Anda di halaman 1dari 9

Rencana Kebijakan dan Tantangan dalam Just Energy Transition Partnership

Indonesia

PENDAHULUAN
Sebagai negara yang penduduknya salah satu yang terbesar di dunia, proses transisi
energi di Indonesia tidak hanya penting, namun juga harus dilakukan untuk mengurangi dampak
terhadap perubahan iklim. Dengan beralih ke energi terbarukan, kita dapat mengurangi emisi gas
rumah kaca, polusi yang dihasilkan dan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan bisa lebih
minim. Indonesia saat ini tertinggal dalam pengembangan energi terbarukan karena investasi
dinilai kurang menarik. Berdasarkan Renewable Energy Country Attractiveness Index 2018,
Indonesia, berada pada peringkat ke 38 dikalahkan Tiongkok, India, Filipina, dan Thailand.
Tujuan Indonesia yang melatarbelakangi JETP adalah: mencapai dekarbonisasi yang ambisius
dan pembangunan ekonomi yang kokoh. Komitmen ini tercermin dalam rencana pembangunan
Indonesia, 'Visi Indonesia Emas 2045', yang menguraikan lima target utama: (1) mencapai
pendapatan per kapita sejajar dengan negara maju, (2) mengurangi kemiskinan hingga hampir
nol persen sambil mengurangi ketidaksetaraan, (3) meningkatkan kepemimpinan dan pengaruh
global, (4) meningkatkan daya saing sumber daya manusia, dan (5) mengurangi intensitas emisi
gas rumah kaca menuju net-zero.
Bagi Indonesia, langkah transisi energi menjadi krusial dalam upaya mengurangi dampak
krisis iklim, mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC), dan mewujudkan
ambisi untuk membentuk perekonomian berkelanjutan dengan emisi karbon rendah. Proses
transisi ini tidak hanya secara aktif mendukung arah industrialisasi di Indonesia, tetapi juga
memutuskan keterkaitan yang telah lama ada antara pertumbuhan ekonomi dan emisi. Untuk
mencapai tujuan ini, transisi energi perlu fokus pada pengurangan emisi karbon, baik di sektor
ketenagalistrikan maupun di sektor dan industri yang saling bergantung dalam hal permintaan
energi. Melalui pertimbangan terhadap kondisi unik setiap negara, penting bagi negara-negara
untuk memimpin dan mendorong proses transisi energi ini.

RENCANA KEBIJAKAN
Pada 16 November 2022, Pemerintah Indonesia dan Kelompok Mitra Internasional
(KMI) secara resmi mengumumkan kemitraan Just Energy Transition Partnership Indonesia
(JETP Indonesia) di tengah Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, Indonesia. KMI terdiri dari
pemerintah Jepang dan Amerika Serikat sebagai pemimpin bersama, didukung oleh Kanada,
Denmark, Uni Eropa, Republik Federal Jerman, Republik Perancis, Norwegia, Republik Italia,
serta Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara. Dengan komitmen dana awal sebesar
US$20 miliar, JETP Indonesia menjadi paket pembiayaan transisi energi terbesar di dunia hingga
saat ini. Tujuannya adalah mengembangkan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif
(CIPP), suatu inisiatif yang akan dipandu oleh Sekretariat JETP. CIPP dimaksudkan sebagai
dokumen dinamis yang akan terus dievaluasi dan diperbaharui secara berkala untuk
mencerminkan perkembangan pasar terkini dan prioritas kebijakan.
Melalui Pernyataan Bersama (Joint Statement), Pemerintah Indonesia dan International
Partners Group (IPG) menyatakan komitmen mereka untuk mencapai target iklim yang inovatif
dengan mengandalkan dukungan internasional. Target ini memberikan rekomendasi yang
mendukung peta jalan transisi energi Indonesia yang ambisius, terutama dalam sektor
ketenagalistrikan. Pernyataan Bersama tersebut juga menetapkan target kondisional bersama,
sebagaimana dinyatakan dalam bagian "Intends To":
● Mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan dengan nilai absolut paling besar
290 MT CO2 pada tahun 2030 (pengurangan dari nilai baseline tahun 2030
sebesar 357 MT CO2), dan segera menguranginya dengan laju yang ambisius.
Selain itu, mencapai net zero dalam sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050,
termasuk mempercepat pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap batubara
dengan dukungan internasional.
● Mempercepat pemanfaatan energi terbarukan sehingga bauran energi terbarukan
mencapai paling sedikit 34% dari total pembangkitan listrik pada tahun 2030.
Delapan faktor pendukung kebijakan utama telah diidentifikasi sebagai hal yang penting
dalam mewujudkan ambisi transisi energi Indonesia. Kedelapan faktor pendukung tersebut
adalah:
● Memperkuat rantai pasokan energi terbarukan dalam negeri melalui reformasi Tingkat
Kandungan dalam Negeri (LCR);
● Menyesuaikan insentif dari sisi penawaran;
● Meningkatkan proses pengadaan energi terbarukan;
● Menjadikan perjanjian jual beli listrik lebih bankable;
● Memungkinkan pemensiunan penggunaan batubara secara dini dan bertahap;
● Memastikan keberlanjutan finansial PLN;
● Memperkuat Kebijakan Finansial untuk Mendukung Transisi Energi Indonesia; dan
● Dekarbonisasi captive power.

Memperkuat rantai pasokan energi terbarukan dalam negeri melalui reformasi Tingkat
Kandungan dalam Negeri (LCR)
Banyak negara telah mengadopsi kebijakan Local Content Requirement (LCR) di
sejumlah sektor dengan tujuan serupa, yaitu memberikan insentif kepada industri manufaktur
lokal. Akan tetapi, pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman internasional menunjukkan
bahwa, agar efektif, kebijakan LCR sebaiknya diterapkan secara bertahap. Pendekatan ini
memberikan kesempatan untuk membangun pasar domestik yang cukup kuat untuk mendukung
rantai pasokan lokal, sehingga dapat mendorong pertumbuhan kapasitas manufaktur dalam
negeri hingga mencapai tingkat daya saing internasional. Tahapan tersebut, yaitu:
● Menciptakan pasar dalam negeri
● Dukungan untuk manufaktur energi terbarukan
● Manufaktur yang mapan dan daya saing internasional.

Menyesuaikan insentif dari sisi penawaran


Sejak tahun 2000, produksi batubara Indonesia telah meningkat delapan kali lipat,
meningkat dari 77 megaton ke rekor tertinggi 616 megaton pada tahun 2019‒yang mana sekitar
70 hingga 80 persennya ditujukan untuk ekspor. Dalam konteks Just Energy Transition
Partnership (JETP), tantangan utama dalam kebijakan pengendalian harga adalah memberikan
dorongan kepada penggunaan batubara dibandingkan dengan opsi energi lain seperti energi
terbarukan dan gas alam. Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga batubara, energi
terbarukan membutuhkan investasi modal awal yang lebih tinggi, meskipun biaya
operasionalnya jauh lebih rendah (contohnya, dengan eksternalitas lingkungannya yang lebih
rendah). Di sisi lain, batubara sebagai komoditas yang diperdagangkan secara global bersifat
fluktuatif dan rentan terhadap lonjakan harga yang signifikan. Dengan menetapkan batasan pada
harga batubara, kebijakan ini menjadikan batubara sebagai sumber pembangkit listrik yang stabil
dan memiliki biaya yang paling rendah dari perspektif Perusahaan Listrik Negara (PLN),
meskipun tidak dari perspektif ekonomi secara keseluruhan.

Meningkatkan proses pengadaan energi terbarukan


Hingga kini, Indonesia memiliki ketersediaan energi terbarukan yang terbatas. Meskipun
potensi sumber daya energi terbarukan di Indonesia sangat besar, Perusahaan Listrik Negara
(PLN) saat ini hanya memiliki kapasitas pembangkit listrik tenaga air sekitar 5,63 GW dan
kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi sekitar 2,52 GW. Sementara itu, gabungan
kapasitas dari tenaga angin, fotovoltaik (PV), limbah menjadi energi, biomassa, dan biogas
kurang dari 0,40 GW. Akuisisi dan pemberian izin atas lahan menjadi salah satu kendala utama
dalam perluasan proyek energi terbarukan di Indonesia, karena para pengembang umumnya
diwajibkan untuk mendapatkan hak atas seluruh lahan yang diperlukan untuk lokasi pembangkit
listrik, serta jalur transmisi yang diperlukan untuk menghubungkan pembangkit listrik dengan
gardu induk terdekat. Hal ini umumnya menjadi tantangan pada proyek-proyek transmisi dengan
jarak sepanjang 20 hingga 40 kilometer, terutama pada skala besar.
Usaha yang bisa dilakukan dalam jangka pendek adalah:
● Peningkatan peran dan kapasitas PLN dan pemerintah dalam persiapan
proyek dengan cara memfasilitasi proyek melalui penyediaan lahan dan
pengukuran data energi terbarukan, termasuk pertimbangan program pengeboran
pemerintah untuk panas bumi.
● Memperbaiki proses pengadaan dengan menyiapkan template dokumen RfP
yang terstandarisasi dan dapat digunakan pada setiap pengadaan; (2) Pada tahap
RfP, melakukan penjajakan minat pasar secara lebih sistematis dan menyiapkan
pedoman rinci dan kriteria kelayakan bagi peserta lelang;
● Meningkatkan pelaksanaan pengadaan PLN dengan berinvestasi dalam
peningkatan kapasitas pengadaan bagi personel PLN dan mengambil
langkah-langkah untuk meningkatkan volume proses pengadaan sesuai dengan
target JETP.
Sedangkan solusi untuk jangka menengah adalah meningkatkan perencanaan dan operasi
sistem. Dengan harapan, nantinya akan menggaet lebih banyak investor dalam jangka waktu
tertentu dapat menciptakan tingkat persaingan yang lebih tinggi dan peningkatan kualitas
penawaran. Prospek ini juga dapat membantu mengurangi harapan tingkat pengembalian
investasi yang tinggi yang saat ini masih menjadi norma, terutama karena persepsi risiko yang
melekat dalam sektor ketenagalistrikan Indonesia.

Perjanjian Jual Beli Listrik untuk Energi Terbarukan


Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPTL) atau Power Purchase Agreement (PPA)
merupakan kesepakatan komersial antara penyedia listrik swasta (IPP atau penjual) dan pembeli
(off-taker), yang menetapkan persyaratan penjualan dan pembelian energi untuk memastikan
arus pendapatan jangka panjang dari suatu proyek. Di Indonesia, PLN berperan sebagai pembeli
dan off-taker eksklusif untuk seluruh produksi listrik yang ditujukan untuk kepentingan umum,
dengan pengecualian tertentu pada pembangkit tenaga mandiri atau di kawasan industri yang
memiliki izin. Dalam konteks pasar dengan satu off-taker, penandatanganan PPTL menjadi
prasyarat esensial untuk mendapatkan pendanaan jangka panjang dan mengembangkan proyek
IPP.
Tekanan untuk mengurangi tarif pembelian listrik telah menyebabkan kurangnya daya
tarik pada proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia, terutama mengingat risiko-risiko lain
yang telah diuraikan dalam bagian sebelumnya. Adanya Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) yang baru, yang mengatur Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan saat ini
sedang dalam pertimbangan, diharapkan dapat menetapkan kerangka kerja ketentuan standar
yang menguntungkan untuk setiap teknologi energi terbarukan dan secara keseluruhan,
memperbaiki kondisi pasar yang lebih menguntungkan.

Pemensiunan dini PLTU dan Phase-out


Untuk mencapai target dekarbonisasi yang ambisius, Indonesia harus segera menerapkan
rencana ambisius dalam bidang energi terbarukan dan mengurangi emisi gas rumah kaca secara
tepat waktu, termasuk di dalamnya menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga batubara
yang sudah beroperasi. Dibutuhkan perencanaan yang komprehensif di tingkat sektor untuk
melaksanakan pemensiunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan tujuan memastikan
transisi yang lancar. Ada dua strategi yang dapat diambil untuk mengurangi emisi dari PLTU:
pertama, dengan menghentikan operasional PLTU tertentu sesuai dengan perjanjian sebelumnya
yang dibuat dengan itikad baik dan sesuai dengan norma industri; kedua, dengan mengurangi
output pembangkitan melalui pengoperasian yang lebih fleksibel dengan mengurangi faktor
kapasitas (CF). Pemensiunan PLTU harus disertai dengan kompensasi yang adil, dan
memerlukan dukungan yang kuat dari kerangka peraturan dan hukum. Di sisi lain, untuk
mengurangi output pembangkitan, diperlukan mekanisme kompensasi untuk emisi non-energi
dan biaya retrofit.

Memastikan keberlanjutan finansial PLN


Dalam dokumen CIPP JETP, diperkirakan bahwa belanja modal yang diperlukan untuk
mengembangkan investasi dalam jaringan listrik dan pembangkit listrik di bawah JETP
diperkirakan mencapai US$220,2 miliar pada tahun 2040, dengan rata-rata US$13,0 miliar setiap
tahun. Ini merupakan perbandingan dengan program belanja modal PLN pada tahun 2022 yang
mencapai US$3,5 miliar, menunjukkan kebutuhan untuk memperluas program belanja modal
PLN hingga lebih dari lima kali lipat dari tingkat saat ini atau sekitar 2,5 kali lipat (setara dengan
US$7 miliar), yang merupakan nilai tertinggi dalam sejarah selama 10 tahun terakhir (PLN,
2023). PLN saat ini memiliki neraca dengan tingkat leverage yang tinggi, tingkat profitabilitas
yang rendah, kapasitas pembiayaan mandiri yang terbatas, dan tidak dapat mengakses pasar
modal ekuitas tanpa mandat privatisasi dari pemerintah. Kondisi ini membatasi kemampuan PLN
untuk mendanai investasi modal JETP baik secara internal maupun eksternal tanpa dukungan
fiskal dalam jumlah yang signifikan, sekaligus meningkatkan ketergantungan pada pembiayaan
konsesi untuk menjaga struktur permodalan jangka panjang yang berkelanjutan. Untuk mencapai
skenario JETP yang ambisius, PLN perlu memperoleh lebih banyak energi terbarukan secara
lebih cepat di masa mendatang.

Penguatan Kebijakan Keuangan untuk Mendukung Transisi Energi Indonesia


Dengan mempertimbangkan seberapa besar investasi yang dibutuhkan oleh JETP,
kebijakan keuangan yang lebih efektif dalam mendukung keberlanjutan menjadi sangat krusial
untuk memanfaatkan sepenuhnya potensi pasar keuangan Indonesia. Pengetahuan mengenai
isu-isu keuangan berkelanjutan dan transisi saat ini masih kurang, sehingga meskipun memiliki
potensi, volume transaksi keuangan masih terbatas. Salah satu opsi yang dapat ditempuh adalah
dengan meningkatkan kapasitas lembaga keuangan dalam keuangan yang berkelanjutan dan
terkait dengan transisi melalui kolaborasi strategis dengan mitra dan organisasi internasional
seperti GFANZ, MDB, DFI, serta donor yang dapat menyediakan keahlian, sumber daya, dan
jaringan yang berharga.

TANTANGAN
Secara teknis, penerapan JETP Indonesia menghadapi sejumlah risiko dan tantangan
terkait dengan lingkungan operasionalnya. Lingkungan operasional ini mencakup kondisi surplus
listrik di jaringan Jawa-Bali dan Sumatra-Bangka, serta dominasi PT PLN dalam monopoli dan
monopsoni di sektor ketenagalistrikan Indonesia. Selain itu, terdapat perbedaan prioritas dalam
transisi energi antara pemerintah Indonesia/PLN dengan negara-negara dalam IPG yang mungkin
tidak sejalan. Surplus listrik di jaringan Jawa-Bali dan Sumatra-Bangka, yang masih didominasi
oleh PLTU batubara, menciptakan peluang untuk melakukan pensiun dini PLTU. Namun, seperti
yang telah dijelaskan dalam risiko dan tantangan pendanaan, mendapatkan dana untuk pensiun
dini PLTU tidaklah mudah. Selain itu, dominasi monopoli dan monopsoni PLN dalam sektor
ketenagalistrikan Indonesia memiliki dampak signifikan terhadap transisi energi di Indonesia
serta mempengaruhi iklim investasi di sektor energi terbarukan.
PLN, sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk mendistribusikan
listrik di Indonesia, memiliki peran krusial dalam menjamin pelaksanaan proyek-proyek yang
diprioritaskan dalam JETP. Potensi permasalahan muncul ketika terdapat perbedaan prioritas
antara PLN dan kesepakatan yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia bersama IPG.
Perbedaan prioritas mengenai jenis energi terbarukan yang seharusnya dikembangkan di
Indonesia dapat menjadi sumber konflik. Dari satu sisi, IPG secara kuat mendorong fokus
pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia pada sumber energi variabel
seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Di sisi lain, PLN cenderung menghindari pengembangan EBT variabel karena energi yang
bersifat intermitten memerlukan dukungan dari jaringan pintar (smart grid).
Dengan mempertimbangkan kelebihan pasokan energi pada sistem Jawa-Bali dan
Sumatera hingga tahun 2029, adalah wajar jika PLN tidak tertarik untuk mengembangkan
sumber energi terbarukan di wilayah tersebut. Pemahaman terhadap keputusan PLN untuk
mengalihkan pembangunan energi terbarukan ke luar Jawa-Bali dan Sumatra dapat dimaklumi.
Meskipun demikian, investor masih tetap membidik pulau Jawa dan Sumatera karena keduanya
merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, masing-masing menyumbang 58,6%
dan 21,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara.
Kondisi kelebihan pasokan energi di Jawa-Bali dan Sumatra-Bangka juga membuka
peluang besar untuk transisi energi di Indonesia, terutama dalam menggantikan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dengan alternatif yang lebih berkelanjutan. Sejalan dengan
prioritas transisi energi yang diakui oleh pemerintah Indonesia, sebanyak 16 PLTU batubara
telah disiapkan di Jawa dan Sumatra, dengan kapasitas terpasang mencapai 5,5 GW yang siap
dipensiunkan sebelum tahun 2030. Untuk melaksanakan pensiun dini bagi 16 PLTU tersebut,
diperkirakan diperlukan pembiayaan sekitar minimal US$4,2 miliar.

KESIMPULAN
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia, menghadapi
tantangan besar dalam melakukan transisi energi. Proses ini dianggap penting untuk mengurangi
dampak perubahan iklim dengan beralih ke sumber energi terbarukan. Meskipun Indonesia saat
ini tertinggal dalam pengembangan energi terbarukan, adanya komitmen melalui Just Energy
Transition Partnership (JETP) dengan dukungan internasional, terutama dari Kelompok Mitra
Internasional (KMI), memberikan harapan untuk mewujudkan tujuan dekarbonisasi yang
ambisius dan pembangunan ekonomi yang kokoh.
Rencana kebijakan JETP Indonesia, dengan komitmen dana awal sebesar US$20 miliar,
menjadi inisiatif pembiayaan transisi energi terbesar di dunia. Fokus utama melibatkan
pengembangan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) yang dinamis dan terus
diperbarui. Target-target ambisius, seperti mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada
tahun 2030 dan net zero pada tahun 2050, serta peningkatan bauran energi terbarukan hingga
34% pada tahun 2030, menjadi landasan untuk mendorong transisi ini. Namun, terdapat beberapa
tantangan yang perlu diatasi, seperti kelebihan pasokan energi di beberapa wilayah, perbedaan
prioritas antara PLN dan IPG, serta perluasan proyek energi terbarukan yang terkendala oleh
perizinan dan akuisisi lahan. Solusi untuk mendukung transisi energi melibatkan penguatan
kebijakan finansial, penyesuaian insentif, peningkatan proses pengadaan, dan pemensiunan dini
pembangkit listrik batubara. Selain itu, keberlanjutan finansial PLN dan peningkatan kapasitas
lembaga keuangan untuk mendukung transisi juga menjadi kunci kesuksesan. Dengan segala
tantangan dan upaya yang diarahkan, Indonesia berusaha untuk mencapai tujuan ambisiusnya
dalam transisi energi sebagai langkah krusial dalam mengatasi dampak krisis iklim, mencapai
target NDC, dan membentuk perekonomian berkelanjutan dengan emisi karbon rendah.

Daftar Pustaka

Darma, S. (2019, Agustus 28). Mendorong Transisi Menuju Energi Terbarukan Demi Masa

Depan yang Berkelanjutan. Pojok Iklim. Retrieved January 9, 2024, from

http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/mendorong-transisi-menuju-energi-terbarukan-demi-

masa-depan-yang-berkelanjutan

JETP Indonesia. (2023). JETP Comprehensive Investment and Policy Plan. JETP Indonesia.

Retrieved January 10, 2024, from https://jetp-id.org/cipp

Anda mungkin juga menyukai