Anda di halaman 1dari 2

PERMASALAHAN DALAM TRANSISI MENUJU CLEAN AND AFFORDABLE ENERGY

Dunia terus bergerak menuju target energi berkelanjutan – namun belum cukup cepat. Dengan
kondisi saat ini, sekitar 660 juta orang masih kekurangan akses terhadap listrik dan hampir 2
miliar orang masih bergantung pada bahan bakar dan teknologi memasak yang menimbulkan
polusi pada tahun 2030.
Kehidupan kita sehari-hari bergantung pada energi yang andal dan terjangkau. Namun konsumsi
energi merupakan kontributor dominan terhadap perubahan iklim, yang menyumbang sekitar 60
persen dari total emisi gas rumah kaca global.
Transisi energi bukan hanya tentang perubahan pemanfaatan dan penggunaan bahan bakar fosil
ke energi terbarukan, tetapi menyangkut aspek yang sangat-sangat kompleks, mulai dari ilmu
pengetahuan dan teknologi hingga aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
“Transisi energi akan mengubah banyak hal, perubahan pekerjaan, skenario pembangunan,
orientasi bisnis dan lainnya. Karena itu, dibutuhkan strategi dan mekanisme yang tepat untuk
mengidentifikasi tantangan saat ini dan tantangan di masa ke depan, agar transisi energi rendah
karbon yang adil dan merata dapat terlaksana dengan baik,” ujar Presiden Joko Widodo dalam
pidato kunci pada S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition
Terdapat 3 Tantangan dan Permasalahan dalam transisi clean energy
1. Keterjangkauan
tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal,
berkelanjutan, dan modern. Kita harus mendorong energi bersih untuk semua, terutama
energi untuk elektrifikasi dan clean cooking. Leaving no one behind.
2. Pendanaan
proses transisi membutuhkan dana yang sangat besar. Transisi energi membutuhkan
proyek-proyek baru, artinya juga dibutuhkan investasi yang baru. Karena itu, dibutuhkan
eksplorasi mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomian, harga yang
kompetitif, dan tidak membebani masyarakat. negara yang berkomitmen terhadap
pendanaan energi bersih. Di posisi pertama di duduki oleh Italia dengan nilai komitemen
pendanaan sebesar US$ 49,08 miliar. Sedangkan Indonesia hanya berkomitmen sebesar
0,24 untuk energi bersih bersyarat. Ada juga negara yang belum berkomitmen terhadap
pendanaan energi bersih, antara lain; Arab Saudi, Rusia, Argentina, dan Brazil.
Selama pandemi Covid-19 yang mengharuskan pembatasan sosial ini, sektor
perekonomian seperti pasar, pusat perbelanjaan, dan perkantoran harus ditutup. Negara-
negara di Eropa, seperti Britania Raya dan Jerman, mulai menutup PLTU yang
dioperasikannya untuk meningkatkan penggunaan EBT. Tetapi, hal tersebut tidak terjadi
di Indonesia. Selama pandemi Covid-19 ini, Indonesia malah melanjutkan pembangunan
PLTU baru. Sementara itu, investasi di bidang EBT mengalami penurunan. Hal ini terjadi
karena Indonesia lebih berfokus dalam pemulihan ekonomi. Padahal, studi yang
dilakukan Universitas Oxford justru menunjukkan bahwa investasi dan perkembangan
sektor EBT menjadi kunci dari pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
3. Riset dan Teknologi
dalam transisi energi diperlukan peran ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif, sehingga bisa
menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru
terbarukan.

Selain itu, diperlukan persiapan berbagai kompetensi dan keahlian dari tingkat dasar
hingga perguruan tinggi, sehingga tersedia SDM (sumber daya manusia) yang unggul
untuk mendukung transisi energi
4. Berdasarkan Naskah Akademik (NA) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang EBT
terdapat beberapa permasalahan dalam melakukan pengusahaan di sektor EBT, beberapa
diantaranya adalah:Pertama, adanya ketimpangan antara sasaran kebijakan dalam
pengembangan EBT dengan tingkat kinerjanya.

Anda mungkin juga menyukai