ISI
Perubahan Dunia
Pembangunan
Ekonomi
Lingkungan Hidup
Gambar 2.1.
Visi, tujuan, strategi dan kebijakan energi nasional seperti terlihat pada
rangkaian Gambar 2.1. Ruang lingkup tersebut diawali dengan penentuan visi
dan tujuan pembangunan energi yang hendak dicapai. Penentuan itu harus
bersesuaian dengan visi dan tujuan pembangunan nasional (Makro). Dalam
menentukan sasaran dan kebijakan energi, faktor-faktor lingkungan strategik yang
dapat mempengaruhi proses pembangunan energi secara nasional maupun
internasional sangat penting untuk diperhatikan. Faktor lingkungan strategik akan
menciptakan peluang dan kendala dalam pembangunan energi nasional. Tahap
penentuan ini semakin penting artinya bila dikaitkan dengan berbagai perubahan
yang terjadi di dunia. Kecenderungan berubahnya berbagai faktor tersebut tanpa
diikuti penyesuaian kebijakan akan mengakibatkan tidak efektifnya kebijakan
yang hendak diterapkan. Sehingga di sini terlihat pentingnya hubungan antara
penentuan visi dan tujuan pembangunan energi dengan perubahan lingkungan
strategik yang sedang berlangsung. Setelah kebijakan energi terbentuk,
berdasarkan berbagai analisa terhadap perubahan faktor yang mempengaruhi,
tahap berikutnya adalah merumuskan strategi pembangunan energi. Dalam hal ini
patut disadari bahwa pembangunan energi merupakan bagian yang integral
dengan pembangunan nasional. Karena itu strategi pembangunan energi harus
sejalan dengan strategi pembangunan nasional.
Tujuan pembangunan energi perlu dijabarkan lebih lanjut dengan
membentuk kebijakan energi. Kebijakan energi memberi tekanan pada upaya
bagaimana mencapai sasaran pembangunan dengan peluang dan kendala yang
ada. Secara umum terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan
pembangunan energi Pertama, perkembangan lingkungan strategik seperti
perubahan situasi internasional di bidang energi, pembangunan ekonomi dan
energi nasional serta lingkungan hidup. Kedua, kebijakan energi yang sedang
dilakukan. Ketiga, nilai-nilai instrumental yang tercermin dalam visi dan tujuan
pembangunan energi nasional. Formulasi kebijakan energi mencakup berbagai
kegiatan yang sangat luas. Sifatnya terkait erat dengan manajemen penawaran-
permintaan energi (kebijakan inti) dan industri energi (kebijakan umum).
Sementara kebijakan inti dibagi menjadi dua yaitu Kebijakan inti sisi
penawaran dan kebijakan inti sisi permintaan. Kebijakan inti sisi penawaran
berhubungan erat dengan kelangsungan penyediaan energi primer pada bagian
hulu (upstream) dan energi sekunder pada bagian hilir (dounstream). Termasuk
dalam kebijakan ini adalah kegiatan eksplorasi (energi primer) eksploitasi (energi
primer, prosesing (energi sekunder), dan ekspor impor energi (energi primer dan
sekunder). Sementara kebijakan inti sisi permintaan berhubungan erat dengan
permintaan energi primer dan sekunder konsumen akhir. Termasuk di sini
kebijakan dalam kegiatan diversifikasi (energi primer dan sekunder konservasi
energi dan indeksasi (energi sekunder).
Tabel 2.1
Kebijakan Sisi Penawaran
1. Intensifikasi dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi
2. Optimalisasi dengan memproduksi energi pada tingkat ekstraksi optimal
3. Prosesing untuk memproduksi energi sekunder
4. Konservasi untuk kontinuitas penawaran dengan cara hemat energi
sehingga dapat digunakan untuk generasi berikutnya
5. Impor (ekspor) untuk penerimaan devisa dengan melakukan impor
(ekspor) energy
Kebijakan Sisi Permintaan
1. Diversifikasi untuk menganekaragamkan pemakaian energi dan tidak
tergantung pada jenis energi tertentu
2. Konservasi untuk menghemat pemakaian energi dengan tetap
mempertahankan output semula
3. Indeksasi jenis energi tertentu untuk jenis pemakaian tertentu
Kebijakan Sisi Permintaan Penawaran
1. Mekanisme pasar untuk mewujudkan keseimbangan produsen dan
konsumen dalam menyediakan dan memakai energi (Instrumen yang
ampuh dengan penetapan harga keseimbangan harga efisien)
2. Lingkungan hidup untuk mengurangi dampak negatif akibat produksi dan
konsumsi energy
Indeksasi energi adalah usaha memanfaatkan jenis energi ter tentu untuk
pemakaian tertentu. Kebijakan tersebut dikembangkan untuk menjaga jenis energi
tertentu tidak digunakan untuk banyak pemakaian. Kebijakan sisi permintaan ini
hampir mirip dengan kebijaksanaan diversifikasi energi, namun instrumen yang
dipakai berbeda. Indeksasi lebih banyak menggunakan instrumen kebijakan
nonekonomi seperti peraturan perundang-undangan dengan sanksi hukum yang
jelas.
Ada tiga instrumen utama yang dapat dipakai untuk mencapai keberhasilan
kebijakan energi, yaitu instrumen kebijakan yang terkait dengan penetapan harga,
instrumen yang tidak terkait dengan penetapan harga dan nonharga, serta
instrumen konservasi energy.
Ketiga instrumen tidak ada yang mutlak. Penerapan ketiganya tergantung banyak
pertimbangan. Kombinasi ketiganya dalam praktik barangkali yang terbaik.
Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa setiap negara mempunyai kombinasi
tersendiri tergantung kondisi spesifik negara bersangkutan.
Untuk itu perlu ada konsep perencanaan energi terpadu yang disusun untuk
mengatasi hal-hal tersebut. Secara sederhana perencanaan energi terpadu dapat
dijelaskan sebagai analisa terhadap berbagai masalah energi secara dalam
kesatuan kebijaksanaan. Dengan demikian dapat dihasilkan solusi energi nasional
yang optimal dalam jangka panjang.
1. Kebijakan fiskal yang terutama adalah pajak (T) dan anggaran belanja
pemerintah (G)
2. Kebijakan moneter yang terutama adalah kebijaksanaan suku bunga (i) dan
jumlah uang beredar (M)
Besarnya suku bunga (i) akan mempengaruhi iklim investasi. Hal demikian
juga terjadi dalam sektor energi. Perusahaan memerlukan tingkat
pengembalian modal yang cukup tinggi dalam pengusahaan energi. Tingkat
pengembalian modal itu ditunjukkan dengan besarnya Internal Rate of
Retum (IRR) yang diminta perusahaan energi. IRR yang tinggi diperlukan
untuk membayar kembali suku bunga pinjaman (i) dan pengusahaan energi
yang mempunyai risiko cukup tinggi. Risiko yang disertai penggunaan
padat modal memerlukan marjin (spread) cukup besar antara suku bunga
pinjaman dengan IRR. Jika suku bunga pinjaman meningkat, marjin dengan
IRR akan mengecil sehingga risiko proyek meningkat. Karena itu
pengusahaan energi memerlukan tingkat suku bunga yang stabil dan wajar
sehingga perusahaan mampu mengembangkan dan memanfaatkan energi
dengan keuntungan yang wajar.
Konsumsi energi negara industri dari tahun ke tahun terlihat cukup tinggi.
Persediaan domestik ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan energi yang
terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka harus melakukan
impor. Kebijakan impor terutama tidak tergantung pada satu negara pengekspor
saja. Impor mereka bahan mentah, sehingga industri hilir di negara itu dapat
berkembang dan mendapatkan nilai tambah. Dengan adanya kebijakan
diversifikasi impor, dapat mengendalikan harga dan ketergantungan energi dari
satu sumber. Amerika contoh sebuah negara yang tidak menggantungkan
kebutuhan minyaknya hanya da negara anggota OPEC Amerika juga melakukan
impor dari negara non-OPEC. Ketergantungan ekonomi negara- negara Amerika
Selatan dan ketergantungan keamanan negara-negara Timur Tengah merupakan
nilai tawar yang dimiliki Amerika Serikat untuk jaminan persediaan minyak dari
kedua kawasan tersebut.
Peningkatan konsumsi energi final per sektor selalu terjadi setiap tahun pada
periode 20002014, kecuali pada tahun 2005 dan 2006. Ratarata pertumbuhan
tahunan selama periode 2000-2014 adalah 3,99% per tahun dari 555,88 juta SBM
pada tahun 2000 menjadi 961,39 juta SBM pada tahun 2014.. Data ini didapatkan
dari Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia (HEESI) tahun
2015 yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(KESDM). Total konsumsi energi final per sector yang dibahas disini tidak
memperhitungkan konsumsi produk petroleum lainnya. Perhitungan konsumsi
energy final mencakup sektor industri, rumah tangga, komersial, transportasi, dan
lainnya. Sektor lainnya meliputi pertanian, konstruksi, dan pertambangan,
sementara sektor komersial meliputi hotel, restoran, rumah sakit, super market,
gedung perkantoran, dll.
Devisa ekspor Indonesia selama kurun waktu dua puluh tahun silam
didominasi hasil ekspor minyak dan gas bumi. Karena per- mintaan domestik
meningkat pesat dan keperluan mendapatkan devisa, tingkat pengurasan sumber
daya energi terutama minyak dan gas bumi dilakukan dengan sangat tinggi. Itu
menggambarkan kebijakan yang hanya mengarah pada kegiatan pengurasan
semaksimal mungkin dengan mengabaikan prinsip pembangunan yang
berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan seharusnya perlu memperhatikan
keseimbangan pengurasan cadangan minyak dan gas bumi dengan tersedianya
cadangan energi yang lain Kemampuan diversifikasi ekonomi dengan demikian
tidak lagi tergantung pada minyak dan gas bumi.
3.1 Kesimpulan