Anda di halaman 1dari 27

BAB II

ISI

2.1 Pengertian Ekonomi Energi dan Kebijakan Energi


Ekonomi energi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
bagaimana individu atau kelompok individu dalam masyarakat, memilih,
memutuskan, memanfaatkan atau mengalokasikan sumber daya yang langka
secara efisien dan efektif sesuai dengan berbagai alternatif pemakaian dalam
produksi komoditas dan distibusi untuk konsumsi masa kini/sekarang atau masa
yang akan datang.
Sementara kebijakan energi adalah suatu ketentuan dalam menggunakan
energi seefisien dan seoptimal mungkin yang di dalamnya terdapat usaha
penghematan energi. Kebijakan energi yang dirumuskan oleh Pemerintah
digunakan sebagai aturan main bagi pihak-pihak yang terlibat dalam industri
energi.

2.2 Energi, Pembangunan Nasional, dan Pilihan Kebijakan


Energi merupakan sumber daya yang penting bagi pembangunan nasional.
Karena itu tingkat konsumsi energi dapat dipandang sebagai salah satu ukuran
keberhasilan pembangunan suatu negara. Tingkat konsumsi energi biasanya
ditekankan pada energi komersial yang mempunyai peran penting dalam sektor
industri, pertanian, dan jasa. Tolak ukur efisiensi penggunaan energi memang
masih dapat diperdebatkan, tetapi secara umum diterima bahwa tingkat konsumsi
akhir energi per unit Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi merupakan
indikator tingkat pembangunan nasional. Parameter yang umumnya dipakai
adalah konsumsi energi per kapita. Konsumsi ini dapat mencerminkan tingkat
pembangunan dan struktur ekonomi, khususnya industri suatu negara.
Dalam konteks tersebut Asia Pasifik termasuk kawasan yang sangat
heterogen. Kawasan ini "memiliki" Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru,
dan Jepang, negara-negara maju yang memiliki basis industri kuat dengan tingkat
konsumsi energi yang juga tinggi. Brunei, Indonesia, Australia, dan Malaysia
masuk dalam kelompok negara-negara berkembang di kawasan itu sebagai net
eksportir energi. Sisanya merupakan negara berkembang pengimpor energi
termasuk kelompok Negara Industri Baru (NIB) terdiri dari Hongkong, Taiwan,
Korea Selatan, dan Singapura. Negara-negara lain di kawasan itu juga mempunyai
perbedaan mendasar dalam struktur ekonomi dan politik.
Dengan pertimbangan prioritas pembangunan nasional maka dapat
ditentukan berbagai pilihan kebijakan energi sebagai berikut,
a. Mengurangi ketergantungan minyak bumi dengan mengurangi impor,
melakukan perubahan ke arah teknologi non minyak bumi, dan
mengurangi permintaan minyak bumi.

b. Mengganti minyak bumi dengan batubara lewat promosi pencarian


batubara atau menu teknologi kereta api diesel dengan teknologi
mengembangkan penggunaan tenaga nuklir kereta api listrik.

c. Secara lebih hati-hati (prudent dengan mendorong penelitian teknologi


fusi, meningkatkan faktor keselamatan, dan memperkuat perlindungan
terhadap lingkungan.

d. Memperluas penggunaan sumber daya energi tradisional seperti mengganti


bahan bakar komersial minyak tanah dengan kayu bakar dan biomassa.

e. Mempercepat penelitian dan pengembangan teknologi energi non


konvensional seperti tenaga matahari langsung, angin, pembangkit listrik
tenaga air mini, dan OTEC.

f. Mengintensifkan usaha energi dengan menin efisiensi konversi perangkat


pengguna akhir seperti kompor untuk memasak.

g. Mengidentifikasi teknologi energi tepat guna dan menengah, serta


mengganti energi hemat dengan faktor produksi lain seperti tenaga kerja.

h. Mengubah gaya hidup menjadi lebih hemat energi dengan


mengembangkan pendidikan konsumen, motivasi sosial politik, dan
perubahan teknologi.

i. Mengontrol tingkat pertumbuhan penduduk khususnya negara-negara


berkembang yang miskin dengan menyediakan dan insentif.
j. Menyusun perencanaan energi secara sistematis dengan memilih
perangkat analisa yang terbaik dan tepat, memperbaiki kualitas data, dan
merampingkan aturan kelembagaan.

Seberapa jauh pilihan tersebut tercermin dalam kebijakan energi nasional


sangat tergantung pada keadaan energi, situasi ekonomi, dan kepentingan sosial-
politik suatu negara. Tidak ada kombinasi yang terbaik. Setiap negara perlu
mempertimbangkan sendiri langkah kebijakan yang paling menguntungkan dalam
jangka panjang.
Kebijakan yang ada memang sering bertolak belakang bahkan bertentangan
dengan berbagai kepentingan. Konflik kepentingan kerap terjadi dan sulit
dipertemukan, misalnya, dalam pengembangan kebijaksanaan kelistrikan.
Penyediaan listrik perdesaan ditempuh dengan memperpanjang transmisi listrik
yang sudah tersedia ke timbang mempromosikan biomassa untuk pembangkit
listrik setempat dengan harga lebih mahal. Di beberapa negara, pembangkitan
listrik lebih banyak menggunakan minyak bumi dengan harga domestik relatif
lebih murah daripada energi alternatif lainnya meskipun mereka memiliki sumber
energi indigeneous Pengem bangan berbagai sumber daya energi berjalan tidak
seimbang seperti contoh Indonesia, pengembangan batubara di negeri ini terasa
tertinggal karena prioritas lebih ditujukan pada pengembangan minyak bumi.
Dengan masuknya faktor lingkungan hidup dalam perumusan kebijakan energi,
maka pertimbangan keuntungan bersih bagi produsen dan konsumen perlu
diprioritaskan. Dengan demikian pengembangan energi bersih, seperti energi baru
dan yang dapat diperbarui, mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan
energi. Kenyataan di lapangan saat ini menunjukkan pengembangan energi fosil
masih lebih dominan. Pengembangan kebijakan energi nasional harus dapat
memberikan keuntungan bersih (net benefit) semaksimal mungkin bagi
kesejahteraan rakyat dengan mengikutsertakan semua aspek kehidupan nasional.
2.3 Formulasi Kebijakan Energi Nasional

Perubahan Dunia

Visi Tujuan Sasaran Kebijakan

Pembangunan
Ekonomi

Lingkungan Hidup

Gambar 2.1.

Visi, tujuan, strategi dan kebijakan energi nasional seperti terlihat pada
rangkaian Gambar 2.1. Ruang lingkup tersebut diawali dengan penentuan visi
dan tujuan pembangunan energi yang hendak dicapai. Penentuan itu harus
bersesuaian dengan visi dan tujuan pembangunan nasional (Makro). Dalam
menentukan sasaran dan kebijakan energi, faktor-faktor lingkungan strategik yang
dapat mempengaruhi proses pembangunan energi secara nasional maupun
internasional sangat penting untuk diperhatikan. Faktor lingkungan strategik akan
menciptakan peluang dan kendala dalam pembangunan energi nasional. Tahap
penentuan ini semakin penting artinya bila dikaitkan dengan berbagai perubahan
yang terjadi di dunia. Kecenderungan berubahnya berbagai faktor tersebut tanpa
diikuti penyesuaian kebijakan akan mengakibatkan tidak efektifnya kebijakan
yang hendak diterapkan. Sehingga di sini terlihat pentingnya hubungan antara
penentuan visi dan tujuan pembangunan energi dengan perubahan lingkungan
strategik yang sedang berlangsung. Setelah kebijakan energi terbentuk,
berdasarkan berbagai analisa terhadap perubahan faktor yang mempengaruhi,
tahap berikutnya adalah merumuskan strategi pembangunan energi. Dalam hal ini
patut disadari bahwa pembangunan energi merupakan bagian yang integral
dengan pembangunan nasional. Karena itu strategi pembangunan energi harus
sejalan dengan strategi pembangunan nasional.
Tujuan pembangunan energi perlu dijabarkan lebih lanjut dengan
membentuk kebijakan energi. Kebijakan energi memberi tekanan pada upaya
bagaimana mencapai sasaran pembangunan dengan peluang dan kendala yang
ada. Secara umum terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan
pembangunan energi Pertama, perkembangan lingkungan strategik seperti
perubahan situasi internasional di bidang energi, pembangunan ekonomi dan
energi nasional serta lingkungan hidup. Kedua, kebijakan energi yang sedang
dilakukan. Ketiga, nilai-nilai instrumental yang tercermin dalam visi dan tujuan
pembangunan energi nasional. Formulasi kebijakan energi mencakup berbagai
kegiatan yang sangat luas. Sifatnya terkait erat dengan manajemen penawaran-
permintaan energi (kebijakan inti) dan industri energi (kebijakan umum).

Kebijakan umum sifatnya sangat luas karena mencakup kebijakan yang


diperlukan untuk mendorong perkembangan industri energi, sementara kebijakan
inti terkait erat dengan manajemen penawaran dan permintaan. Beberapa
kebijakan umum yang penting di antaranya adalah kebijakan insentif, standarisasi
dan sertifikasi, pengembangan infrastruktur, pengalihan teknologi, peningkatan
sumber daya manusia (SDM), dan sebagainya.

a. Kebijakan insentif dan Kebijakan disinsentif

Kebijakan insentif biasanya ditujukan untuk merangsang kegiatan


industri energi. Kegiatan industri energi tidak terbatas pada kegiatan inti
energi seperti eksplorasi, eksploitasi, proses, distribusi dan pemasaran,
tetapi juga mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke
belakang (backward linkage). Kegiatan ini tidak hanya didorong untuk
sarana dan prasarana kegiatan industri energi, tetapi juga digunakan untuk
meningkatkan nilai tambah pembangunan nasional. Kebijakan dapat
berupa insentif ekonomi atau nonekonomi berupa peraturan perundang-
undangan dan anjuran. Salah satu bentuk insentif ekonomi adalah
penerapan keringanan pajak. Hal ini dimaksudkan agar industri energi
nasional dapat bersaing di pasar dalam negeri dan internasional. Tujuan
akhirnya adalah mewujudkan industri energi nasional yang tangguh.
Kebijakan disinsentif digunakan untuk menghambat atau membatasi
pengembangan industri energi. Penerapan biasanya dilakukan setelah
melalui berbagai pertimbangan tertentu. Kebijakan disinsentif terutama
diberikan pada jenis jenis energi yang tidak disarankan untuk
dikembangkan atau dimanfaatkan lebih jauh karena alasan tertentu Suatu
negara yang memiliki cadangan minyak bumi yang terbatas dapat saja
menerapkan disinsentif untuk pemakai minyak bumi dan memberi insentif
bagi pemakaian energi alternatif lain.

b. Kebijakan standarisasi dan sertifikasi

Kebijakan standarisasi dan sertifikasi terutama untuk mendukung


penggunaan faktor produksi yang memenuhi kualifikasi tertentu seperti
pemilihan teknologi, sehingga terwujud industri energi yang tangguh.
Tujuan diterapkannya kebijakan ini adalah untuk mewujudkan jaminan
kualitas barang dan jasa. Dengan penerapan standarisasi, kegiatan
perekonomian diharapkan dapat lebih efisien Dengan standar yang sama
berarti keterpaduan berbagai sektor perekonomian yang saling
berhubungan dapat ditingkatkan. Pihak konsumen pun akan menikmati
manfaatnya. Konsumen mendapat kepastian barang yang dikonsumsi telah
memenuhi kualitas standar tertentu. Standarisasi itu sendiri pada akhirnya
diarahkan pada penetapan standar yang sesuai dengan sistem manajemen
mutu dan lingkungan. Standar yang diberlakukan umumnya mengacu pada
perumusan dengan skala internasional. Kegiatan standarisasi juga tidak
dapat dipisahkan dengan kegiatan akreditasi dan sertifikasi. Sertifikasi
terutama berfungsi sebagai pengakuan dalam pasar energi internasional.
Sertifikasi juga memberikan jaminan atas kualitas per dagangan barang
dan jasa serta alat proteksi terhadap masuknya barang dan jasa yang tidak
memenuhi standar. Kegiatan sertifikasi memerlukan dukungan sejumlah
institusi yang mengeluarkan sertifikasi.

c. Kebijakan pengembangan infrastruktur

Kebijakan pengembangan infrastruktur terutama untuk mendukung


pengembangan dan pemanfaatan energi dari lokasi cadangan sampai
konsumen akhir. Lokasi cadangan energi sering ditemukan di daerah yang
jauh dari kota, di tengah hutan, di pegunungan, dan tempat lain yang sulit
dijangkau. Karena itu produsen energi perlu mengembangka infrastruktur
di sekitar lokasi cadangan energi untuk kepentingan operasi produksi dan
jaringan transportasi. Pengembangan infrastruktur akan memudahkan
energi primer untuk dibawa ke lokasi unit proses kilang atau terminal
ekspor. Kegiatan yang sebenarnya merupakan kepentingan langsung pihak
produsen energi itu secara tidak langsung memberi dampak positif bagi
pembangunan daerah. Dengan demikian kebijakan pengembangan
infrastruktur energi harus dapat sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah
dalam masalah pengembangan daerah. Dalam hal itu produsen energi
perlu mendapatkan insentif.

d. Kebijakan pengalihan teknologi

Kebijakan pengalihan teknologi (transfer of technology) terutama


ditujukan meningkatkan kemampuan nasional di bidang penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi energi. Tujuannya adalah mengembangkan
industri yang berkait dengan jasa dan teknologi energi. Sebagaimana
diketahui, salah satu ciri industri energi adalah penggunaan teknologi
tinggi. Teknologi itu biasanya dimiliki para investor energi. Sebagian
besar investor asing itu mempunyai modal besar. Teknologi yang dimiliki
mereka dapat dipakai dalam pengembangan energi. Kehadiran mereka
memang untuk tujuan pengusahaan energi, namun mereka perlu didorong
melakukan alih teknologi untuk meningkatkan kemampuan nasional.

e. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia

Kebijakan pengembangan sumber daya manusia terutama bertujuan


meningkatkan kualitas SDM yang ada. Kualitas SDM yang tinggi amat
diperlukan agar industri energi dapat berkembang. Industri energi domesti
pun dapat tumbuh dan mampu bersaing di pasar internasional. Kebijakan
demikian perlu terus-menerus dila mengingat perkembangan pesat
teknologi melalui lembaga pen didikan dan pelatihan di dalam maupun
luar negeri atau pusat pengkajian dan pengembangan industri energi
internasional serta industri terkait.

Sementara kebijakan inti dibagi menjadi dua yaitu Kebijakan inti sisi
penawaran dan kebijakan inti sisi permintaan. Kebijakan inti sisi penawaran
berhubungan erat dengan kelangsungan penyediaan energi primer pada bagian
hulu (upstream) dan energi sekunder pada bagian hilir (dounstream). Termasuk
dalam kebijakan ini adalah kegiatan eksplorasi (energi primer) eksploitasi (energi
primer, prosesing (energi sekunder), dan ekspor impor energi (energi primer dan
sekunder). Sementara kebijakan inti sisi permintaan berhubungan erat dengan
permintaan energi primer dan sekunder konsumen akhir. Termasuk di sini
kebijakan dalam kegiatan diversifikasi (energi primer dan sekunder konservasi
energi dan indeksasi (energi sekunder).

Di samping itu ada pula kebijakan yang secara langsung mempengaruhi


kegiatan sisi penawaran dan sisi permintaan, yaitu kebijakan yang terkait dengan
pembentukan mekanisme pasar (energi primer dan sekunder) dan kebijakan
pengaturan lingkungan hidup energi primer dan sekunder). Tabel (2.2) memuat
berbagai kebijakan inti energi dari sisi penawaran dan sisi permintaan.

Tabel 2.1
Kebijakan Sisi Penawaran
1. Intensifikasi dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi
2. Optimalisasi dengan memproduksi energi pada tingkat ekstraksi optimal
3. Prosesing untuk memproduksi energi sekunder
4. Konservasi untuk kontinuitas penawaran dengan cara hemat energi
sehingga dapat digunakan untuk generasi berikutnya
5. Impor (ekspor) untuk penerimaan devisa dengan melakukan impor
(ekspor) energy
Kebijakan Sisi Permintaan
1. Diversifikasi untuk menganekaragamkan pemakaian energi dan tidak
tergantung pada jenis energi tertentu
2. Konservasi untuk menghemat pemakaian energi dengan tetap
mempertahankan output semula
3. Indeksasi jenis energi tertentu untuk jenis pemakaian tertentu
Kebijakan Sisi Permintaan Penawaran
1. Mekanisme pasar untuk mewujudkan keseimbangan produsen dan
konsumen dalam menyediakan dan memakai energi (Instrumen yang
ampuh dengan penetapan harga keseimbangan harga efisien)
2. Lingkungan hidup untuk mengurangi dampak negatif akibat produksi dan
konsumsi energy

Kebijakan Inti Sisi Penawaran

Konservasi energi adalah usaha memelihara kelestarian sumber daya


energi melalui pengembangannya secara bijaksana. Konservasi dari sisi
penawaran dilaksanakan lewat peningkatan efisiensi produksi sumber daya energi.
Peningkatan konservasi di bagian hulu dilakukan dengan jalan
mengoptimalisasikan produksi sumber daya energi secara bijaksana. Hal ini
dilakukan untuk kepentingan masa kini dan masa mendatang dengan
memperhitungkan efektifitas penambangan serta prosesing sumber energi.
Kebijakan menyangkut kegiatan konservasi di sini diupayakan sedemikian rupa
agar tercipta keseimbangan kepentingan antara produsen yang ingin mendapatkan
keuntungan maksimal dengan publik yang meng harapkan cadangan energi dapat
dimanfaatkan demi kepentingan generasi akan datang.

Negara pengimpor energi dalam upaya memenuhi kebutuhan energi


domestik jelas memerlukan kebijakan tersendiri. Kegiatan impor dilakukan untuk
menghindari ketergantungan energi hanya pada satu negara produse energi.
Kebijakan impor dapat dikaitkan dengan sistem pajak atau tarif. Kedua sistem
dapat dipakai untuk mengontrol aliran impor energi. Sebaliknya dapat pula terjadi
dengan kegiatan ekspor energi negara produsen.

Kebijakan Inti Sisi Permintaan

Konservasi energi adalah usaha memelihara kelestarian sumber energi lewat


penggunaannya secara arif dan bijaksana. Prinsip konservasi pada dasarnya adalah
penghematan pemakaian sumber daya energi tanpa harus mengurangi output yang
dihasilkan Konservasi energi diterapkan pada seluruh tahap pemanfaatan mulai
dari sisi penawaran sampai sisi permintaan. Kebijakan meningkatkan kegiatan
konservasi hilir dilakukan melalui penerapan prinsip konservasi dan manajemen
sisi permintaan (demand side management), penggunaan peralatan dan teknologi
hemat, peraturan, serta penetapan standar. Selain itu harus juga terus
dikembangkan penyuluhan kepada masyarakat tentang budaya hemat energi
sehingga efisiensi penggunaan energi dapat ditingkatkan.

Indeksasi energi adalah usaha memanfaatkan jenis energi ter tentu untuk
pemakaian tertentu. Kebijakan tersebut dikembangkan untuk menjaga jenis energi
tertentu tidak digunakan untuk banyak pemakaian. Kebijakan sisi permintaan ini
hampir mirip dengan kebijaksanaan diversifikasi energi, namun instrumen yang
dipakai berbeda. Indeksasi lebih banyak menggunakan instrumen kebijakan
nonekonomi seperti peraturan perundang-undangan dengan sanksi hukum yang
jelas.

Kebijakan Inti Sisi Penawaran-Permintaan

Harga energi yang berlaku perlu mengikuti nilai ekonomi yang


sesungguhnya dan sesuai dengan mekanisme pasar (permintaan dan penawaran).
Namun penetapan harga yang sesuai dengan mekanisme pasar harus
memperhatikan aspek-aspek optimalisasi pemanfaatan sumber daya energi dan
pemakaian energi, peningkatan daya saing ekonomi, perlindungan konsumen,
serta pemerataan. Harga energi sebagian besar negara berkembang umumnya
masih di bawah harga ekonomi. Hal tersebut adalah wajar karena penerapan harga
dikendalikan oleh pemerintah yang memperhatikan daya beli konsumen akhir.
Penetapan harga juga masih di bawah kendali pemerintah. Kebijaksanaan
pemerintah menyangkut penerapan harga diarahkan untuk meningkatkan efisiensi
pemanfaatan dan pemakaian energi. Beberapa negara saat ini bahkan
memasukkan premi pengurasan dan biaya eksternal dalam penetapan harga energi
mereka.

Kesadaran masyarakat dunia dalam soal lingkungan hidup terlihat semakin


meningkat. Isu lingkungan hidup pun menjadi titik sentral dalam formulasi
kebijakan inti energi. Pembangunan energi dilaksanakan untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berwawasan
lingkungan. Kebijakan ini sebaiknya ditempuh supaya kerusakan dan degradasi
ekosistem dapat dikurangi. Penerapan kebijaksanaan yang berkaitan dengan
produksi, transportasi, dan konsumsi energi itu akan mengurangi dampak negatif
pada aras lokal, regional maup global. Seluruh aspek lingkungan perlu
dilaksanakan dalam tahapan pembangunan energi mulai dari eksplorasi sampai
pemanfaatan akhir. Tahap eksplorasi dan eksploitasi harus selalu
mengikutsertakan usaha reklamasi lingkungan dengan menekan seminimal
mungkin kerusakan keanekaragaman hayati. Sedangkan dalam tahap peman
faatan akhir, aspek lingkungan diikutsertakan melalui pemanfaatan energi dan
teknologi bersih lingkungan.

2.4 Manajemen Sisi Permintaan dan Penawaran

Ada tiga instrumen utama yang dapat dipakai untuk mencapai keberhasilan
kebijakan energi, yaitu instrumen kebijakan yang terkait dengan penetapan harga,
instrumen yang tidak terkait dengan penetapan harga dan nonharga, serta
instrumen konservasi energy.

a. Instrumen kebijakan yang terkait dengan penetapan harga

Instrumen kebijakan yang terkait dengan penetapan harga untuk


sementara masih dianggap ampuh dalam mengendalikan penawaran dan
permintaan. penetapan harga memang dapat mem pengaruhi penawaran
dan tingkat permintaan energi. Harga energi dapat insentif bagi kegiatan
eksplorasi, dan Namun harga energi dapat juga merupakan disinsentif.
Perbedaan harga berbagai jenis energi dapat mendorong kegiatan
diversifikasi.

b. instrumen yang tidak berkait dengan harga

instrumen yang tidak berkait dengan harga tetapi mungkin lebih


efektif dibanding- kan dengan instrumen harga. Instrumen yang tidak
terkait dengan harga dan nonharga banyak ditetapkan dalam bentuk
peraturan atau perundang-undangan. Rambu-rambu aturan main itu
menjadi penuntun yang jelas bagi sisi penawaran dan permintaan.
Contohnya pemberian fasilitas khusus bebas pajak dan peraturan
memasukkan barang modal yang terkait dengan proyek energi.

c. Instrumen ke bijakan konservasi


Konservasi energi adalah usaha memelihara kelestarian sumber
energi lewat penggunaannya secara arif dan bijaksana. Prinsip konservasi
pada dasarnya adalah penghematan pemakaian sumber daya energi tanpa
harus mengurangi output yang dihasilkan. Konservasi energi diterapkan
pada seluruh tahap pemanfaatan mulai dari sisi penawaran sampai sisi
permintaan.

Ketiga instrumen tidak ada yang mutlak. Penerapan ketiganya tergantung banyak
pertimbangan. Kombinasi ketiganya dalam praktik barangkali yang terbaik.
Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa setiap negara mempunyai kombinasi
tersendiri tergantung kondisi spesifik negara bersangkutan.

Manajemen energi dapat diartikan sebagai upaya mengimplemen- tasikan


suatu rencana energi tertentu. Misalnya, upaya memenuhi permintaan energi
berdasarkan alokasi sumber energi yang tersedia. Untuk itu perlu ditetapkan
instrumen-instrumen kebijakan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan dari
sisi penawaran maupun permintaan. Manajemen energi pada sisi penawaran
banyak diartikan sebagai keputusan untuk melakukan investasi pengembangan
sumber daya energi Instrumen kebijakan yang tidak berkaitan dengan harga pasti
akan mempengaruhi tingkat pengembalian investasi. Konservasi dimulai sejak
tahap sampai tahap pengawasan Instrumen kebijakan konservasi meliputi audit
energi dan teknis serta insentif untuk investasi yang meningkatkan efisiensi
energi. Manajemen energi pada sisi penawaran juga memberi dampak pada
perencanaan yang terkait dengan industri energi. Dampaknya terlihat jelas dalam
perencanaan tenaga kerja dan koordinasi dengan Sebagai contoh, transportasi
batubara encana sektor lainn perlu memastikan kapasitas angkut untuk instalasi
pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar batubara.
Manajemen energi pada sisi permintaan diartikan sebagai penerapan
tingkat harga energi sesuai dengan biaya marjinal jangka panjang (LRMC)
ditambah biaya eksternalitas dan premi pengurasan. Konsepnya diilustrasikan
secara rinci dalam model harga yang dapat digunakan untuk membedakan
efisiensi teknis dan ekonomi serta antara manajemen energi dan penghematan
energi. Instrumen kebijakan yang tidak berkaitan dengan harga mencakup
instrumen kebijakan nonharga seperti peraturan, himbauan, dan konservasi.
Konservasi dibahas berdasarkan jenis pengguna utama transportasi, gedung, dan
industri. Berbagai bentuk konservasi dapat dikelompokkan dalam dua kategori.
Pertama, peningkatan efisiensi perangkat dan peralatan para pengguna energi
(ketel uap, kompor mobil). Untuk itu dibutuhkan biaya investasi tambahan untuk
peralatan baru (fixed cost) yang dalam jang panjang mengurangi biaya produksi
(variable cost). Kedua, perubahan ke arah bentuk energi akhir (sekunder) yang
lebih murah atau tersedia dengan mudah. Memang ada beberapa argumen
berkenaan dengan konservasi berbagai jenis energi. Menghemat energi adalah
sesuatu hal langka ketimbang penghematan energi secara fisik.

2.5 Keterkaitan Kebijakan Energi dengan Perencanaan Energi

Negara maju maupun negara berkembang sejak terjadinya krisis energi


mulai melakukan perencanaan energi secara lebih matang. Tetapi banyak pula
ditemui kebijakan energi yang harus menyesuaikan tingannya dengan kebijakan
lain di luar energi. dapat merintangi perencanaan energi yang lebih efektif dan
juga berakibat pada perencanaan ekonomi nasional.

Untuk itu perlu ada konsep perencanaan energi terpadu yang disusun untuk
mengatasi hal-hal tersebut. Secara sederhana perencanaan energi terpadu dapat
dijelaskan sebagai analisa terhadap berbagai masalah energi secara dalam
kesatuan kebijaksanaan. Dengan demikian dapat dihasilkan solusi energi nasional
yang optimal dalam jangka panjang.

Dan terdapat dua tahapan analisa kebijaksanaan hasil perencanaan energi.


Tahapan pertama adalah pengembangan pilihan kebijakan dan tahapan berikutnya
adalah penentuan pilihan kebijakan. Tahapan pertama terkait dengan hasil
proyeksi terutama skenario permintaan dan pilihan penawaran dalam kerangka
ekonomi. Hasil utama proyeksi awal itu adalah neraca penawaran-permintaan
energi. Selanjutnya dibahas dampak kebijaksanaan energi hasil dari berbagai
skenario ekonomi, terutama investasi yang diperlukan dan dampak terhadap
lingkungan hidup.

Skenario permintaan energi yang dibangun mengandung berbagai


parameter ekonomi, geografi, demografi, dan teknis. Berbagai metodologi yang
dipakai untuk mengembangkan skenario itu dapat menggunakan cara sederhana
sampai yang rumit seperti model simulasi. Di samping ketersediaan data dan
pendekatan yang dipakai, diperlukan telaah yang cermat akan kecenderungan di
masa depan dengan membangun skenario permintaan energi yang realistis. Pilih
di sisi lain, menyajikan suatu gambaran an penawaran energi, ketersediaan sumber
daya dengan berbagai pilihan teknologi, sebagian besar didasarkan pada informasi
teknis dan perkiraan biaya terkait. Perkiraan biaya tidak dapat secara mudah
diper- bandingkan antara sumber daya energi yang tidak dapat diperbarui dengan
sumber daya energi yang dapat diperbarui. Sumber daya energi yang tidak dapat
diperbarui sudah mampu diproduksi dalam skala keekonomiannya dengan
teknologi yang tersedia.Sedangkan untuk sumber day energi yang dapat
diperbarui, khususnya energi nonkonvensional seperti tenaga matahari
pbotovoltaic, masih belum dapat diproduksi pada skala ekonomi sehingga harga
kelayakan atau harga ambang untuk memasuki pasar kompetitif masih cukup
tinggi.

Hasil pendekatan yang dipilih untuk membuat proyeksi permintaan dan


penawaran cenderung tidak menggunakan model persamaan simultan dalam skala
besar menuju yang lebih sederhana atau pendekatan modular mengaitkan berbagai
elemen melalui model simulasi. Penggunaan model yang praktiknya berbeda
memberikan hasil yang juga berbeda. Hasil yang berbeda dalam skenario
permintaan memberikan implikasi cukup luas pada skenario penawaran dan
kebijakan energi yang dipilih.

Tahapan kedua menyangkut pilihan kebijakan untuk mencapai


keseimbangan antara penawaran dengan permintaan energi, serta untuk mengatasi
keseimbangan ekonomi secara keseluruhan Manajemen energi seperti itu
dihadapkan pada pilihan sisi penawaran maupun permintaan. Perhatian lebih besar
biasanya dicurahkan pada sisi permintaan karena keberhasilannya lebih cepat
dicapai.

Neraca penawaran-permintaan harus luwes dapat disesuaikan berulang-


ulang dengan perubahan yang mungkin terjadi di masa depan. Neraca yang dipilih
sebagai patokan dasar dalam suatu sistem ekonomi perlu memperhatikan tingkat
sensitivitas berbagai parameter utamanya. Dengan neraca tersebut dapat
dikembangkan berbagai skenario bahan bakar dan substitusi antarbahan bakar
serta secara umum, strategi bahan bakar dan teknologi untuk memenuhi skenario
permintaan energi. Terkait di sini adalah kemungkinan kebijaksanaan impor dan
ekspor energi suatu negara.

Kedua tahapan tersebut yang merupakan elemen analisa kebijaksanaan


dalam proses perencanaan energi terpadu saling melengkapi. Kerangka kerja yang
pertama adalah suatu pendekatan simulasi mengkaji alternatif keseimbangan
penawaran dan permintaan energi. Tahapan kedua menekankan kajian berbagai
pilihan parameter kebijakan penawaran dan permintaan energi tingkat nasional
dan sektoral. Hasil alternatif skenario penawaran dan permintaan pasti
menghasilkan lebih dari satu neraca penawaran permintaan. Kepentingan utama di
sini adalah untuk mencapai gambaran sistem penawaran yang sesuai dengan
skenario permintaan Hal tersebut mengakibatkan setiap alternatif neraca
penawaran- permintaan akan mengindikasikan sistem penawaran yang berbeda
Pembentukan alternatif sistem penawaran dimulai dengan mengembangkan
kelayakan teknis dan konsisten dengan proyeksi permintaan yang telah
ditentukan. Alternatif sistem penawaran ini kemudian dikembangkan menjadi
skenario ekonomi yang memungkinkan sistem penawaran energi ke depan dapat
terpenuhi.

2.6 Interaksi Kebijakan Energi dan Kebijakan Ekonomi Nasional

Salah satu masalah penting dalam memformulasikan kebijakan energi


adalah soal kesepakatan jangka waktu. Kebijaksanaan sisi penawaran,
perencanaan dan pelaksanaan pada umumnya berjangka waktu dua puluh tahun ke
depan atau lebih. Sementara perencanaan pembangunan ekonomi nasional
cenderung memiliki jangka waktu lebih pendek, umumnya sekitar lima tahun.
Pelaksanaan dan pengkajian ulang kebijakan energi sering dilakukan dari waktu
ke waktu. Sebaiknya saat itu pula dilakukan penyesuaian dengan kebijakan
pembangunan ekonomi nasional. Interaksi kebijakan energi dengan kebijakan
ekonomi dapat terjadi dua arah, yaitu dampak kebijakan energi terhadap sistem
ekonomi secara makro dan dampak kebijakan ekonomi terhadap industri energi
nasional.

Kebijakan Energi terbadap Sistem Ekonomi Nasional

Kebijakan ini menggambarkan konsekuensi kebijakan energi terhadap


sistem perekonomian masional. Ada dua hal penting yang berkaitan langsung
dengan sektor energi.

1. Penentuan total kebutuhan investasi, yang ditekankan di sini adalah


penentuan prioritas investasi dan pengidentifikasian hal-hal yang
berhubungan dengan proyek pengembangan dan pemanfaatan energi. Hal
tersebut mengarah pada besarnya kebutuhan biaya investasi dalam sektor
energy. Kriteria investasi memiliki faktor keterbatasan kapasitas dan
mobilisasi sumber dana. Faktor keterbatasan kapasitas adalah batas atas
suatu alokasi di mana sektor energi dipandang sebagai bagian dari
beberapa sumber daya nasional. Faktor mobilisasi sumber dana merujuk
pada kebutuhan pembiayaan yang mungkin melibatkan pinjaman luar
negeri. Batas atas investasi maupun keragaman dan keluasan sumber-
sumber pendanaan tergantung alternatif sistem penawaran berdasarkan
kriteria tekno-ekonominya.

2. Mencakup pertimbangan dampak negatif terhadap lingkungan hidup


karena kebijakan energi. Metodologi dampak energi terhadap lingkungan
hidup membantu menfor mulasikan skenario energi lingkungan dalam
sistem ekonomi. Kendala lingkungan berada pada sistem penawaran dan
permintaan serta tingkat proyek masing-masing. 1mplikasi lingkungan dari
sistem penawaran dan permintaan energi sudah ada dalam bentuk
perundang-undangan tentang ambang batas polusi atau garis besar
kebijakan yang berhubungan dengan jenis teknologi tertentu, seperti
teknologi energi nuklir. Pada tingkat proyek, analisa dampak lingkungan
perlu lebih banyak dilaksanakan untuk mencap keadaan keseimbangan
energi dan lingkungan.

Kebijakan Ekonomi terhadap Sistem Energi Nasional

Kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riel jelas memberikan dampak


langsung terhadap sektor energi.

1. Kebijakan fiskal yang terutama adalah pajak (T) dan anggaran belanja
pemerintah (G)

Kebijakan pajak pengusahaan energi di samping mengikuti peraturan


perpajakan yang ada, harus dilengkapi dengan peraturan perpajakan khusus
yang hanya berlaku untuk produsen energi (lex-specialist) Di samping
dirancang untuk menyerap rente ekonomi yang biasa diperoleh produsen,
peraturan khusus itu juga dimaksudkan menyerap rente ekonomi yang
terkait dengan sumber kekayaan alam (resource ren). Dengan demikian
banyak dijumpai peraturan perpajakan dalam pengusahaan energi yang
bersifat khusus dibandingkan dengan komoditi lainnya. Besarnya
penerimaan pemerintah merupakan bagi hasil keuntungan yang diserahkan
produsen energi. Besar yang diterima sama dengan pajak yang berlaku
umum ditambah resource rent. Resource rent dapat diambil lewat royalti
berdasarkan produksi kotor atau berdasarkan keuntungan bersih perusahaan
energi. Perubahan peraturan perpajakan yang menyangkut besarnya
persentase pajak perusahaan (tax rate) tidak akan mempengaruhi secara
langsung keuntungan yang diterima produsen total bagi hasil yang diterima
pemerintah disepakati pakan bagian yang tetap. Dengan demikian kenaikan
pajak dapat diartikan sebagai penurunan porsi resource rent.

Negara-negara industri sudah mulai menerapkan pajak energi. k semacam


itu, di samping pajak yang berlaku umum, dikenakan kepada konsumen
energi. Penerapan pajak dimaksudkan mening- katkan penerimaan dari
konsumsi energi. Dana yang diperoleh dipakai untuk menan masalah
lingkungan. Penerapan pajak demikian dikhawatirkan mengurangi konsumsi
energi yang pada gilirannya mengurangi produksi energi yang mengandung
kadar pencemar tinggi. Di samping itu negara-negara berkembang masih
menyangsikan apakah peningkatan pajak tersebut memang benar digunakan
untuk mengata soal lingkungan atau sekadar menambah penerimaan negara
dengan memakai dalih lingkungan.

Anggaran yang dipakai untuk belanja pemerintah akan mempengaruhi


perkembangan sektor energi. Besar kecil pengaruhnya tergantung alokasi
anggaran masing-masing sektor ekonomi yang sedikit banyak mempunyai
kaitan dengan sektor energi. Sektor industri memerlukan sumber daya
energi yang lebih besar dari pada sektor pertanian, sehingga pengembangan
sektor industri akan memberi dampak besar terhadap pemakaian energi. Di
samping pengaruh langsung alokasi pembiayaan pemerintah terhadap sektor
energi, juga ada pengaruh tidak langsung berbagai sektor yang sensitif
terhadap pemakaian energi. Keterkaitan sektor energi de ngan anggaran
pembiayaan pemerintah biasanya bila telah menyangkut kepentingan publik
secara langsung (public utility). Dalam banyak hal sektor energi di sini
sudah dapat dikelola secara mandiri, bahkan tidak jarang memberi
kontribusi terhadap penerimaan negara lewat devisa ekspor maupun pajak
energy. Sektor energi seperti itu biasanya terkait dengan kegiatan hulu. Jika
suatu sistem per ekonomian masih menerapkan subsidi energi dalam sistem
anggaran pemerintah maka alokasi untuk keperluan pembiayaan pengem-
bangan menjadi berkurang.

2. Kebijakan moneter yang terutama adalah kebijaksanaan suku bunga (i) dan
jumlah uang beredar (M)

Besarnya suku bunga (i) akan mempengaruhi iklim investasi. Hal demikian
juga terjadi dalam sektor energi. Perusahaan memerlukan tingkat
pengembalian modal yang cukup tinggi dalam pengusahaan energi. Tingkat
pengembalian modal itu ditunjukkan dengan besarnya Internal Rate of
Retum (IRR) yang diminta perusahaan energi. IRR yang tinggi diperlukan
untuk membayar kembali suku bunga pinjaman (i) dan pengusahaan energi
yang mempunyai risiko cukup tinggi. Risiko yang disertai penggunaan
padat modal memerlukan marjin (spread) cukup besar antara suku bunga
pinjaman dengan IRR. Jika suku bunga pinjaman meningkat, marjin dengan
IRR akan mengecil sehingga risiko proyek meningkat. Karena itu
pengusahaan energi memerlukan tingkat suku bunga yang stabil dan wajar
sehingga perusahaan mampu mengembangkan dan memanfaatkan energi
dengan keuntungan yang wajar.

Besarnya jumlah uang beredar (money supply, M) akan mempengaruhi


harga barang dan jasa (P = M.Y). Dampak harga barang dan jasa terlihat
pada daya beli masyarakat tidak terkecuali untuk produk akhir energi seperti
listrik, gas bumi, dan BBM. Gejolak perubahan uang yang beredar memang
sangat terasa di negara berkembang yang belum mempunyai fundamental
ekonomi kokoh. Operasi pasar yang dilakukan bank sentral akan sangat
menentukan jumlah peredaran mata uang negara bersangkutan Operasi
tersebut dilakukan lewat pengaturan suku bunga bank sentral yang
kemudian mempengaruhi suku bunga pasar Kebijaksanaan tersebut semata-
mata tidak didasarkan pada per timban sektoral, tetapi lebih pada
pertimbangan ekonomi nasional. Karena itu kebijakan yang ditempuh dapat
saja memberi dampak kurang menguntungkan bagi sektor energi. Di sisi
lain harga produk akhir energi tidak dapat disesuaikan dengan keinginan
produsen energi untuk mengatasi tingkat inflasi yang membumbung tinggi.
Di sini berlaku peran pemerintah terutama di negara berkembang yang lebih
mengutamakan kesejahteraan masyarakat (konsumen) dan demi stabilitas
ekonomi nasional. Meningkatnya uang yang beredar merangsang konsumen
untuk membelanjakan uangnya dan mendorong kenaikan harga barang dan
jasa. Kenaikan harga atau inflasi membuat harga riel barang dan jasa
menjadi merosot.

3. kebijakan sektor barang dan jasa (riel).

Berbagai kebijakan sektor barang dan jasa (riel) sedikit banyak


mempengaruhi sektor energi. Sektor riel adalah sektor untuk memproduksi
barang dan jasa yang didukung oleh sistem produksi dan investasi. Dengan
demikian peran investasi menjadi amat sangat penting dalam
mengembangkan sektor riel. Karena keterbatasan dana domestik,
pembenahan sektor riel di sebagian besar negara berkembang dilakukan
terlebih dahulu dengan cara mengundang investor internasional. Kebijakan
insentif untuk menciptakan iklim yang menarik bagi investor akan
mendorong aliran modal masuk ke suatu negara. Kebijakan itu dapat
menggunakan instrumen jakan ekonomi dan/atau non-ekonomi. Kebijakan
menarik investasi asing perlu memperhitungkan perkembangan yang terjadi
di luar sistem ekonomi, sehingga kebijakan yang dibangun dapat mencipta
kan daya saing terhadap sistem ekonomi yang lain. Iklim kondusif yang
diinginkan para investor asing tidak hanya menyangkut nanti ekonomi
semata, tetapi sosial dan politik. Resiko yang dihadapi mereka tidak hanya
sebatas ekonomi, tetapi juga sosial dan politik. Dengan demikian kebijakan
sektor riel memberi dampak angsung maupun tidak langsung terhadap
perkembangan sektor energi.

2.7 Kebijakan Energi Negara Industri

Kebijakan energi merupakan bagian dari kebijakan nasional suatu negara


yang diharapkan dapat diterapkan dengan hasil terbaik dalam berbagai pasar
komoditi (optimal solution). Namun solusi seperti itu sulit dicapai sehingga
sebaiknya digunakan solusi kedua terbaik (second best solution). Kebijakan untuk
menghasilkan solusi optimal adalah prioritas utama dalam formulasi suatu
kebijakan energi. Dengan mengikutsertakan pertimbangan sosial politik,
kebijakan energi perlu disesuaikan dari waktu ke waktu untuk menuju solusi
optimal di masa depan. Pembahasan kali ini lebih banyak menggunakan kasus
yang terjadi dalam sektor energi Amerika Serikat.

Konsumsi energi negara industri dari tahun ke tahun terlihat cukup tinggi.
Persediaan domestik ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan energi yang
terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka harus melakukan
impor. Kebijakan impor terutama tidak tergantung pada satu negara pengekspor
saja. Impor mereka bahan mentah, sehingga industri hilir di negara itu dapat
berkembang dan mendapatkan nilai tambah. Dengan adanya kebijakan
diversifikasi impor, dapat mengendalikan harga dan ketergantungan energi dari
satu sumber. Amerika contoh sebuah negara yang tidak menggantungkan
kebutuhan minyaknya hanya da negara anggota OPEC Amerika juga melakukan
impor dari negara non-OPEC. Ketergantungan ekonomi negara- negara Amerika
Selatan dan ketergantungan keamanan negara-negara Timur Tengah merupakan
nilai tawar yang dimiliki Amerika Serikat untuk jaminan persediaan minyak dari
kedua kawasan tersebut.

Pengalaman masa silam menunjukkan sering terjadinya gangguan


persediaan energi, terutama minyak bumi. Gangguan tersebut memberi dampak
cukup serius bagi perkembangan ekonomi nasional industri. Mereka ini kemudian
mengembangkan kebijakan strategic Petroleum Reserves (SPR). Minyak bumi
dimpor saat persediaan berlimpah dan harganya rendah. Beberapa di antara
mereka bahkan mengembangkan cadangan buatan dengan menyuntik minyak
impor ke dalam perut bumi. Lokasi geologi yang dipilih biasanya kedap dan dapat
menyerap minyak bumi. Struktur seperti itu dikenal sebagai salt dome (kubah
garam). Kebijakan yang mereka kembangkan sampai saat ini, mengingat
pertimbangan teknis dan ekonomis, adalah SPR yang mampu memberi kontinuitas
persediaan selama 100 hari (sekitar 3 bulan). Bila terjadi gangguan persediaan
atau embargo negara pengekspor minyak, negara industri masih dapat bertahan
selama 100 hari dan, selama itu, cukup waktu untuk mencari jalan keluar dari
gangguan persediaan.

Kebijakan energi domestik untuk mengontrol impor energi bila terjadi


gangguan persediaan yang dapat menyebabkan harga ener naik drastis adalah
dengan menerapkan kebijakan harga yang diatur pemerintah (regulated pricing
control). Kebijakan tersebut sudah pernah diterapkan Amerika Serikat saat terjadi
krisis minyak Pengaturan harga energi domestik ditujukan untuk memindahkan
surplus produsen menjadi surplus konsumen. Pertimbangan penetapan harga
energi domestik itu adalah biaya memproses energi primer menjadi energi
sekunder Industri energi di hilir dibiarkan tetap bertahan. Untuk itu pemerintah
perlu memberi subsidi agar produsen energi domestik masih dapat memproduksi
energi. Besar kecilnya subsidi merangsang produsen energi memenuhi kebutuhan
energi domestik. Namun penerapan harga yang dikontrol tetap merugikan pihak
produsen energi (dead weight loss for producer).

Negara industri menggunakan energi cukup besar untuk men dukung


kegiatan industri yang sudah berlangsung sejak Revolusi Industri. Konsumsi
energi terutama dari penggunaan energi fossil yang memberi kontribusi besar
terhadap pencemaran lingkungan. Kebijakan meminimalisasi dampak negatif
terhadap lingkungan hidup kemudian menjadi perhatian utama negara-negara
industri, Berba kebijakan energi seperti yang diimplementasikan negara-negara
berkembang juga terdapat di negara industri. Beberapa di antaranya konservasi
energi, penelitian dan pengembangan teknologi energi, erta standarisasi dan
ekolabeling. Karena ketersediaan dan alokasi dana lebih baik, implementasi
kebijakan energi tersebut terasa lebih operasional di negara-negara industry.

2.8 Kebijakan Energi Indonesia

Formulasi kebijakan energi pertama kali muncul pada 1976. Tujuannya


waktu itu adalah me- maksimalkan pemanfaatan sumber daya energi. Pemerintah
kemu- dian membentuk BAKOREN (Badan Koordinasi Energi Nasional), suatu
badan setingkat departemen yang bertanggung jawab mem- formulasikan
kebijakan energi dan mengkoordinasikan implemen- tasi kebijakan ini.

Berbagai kebijakan energi secara khusus dikeluarkan BAKOREN paket


yang dikenal sebagai Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE). Paket itu
terus-menerus diperbarui sesuai dengan perkembangan strategis lingkungan yang
mempengaruhi pembangunan energi Indonesia. KUBE dalam kaitannya dengan
pembangunan nasional mengalami pembaruan dan disesuaikan dengan tujuan
pembangunan nasional. Dengan cadangan energi yang beraneka ragam, kebijakan
sisi penawaran seharusnya perlu terus-menerus didorong. Di samping itu,
kebijakan optimalisasi dan konservasi energi perlu terus dilakukan untuk
mendapatkan tingkat produksi yang optimal.

Kebijakan energi sebenarnya dapat dirinci menjadi kebijakan lebih khusus


yang bertujuan antara lain menjamin pasokan yang berkesinambungan dengan
mengoptimalkan pemanfaatan dan alokasi sumber daya energy. Kedua,
mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi fosil sebagai bahan bakar maupun
sebagai bahan baku agar diperoleh nilai tambah maksimal. Ketiga, mendorong
upaya penyediaan energi secara lebih merata. Keempat, mendorong dan
meningkatkan upaya ekspor jasa dan teknologi energi. Kelima, meningkatkan
upaya komersialisasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan serta peningkatan
pemanfaatan energi setempat (in-situ energy). Keenam, mengarahkan penggunaan
energi di sektor transportasi agar lebih efisien, beragam, dan bersih. Ketujuh
menyertakan dan mempertimbangkan pek lingkungan hidup mulai dari kegiatan
eksploitasi sampai pemanfaatan akhir.

Peningkatan konsumsi energi final per sektor selalu terjadi setiap tahun pada
periode 20002014, kecuali pada tahun 2005 dan 2006. Ratarata pertumbuhan
tahunan selama periode 2000-2014 adalah 3,99% per tahun dari 555,88 juta SBM
pada tahun 2000 menjadi 961,39 juta SBM pada tahun 2014.. Data ini didapatkan
dari Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia (HEESI) tahun
2015 yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(KESDM). Total konsumsi energi final per sector yang dibahas disini tidak
memperhitungkan konsumsi produk petroleum lainnya. Perhitungan konsumsi
energy final mencakup sektor industri, rumah tangga, komersial, transportasi, dan
lainnya. Sektor lainnya meliputi pertanian, konstruksi, dan pertambangan,
sementara sektor komersial meliputi hotel, restoran, rumah sakit, super market,
gedung perkantoran, dll.

Selama tahun 20002014 terjadi penurunan konsumsi energi final terutama


pada tahun 2005 dan 2006. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga BBM yang
membuat produktivitas industri menurun yang berdampak terhadap penurunan
konsumsi energi final sektor transportasi pada tahun 2006. Kebijakan kenaikan
harga jual BBM mendorong peningkatan inflasi. Menurut data Bank Indonesia,
inflasi pada Januari 2005 mencapai 7,32% dan naik menjadi 17,1%
pada Desember 2005.
Konsumsi energi final tertinggi pada periode 2000-2014 terjadi pada sektor
industri, diikuti rumah tangga dan tranportasi, serta yang paling rendah adalah
komersial dan lainnya.Tetapi rata-rata kenaikan pertumbuhan tahunan paling
tinggi adalah sektor transportasi sebesar 6,46%. Hal ini disebabkan oleh jumlah
kendaraan di Indonesia yang meningkat tajam dari 19 juta kendaraan pada tahun
2000 menjadi 114 juta kendaraan pada tahun 2014 dengan rata rata kenaikan per
tahunnya sebesar 13,7% berdasarkan data Statistik Transportasi Darat 2014.

Ratarata pertumbuhan tahunan konsumsi energi yang paling rendah adalah


sektor lainnya yaitu sebesar -2,62% per tahun dan diikuti oleh sektor rumah
tangga sebesar 1,59% per tahun. Rendahnya pertumbuhan konsumsi energy final
sektor rumah tangga karena berlangsungnya program substitusi minyak tanah
dengan LPG untuk memasak, penerapan teknologi dan peralatan hemat energi,
seperti penggunaan lampu hemat energi, penggunaan sel surya, serta penggunaan
peralatan rumah tangga hemat energy lainnya. Sejak mulai dijalankannya program
substitusi penggunaan minyak tanah ke LPG tahun 2007, jumlah konsumsi energi
rumah tangga jauh lebih hemat. Hal ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu efisiensi
kompor dan nilai kalor bahan bakar. Efisiensi kompor LPG sebesar 53%
sedangkan efisiensi kompor minyak tanah sebesar 40%, serta nilai kalori LPG
(11.254,61 kcal/kg) lebih besar dibanding minyak tanah (10.478,95 kcal/kg).
Untuk itu, pemakaian satu liter minyak tanah setara dengan penggunaan 0,57 kg
LPG.
Dengan antisipasi murahnya pertumbuhan ekonomi masa depan maka
permintaan energi juga akan semakin meningkat. Untuk itu hal yang perlu
ditekankan dalam pembangunan energi adalah pada sisi permintaan dengan
melakukan.penghematan dan mengopti- malisasikan penggunaan energi. Keadaan
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menimbulkan masalah disparitas
pembangunan. Pembangunan energi diharapkan dapat mendukung percepatan
pemerataan pembangunan apalagi Undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah (PKPD) yang telah diberlakukan dapat memberi dana tambahan
pembangunan bagi daerah yang mempunyai potensi energi.

Devisa ekspor Indonesia selama kurun waktu dua puluh tahun silam
didominasi hasil ekspor minyak dan gas bumi. Karena per- mintaan domestik
meningkat pesat dan keperluan mendapatkan devisa, tingkat pengurasan sumber
daya energi terutama minyak dan gas bumi dilakukan dengan sangat tinggi. Itu
menggambarkan kebijakan yang hanya mengarah pada kegiatan pengurasan
semaksimal mungkin dengan mengabaikan prinsip pembangunan yang
berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan seharusnya perlu memperhatikan
keseimbangan pengurasan cadangan minyak dan gas bumi dengan tersedianya
cadangan energi yang lain Kemampuan diversifikasi ekonomi dengan demikian
tidak lagi tergantung pada minyak dan gas bumi.

Ketergantungan berbagai sektor energi domestik hanya pada minyak bumi


perlu terus dikurangi. Dengan cadangan yang semakin menipis sementara
permintaan terus meningkat, pemanfaatan minyak bumi perlu diusahakan
seefisien dan seefektif mungkin. Sejalan ikembangkan kebijakan energi untuk
mensubstitusi dengan itu perlu minyak dengan energi alternatif lain sehingga
ketergantungan pada minyak bumi dapat berkurang. Penggunaan gas bumi perlu
lebih ditingkatkan dalam sektor industri dan transportasi domestik Indonesia
memiliki cadangan gas bumi yang tersebar cukup besar Kebijakan mengekspor
gas bumi dalam bentuk LNG, untuk gas yang mempunyai cadangan besar, dan
memanfaatkan gas yang mempunyai cadangan kecil untuk memenuhi keperluan
domestik secara bertahap perlu diarahkan untuk membangun industri gas dalam
negeri yang kokoh. Cadangan batubara yang cukup besar perlu didukung oleh
kebijakan yang kondusif Ekspor dan pengembangan konversi batubara cair dan
gas dapat dijadikan energi alternatif untuk memenuhi permintaan domestik.

Kebijakan mengembangkan energi baru dan yang dapat diperbarui perlu


terus dikembangkan. Jenis energi tersebut pada saat ini belum dapat memenuhi
skala keekonomian pengembangannya sehingga masih tergantung subsidi
pemerintah. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, jenis energi alternatif
tersebut diharapkan dapat dikembangkan besar-besaran sehingga dapat memenuhi
kriteria keekonomiannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai