Anda di halaman 1dari 3

IESR

Masukan IESR
untuk Presiden Joko Widodo
September 2021

Pemutakhiran komitmen nasional


Indonesia atau Nationally Determined
Contributions (NDC) 2021
Penulis:
Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon belum cukup memadai untuk
Fabby Tumiwa mencapai target Persetujuan Paris, dalam menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1.5
Direktur Eksekutif IESR
fabby@iesr.or.id
derajat celsius sejak zaman pra-industri. Berdasarkan dokumen komitmen nasional
(NDC) yang baru saja dikeluarkan di Juli 2021, target iklim Indonesia masih untuk
Lisa Wijayani menurunkan emisi 29%-41% di 2030 dan net-zero emission di 2060 atau lebih cepat
Manajer Program
Ekonomi Hijau, IESR serta masih menimbulkan banyak pertanyaan terhadap integritas skenarionya.
lisa@iesr.or.id

Melalui studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang dikeluarkan oleh
Farah Vianda
Staf Program Institute for Essential Services Reform (IESR), untuk mencapai target Perjanjian Paris
Ekonomi Hijau, IESR netral karbon pada 2050, Indonesia harus mencapai puncak emisi di sektor energi
farah@iesr.or.id
pada tahun 2030 dan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan mencapai
Ronald Julion 45%. Sektor energi sendiri harus mengurangi penurunan emisi sebesar 314 juta ton
Peneliti Muda, IESR
ronald@iesr.or.id CO2e untuk dapat mencapai target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030
sesuai dengan komitmen Indonesia pada Persetujuan Paris.

IESR memberikan beberapa masukan yang dapat digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam
menguatkan NDC melalui pengurangan emisi di sektor energi:

1. Kepastian Indonesia mencapai target net-zero


Di dalam dokumen LTS, Indonesia akan mencapai net-zero emission atau netral karbon di tahun 2060
atau sebelumnya. Namun proyeksi yang digunakan pada dokumen LTS hanya sampai pada tahun
2050. Ketidaksinambungan antara tahun akhir proyeksi yang dibuat serta target untuk mencapai
netral karbon menimbulkan pertanyaan apa yang akan dilakukan pada tahun 2051-2060? Oleh
karena itu, pemerintah perlu memperjelas skenario untuk mencapai net-zero emission dengan sisa
waktu 10 tahun yaitu dari tahun 2051 sampai dengan 2060.

2. Minimnya target bauran Energi Terbarukan (ET)


Menurut skenario LCCP, bauran ET pada sektor ketenagalistrikan hanya sebesar 43%, sedangkan
bauran batubara sebesar 38%, gas alam sebesar 10% dan bioenergy with carbon capture and storage
(BECCS) sebesar 8%. Apakah bauran ini adalah bauran energi yang optimal dan efektif secara biaya?
Berdasarkan kajian IESR berjudul Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang
memodelkan dekarbonisasi sektor energi Indonesia, dengan terus menurunnya harga energi
terbarukan khususnya teknologi modul surya dan teknologi penyimpanan energi, Indonesia akan
mampu mencapai nol emisi di sektor ketenagalistrikan (100% dari energi terbarukan) pada tahun
2045, dengan biaya pembangkitan listrik dan kebutuhan investasi yang bahkan lebih rendah
dibanding tetap mempertahankan PLTU batubara.

Masukan IESR untuk Presiden Joko Widodo terkait


pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau 1
Nationally Determined Contributions (NDC) 2021
3. Implementasi teknologi Carbon Capture, Usage, and Storage (CCS/CCUS) dan co-firing belum
efektif untuk mencapai target dekarbonisasi di 2050
Pada dokumen strategi jangka panjang rendah karbon atau long term strategy low carbon and climate
resilience (LTS-LCCR) yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
teknologi CCS/CCUS didorong untuk digunakan dalam upaya pengurangan emisi karbon di sektor
ketenagalistrikan. Padahal, PLTU dengan teknologi CCS/CCUS membutuhkan energi yang lebih
banyak (dari proses penangkapan, transportasi, dan penyimpanan) namun keandalannya serta
efektivitasnya masih dipertanyakan.

Selain itu, biaya investasi teknologi CCS/CCUS masih tinggi serta teknologi co-firing yang terintegrasi
dengan CCS/CCUS hanya mampu mengurangi sedikit emisi dari batubara. Dengan semakin
kompetitifnya harga PLTS, penggunaan teknologi CCS/CCUS jauh lebih mahal terutama dalam
mengurangi emisi GRK. Namun perlu adanya keharusan pemenuhan TKDN dalam komponen modul
surya serta peningkatan minat masyarakat untuk mengembangkan rantai pasok material modul
surya di Indonesia.

4. Kesalahan langkah dalam mengatasi intermitensi energi dengan memperpanjang


penggunaan PLTU
Tingginya intermitensi energi terbangkitkan dari pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, seperti
Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Bayu, karena variabilitas sumbernya yang dapat menyebabkan
terganggunya stabilitas sistem menjadi pembenaran bahwa pembangkit termal, khususnya PLTU,
menjadi tumpuan dalam mendorong ketersediaan listrik dan menjaga kestabilan sistem, tanpa
mempertimbangkan skenario dalam penggunaan teknologi lainnya. Asumsi ini ini tidak tepat karena
saat ini sudah banyak tersedia teknologi untuk mengatasi tantangan intermitensi ini tanpa
menghasilkan emisi, seperti pumped hydro, baterai, compressed air storage, dan sebagainya.
Teknologi-teknologi energi yang tersedia saat ini dapat digunakan untuk mencapai dekarbonisasi
2050.

5. Memprioritaskan adopsi kendaraan listrik untuk mengurangi emisi di sektor transportasi


Moda transportasi darat memiliki konsumsi energi terbesar di Indonesia. Opsi kendaraan listrik
dalam jangka panjang akan menjadi lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan penggunaan
biofuel, sehingga penggunaannya diperkirakan dapat lebih tinggi dari yang tercantum pada dokumen
LTS (sebesar 30%). Penggunaan biofuel seharusnya diprioritaskan pada moda transportasi yang sulit
dielektrifikasi seperti penerbangan. Selain itu, penggunaan biofuel harus didukung dengan ketatnya
penerapan kebijakan terkait pembukaan lahan agar tidak menimbulkan masalah baru dari sektor
kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU).

6. Kurangnya penjelasan basis dan hasil proyeksi dari model yang digunakan
Berdasarkan penjelasan pada basis proyeksi yang ditawarkan, tidak tercantum secara transparan
dasar penggunaan asumsi, baik secara teknis maupun ekonomis. Seperti halnya perbedaan nilai PDB
yang digunakan dengan KEN, alasan implementasi CCS/CCUS, serta perbedaan asumsi yang dipakai
antar skenario CPOS, TRNS, dan LCCP. Selain itu, penjelasan hasil proyeksi hanya diberikan untuk
skenario LCCP pada tahun 2050 serta tidak ada informasi lebih lanjut mengenai angka proyeksi yang
dihasilkan serta kesempatan masuknya teknologi baru. Sebagai contoh, bauran batubara yang
mencapai 38%, jumlah intensitas karbon dari pembangkit listrik yang mencapai 104 gram CO2/kWh,
serta tidak adanya penggunaan energi baru seperti hydrogen. Informasi tambahan juga tidak
disertakan terkait penggunaan biofuel yang lebih dominan dibandingkan kendaraan listrik.
Kurangnya transparansi mengenai asumsi yang digunakan akan menyulitkan akademisi, pembuat
kebijakan, atau masyarakat secara umum dalam mempelajari dokumen ini.

Masukan IESR untuk Presiden Joko Widodo terkait


pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau 2
Nationally Determined Contributions (NDC) 2021
Partisipasi Indonesia dalam aksi mitigasi perubahan iklim merupakan hal yang perlu menjadi perhatian
utama pemerintah Indonesia. Tidak hanya untuk disepakati secara global, namun komitmen terhadap
upaya meningkatkan ambisi iklim sangat bermanfaat dalam mewujudkan ketahanan ekonomi nasional dan
memitigasi risiko terjadinya pengeluaran biaya yang besar untuk membenahi masalah iklim di masa depan.
IESR mengharapkan agar Pemerintah Indonesia dapat lebih berkomitmen dalam mewujudkan target pada
Persetujuan Paris, terutama mencermati dan memperhatikan dengan lebih seksama beberapa poin
rekomendasi IESR di atas agar komitmen global dan nasional Indonesia yang tertuang pada dokumen NDC
dapat lebih baik lagi.

IESR IESR adalah think-tank di bidang energi dan lingkungan. IESR Jalan Tebet Barat Dalam VIII No. 20
mendorong transformasi menuju sistem energi berkelanjutan Jakarta Selatan 12810 | Indonesia
dengan melakukan advokasi kebijakan publik yang bertumpu pada T: +62 21 2232 3069
Institute for kajian berbasis data dan saintifik, melakukan asistensi dan F: +62 21 8317 073
Essential Services pengembangan kapasitas, serta membangun kemitraan strategis
Reform dengan aktor-aktor non-pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai