Anda di halaman 1dari 18

1

ANALISIS KEBIJAKAN PENGHAPUSAN SUBSIDI ENERGI DI INDONESIA


DENGAN MODEL FORCE FIELD ANALYSIS
Kharisma Baptiswan
Mahasiswa Diploma IV Akuntansi Khusus, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
kharisma.baptiswan@gmail.com
Abstract
Government of Indonesia has been implementing energy subsidy for a long time. Recently cost
of delivering energy subsidy has become a burden in Indonesias national budget (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/APBN). It has consumed approximately 27% of total national
expenditure. Idea of erasing energy subsidy policy has emerged recently. Yet some believe this
policy is still needed by Indonesians people. This paper will compare the forces of proponents
and opponents of energy subsidy and seek the best decision and solotions based on presented
arguments.
Kata kunci : subsidi energi, penerapan subsidi energi, penghapusan subsidi, force field analysis
1. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu dari dari banyak negara berkembang yang masih
menerapkan kebijakan subsidi energi. Kebijakan ini di masa lampau tidak menjadi pusat
perhatian, namun akhir-akhir ini kebijakan ini menemui banyak pandangan. Pandangan
yang menolak keberadaan kebijakan subsidi energi berpendapat bahwa kebijakan ini
menciptakan beban anggaran negara yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun
2014 saja anggaran untuk belanja subsidi energi diperkirakan mencapai 27% dari total
belanja negara selama satu tahun periode. Jumlah ini cukup besar mengingat masih ada
kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang masih belum terpenuhi secara merata.
Disisi lain pandangan yang mendukung keberadaan subsidi energi juga sangat kuat.
Mereka berpendapat bahwa subsidi energi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dengan subsidi energi masyarakat diharapkan memiliki mobilitas sosial ekonomi untuk
meningkatkan taraf hidup mereka. Subsidi energi akan memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam mengalokasikan pendapatannya, karena harga energi menjadi terjangkau.
Masing-masing pandangan memiliki nilai kebenaran, namun kebenaran tersebut tidak
mutlak namun bersifat relatif. Pengukuran akan relatifitas dalam pandangan-pandangan ini
akan dilakukan oleh Penulis dalam makalah ini. Pada akhirnya diharapkan akan dihasilkan
kesimpulan yang berarti dan mampu menjadi dasar pengambilan kebijakan untuk
meneruskan atau menghapus kebijakan subsidi energi.

1.2.Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah yang meliputi :
1) Apakah yang dimaksud dengan subsidi energi?
2) Bagaimana penerapan subsidi energi di Indonesia?
3) Apa saja dampak menguntungkan dari subsidi energi?
4) Apa saja dampak merugikan dari subsidi energi?
5) Kebijakan apa yang seharusnya diambil Pemerintah Indonesia terkait subsidi energi?





2
1.3.Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut :
1) Memahami pengertian subsidi energi;
2) Memahami penerapan subsidi energi di Indonesia;
3) Mengetahui dampak menguntungkan dari subsidi energi;
4) Mengetahui dampak merugikan dari subsidi energi;
5) Memberikan solusi terkait kebijakan subsidi energi.

2. Landasan Teori
2.1.Teori Subsidi
Subsidi berasal dari kata Latin yaitu subsidium yang berarti membantu. Subsidi adalah
kontribusi keuangan yang dilakukan oleh Pemerintah (WTO 2006). Subsidi adalah
kebalikan dari pajak (Mankiw 2012). Pemerintah memberikan sebagian dari
pengeluarannya untuk memenuhi berbagai kebijakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk
membayar subsidi, Pemerintah perlu menarik pajak dari rakyat. Dapat dilihat jika subsidi
sebenarnya adalah beban yang menjadi tanggungan para pembayar pajak. Pembayaran
dapat dilakukan dalam bentuk kas atau barang (Suparmoko dalam Handoko dan Patriadi
2005). Selain bentuk pembayaran, subsidi juga dapat berbentuk pengurangan pendapatan
Pemerintah melalui mekanisme pengurangan dan pembebasan pajak. Dalam hal ini para
pembayar pajaklah yang mendapat keuntungan.
Pada umumnya subsidi ditujukan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada
rakyat terhadap suatu akses barang atau jasa publik yang cukup vital. Kesetaraan akses
tersebut diharapkan akan memberikan kesempatan untuk berusaha yang sama terhadap
rakyat sehingga masing-masing individu dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Subsidi
memiliki target kelompok masyarakat dan outcome yang dikehendaki dari pemberian
tersebut.
Dilihat dari sifatnya, terdapat dua jenis subsidi yaitu subsidi langsung dan subsidi tidak
langsung. Menurut Collins Dictionary of Economics (n.n.), subsidi langsung dapat berupa
bantuan uang atau pinjaman bebas bunga. Sedangkan subsidi tidak langsung dapat berupa
potongan atau pembebasan pajak, asuransi atau garansi perbankan, pinjaman berbunga
rendah, potongan penyusutan atau rabat.
Subsidi juga dapat diklasifikasikan sebagai subsidi konsumen dan subsidi produsen.
Subsidi konsumen adalah subsidi yang ditujukan untuk mengurangi harga komoditas baik
barang maupun jasa untuk meringankan beban konsumen. Sedangkan subsidi produsen
adalah subsidi yang diberikan kepada produsen dengan harapan mengurangi biaya produksi
keseluruhan sehingga tingkat produktifitas dapat meningkat.

2.2.Teori Subsidi Energi
Subsidi energi secara umum adalah bantuan pemerintah baik langsung maupun tidak
langsung terhadap penyediaan sumber energi. Dalam joint report oleh OECD (2010)
dijelaskan bahwa subsidi energi digunakan untuk mengurangi kemiskinan energi serta
mempromosikan pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan akses terhadap layanan energi
moderen.
Subsidi energi memiliki implikasi dalam perubahan iklim dan pembangunan
berkelanjutan melalui pengaruhnya terhadap produksi dan penggunaan sumber sumber
energi (UNEP 2008). Implikasi ini ada yang bersifat positif maupun negatif.
Beberapa cara dalam memberikan subsidi energi menurut UNEP (2008) antara lain :




3
Tabel 2-1 Bentuk Subsidi Energi

Sumber: UNEP 2008

Pandangan pro subsidi energi pada umumnya memiliki alasan rasional terhadap
keberadaan kebijakan ini, antara lain (UNEP 2008) :
1) Menjaga industri domestik terhadap kompetisi internasional serta meningkatkan
lapangan kerja;
2) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
3) Mengurangi ketergantungan impor energi dan alasan ketahanan energi;
4) Menciptakan keterjangkauan atas akses energi kepada masyarakat dalam rangka
peningkatan standar hidup layak;
5) Melindungi lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi merupakan efek paling penting yang diharapkan dari kebijakan
ini. Efek-efeknya dapat dijelaskan sebagai berikut. Subsidi energi dapat berimbas kepada
pengurangan harga yang akan meningkatkan permintaan agregat. Subsidi energi juga dapat
meningkatkan kapasitas produksi akibat efisiensi harga produksi. Keduanya akan
berkontribusi dalam perlindungan produksi dalam negeri. Dalam memfasilitasi lonjakan
permintaan barang dan jasa, maka jumlah permintaan tenaga juga akan ikut meningkat
dengan kata lain tingkat pengangguran berkurang. Kenaikan produktifitas akan berimbas
pula pada tingkat ekspor barang yang meningkatkan devisa negara. Selain itu subsidi secara
tidak langsung bermanfaat dalam melindungi produk dalam negeri dalam maraknya
gencaran produk impor akibat perdagangan bebas.
Dalam konteks perlindungan lingkungan dan alasan ketahanan energi, kedua pendapat
ini bisa jadi cukup bertentangan. Sebagai contoh Pemerintah mempunyai kebijakan untuk
memberi subsidi bahan bakar minyak agar mengurangi ketergantungan terhadap sumber
energi nuklir yang mungkin dianggap berbahaya. Tetapi pendapat ini akan bertolak
belakang jika kondisi suatu negara sangat minim sumber energi dan mungkin hanya bisa
bergantung kepada sumber energi nuklir.
Efek negatif dari adanya subsidi energi adalah semakin besarnya defisit anggaran
nasional, kebutuhan pembiayaan utang luar negeri meningkat, inflasi dalam jangka pendek,



4
menghambat investasi sumber energi alternatif, kecemburuan sosial akibat tidak tepatnya
implementasi subsidi, serta ancaman kerusakan lingkungan dalam jangka panjang.
Lebih lanjut menurut UNEP (2008) konsekuensi negatif baik dari kebijakan subsidi
energi meliputi :
1) Subsidi terhadap sumber energi tertentu, baik dalam produksi maupun konsumsinya,
melalui penurunan harga memicu peningkatan penggunaan dan mengurangi insentif
untuk menghemat atau beralih kedalam sumber energi lain;
2) Subsidi energi dalam produksi akan mengurangi pengembalian investasi sektor energi
terkait sehingga berimbas pada berkurangnya pilihan terhadap investasi sektor energi;
3) Subsidi energi dalam produksi akan mengurangi kondisi kompetitif terhadap pasar
energi, sehingga produsen energi cenderung tidak efisien dalam operasinya serta
mengurangi pilihan untuk beralih kepada sumber energi lain yang lebih efisien;
4) Subsidi langsung baik berupa transfer maupun pembebasan pajak akan menambah
beban anggaran negara;
5) Penetapan harga dibawah harga pasar akan menimbulkan kelangkaan energi dan
memicu kebijakan pembatasan yang membutuhkan biaya besar;
6) Peningkatan penggunaan energi akan meningkatkan kebutuhan impor energi atau
mengurangi potensi ekspor energi;
7) Subsidi energi akan memicu penggelapan energi ke wilayah yang memiliki nilai jual
tinggi;
8) Subsidi energi pada sektor energi tertentu akan menghambat perkembangan dan
komersialisasi sumber energi lain yang lebih efisien dan bersahabat;
9) Penerapan subsidi energi cenderung tidak tepat sasaran.

3. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode analisis deskriptif kualitatif dengan fokus kepada
studi literatur. Sumber literatur adalah buku teks, jurnal, laporan serta webpage yang terkait
dengan subsidi energi. Model analisis yang akan digunakan adalah dengan menggunakan
model Force Field Analysis (FFA).
FFA adalah suatu model analisis yang dikembangkan oleh Kurt Lewin dan banyak
digunakan dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada tahap perencanaan dan
penerapan program manajemen perubahan dalam organisasi. Model ini merupakan alat
yang cukup ampuh dalam mendapatkan gambaran yang komprehensif terkait berbagai
kekuatan dan pengaruh serta sumbernya yang berpotensi mempengaruhi program.
FFA membagi kekuatan-kekuatan pengaruh menjadi dua jenis yaitu pengaruh
pendorong (driving forces) dan pengaruh penghambat (restraining forces). Pengaruh-
pengaruh ini dapat berupa argumen, situasi atau kondisi saat ini serta ekspetasi masa depan.
Penulis mengklasifikasikan setiap pengaruh kedalam dimensi politik, ekonomi, sosial dan
lingkungan. Masing-masing pengaruh memiliki bobot kekuatan masing-masing
berdasarkan derajat kepentingannya.
Disini Penulis juga menambahkan pengukuran lain berupa derajat pengendalian yang
menggambarkan seberapa dekat kekuatan pengendalian yang dimiliki oleh subjek analisis
terhadap masing-masing pengaruh. Ukuran bobot memiliki rentang satu hingga empat.
Dalam derajat kepentingan, satu berarti tidak penting dan empat berarti sangat penting.
Sedangkan dalam derajat pengendalian, satu berarti tidak memiliki kendali dan empat
berarti sangat memiliki kendali.





5
Tabel 3-1 Keterangan Nilai FFA
Derajat Nilai Keterangan
Derajat Kepentingan 1 Tidak Penting
2 Cukup Penting
3 Penting
4 Sangat Penting
Derajat Pengendalian 1 Tidak memiliki kendali
2 Cukup memiliki kendali
3 Memiliki kendali
4 Sangat memiliki kendali

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Selanjutnya setiap pengaruh dibandingkan dan hasil perbandingan akan menunjukkan
golongan pengaruh yang dominan. Hasil akhir analisis adalah pengambilan keputusan
terkait pelaksanaan program atau kebijakan perubahan, dimana keputusan dapat berupa
persetujuan atau penolakan.

4. Hasil dan Pembahasan
4.1.Hasil
Hasil dari analisis dengan menggunakan model FFA menemukan bahwa driving forces
memiliki dominasi dibandingkan dengan restraining forces. Detil hasil analisis dapat
ditinjau sebagai berikut :




Gambar 4-1 Diagram Force Field Analysis Penghapusan Subsidi Energi
Sumber: diolah dari berbagai sumber

Analisis dilaksanakan dengan mengklasifikasikan pengaruh-pengaruh kedalam empat
kelompok, yaitu : politik, ekonomi, sosial dan lingkungan. Pemilihan pengaruh-pengaruh
didasarkan kepada relevansi terhadap situasi dan kondisi di Indonesia serta memperhatikan
tren-tren di dunia internasional.
Pengaruh Pendorong Pengaruh Penghambat
Politik Politik
Dukungan internasional Manipulasi harga energi untuk kepentingan jangka pendek partai berkuasa
Ekonomi Ekonomi
Persaingan pasar yang lebih baik Subsidi energi memicu pertumbuhan ekonomi
Beban anggaran semakin meningkat Subsidi energi mendukung ketahanan energi
Impor energi yang semakin meningkat Subsidi energi menambah akses dan keterjangkauan masyarakat
Penggelapan energi (kriminalitas) Penghapusan subsidi energi meningkatkan harga barang
Potensi peningkatan belanja dasar Penghapusan subsidi energi meningkatkan pengangguran
Sosial Sosial
Subsidi energi yang salah sasaran Penghapusan subsidi energi memicu demonstrasi dan gejolak politik
Lingkungan Lingkungan
Pemborosan energi Tidak ada
Hambatan pengembangan energi alternatif
Polusi udara
PENGHAPUSAN SUBSIDI ENERGI



6
Setelah melakukan identifikasi pengaruh, maka dilakukan pengukuran derajat
kepentingan dan derajat pengendalian berdasarkan studi literatur dan asumsi Penulis.
Pengukuran dan hasil perbandingan pengaruh dapat dilihat pada tabel 4-1.

Tabel 4-1 Tabel Force Field Analysis Kebijakan Penghapusan Subsidi Energi

Driving Forces
Dukungan internasional P 2 2 4
Pemborosan energi Env 4 4 8
Alternatif energi baru Env 4 4 8
Persaingan pasar E 2 2 4
Beban anggaran meningkat E 4 4 8
Impor energi meningkat E 4 4 8
Penggelapan E 4 2 6
Polusi udara Env 4 4 8
Salah sasaran S 4 4 8
Belanja dasar lain meningkat E 4 4 8
70
Restraining Forces
Politik pendulangan suara P 4 4 8
Pertumbuhan ekonomi E 1 2 3
Ketahanan energi E 1 2 3
Keterjangkauan energi E 4 3 7
Demonstrasi besar S 3 2 5
Kenaikan harga barang E 4 2 6
Penurunan lapangan pekerjaan E 4 2 6
38
Results
Total
Total
Forces Classification Degree of Importance Degree of Control

Sumber: diolah dari berbagai sumber

4.2.Pembahasan
4.2.1. Penerapan Subsidi Energi di Indonesia
Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lem-
baga yang menyediakan dan mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM), bahan ba-
kar nabati (BBN), liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 kilogram, dan liquefied gas
for vehicle (LGV) serta tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyara-
kat (Nota Keuangan dan RAPBN 2014).
BBM bersubsidi meliputi Premium dan Solar. Premium termasuk dalam jenis bahan
bakar dengan fraksi distilasi medium dan digunakan untuk mesin motor dengan nilai
oktan 89 RON. Solar merupakan fraksi terendah dari proses distilasi hidrokarbon se-
hingga tidak jarang solar disebut residu. Solar digunakan dalam proses pembakaran
mesin disel (ESDM 2012). LPG dan LGV merupakan bahan bakar gas yang masing-
masing digunakan untuk keperluan rumah tangga non komersil dan mesin bertenaga
gas. Subsidi listrik merupakan subsidi dalam bentuk pengurangan tarif atau harga jual
listrik kepada konsumen.
Subsidi bahan bakar diberikan dalam rangka mengendalikan harga jual BBM, BBN,
LPG tabung 3 kg dan LGV bersubsidi. Sumber energi tersebut merupakan kebutuhan
dasar masyarakat, sehingga dengan subsidi diharapkan dapat terjangkau oleh daya beli
masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Subsidi listrik diberikan dengan
tujuan agar harga jual listrik dapat terjangkau oleh pelanggan dengan golongan tarif



7
tertentu, mendukung ketersediaan listrik bagi industri, komersial, dan pelayanan
masyarakat, serta diharapkan dapat menjamin program investasi dan rehabilitasi sa-
rana/prasarana dalam penyediaan tenaga listrik (Nota Keuangan dan RAPBN 2014).

Tabel 4-2 Tabel Perhitungan Kebutuhan Subsidi 2013

Energi Harga Pasar Harga Subsidi Selisih Konsumsi Total Beban APBN
Premium (per liter) 10,000 6,500 3,500 31,080,000,000 108,780,000,000,000
Solar (per liter) 11,000 5,500 5,500 17,250,000,000 94,875,000,000,000
LPG (per kg) 10,785 4,944 5,841 4,410,000,000 25,758,810,000,000
LGV (per kg) 6,636 5,136 1,500 230,000,000 345,000,000,000
Listrik (per KWH) 950 630 320 90,480,000,000 28,953,600,000,000
258,712,410,000,000 Total Kebutuhan 2013

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Dalam tabel 4-2 Penulis berupaya untuk menganalisis total beban APBN yang
diakibatkan oleh harga keekonomian yang tidak tercapai akibat kebijakan subsidi en-
ergy. Perbedaan nilai total beban APBN sebagai akibat subsidi energy dalam perhi-
tungan diatas dengan nilai pada APBN yang sesungguhnya kemungkinan terjadi ka-
rena adanya perbedaan asumsi yang dipakai oleh Pemerintah.
Dalam laporan IISD (2012) dijelaskan bahwa Indonesia menggunakan mekanisme
subsidi guna menekan harga eceran bahan bakar sejak 1967. Pada era 1980-an, ketika
produksi minyak Indonesia lebih tinggi dibanding saat ini, subsidi bahan bakar lebih
terjangkau, meskipun hal ini banyak menuai kritik karena subsidi energi menganggu
sistem perekonomian secara keseluruhan. Ketika harga minyak dunia meningkat pada
2005, pemerintah menghabiskan 24 persen dari pengeluaran totalnya untuk subsidi, dan,
dari jumlah tersebut, 90 persennya dihabiskan untuk produk-produk bahan bakar. Guna
mengurangi pengeluarannya, pemerintah meningkatkan harga minyak tanah, bensin
dan diesel di dalam negeri dua kali dalam kurun enam bulan pada 2005. Peningkatan
harga pertama kali dilakukan pada Maret sebesar 29 persen (untuk harga bahan bakar),
sementara yang kedua pada Oktober sebesar 114 persen. Produksi minyak mentah In-
donesia menurun sejak 1998 seiring menuanya umur sumur-sumur minyak terbesar di
Indonesia.
Pada 2004 Indonesia menjadi net importir minyak dan tidak lama setelah itu
pemerintah menangguhkan keanggotaannya di Organisasi Negara-Negara Pengekspor
Minyak. Pada 2011, badan pengatur minyak dan gas bumi sektor hulu, BP Migas, mem-
perkirakan cadangan minyak potensial dan terbukti hanya akan bertahan sampai 12 ta-
hun, sedangkan untuk gas alam hanya bertahan sampai 46 tahun.

4.2.2. Pengaruh Pendorong Penghapusan Subsidi Energi
Banyak organisasi internasional yang telah mengeluarkan sikap terkait pelestarian
lingkungan. Badan-badan internasional seperti United Nations of Environment
Programme, World Health Organisation, G20, Uni Eropa dan lain-lain. Organisasi-
organisasi ini mendukung upaya pencegahan perubahan iklim drastis yang salah
satunya diindikasikan disebabkan oleh gas buang berlebihan. Gas buang ini menjadi
pemicu polusi udara. Gas buang dipicu oleh proses industri dan pembakaran mesin
kendaraan bermotor. Jika kebijakan penghapusan subsidi energi dilakukan, maka
susungguhnya Indonesia telah ikut berpartisipasi dalam ide-ide organisasi internasional



8
tersebut. Keputusan untuk mengikuti saran dari organisasi-organisasi ini sepenuhnya
berada di tangan Pemerintah.
Harga energi yang sesuai dengan nilai pasar wajar akan membuat keputusan
ekonomi lebih rasional. Dunia usaha akan memiliki kesetaraan dalam berusaha. Dengan
membaiknya kompetisi pasar yang sehat maka kecenderungan alokasi belanja pihak-
pihak dalam ekonomi akan lebih fokus kedalam prioritas-prioritas jangka panjang,
rasional, dan berkelanjutan.
Persaingan dalam pasar juga dapat menimbulkan keuntungan sebagai berikut
(AMD 2014):
1) Konsumen akan mendapatkan pilihan produk berkualitas dengan harga terbaik.
Pembatasan terhadap kebebasan konsumen dalam pilihan konsumsi akan
menghambat inovasi;
2) Dunia usaha akan mendapatkan pemicu untuk melakukan efisiensi biaya demi
kelangsungan usaha serta kepuasan pelanggan;
3) Harga kompetitif, inovasi produk, peningkatan kinerja dan praktek persaingan sehat
akan membantu Pemerintah dalam menciptakan nilai publik tersendiri;
4) Persaingan usaha akan memicu pertumbuhan ekonomi secara nyata.
Berdasarkan Nota Keuangan dan RAPBN 2014, pada tahun 2013 dari total realisasi
belanja sebesar Rp 1.196,8 triliun, Pemerintah mengeluarkan Rp 299,9 triliun atau
setara dengan 25% total belanja Pemerintah. Dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun 2014 (RAPBN 2014), subsidi energi mengalami penurunan
sebesar Rp 15,2 triliun menjadi Rp 284,7 triliun. Penurunan ini banyak dipengaruhi
oleh parameter asumsi makro Pemerintah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
kenaikan masih dapat terjadi mengingat fluktuasi kondisi ekonomi dan tren tradisi
perubahan dalam APBN setiap tahunnya.
Jika dilihat dari proporsinya, belanja subsidi energi dalam postur RAPBN 2014
telah mencapai 27,3% dari total belanja Pemerintah diikuti oleh belanja Pegawai yang
mencapai 22,5%. Kedua jenis belanja tersebut mengalahkan jumlah proporsi belanja
modal yang hanya sebesar 16,7% (Nota Keuangan dan APBN 2014). Padahal belanja
modal memiliki efek pengali ekonomi yang lebih tinggi daripada belanja subsidi energi.
Jumlah belanja subsidi energi juga lebih tinggi 1,8 kali dibandingkan belanja untuk
fungsi pendidikan, 6 kali lebih tinggi daripada bantuan perumahan rakyat, 11,5 kali
lebih tinggi daripada belanja fungsi kesehatan dan 32 kali lebih tinggi daripada belanja
bantuan sosial yang meliputi perlindungan orang miskin, cacat, anak-anak dan wanita
(IISD 2011).
Saat ini Indonesia juga memiliki gap antara permintaan dan penawaran akan energi,
terutama bahan bakar. Penggunaan bahan bakar minyak tidak sebanding dengan
produktifitas penambangannya. Dengan tidak adanya dorongan untuk memanfaatkan
sumber energi lain, pilihan untuk mengimpor menjadi satu-satunya pilihan saat ini.
Pilihan impor inilah yang menyebabkan jumlah subsidi energi semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Sejak kenaikan harga minyak yang drastis di tahun 2008, beban APBN
untuk subsidi energi terutama BBM semakin melonjak. Pada November 2008 harga
minyak melonjak menjadi hampir US$ 150, lebih tinggi dari harga tahun lalu sebesar
US$ 80 (ESDM 2012). Beban APBN meningkat dikarenakan asumsi makro yang harus
disesuaikan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM (2013), nilai impor migas Indonesia pada
tahun 2013 didominasi oleh mata uang Dolar Amerika yang mencapai 98% atau kurang
lebih US$ 45 miliar. Walaupun data yang tersaji tidak memberikan gambaran proporsi



9
penggunaan impor migas, namun data ini setidaknya dapat memberikan gambaran
ketergantungan negara terhadap impor migas. Nilai yang sangat besar ini akan semakin
memperburuk keadaan ketika nilai tukar Rupiah semakin melemah.
Kondisi persediaan bahan bakar minyak dalam negeri yang terbatas menyebabkan
permintaan impor yang merugikan neraca pembayaran. Hal ini diperburuk dengan
ketidakstabilan harga minya dunia dan naik turunnya nilai mata uang Rupiah terhadap
Dolar Amerika.


Grafik 4-1 Tabel Konsumsi dan Produksi Minyak Indonesia
Sumber: Index Mundi, 2010


Grafik 4-2 Produksi Energi Indonesia
Sumber: OECD/IEA 2013

Pemerintah seringkali kurang serius dalam mencari solusi dari masalah kenaikan
jumlah subsidi energi yang semakin membesar. Beban subsidi tersebut menjadi



10
hambatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memberikan
dampak yang lebih luas dan memastikan pertumbuhan jangka panjang.


Grafik 4-3 Konsumsi Energi Indonesia
Sumber: OECD/IEA 2013




Grafik 4-4 Perkembangan Subsidi Energi
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2014



11
Masalah lain terkait subsidi energi adalah potensi tindak kriminal yang
mengikutinya. Masalah ekonomi yang paling mengganggu adalah upaya kejahatan
untuk menggelapkan bahan bakar bersubsidi ke wilayah atau negara lain yang tidak
menerapkan subsidi. Resiko penimbunan juga dapat terjadi karena potensi keuntungan
akan spekulasi cukup menggiurkan. Biasanya upaya kejahatan tersebut disertai oleh
praktek korupsi yang dilakukan oleh aparat sipil, karena kemudahan dalam praktek
suap. Resiko pengoplosan juga dapat terjadi. Pengoplosan akan meningkatkan marjin
usaha pelaku pengoplosan namun sangat merugikan pengguna. Mesin akan cepat rusak
dan potensi kecelakaan dapat meningkat akibat kegagalan mesin.
Jika penghapusan subsidi energi benar-benar dihapuskan maka Pemerintah akan
memiliki dana lebih senilai hampir Rp 300 triliun. Jika menggunakan perhitungan kasar,
maka utang Pemerintah yang saat ini senilai hampir Rp 3.000 triliun dapat lunas dalam
jangka waktu 10 tahun.
Cara lain memanfaatkan dana lebih ini adalah dengan meningkatkan pembagunan
di luar Jawa yang sampai saat ini relatif tidak tersentuh dengan maksimal. Jika kita
belajar dari China, maka pembangunan infrastruktur jalan raya nasional berkualitas
tinggi lebih mampu merubah kondisi perekonomian rakyat karena akses-akses terhadap
sumber daya ekonomi antar daerah akan lebih merata.
Dalam situsnya, KPK menjelaskan bahwa pada tahun 2010 Kementerian Pekerjaan
Umum berhasil membangun jalan nasional baru sepanjang 1.993 km dengan biaya Rp
11.572,70 milyar. Dengan kata lain biaya pembangunan jalan per kilometer
diperkirakan sekitar Rp 5.806.673.356,75. Jika dana hasil penghapusan subsidi yang
berjumlah kurang lebih Rp 300 triliun diinvestasikan dalam pembangunan ini, maka
akan diperoleh jalan nasional baru sepanjang 51.665 km setiap tahunnya. Pilihan-
pilihan investasi ini sepenuhnya berada pada tangan Pemerintah.
Selain itu ada indikasi bahwa subsidi energi di Indonesia tidak tepat sasaran.
Seharusnya subsidi energi ditujukan untuk memberikan kesetaraan akses energi bagi
orang miskin. Namun pada kenyataannya sebagian besar manfaat subsidi dinikmati
oleh golongan yang mampu dengan tingkat konsumsi yang boros.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2010,
sebesar 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan terendah hanya
menerima alokasi subsidi sebesar 15%. Sementara itu, 25% kelompok rumah tangga
dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%.
Masih merujuk data Kementerian ESDM, jika dilihat dari sektor pengguna
transportasi sebanyak 89% BBM bersubsidi dinikmati transportasi darat, transportasi
laut 1%, rumah tangga 6%, sektor perikanan 3%, dan hanya 1% dinikmati usaha kecil
menengah. Konsumsi premium untuk transportasi darat sebesar 53% justru dinikmati
mobil pribadi, 40% dinikmati motor, 4% dinikmati mobil barang, dan 3% dinikmati
kendaraan umum. Data-data ini menunjukkan secara gamblang pemborosan anggaran
dan ketidaktepatan sasaran subsidi energi yang terjadi selama ini di Indonesia.
Subsidi energi juga menyebabkan pemborosan dalam penggunaan bahan bakar.
Sebagai gambaran permintaan akan bahan bakar yang semakin meningkat, berikut
disajikan grafik pertumbuhan kendaraan dari tahun ke tahun.




12

Grafik 4-5 Pertumbuhan Kendaraan Darat
Sumber: www.bps.go.id

Subsidi energi menyebabkan peningkatan terhadap bahaya efek gas rumah kaca,
meningkatkan polusi udara dan pemborosan sumber daya alam. Pemantauan udara jalan
raya sejumlah kota besar pada 2012 memberikan informasi beberapa pencemar udara
meningkat. Hal ini berarti kualitas udara menurun, yang berdampak buruk bagi
kesehatan, pertumbuhan hutan, mengurangi jarak pandang, dan merusak bangunan
karena hujan asam. Selain menimbulkan asap hitam, bau tidak sedap, iritasi mata dan
infeksi pernafasan, pencemaran udara juga memicu risiko kematian dini, produktivitas
kerja menurun, dan gangguan produksi pertanian. Dapat dilihat pada studi Asian
Development Bank (ADB) pada 2002 yang mengidentifikasikan, dampak kesehatan
karena udara tercemar di Jakarta menelan biaya Rp1,8 triliun (Kementerian Lingkungan
Hidup 2012).
Subsidi energi mencegah usaha penelitian dan pengembangan untuk mencari
sumber energi alternatif. Banyak negara maju yang telah beralih kepada sumber energi
lain selain bahan bakar fosil. Beberapa sumber energi alternatif yang telah sukses
dicoba antara lain: tenaga matahari baik untuk kendaraan maupun pembangkit listrik,
tenaga listrik dalam mobil listrik, tenaga angin untuk pembangikit listrik, tenaga nuklir
dan lain-lain.

4.2.3. Pengaruh Penghambat Penghapusan Subsidi Energi
Tahun-tahun pemilu adalah masa yang kritis. Disebut kritis karena biasanya
Pemerintah incumbent akan mengeluarkan kebijakan populis yang pada hakekatnya
tidak rasional. Menurut catatan Kompas.com (Suryowati 2014), dari 2005 hingga 2009,
SBY menaikkan tiga kali dan menurunkan tiga kali harga BBM. Pada 2005, harga
premium naik dua kali, dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400, kemudian naik lagi menjadi
Rp 4.500.
Harga premium juga naik satu kali pada 2008 dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000. Pada
tahun yang sama, harga premium turun dua kali, dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500,
kemudian menjadi Rp 5.000. Menjelang Pemilu 2009, harga premium kembali turun



13
menjadi Rp 4.500. Kabar ini membuktikan bahwa dinamika politik sangat menentukan
kesuksesan kebijakan subsidi energi.
Argumen lain yang berpendapat bahwa subsidi energi ikut berpartisipasi dalam
pertumbuhan ekonomi juga telah dipatahkan secara empiris. Berdasarkan hasil analisis
regresi yang telah dilakukan oleh Ginting (n.d.) membuktikan bahwa subsidi energi
yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata negatif dan signifikan, artinya pengeluaran
subsidi energi yang telah dikeluarkan begitu besar oleh pemerintah ternyata tidak
mampu memberikan stimulus dan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan hasil di atas dan
kenyataan dilapangan, sebaiknya pemerintah bersama DPR untuk dapat duduk bersama
untuk melakukan program pengurangan subsidi energi terutama subsidi terhadap BBM,
untuk dialihkan ke program lain yang lebih bermanfaat dan dirasakan langsung
masyarakat dan dapat menumbuhkan perekonomian nasional.
Pendapat yang menyatakan bahwa subsidi energi mendukung usaha ketahanan
energi di Indonesia adalah tidak relevan. Karena pada kenyataannya, Indonesia sedang
mengalami krisis energi. Pendapat ini dapat menjadi relevan ketika Indonesia memiliki
cadangan energi terutama minyak yang melimpah.
Subsidi energi memang memegang peranan penting dalam penyediaan layanan
energi kepada seluruh lapisan masyarakat. Namun tujuan mulia ini nampaknya belum
dapat tercapai mengingat kesalahan sasaran dalam kebijakan serta kinerja yang kurang
dari penyediaan energi ini sendiri. Contoh nyata adalah tingkat kelistrikan Indonesia
pada tahun 2013 masih dalam taraf 80,1%. Sehingga saat ini tersisa 20% masyarakat
Indonesia yang belum menikmati listrik (Siregar 2013).
Penghapusan subsidi energi juga memiliki dampak negatif yaitu kenaikan harga
barang dan jasa serta pemangkasan karyawan yang mengikutinya. Ketergantungan
industri dan usaha lain kepada bahan bakar subsidi akan menyebabkan kurangnya
responsivitas dunia usaha. Ketika penghapusan subsidi energi dijalankan dan kondisi
lain tidak berubah, maka harga pokok produksi akan meningkat. Kenaikan ini akan
dibebankan kepada konsumen melalui kenaikan harga barang dan jasa. Pilihan lainnya
adalah tidak membebankan kepada harga namun memangkas sumber daya perusahaan
antara lain dengan pemutusan hubungan kerja. Tetapi pemerintah dapat mengendalikan
eksternalitas negatif ini dengan menerapkan insentif-insentif usaha.
Hal terakhir yang paling tidak diinginkan oleh Pemerintah ketika keputusan
penghapusan subsidi energi dijalankan adalah demonstrasi yang mengikutinya. Di
Indonesia sendiri sudah sering terjadi dimana demonstrasi berakhir pada kericuhan dan
pengrusakan barang publik. Kerugian yang diakibatkan sangat besar karena kerugian
tidak hanya mencakup kerusakan sarana publik melainkan juga meliputi kerugian
akibat berhentinya proses produksi dalam hal demonstrasi yang dilakukan oleh serikat
buruh.

5. Simpulan dan Saran
Penulis berpendapat subsidi energi harus dihapuskan. Ide ini memang telah lama
dicanangkan oleh Pemerintah, walaupun tidak pernah diimplementasikan. Pro dan kontra
selalu menyertai wacana penghapusan subsidi. Pemerintah sendiri berencana akan
mengembalikan harga premium dan solar kepada harga keekonomiannya dalam rentang
tahun 2014 2015 (Asih 2010). Walaupun Penulis sendiri pesimis menanggapi komitmen
Pemerintah tersebut.




14
Beberapa alasan yang menjadi dasar penghapusan subsidi energi adalah:
1) Subsidi energi semakin memberatkan APBN dikarenakan penggunaan bahan bakar
yang semakin meningkat;
2) Harga minyak dunia yang semakin meningkat;
3) Kapasitas produksi migas dalam negeri yang buruk;
4) Implementasi subsidi energi tidak tepat sasaran dibuktikan dengan jumlah persentase
penikmat manfaat subsidi yang didominasi golongan menengah keatas;
5) Subsidi energi menghambat proses menuju kemandirian energi akibat distorsi
penetapan harga, kompetisi usaha, dan pilihan investasi; dan
6) Subsidi energi meningkatkan preferensi penggunaan bahan bakar fosil sehingga
berdampak langsung kepada kualitas udara dan lingkungan.
Penghapusan subsidi energi berarti harga energi mengikuti harga pasar internasional.
Sistem ini disebut dengan automatic pricing mechanism (Granado dkk. 2010). Keunggulan
sistem ini adalah harga akan befluktuasi mengikuti harga pasar, sehingga preferensi
ekonomi akan lebih rasional dan kompetisi usaha akan lebih sehat. Namun sistem ini bukan
tanpa kelemahan. Kelemahan sistem ini adalah jika fluktuasi yang sangat tajam terjadi,
maka muncul potensi goncangan ekonomi dan sosial jika kondisi masyarakat suatu negara
belum siap.
Kelemahan sistem ini dapat diperkecil dengan cara smoothing (Federico dkk. 2001).
Metode smoothing adalah upaya memperhalus gejolak fluktuasi harga minyak dengan cara
merubah harga dengan perode tertentu bukan seketika, harga terus dinaikkan menuju harga
keekonomian dalam jangka menengah, dan yang terakhir memastikan bahwa perode
perubahan harga mempresentasikan kondisi pasar sesungguhnya.
Penghapusan subsidi energi tentu akan berdampak langsung terhadap golongan tidak
mampu, sehingga Pemerintah harus mencari solusi untuk masalah ini. Salah satu solusi
penyeimbang adalah dengan bantuan dana tunai langsung kepada masyarakat golongan
tidak mampu. Pemerintah Indonesia sendiri telah melaksanakan cara ini dengan
mencairkan dana senilai Rp25,6 triliun pada tahun 2012. Namun menurut LIPI (2008),
pemberian bantuan langsung tunai menuai banyak masalah antara lain :
1) Warga miskin yang tidak terdaftar;
2) Distribusi Kartu BLT tidak merata;
3) Kurangnya koordinasi pemerintah pusat dengan cabang PT Pos Indonesia di daerah;
4) Jumlah BLT yang dinilai terlalu kecil; dan
5) Konflik sosial akibat program tersebut.
Melihat berbagai permasalahan tersebut sudah seharusnya pemerintah mencari inovasi-
inovasi dalam pemberian bantuan langsung.
Penghapusan subsidi energi juga seharusnya dibarengi dengan program-program
Pemerintah yang memberikan kemudahan sebagai penyeimbang kebijakan penghapusan
subsidi. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh negara-negara lain yang telah mengurangi
dan menghapus subsidi energi mereka antara lain sebagai berikut (Granado dkk. 2010):
1) Komunikasi yang baik dan terukur, baik sebelum dan sesudah pengumuman kebijakan
penghapusan subsidi;
2) Penajaman sensus penduduk golongan miskin demi akurasi bantuan langsung;
3) Perluasan program kredit usaha kecil dan menengah terutama untuk golongan tidak
mampu;
4) Pemberian fasilitas pembebasan tagihan listrik bagi rumah tangga dengan tingkat
penggunaan listrik tertentu dibawah rata-rata yang ditetapkan;



15
5) Pembebasan biaya sekolah dasar dan menengah termasuk pemberian buku teks dengan
gratis;
6) Pemberian insentif terhadap jenis investasi yang memiliki dampak luas seperti fasilitas
kesehatan, pengolahan air, transportasi dan pembangkit energi baru;
7) Perluasan layanan transportasi publik yang aman dan nyaman; dan
8) Peningkatan gaji pegawai negeri demi peningkatan kualitas layanan publik terutama
pada sektor pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.

6. Daftar Referensi
AMD. 2014. Benefits of Competition. http://www.amd.com/us/aboutamd/corporate-
information/fair-and-open-competition/benefits/Pages/benefits-of-competition.aspx.
Diakses 7 Maret 2014.

Beaten, Christopher dan Lucky Lontoh. 2010. Lessons Learned from Indonesias
Attempts to Reform Fossil-Fuel Subsidies. International Institute for Sustainable
Development. http://www.iisd.org/pdf/2010/lessons_indonesia_fossil_fuel_reform.pdf.
Diakses 7 Maret 2014.

Collins. (n.n.). Subsidy. http://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/subsidy.
Diakses 7 Maret 2014.

European Environment Agency. 2004. Energy subsidies in the European Union: A brief
overview. EEA.
http://www.eea.europa.eu/publications/technical_report_2004_1/download. Diakses 7
Maret 2014.

Ginting, Ari Mulianta. Analisa Kebijakan Subsidi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia. http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-12.pdf. Diakses 7
Maret 2014.

Granado, Javier Arze del, David Coady, dan Robert Gillingham. 2010. The Unequal
Benefits of Fuel Subsidies: A Review of Evidence for Developing Countries. Benedict
Clements. http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2010/wp10202.pdf. Diakses 7 Maret
2014.

Handoko, Rudi dan Pandu Patriadi. 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi NonBBM. Kajian
Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4.
http://www.fiskal.depkeu.go.id/ENG/kajian/rudi%26pandu-4.pdf. Diakses 7 Maret 2014.

KPK. (n.d.). http://indonesiamemantau.kpk.go.id/peta/summary.php. Diakses 7 Maret
2014.

IEA, OPEC, OECD, WORLD BANK. 2010. Analysis Of The Scope Of Energy Subsidies
And Suggestions For The G-20 Initiative. http://www.oecd.org/env/45575666.pdf.
Diakses 7 Maret 2014.




16
International Institute for Sustainable Development. 2013. Briefing Subsidi Energi
Indonesia Oktober 2013. http://www.iisd.org/gsi/news/indonesia-monthly-briefing-
october-2013. Diakses 7 Maret 2014.

International Institute for Sustainable Development. 2011. Energy Subsidies: A
deception? http://www.iisd.org/publications/pub.aspx?pno=1526. Diakses 7 Maret 2014.

International Institute for Sustainable Development. 2012. Panduan Masyarakat Tentang
Subsidi Energi Di Indonesia Perkembangan Terakhir 2012.
http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/indonesia_czguide_bahasa_update_2012.pdf.
Diakses 7 Maret 2014.

International Institute for Sustainable Development. 2012. Indonesias Fuel Subsidies:
Action plan for reform. http://www.iisd.org/publications/pub.aspx?id=1595. Diakses 7
Maret 2014.

International Institute for Sustainable Development. (n.d.).
http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/ffs_awc_3canprovinces.pdf. Diakses 7 Maret
2014.

Kementerian Keuangan. 2014. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2014.

Mourougane, Annabelle. 2010. Phasing Out Energy Subsidies In Indonesia. OECD
Economics Department.
http://www.oecd.org/eco/economicsdepartmentworkingpapers.htm. Diakses 7 Maret
2014.

Munawar, Dungtji. 2013. Memahami Pengertian dan Kebijakan Subsidi dalam APBN.
BPPK.
http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/cimahi/attachments/299_Memahami%20Subsidi.pdf.
Diakses 7 Maret 2014.

N. Gregory Mankiw. 2011. Principles of Microeconomics 6th Edition. South-Western
Cengage Learning : USA.

ODI. 2009. Management Techniques: Force Field Analysis.
http://www.odi.org.uk/publications/5218-force-field-analysis-decision-maker. Diakses 7
Maret 2014.

Pershing, Jonathan dan Jim Mackenzie. 2004. Removing Subsidies: Leveling the Playing
Field for Renewable Energy Technologies. Secretariat of the International Conference for
RenewableEnergies.
http://ren21.net/Portals/0/documents/irecs/renew2004/Removing%20subsidies.pdf.
Diakses 7 Maret 2014.

Pusdatin ESDM. 2012. Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia.
http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Handbook%20of%20Energy%20&%20Economic%2



17
0Statistics%20of%20Indonesia%20/Handbook%20of%20Energy%20&%20Economic%2
0Statistics%20ind%202012.pdf. Diakses 7 Maret 2014.

Shastri, Paromita. 2007. Direct cash transfer better than subsidy: World Bank.
http://www.livemint.com/Politics/LcUqEG5nSpf3l8HMbvRV0L/Direct-cash-transfer-
better-than-subsidy-World-Bank.html. Diakses 7 Maret 2014.

Siregar, Sopia. 2013. Per September 2013, Rasio Elektrifikasi 80,1%.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/54442/Per-September-2013-Rasio-
Elektrifikasi-801. Diakses 7 Maret 2014.

Suryowati, Estu. 2014. Faisal Basri: SBY, Satu-satunya Presiden yang Saldonya Nol.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/03/03/0740494/Faisal.Basri.SBY.Satu-
satunya.Presiden.yang.Saldonya.Nol. Diakses 7 Maret 2014.

Asih, Ratnaning. 2010. Pemerintah Targetkan Bebas Subsidi Energi 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2010/03/22/087234372/Pemerintah-Targetkan-Bebas-
Subsidi-Energi-2014. Diakses 7 Maret 2014.

United Nations Environment Programme. 2008. Division of Technology, Industry and
Economics. Reforming Energy Subsidies : Opportunities to Contribute to the Climate
Change Agenda.

Vagliasindi, Maria. 2013. Implementing Energy Subsidy Reforms: Evidence from
Developing Countries. The World Bank.
https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/11965. Diakses 7 Maret 2014.

Vagliasindi, Maria. 2012. Implementing Energy Subsidy Reforms: An Overview of the
Key Issues. The World Bank. http://elibrary.worldbank.org/doi/book/10.1596/1813-9450-
6122. Diakses 7 Maret 2014.

Wikipedia. (n.d.). Force Field Analysis. http://en.wikipedia.org/wiki/Force-field_analysis.
Diakses 7 Maret 2014.

Wikipedia. (n.d.). Energy Subsidies.
http://en.wikipedia.org/wiki/Energy_subsidies#cite_note-bonn-7. Diakses 7 Maret 2014.

(n.n.). (n.d.). Force Field Analysis.
http://www.valuebasedmanagement.net/methods_lewin_force_field_analysis.html.
Diakses 7 Maret 2014

(n.n.). (n.d.). On energy subsidies and externalities.
http://oneinabillionblog.com/energy/energy-policy/on-energy-subsidies-and-externalities/.
Diakses 7 Maret 2014.

(n.n.). (n.d.). Force Field Analysis.
http://literacy.kent.edu/eureka/strategies/force_field_analysis.pdf. Diakses 7 Maret 2014.




18
7. Tentang Penulis
Kharisma Baptiswan adalah pegawai negeri sipil pada Direktorat
Jenderal Pajak. Pada saat penulisan, Penulis sedang
melaksanakan tugas belajar dan menyelesaikan pendidikan
Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus di Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara tahun ajaran 2013/2014. Penulisan makalah
dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Seminar
Keuangan Publik.

Anda mungkin juga menyukai