahan pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara dalam
rangka menurunkan emisi di sektor transportasi.
Kesiapan infrastruktur dalam penggunaan kendaraan listrik juga perlu ditinjau lebih
lanjut. Pada laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023, pembangunan infrastruktur
Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) turut menjadi hambatan dalam mencapai
target ENDC sejumlah 13 juta kendaraan berbasis listrik. Selain sumber energi yang bersih,
penyediaan SPKLU serta penukaran baterai kendaraan listrik juga penting. Saat ini, hanya
terdapat 569 unit SPKLU dengan rincian 502 unit (88,23%) berada di Jawa dan Bali, 31 unit
(5,45%) di Sumatera, 13 unit (2,28%) di Kalimantan, 15 uni5 (2,64%) di Sulawesi, 6 unit
(1,05%) di Nusa Tenggara, 1 unit (0,18%) di Maluku, dan 1 unit (1,08%) di Papua (PLN, 2022).

Gambar 9. Unit SPKLU di Indonesia


(Sumber: PLN, 2022 dalam Riyandanu, 2022)

Persebaran SPKLU yang tidak merata akan menyulitkan pengisian daya kendaraan
listrik dan memadatkan penggunaan listrik di beberapa lokasi tertentu saja di Indonesia,
sehingga upaya dekarbonisasi yang bergantung kepada penggantian teknologi menjadi
kendaraan listrik yang menyeluruh sulit dilakukan dalam waktu dekat. Dalam hal ini, kapasitas
tempuh mobil listrik yang terbatas pun menjadi masalah karena kondisi wilayah Indonesia yang
membutuhkan jarak tempuh yang jauh (Subekti dkk, 2014).
Ekosistem pendukung industri kendaraan listrik juga dapat menimbulkan efek negatif
terhadap lingkungan, seperti proses penambangan mineral nikel yang diperlukan untuk
membuat baterai. Dalam surat terbuka yang dibuat oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) untuk investor Tesla pada April 2022, WALHI menuliskan hasil riset yang menunjukkan
adanya daya rusak lingkungan yang besar pada rantai pasok industri nikel, munculnya
ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan pejuang lingkungan yang ingin menjaga
tanah miliknya agar tidak dirusak oleh pertambangan nikel, dampak besar kepada kelompok
rentan akibat industri nikel, serta pelanggaran hukum yang masih dilakukan oleh pelaku industri
nikel dari hulu sampai ke hilir. Meski recycling rate baterai bernilai yang cukup tinggi—salah
satu studi di AS menunjukkan tingkat penggunaan kembali baterai hampir 100% (Vox,
2022)—daur ulang baterai perlu dikawal untuk memastikan bahwa emisi yang dihasilkan dari
industri kendaraan berbasis listrik bisa ditekan hingga seminimum mungkin sebab limbah
baterai termasuk ke dalam limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang memerlukan
penanganan dan pengolahan khusus.
Dalam skema pemerintah yang dituliskan pada ENDC, strategi penurunan emisi melalui
kedua target ambisius di atas masih berorientasi pada penggunaan kendaraan pribadi,
sehingga tidak menyelesaikan permasalahan terkait transportasi yang sering terjadi di
masyarakat. Penurunan target emisi seharusnya bisa dibersamai dengan penyelesaian
masalah kemacetan serta kurangnya ketersediaan transportasi umum, mengingat bahwa
kontributor utama emisi tetaplah kendaraan pribadi. Transportasi publik tidak hanya mengurangi
emisi dengan menyediakan alternatif dari kendaraan pribadi, tapi juga menyelesaikan
permasalahan perkotaan seperti kemacetan. Penggunaan transportasi publik juga akan
mengurangi konsumsi bahan bakar yang digunakan dengan menurunnya angka pengguna
kendaraan pribadi. Tak hanya itu, kota dengan transportasi publik yang inklusif akan
meningkatkan aksesibilitas dan dapat menurunkan ketimpangan sosial dan ekonomi di
masyarakat. Maka, target Indonesia seharusnya tidak hanya menciptakan alternatif pada
business-as-usual (BAU) yang berorientasi pada penggunaan kendaraan pribadi, tetapi juga
memfokuskan pengembangan dan perbaikan transportasi publik yang merata di seluruh wilayah
Indonesia.

Menengok Transportasi di Negara Lain


Meningkatkan penyediaan transportasi umum sebagai upaya menurunkan emisi telah
diterapkan di berbagai negara, salah satunya Jepang. Jumlah emisi yang dikeluarkan berbagai
moda transportasi untuk setiap jumlah penumpang per kilometer berbeda dan transportasi
umum, terutama kereta, menunjukkan angka yang rendah.
Gambar 10. Jumlah emisi per penumpang-kilometer
(Sumber: MLIT)
Jepang adalah salah satu negara dengan ambisi menurunkan emisi sektor transportasi
tertinggi dengan tujuan mencapai carbon neutrality, yaitu keadaan tanpa emisi karbon, sebelum
2050 (NBR, 2022). Hal tersebut akan dicapai dengan penggunaan next-generation vehicles
(NGVs), salah satunya adalah electric vehicles (EVs) baik mobil pribadi maupun transportasi
umum. Seiring dengan perkembangan teknologi berkelanjutan untuk sektor transportasi, emisi
karbon pun turut menurun.

Gambar 11. Tren emisi karbon sektor transportasi Jepang


(Sumber: MLIT)
Pemerintah Jepang telah aktif mempersiapkan pergeseran sektor transportasi untuk
menjadi lebih hijau. Berbagai macam strategi telah diimplementasikan, salah satunya adalah
pembangunan infrastruktur penyokong NGVs. Pada 2021, telah terdapat 29.193
(https://asia.nikkei.com/Business/Technology/Orix-to-set-up-50-000-EV-charging-stations-across
-Japan-by-2025) stasiun isi ulang yang tersebar di Jepang. Selain itu, strategi lain untuk
menurunkan emisi juga diimplementasikan. Diagram di bawah menunjukkan pendekatan
berbeda pada berbagai sektor untuk menurunkan emisi.

Gambar 12. Strategi penurunan karbon emisi transportasi


(Sumber: MLIT)
Bandung, sebagai salah satu Kota Metropolitan terpadat di Indonesia, sudah sepatutnya
memiliki sistem transportasi serta infrastruktur perkotaan yang meningkatkan mobilitas
masyarakatnya. Fokus rencana pembangunan kota perlu dititikberatkan pada pembangunan
infrastruktur transportasi yang memadai dan dapat menjangkau wilayah yang lebih luas untuk
meningkatkan angka keterlayanan.
Selain pembangunan infrastruktur transportasi, pemerintah dapat menjalankan upaya
untuk mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum dengan strategi low-cost policy
measures yang telah diterapkan di Okayama, Jepang. Strategi ini bekerja secara efektif pada
kota dengan tingkat pengguna bus <1% sehingga dapat diterapkan di Okayama dengan tingkat
pengguna bus sebanyak 0,3% dari populasi.
Strategi low cost policy measures menargetkan dua hal: perubahan perilaku pengguna
transportasi umum serta kestabilan finansial dari perusahaan bus itu sendiri. Untuk mencapai
hal ini, pemerintah setempat menerapkan penurunan tarif bus serta meluncurkan kampanye
untuk meningkatkan pengguna bus.
Penurunan tarif dilakukan selama satu tahun dengan potongan sebesar 50-70% untuk
pengguna baru. Dengan menerapkan strategi ini, terbuka pasar baru yaitu pekerja kantor dan
pemilik mobil pribadi sebanyak 62,2% dan 43% dari seluruh pengguna baru. Penurunan tarif
juga meningkatkan daya tawar dari bus dengan harga yang lebih kompetitif dibandingkan
transportasi lain.
Peluncuran kampanye bertujuan untuk memopulerkan gaya hidup menggunakan bus.
Hal ini mendekatkan kegiatan menaiki bus itu sendiri dengan kehidupan sehari-hari warga
Okayama. Kampanye dilakukan dengan pencetakan majalah khusus bus yang didistribusikan
kepada setiap rumah di Okayama lengkap dengan informasi terkait jadwal dan rute bus, serta
promo atau destinasi wisata di kota tersebut yang dapat dicapai menggunakan bus. Pemerintah
Okayama bahkan menciptakan slogan khusus bagi bus, yaitu “Living in Oyama, bus in your
life”. Kedua hal tersebut, digabung dengan komunikasi interaktif antara penyedia layanan bus
dengan pengguna berhasil meningkatkan pengguna bus dalam waktu singkat dengan biaya
yang relatif kecil.

Rekomendasi
Isu transportasi umum di Indonesia bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan dengan
satu solusi pamungkas. Perlu banyak pertimbangan akan berbagai macam faktor serta
pengembangan teknologi yang tersedia untuk menuntaskan isu ini hingga ke akar.
Salah satu hal terpenting untuk dikembangkan adalah infrastruktur transportasi umum.
Pembangunan infrastruktur yang memadai akan meningkatkan angka keterlayanan sehingga
dapat menurunkan emisi sektor transportasi dari kendaraan pribadi. Adapun beberapa
rekomendasi untuk memperbaiki infrastruktur transportasi umum adalah:
1. Penambahan rute bus serta armada bus untuk mencapai wilayah yang sulit
dijangkau dan mengurangi interval waktu antar layanan.
2. Pelaksanaan sosialisasi terkait transportasi umum yang mencakup informasi
pelayanan serta penawaran potongan harga.
3. Pendekatan pemerintah kepada masyarakat untuk membangun komunikasi dua
arah antara pengguna dan penyedia jasa sehingga kebutuhan masyarakat bisa
terpenuhi.
4. Penyusunan kebijakan nasional yang mendukung aksesibilitas dan
keterjangkauan ekonomi dari transportasi umum. Selain menurunkan emisi
transportasi, kebijakan ini dapat meningkatkan kesetaraan di masyarakat dengan
kondisi ekonomi dan kelas sosial yang berbeda-beda. Kebijakan yang disusun
juga harus melibatkan pemerintah daerah dan menggabungkan aspek
transportasi, tata guna lahan, dan perumahan agar peraturan yang disusun tidak
terisolasi dari aspek pembangunan lain.
Jika ingin mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari sektor transportasi, perbaikan
sistem transportasi umum adalah langkah yang tepat. Skema EV memiliki dampak terhadap
lingkungan yang harus dipertimbangkan dan diatasi oleh pemerintah agar tidak menimbulkan
masalah lingkungan baru.
Isu transportasi umum perkotaan di Indonesia adalah masalah lama yang sudah
berkarat, dan menyelesaikannya tidak akan mudah. Namun, selama langkah-langkah terus
diambil secara konsisten baik oleh pemerintah maupun masyarakat, peningkatan akan terlihat.
Hasil tidak akan mengkhianati usaha dan niat baik.
Referensi
Alalool, A., B, A., H, K., R, M., & R, A. (2017). Traffic congestion and long driving hours: Impact
on stress, emotional and physical health among drivers in Sharjah. 9th Asia Pacific
Global Summit on Healthcare & Immunology, University of Sharjah, UAE.
Altef, A. N., Mokhtarian, H., Shokri, F., Ismail, A., & Rahmat, R. A. O. K. (2013). Switching Model
for Private Vehicles to Public Transportation System in Case of Sana’a. Research
Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology, 6(13), 2366–2372.
https://doi.org/10.19026/rjaset.6.3709
Alstrom and PT MRT Jakarta Collaborate to Explore the Development of Future Jakarta Mass
Rapid Transit. Alstom,
https://www.alstom.com/press-releases-news/2022/5/alstom-and-pt-mrt-jakarta-collabora
te-explore-development-future-jakarta.
Afian R, S., & Syavira, F. (2022, November 1). Jejak emisi batu bara di kendaraan listrik (S.
Indra Pratama, Ed.). Betahita.id.
https://betahita.id/news/lipsus/8090/jejak-emisi-batu-bara-di-kendaraan-listrik.html?v=16
67273683
Disparities in the Impact of Air Pollution. (2022) American Lung Association.
https://www.lung.org/clean-air/outdoors/who-is-at-risk/disparities
Bahar, T., Kusbiantoro, B.S., Tamin, O.Z., & Frazila, R.S. (2011). Potensi Penggunaan Angkutan
Informal di Kota Bandung. Jurnal Transportasi 11(3) 209-218.
BandungBergerak.id. (n.d.). Melihat Indonesia dari Ibu Kota Asia Afrika. BandungBergerak.id.
Retrieved January 30, 2023, from https://bandungbergerak.id
Bharadwaj, S., Ballare, S., Rohit, & Chandel, M. K. (2017). Impact of congestion on greenhouse
gas emissions for road transport in Mumbai metropolitan region. Transportation
Research Procedia, 25, 3538–3551. https://doi.org/10.1016/j.trpro.2017.05.282
Bhawono, A. (2021, December 16). Ironi Biofuel Indonesia: Energi Minim Karbon Biang
Deforestasi. Betahita.id.
https://betahita.id/news/detail/6917/ironi-biofuel-indonesia-energi-minim-karbon-biang-de
forestasi
Biang Macet di Bandung: Jumlah Kendaraan Hampir Sama Populasi Penduduk. (2023). CNN
Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/otomotif/20230210194658-579-911677/biang-macet-di-ba
ndung-jumlah-kendaraan-hampir-sama-populasi-penduduk
Cerrato J & Cifre E. (2018). Gender inequality in household chores and work-family conflict.
Front Psychol. 9:1-11. doi:10.3389/fpsyg.2018.01330
Chen C, Liu C, Chen R, et al. (2018). Ambient air pollution and daily hospital admissions for
mental disorders in Shanghai, China. Sci Total Environ 613-614:324-330.
doi:10.1016/j.scitotenv.2017.09.098
Church Z. (2020) The psychological, economic, and social costs of air pollution. MIT
Management Sloan School.
https://mitsloan.mit.edu/ideas-made-to-matter/psychological-economic-and-social-costs-
air-pollution
Direktorat Inventarisasi GRK dan MPV. (2021). Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK)
dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2020. KLHK.
Global CO2 emissions in transport by mode in the Sustainable Development Scenario,
2000-2070 – Charts – Data & Statistics. (n.d.). IEA.
https://www.iea.org/data-and-statistics/charts/global-co2-emissions-in-transport-by-mode
-in-the-sustainable-development-scenario-2000-2070
Hentikan Rencana Investasi pada Industri Nikel yang Dapat Menyebabkan Perluasan
Penghancuran Lingkungan dan Kehidupan Warga di Indonesia. (April 30, 2022).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
IESR (2022). Indonesia Energy Transition Outlook 2023: Tracking Progress of Energy Transition
in Indonesia: Pursuing Energy Security in the Time of Transition. Jakarta: Institute for
Essential Services Reform (IESR).
Leber, R. (2022, October 17). The end of a battery’s life matters as much as its beginning. Vox.
https://www.vox.com/the-highlight/23387946/ev-battery-lithium-recycling-us
Litman, T. (2010). Evaluating Public Transportation Health Benefits Summary of Findings.
Victoria Transport Policy Institute. https://www.michigandistilled.org/tran_health.pdf
Mansour, A. I., & Aljamil, H. A. (2022). Investigating the Effect of Traffic Flow on Pollution, Noise
for Urban Road Network. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science,
961(1), 012067. https://doi.org/10.1088/1755-1315/961/1/012067
Morabia, A., Mirer, F. E., Amstislavski, T. M., Eisl, H. M., Werbe-Fuentes, J., Gorczynski, J.,
Goranson, C., Wolff, M. S., & Markowitz, S. B. (2010). Potential Health Impact of
Switching From Car to Public Transportation When Commuting to Work. American
Journal of Public Health, 100(12), 2388–2391. https://doi.org/10.2105/ajph.2009.190132
Nanggara, S. G., Rosalina, L., Kartika, R. Y., & Setyawan, A. A. (2017). ENAM TAHUN ISPO:
KAJIAN TERKAIT PENGUATAN INSTRUMEN ISPO DALAM MERESPON
DAMPAK-DAMPAK NEGATIF SEPERTI DEFORESTASI, KERUSAKAN EKOSISTEM
GAMBUT, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN, SERTA KONFLIK TENURIAL. Forest
Watch Indonesia.
Pertanyaan Seputar REDD+ dan Implementasi REDD+ di Indonesia. Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
https://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/33-beranda/1804-faq.html
Penyakit Terbanyak – Dinas Kesehatan Kota Bandung. (2023). Bandung.go.id.
https://dinkes.bandung.go.id/penyakit-terbanyak
PUSAT DATA DAN TEKNOLOGI INFORMASI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. (2020). Inventarisasi Emisi
GRK Bidang Energi. ESDM.
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-inventarisasi-emisi-gas-rumah-kac
a-sektor-energi-tahun-2020.pdf
Rentschler J, Leonova N. (2022) Air pollution kills – Evidence from a global analysis of exposure
and poverty. World Bank Blogs.
https://blogs.worldbank.org/developmenttalk/air-pollution-kills-evidence-global-analysis-e
xposure-and-poverty
Rizki, Muhammad. (2019). Personalizing Carbon-Footprint from Our Travels to Mobilize Climate
Action. World Resources Institute Indonesia.
https://wri-indonesia.org/en/insights/personalizing-carbon-footprint-our-travels-mobilize-cl
imate-action
Riyandanu, M. Fajar. (Desember 20, 2022). Jumlah SPKLU Terbatas, Mobil Listrik Tak Bisa
Dipakai Keluar Kota? Katadata.
https://katadata.co.id/happyfajrian/ekonomi-hijau/63a1c0c8444d6/jumlah-spklu-terbatas-
mobil-listrik-tak-bisa-dipakai-keluar-kota
Shetty D. (2022). Air pollution is worsening reproductive health outcomes for women. The Fuller
Project. https://fullerproject.org/story/air-pollution-women-health/
Sidjabat, F. M., Driejana, D., & Sjafruddin, A. (2016). BASELINE BEBAN EMISI SEKTOR
TRANSPORTASI DI KORIDOR PASTEUR-CILEUNYI DAN
UJUNGBERUNG-GEDEBAGE, BANDUNG, JAWA BARAT, INDONESIA. Jurnal Tehnik
Lingkungan, 22(1), 52–62. https://doi.org/10.5614/j.tl.2016.22.1.6
Simoni, M., Baldacci, S., Maio, S., Cerrai, S., Sarno, G., & Viegi, G. (2015). Adverse effects of
outdoor pollution in the elderly. Journal of Thoracic Disease, 7(1), 34–45.
https://doi.org/10.3978/j.issn.2072-1439.2014.12.10
Subekti, R. A., Sudibyo, H., Susanti, V., Saputra, H. M., & Hartanto, A. (2014). Peluang dan
Tantangan Pengembangan Mobil Listrik Nasionalo. LIPI Press.
Wisanggeni, S. P, M. Puteri Rosalina, & Albertus Krisna. (Oktober 6, 2022). Dilema Lingkungan
Kendaraan Listrik. Kompas.id.
World Health Organization. (2021). How air pollution is destroying our health. Www.who.int.
https://www.who.int/news-room/spotlight/how-air-pollution-is-destroying-our-health
Yuniarti, Dini. (2019). Eksternalitas Lingkungan.

Kontributor
Hasna Khadijah S. L 15319089
Izzatul Husna 15319030
Nabila Fathonah 15319121
Alfiyyah Nurul Ishmah 15320094
Mikail Dhafin Aryo 15320035

Anda mungkin juga menyukai