Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS DAMPAK PENGURANGAN SUBSIDI LISTRIK

TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL

Jefri Samodro
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sebagaimana dilakukan di berbagai negara, selama puluhan tahun pemerintah Indonesia
menerapkan kebijakan subsidi guna mencapai sejumlah sasaran sosial dan ekonomi. Kebijakan ini
kerap ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pembangunan
infrastruktur, serta pengembangan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Namun, seiring semakin
tingginya kebutuhan lain yang harus diurus oleh pemerintah, menentukan alokasi sumber daya
keuangan publik menjadi salah satu tugas pemerintah yang paling penting dan sulit.
Jenis subsidi yang kerap menjadi sorotan dan mengundang banyak kontroversi adalah
subsidi energi. Jika dilihat secara rata-rata, sejak tahun 2008 hingga tahun 2015, 20% dari APBN
dialokasikan untuk subsidi dimana 80% dari total subsidi merupakan subsidi energi. Kemudian jika
dilihat alokasinya secara rata-rata pada periode yang sama, subsidi bahan bakar minyak (BBM)
merupakan 63% dari total subsidi energi. Besarnya sumber daya yang dialokasikan untuk subsidi
energi ini, dan pengalokasiannya menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan manfaatnya bagi
perekonomian.
Mulai awal tahun 2016, Pemerintah Republik Indonesia akan mencabut subsidi untuk listrik.
Pencabutan listrik tersebut akan dilakukan kepada pelanggan listrik golongan 900 VA. Selain
golongan tersebut, pencabutan subsidi juga dilakukan terhadap sebagian pelanggan listrik golongan
450 VA. Hal tersebut dilakukan untuk penghematan anggaran pada tahun 2016.
Pencabutan subsidi listrik dilakukan juga untuk menyaring konsumen yang mendapatkan
subsidi. Karena banyak masyarakat yang tidak layak mendapatkan subsidi, namun masih terus
mendapatkan subsidi. Sedangkan banyak warga miskin yang belum mendapatkan subsidi, sehingga
belum mendapatkan aliran listrik. Pencabutan subsidi tersebut nantiya akan berdampak pada
penigkatan rasio elektrifikasi nasional yang saat ini masih 86,39% (CNN Indonesia, 2015).
Pada tahun 2015, kabinet kerja presiden Jokowi mencanangkan reformasi struktural dalam
APBN, dimana presentase anggaran yang dialokasikan untuk subsidi hanya sebesar 10%. Presentase
tersebut merupakan yang terendah dalam 10 tahun terakhir. Selain itu, hal menarik lainnya adalah
53% dari total subsidi energi tahun ini merupakan subsidi listrik. Subsidi energi pada tahun 2015
lebih berorientasi pada ketenagalistrikan, dimana hal ini tidak pernah ditemui dalam 10 tahun
terakhir. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan akan apa yang mendasari perubahan alokasi subsidi
energi di tahun ini, dan apakah perubahan tersebut menguntungkan bagi perekonomian.
Di tahun 2015, Pemerintah mengalokasikan subsidi listrik sebesar Rp 73.142,2 miliar yang
diberikan melalui mekanisme tarif berdasarkan golongan pengguna daya 450 VA dan 900 VA. Selama
ini, pelanggan listrik 450 VA membayar tarif subsidi Rp 415,5 per KWh dan pelanggan listrik 900 VA
membayar tarif subsidi Rp 586,23 per KWh. Sedangkan harga keekonomian dari listrik adalah Rp
1.352. Dan pada tahun 2016, subsidi tersebut Rp 50.000 miliar yang akan diberikan dengan
mekanisme tarif berdasarkan penghasilan untuk 24,7 pelanggan rumah tangga, pelanggan industry
untuk 15 golongan pelanggan listrik lain (Kompas, 2015).
Dari kebijakan pemangkasan subsidi tersebut perlu dilihat dampaknya terhadap
perekonomian nasional. Perubahan subsidi yang cukup signifikan akan berdampak pada
perekonomian secara keseluruhan. Selain sebagai konsumsi akhir, Listrik merupakan sektor yang

1
sangat penting untuk menggerakkan sektor lain. Perekonoman akan terdampak akibat dari
perubahan subsidi listrik ini.

I.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada penelitian ini:
1. Bagaimana dampak subsidi energi listrik terhadap output perekonomian, pendapatan, dan
penggangguran?
2. Apakah arah perubahan alokasi subsidi pada subsidi listrik yang dicanangkan pada tahun
2016 lebih menguntungkan bagi perekonomian jika dibandingkan dengan alokasi subsidi
pada tahun 2015?
3. Sektor apa yang paling menguntungkan untuk mendapatkan anggaran pengalihan dari
pemangkasan subsidi BBM?

I.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa efektivitas subsidi listrik, dimana
analisa akan melihat dampah subsidi listrik terhadap output perekonomian, pendapatan, dan
pengangguran. Kemudian penelitian ini juga bermaksud untuk membandingkan beberapa skema
alokasi subsidi energi sehingga dapat dilihat alokasi subsidi seperti apa yang paling menguntungkan
bagi perekonomian. Adapun pendekatan yang digunakan adalah analisis model input-output.

II. TINJAUAN LITERATUR


II.1 Subsidi
Umumnya, subsidi energi dapat didefinisikan sebagai “berbagai bentuk tindakan pemerintah
yang bertujuan menurunkan biaya produksi energi, meningkatkan pendapatan produsen energi atau
mengurangi biaya yang dibayar oleh konsumen energi” (IEA, 2010). Subsidi energi dibagi menjadi
dua kategori: subsidi yang dirancang untuk mengurangi biaya konsumsi energi, yang disebut sebagai
subsidi konsumen, dan subsidi yang bertujuan mendukung produksi domestik, atau subsidi produsen
(Burniaux, 2009, dalam Ellis, 2010).
Dalam pelaksanaannya, subsidi energi dapat diterapkan dalam berbagai bentuk. OECD/IEA & UNEP
(2002) dan UNEP (2008) mengidentifikasi berbagai mekanisme umum yang biasa digunakan banyak
pemerintah untuk mendukung produksi dan konsumsi energi, termasuk:
• Pemberian dana langsung: pemberian uang tunai kepada konsumen, produsen, bunga
rendah atau hutang preferensial, dan jaminan hutang pemerintah;
• Perlakuan pajak secara khusus: kredit pajak, potongan pajak, pembebasan royalti, bea cukai
atau tarif, pengurangan pajak, penangguhan pajak, dan percepatan depresiasi untuk
perlengkapan pasokan energi;
• Hambatan perdagangan: tarif, kuota impor dengan hambatan tarif dan non-tarif;
• Jasa terkait energi yang diberikan langsung oleh pemerintah dengan biaya yang lebih murah,
seperti infrastruktur energi, penelitian dan pengembangan publik;
• Pengaturan sektor energi: jaminan permintaan, kewajiban untuk mempekerjakan tenaga
kerja tertentu, pengendalian harga, peraturan tentang lingkungan, dan hambatan akses
pasar.
II.2 Subsidi Listrik
Pemerintah Indonesia menetapkan tarif listrik untuk seluruh jenis konsumen (contohnya:
industri, bisnis, rumah, dan layanan publik).Besarnya subsidi ditentukan pemerintah setiap tahun
dan didasarkan pada perbedaan antara rata-rata biaya produksi listrik yang diajukan oleh

2
Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan rata-rata tarif listrik yang ditetapkan oleh pemerintah. Rata-rata
biaya produksi listrik didasarkan pada perkiraan komposisi pasokan energi yang dibutuhkan untuk
membangkitkan listrik dan menjalankan pembangkit listrik, transmisi, distribusi dan biaya pasokan,
serta selisih keuntungan untuk PLN. Subsidi listrik melonjak dari Rp9 triliun (US$0,9 miliar) pada
2005 menjadi Rp31 triliun (US$3,4 miliar) pada 2006 karena meningkatnya harga minyak mentah
internasional dan konsumsi diesel pada pembangkitan listrik. Subsidi listrik mencapai puncaknya
pada 2011 dengan total Rp90 triliun (US$9 miliar).
II.3 Manfaat Subsidi Energi
Pemerintah Indonesia menyubsidi BBM dan listrik agar harga energi dapat dijangkau,
khususnya oleh kalangan berpendapatan rendah (Kementerian Keuangan, 2010).Subsidi energi
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat melalui dua cara. Dampak
langsungnya adalah, dengan mengeluarkan biaya lebih sedikit untuk BBM, masyarakat akan memiliki
sisa pendapatan yang lebih besar untuk keperluan lain. Sementara itu, dampak tidak langsung
penerapan subsidi energi adalah lebih murahnya biaya barang dan jasa yang dapat dibeli oleh
masyarakat karena subsidi menekan biaya-biaya energi yang harus dikeluarkan produsen,
distributor, dan penyedia layanan.
Namun sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar manfaat subsidi justru
dinikmati oleh golongan berpendapatan tinggi (golongan atas atau mampu). Karena subsidi bahan
bakar dijalankan berdasarkan hitungan liter, dan tidak didasarkan pada perbedaan penghasilan,
maka kalangan yang paling banyak menggunakan bahan bakarlah yang paling mendapatkan manfaat
paling banyak dari subsidi. Konsumen energi terbesar adalah masyarakat golongan atas dan
masyarakat di daerah perkotaan.
Dengan menggunakan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2009, World
Bank (2011) menunjukkan bahwa keperluan rumah tangga dan pribadi mengkonsumi sepertiga dari
total subsidi BBM.Dua pertiga sisanya tersalur ke penggunaan transportasi komersial dan kegiatan
usaha. Kajian tersebut juga menemukan bahwa kalangan masyarakat atas yang berpenghasilan
tinggi mengkonsumsi 84 persen bensin bersubsidi, dengan sepersepuluh kalangan terkaya
mengkonsumsi hampir 40 persen dari total BBM bersubsidi. Sebaliknya, sepersepuluh kalangan
termiskin tercatat hanya mengkonsumsi kurang dari 1 persen total BBM bersubsidi. Analisis lebih
mendalam atas data survei sektor rumah-tangga juga menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga
kalangan miskin dan hampir miskin (didefiniskan sebagai sepersepuluh dari lima terbawah) tidak
mengkonsumsi bensin sama sekali. Hasil serupa ditemukan dalam kajian lain yang dilakukan oleh
(Agustina, 2008). Kajian tersebut menemukan bahwa hampir 90 persen subsidi BBM di Indonesia
menguntungkan 50 persen kalangan terkaya. Pemerintah Indonesia memahami situasi ini.
Kementerian Koordinator Ekonomi pada Mei 2008 menyatakan bahwa 40 persen kalangan terkaya
menikmati 70 persen subsidi, sementara 40 persen kalangan termiskin hanya menikmati 15 persen
dari subsidi tersebut (Mourougane, 2010).
Subsidi BBM dapat mempengaruhi ekonomi melalui beberapa cara. Dampak yang sudah
terlihat adalah beban pada anggaran negara. Selain itu, masih ada pula dampak-dampak penting lain
yang sifatnya lebih sulit untuk diketahui. Dengan merakayasa harga energi supaya lebih murah,
subsidi mendorong terjadinya konsumsi berlebihan dan penggunaan yang tidak efisien. Harga yang
lebih rendah juga mempengaruhi keputusan penanaman modal, karena hal tersebut menghambat
diversifikasi energi dan mengurangi insentif bagi para pemasok energi untuk membangun
infrastruktur baru.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, manfaat subsidi bahan bakar sebenarnya sebagian
besar dinikmati oleh kalangan berpendapatan tinggi, sementara biaya subsidi tersebut harus
ditanggung oleh seluruh pembayar pajak. Akibatnya, subsidi bahan bakar merupakan sebuah
kebijakan yang regresif, yang membuat masyarakat miskin membayar lebih banyak dan menerima
manfaat lebih kecil daripada masyarakat berpendapatan tinggi. Penghentian subsidi akan

3
menghasilkan dampak ekonomi yang positif dalam jangka panjang secara keseluruhan, termasuk
bagi kalangan miskin.
Meskipun demikian, penghentian subsidi juga akan menyebabkan dampak negatif jangka
pendek terhadap sejumlah kalangan. Model ekonomi yang dikembangkan oleh Clements, Jung dan
Gupta (2007), misalnya, menyatakan bahwa pihak yang paling terkena dampak pengurangan subsidi
di Indonesia adalah kelompok masyarakat berpendapatan tinggi, baik di perkotaan maupun
pedesaan, karena kalangan inilah yang paling banyak mengkonsumsi produk minyak. Kalangan ini
kemungkinan besar akan mengurangi konsumsinya dalam jangka pendek agar dapat beradaptasi
dengan harga BBM yang meningkat. Wikarya (2012) berpendapat bahwa akan terjadi penurunan
daya beli secara keseluruhan di Indonesia karena dampak inflasi dari kenaikan harga barang. Warga
miskin adalah yang paling rentan terhadap perubahan ini, terutama mereka yang hidup dengan atau
di bawah upah minimun regional.Untuk mengurangi dampak buruk dari reformasi subsidi bahan
bakar ini, Wikarya (2012) menyarankan kenaikan harga harus diterapkan secara bertahap dan
didukung oleh pengembangan teknologi ekonomi alternatif.
Umumnya kalangan yang tinggal di pedesaaan dan berpendapatan rendah mengkonsumsi
produk pertanian dalam jumlah besar, yang harganya tidak terlalu rentan terhadap perubahan pada
harga BBM. Namun demikian, kaum miskin perkotaan terbukti juga rentan terhadap dampak
kenaikan harga bahan bakar (Clement et al., 2007).Hal ini kemungkinan besar karena, jika
dibandingkan dengan kaum miskin pedesaan, kaum miskin perkotaan lebih banyak bergantung pada
fasilitas dasar (seperti listrik), dan kegiatan usaha mereka lebih bersifat padat modal (bergantung
pada mesin yang mengkonsumsi energi dalam jumlah besar).
Dalam jangka yang lebih panjang, harga minyak yang lebih tinggi tidak akan memberikan
dampak negatif kepada kalangan miskin karena hal itu akan dikompensasi oleh manfaat ekonomis
dari pengurangan subsidi, yakni ketahanan fiskal yang lebih baik, peningkatan pengeluaran
pemerintah untuk sektor sosial, alokasi sumber daya yang lebih efisien, dan meningkatnya
penanaman modal (Clement et al., 2007).
II.5 Konsep Input-Output
Model input-output (IO) merupakan model yang dapat menyajikan dampak total dari
dinamika dalam sektor tertentu terhadap perekonomian. Dimana, perekonomian memiliki berbagai
sektor yang interdependant, yaitu sebuah sektor dalam perekonomian merupakan supplier dari
sektor lain dan akandemand dari output sektor lain. Sehingga setiap shock yang terjadi kepada satu
sektor dalam perekonomian akan merambat ke sektor lain, sehingga dampak yang dihasilkan akan
lebih dari shock yang pertama terjadi. Model IO menganalisa dampak shock dalam satu sektor
terhadap sektor lain dalam perekonomian.
III. METODOLOGI DAN DATA
III.1 Metodologi
Model IO Leontief mengasumsikan secara implisit sistem pasar persaingan sempurna, dan
sumber daya tidak terbatas. Koefisien teknologi yang didapat diasumsikan tetap dan merupakan
ukuran jumlah total input tambahan yang dibutuhkan untuk merespons perubahan permintaan.
Model IO Leontief ini menangkap hubungan ‘technical’ antar industri dalam perekonomian.Namun
bagaimana jika asumsi pasar persaingan sempurna dan sumber daya tak terbatas tidak berlaku pada
objek analisis?Dalam hal ini seperti pada sektor energi. Lebih jauh lagi bagaimana jika analisis ingin
dilakukan untuk melihat dampak terhadap perekonomian atas shock yang terjadi pada sisi
penawaran, bukan sisi permintaan, sebagaimana yang terjadi pada sektor energi, dimana subsidi
diberikan melalui produsen. Oleh karena itu pada penilitian ini pengolahan model tidak dilakukan
dengan pendekatan demand-driven input-output model(Leontief), melainkan dengan pendekatan
supply-driven input-output model (Ghoshian), dimana nilai matriks koefisien teknologi merupakan

4
fraksi dari total output, sehingga hubungan antar industri yang tertangkap oleh model adalah
hubungan kedepan (forward direction).
Sektor yang diberikan shock atas subsidi adalah sektor Ketenagalistrikan (S-155) untuk
subsidi energi listrik. Utnuk melihat dampak dari pemangkasan subsidi, digunakan dua tahun angka
subidi tahun 2015 dan 2016. Analisis dilakukan dengan melakukan shock pengurangan subsidi
sehingga dapat dikeahui dampak terhadap nilai multiplier output, pendapatan, dan employment;
dan nilai keterkaitan kedepan dan kebelakang. Untuk menentukan pengalihan alokasi subsidi seperti
apa yang paling menguntungkan bagi perekonomian, digunakan anggaran subsidi listrik yang tertera
pada APBN 2015 dan 2016.
III.2 Data
Karena keterbatasan akses terhadap model IO, penelitian ini menggunakan tabel input-
output Nasional 192 sektor tahun 2010 yang kemudian diringkas menjadi 10 sektor.. Dengan asumsi
bahwa perekonomian Nasional belum berubah hingga tahun 2016, diharapkan apa yang dijelaskan
melalui penelitian ini relevan dengan fakta yang terjadi di dunia nyata. 10 sektor yang akan
digunakan adalah:
Tabel 1
10 Sektor Perkonomian Indonesia
Nomor Sektor Nama Sektor
1 Pertanian
2 Pertambangan dan Penggalian
3 Industri Pengolahan
4 Ketenagalistrikan
5 Gas dan Air Bersih
6 Bangunan
7 Perdagangan, Hotel, dan Restoran
8 Pengangkutan dan Komunikasi
9 Keuangan, Persewaan, dan Jasa
10 Jasa-Jasa

IV. ANALISIS PEMANGKASAN SUBSIDI LISTRIK


IV.I. Analisis Keterkaitan dan Sektor Kunci
Dalam melihat potensi sektor tertentu yang memiliki pengaruh besar terhadap
perekonomian, salah satu analisis yang dapat digunakan adalah analisis sektor kunci. Analisis ini
dapat menunjukkan sektor apa saja yang memiliki keterkaitan tinggi terhadap sektor lain dalam
perekonomian melalui perhitungan indeks keterkaitan total ke depan atau ITFL dan keterkaitan ke
belakang ITBL dari hasil pengolahan tabel Input Output.
Jika sektor A meningkatkan outputnya, berarti terdapat peningkatan permintaan oleh sektor
A pada sektor lain yang menghasilkan barang yang menjadi input produksi bagi sektor A.
Peningkatan output pada sektor lain tersebut atas meningkatnya output sektor A disebut sebagai
backward linkage. Kemudian, Jika sektor A meningkatkan outputnya, berarti terdapat peningkatan
supply dari sektor A terhadap sektor lain yang menggunakan barang sektor A sebagai input
produksinya. Hubungan semacam ini dinamakan forward linkage.
Tabel 2
Keterkaitan Kebelakang dan Kedepan Sektor Perekonomian

5
Sektor ITBL ITFL
1 0,8155 0,8003
2 0,7541 1,2510
3 1,1340 1,5352
4 1,3278 1,2601
5 0,9675 0,6669
6 1,1339 0,7257
7 0,9995 1,1013
8 1,0278 0,9901
9 0,8436 0,9463
10 0,9964 0,7230

Semakin tinggi nilai backward & forward linkage suatu sektor maka semakin tinggi pula
peran sektor tersebut dalam perekonomian. Pada tabel 1 terlihat bahwa sektor ketenagalistrikan
memiliki nilai forward & backward linkage yang lebih besar daripada sektor industri barang-barang
hasil kilang minyak. Hal ini mengindikasikan sektor ketenagalistrikan memiliki hubungan hulu-hilir
dengan sektor lain yang lebih banyak dibanding sektor industri barang-barang hasil kilang minyak,
sehingga dapat dikatakan bahwa sektor ketenagalistrikan memiliki peran yang lebih penting dalam
perekonomian. Selain itu dilihat dari nilai forward & Backward Linkage sektor ketenagalistrikan yang
lebih dari 1, dapat dikatakan bahwa sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu sektor kunci
dalam perekonomian.Sektor-sektor yang memiliki hubungan backwardyang kuat dengan sektor
ketenagalistrikan (menjadi input bagi sektor ketenagalistrikan) dimuai dari sektor jasa (jasa
pendidikan swasta, pemerintah, jasa perusahaan), sektor perdagangan (perdagangan besar dan
eceran), konstruksi (konstruksi khusus, dan gedung), hingga berbagai macam industri (industri
tekstil, furniture, kertas dan karbon, semen, computer). Adapun sektor-sektor yang memiliki
hubungan forward yang kuat dengan sektor ketenagalistrikan (menggunakan output sektor
ketenagalistrikan sebagai input) dimulai dari sektor pertambangan (gas bumi & panas bumi,
batubara, minyak bumi), bermacam industri (industri barang-barang hasil kilang minyak, industri
mesin dan perlengkapan listrik), hingga sektor jasa (perbankan, dan asuransi).
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sektor ketenagalistrikan merupakan sektor kunci
dalam perekonomian Indonesia. Sektor ketenagalistrikan menjadi sektor kunci karena sektor
tersebut mempunyai keterkaitan yang tinggi, yaitu mempunyai nilai diatas 1, baik keterkaitan
kebelakang ataupun keterkaitan kedepan. Dengan demikian sektor ketenagalistrikan harus menjadi
perhatian bagi pemerintah agar perekonomian dapat tumbuh dengan baik. Dan penurunan jumlah
subsidi terhadap sektor ketenagalistrikan dikhawatirkan akan mempengaruhi sektor lain.
IV.2 Analisis Multiplier Sektor Ketenagalistrikan
Terjadinya shock pada sebuah sektor tidak hanya mempengaruhi nilai output, pendapatan,
dan jumlah lapangan pekerjaan pada sektor tersebut saja, tetapi juga pada sektor lain yang memiliki
hubungan dengan sektor tersebut. Oleh karena itu terdapat efek multiplier pada perubahan output,
pendapatan, dan jumlah lapangan perkerjaan yang terjadi pada perekonomian secara keseluruhan.
Analisa menggunakan model IO memungkinkan untuk dilihat efek multiplier ini.
Tabel 3
Summary Nilai Multiplier Sektor Keenagalistrikan

Faktor Nilai
Pengganda Output 2,2361
Pengganda Pendapatan 0,1964

6
Pengganda tenaga kerja 0,0048

Nilai angka Pengganda Output sebesar 2,2 pada tabel diatas berarti shock (contohnya
subsidi) sebesar 1 rupiah meningkatkan output perekonomian sebesar 2 rupiah secara total. Angka
pada pengganda pendapatan, jika ada shock sebesar 1 rupiah, akan meningkatkan pendapatan pada
perekonomian sebesar 0,19 rupiah. Begitu juga pada pengganda tenaga kerja, jika ada shock sebesar
1 rupiah, maka akan menyerap tenaga kerja sebanyak 0,0048 tenaga kerja.
Dalam kasus pengurangan subsidi untuk listrik, terdapat shock pengurangan anggaran
sebesar Rp 23.142.200 juta. Shock berupa pengurangan anggaran tersebut terjadi karena
pengurangan subsidi untuk listrik yang awalnya pada tahun 205, subsidi untuk listrik sebesar Rp
73.142.200 juta, kemudian pada tahun 2016 berkurang menjadi Rp 50.000.000 juta. Pengurangan
tersebut akan berdampak pada perekonomian secara kesluruhan. Dampak penurunan
perekonomian tersebut dapat dilihat di tabel berikut:
Tabel 4
Dampak Pengurangan Subsidi Listrik
Pendapata
Sektor Output n Tenaga kerja
1 -0,01 -0,01 -0,01
2 -0,99 -0,99 -0,99
3 -0,12 -0,12 -0,12
4 -15,70 -15,70 -15,60
5 -1,52 -1,52 -1,51
6 -0,03 -0,03 -0,03
7 -0,13 -0,13 -0,13
8 -0,13 -0,13 -0,13
9 -0,21 -0,21 -0,21
10 -0,03 -0,03 -0,03
Jumlah -18,87 -18,87 -18,76

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pengurangan subsidi sebesar Rp 23.142.000 juta untuk
sektor ketenaga listrikan akan menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Perekonomian
Indonesia akan mengalami penurunan output sebesar 18,87%. Penurunan juga akan gterjadi pada
pendapatan masyarakat dan jumlah serapan tenaga kerja dengan prosentase yang hampir sama,
yaitu masing-masing sebesar 18,87% dan 18,76%.
Penurunan output terbesar dialami oleh sektor ketenagalistrikan sendiri dengan penurunan
sebesar sekitar 15%, dan kemudian diikuti oleh sektor gas dan air bersih yang mengalami penurunan
output sebesar 1,52%. Dan sektor ketiga terbesar yang terdampak adalah sektor pertambangan
yang mengalami kontraksi sebesar 0,99%.
IV.3 Strategi Pengalihan Subsidi Listrik
Pengurangan subsidi untuk listrik akan membuat tersedianya anggaran untuk sektor lain.
Pengurangan subsidi listrik membuat perekonomian mengalami kontraksi yang cukup dalam, yaitu
sebesar sekitar 18%. Maka dari itu perlu dilakukan strategi pengalihan anggaran agar persediaan
anggaran akibat pengurangan subsidi listrik dapat menggerakkan perekonomian lebih cepat. Dalam
pengalihan subsidi listrik tersebut, Pemerintah Indonesia dapat membuat prioritas apakah akan

7
meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan pendapatan masyarakat, atau meningkatkan serapan
tenaga kerja.
Dari simulasi skenario menggunakan Tabel Input Output, Skenario yang terbaik jika ingin
meningkatkan output perekonomian karena melakukan pengurangan subsidi listrik adalah dengan
mengalihkan subsidi listrik tersebut untuk sektor industri. Dengan pengalihan subsidi listrik kepada
sektor industri, maka penurunan output ekonomi bisa diminimalisir.
Tabel 5
Pengalihan Subsidi Dengan Hasil Output Maksimal
Sektor Shock Hasil
1 0 (58.926)
2 0 (3.048.911)
3 23.142.200 21.215.187
4 -23.142.200 (24.463.798)
5 0 (238.691)
6 0 (370.634)
7 0 (1.303.876)
8 0 696.909
9 0 (221.848)
10 0 240.873
Jumla
h 0 (7.553.715)

Dengan pengalihan anggaran subsidi ke sektor industri, maka hasilnya dapat mengurangi potensi
penurunan dengan maksimal hingga angka Rp 7.553.715 juta. Angka tersebut adalah angka yang
penurunan output yang paling kecil jika dibandingkan dengan pengalihan subsidi ke sektor lain.
Tabel 6
Pengalihan Subsidi Dengan Hasil Pendapatan Maksimal
Sektor Shock Hasil
1 0 169.872
2 0 (1.002.959)
3 0 (111.326)
4 -23.142.200 (1.589.798)
5 0 (101.587)
6 0 56.655
7 0 105.042
8 0 131.371
9 0 (61.740)
10 23.142.200 10.364.783
Jumla
h 0 7.960.312

Jika pemerintah menginginkan pertumbuhan pendapatan masyarakat, maka pemerintah


bisa mengalokasikan pengalihan subsidi untuk litrik ini kepada sektor jasa pemerintahan dan lainnya.
Seperti dapat dilihat pada tabel 5, pengalihan subsidi kepada sektor jasa pemerintahan dan lainnya
dapat menghasilkan tambahan pendapatan untuk masyarakat. Pengalihan ke sektor jasa
pemerintahan tersebut membuat tambahan pendapatan masyarakat bertambah sebesar Rp
7.960.312 juta. Tambahan pendapatan tersebut merupakan tambahan pendapatan yang paling

8
tinggi jika dibandingkan tambahan pendapatan dengan mengalihkan subsidi listrik ke sektor yang
lain.
Pemerintah juga bisa mengejar target penyerapan tenaga kerja melalui pengalihan anggaran
subsidi listrik ini. Pemerintah harus mengalokasikan pengalihan subsidi listrik ke sektor pertanian
untuk mengejar serapan tenaga kerja.
Tabel 7
Pengalihan Subsidi Dengan Hasil Serapan Tenaga Kerja Maksimal
Sektor Shock Hasil
1 23.142.200 785.637
2 0 (11.653)
3 0 (8.585)
4 -23.142.200 (28.982)
5 0 (637)
6 0 (1.177)
7 0 (16.995)
8 0 (5.026)
9 0 (2.972)
10 0 (3.549)
Jumla
h 0 706.062
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pengalihan subsidi listrik ke sektor pertanian menghasilkan
tambahan tenaga kerja sebanyak 706.062 tenaga kerja. Walaupun tenaga kerja disektor lain juga
mengalami penurunan, serapan tenaga kerja di sektor pertanian cukup tinggi. Oleh karena hal
tersebut, pengurangan subsidi listrik dapat menyebabkan penguatan struktur perekonomian
berbasis pertanian.
V. PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Sektor ketenagalistrikan memainkan peran yang lebih penting dalam perekonomian jika
dibanding dengan sektor yang lain. sektor ketenagalistrikan merupakan sektor kunci bagi sektor-
sektor hulu maupun hilir. Pengurangan subsidi pada lisrik menyebabkan penurunan output
perekonomian Indonesia. Sebagai sektor yang memiliki keterkaitan kuat, baik keterkaitan kedepan
maupun kebelakang, perubahan yang terjadi pada sektor ketenagalistrikan cukup sangat
membpengaruhi perekonomian nasional.
Pengalihan subsidi ke sektor lain juga dapat dilakukan untuk mengejar target pemerintah.
Namun output tetap akan menurun walaupun ada pengalihan subsidi ke sektor lain. pemerintah
dapat mengejar pertumbuhan pendapatan dan tenaga kerja dari pengalihan subsidi dengan
mengalihkan anggaran subsidi ke sektor pertanian atau jasa pemerintah dan lainnya.
Dari analisa tersebut, penulis berpendapat bahwa arah reformasi APBN yang dicanangkan
oleh kabinet kerja Presiden Jokowi kurang tepat. Pemerintah perlu menyadari bahwa subsidi energi
yang lebih berorientasi pada ketenagalistrikan lebih menguntungkan bagi perekonomian.

V.2 Rekomendasi Kebijakan


Rekomendasi yang bisa penulis berikan adalah menunda pengurangan subsidi untuk listrik.
Hal tersebut berkaitan dengan pentingnya sektor ketenagalistrikan untuk perekonomian Indonesia.
kondisi perekonomian Indonesia yang masih belum stabil akibat dari ‘perang mata uang’
internasional, menyebabkan perekonomian dalam negeri mengalami kelesuan. Apabila pada awal

9
tahun 2016 pemerintah memangkas subsidi listrik dan menerapkan harga normal untuk konsumen
golongan 900 VA dan 450 VA, hal itu akan membuat daya beli masyarakat semakin menurun. Oleh
sebab itu, pemerintah harus mengkaji ulang untuk memangkas subsidi listrik untuk golongan
menengah kebawah.

10
DAFTAR REFERENSI

Miller, Ronald E. Blain, Peter D. 2009. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions.
Cambridge University Press.
Park, JiYoung. 2010. The Supply-Driven Input-Output Model: A Reinterpretation and Extension.
School of Policy, Planning, and Development, University of Southern California.
___, 2012. A Citizens’ Guide to Energy Subsidies in Indonesia. International Institute for Sustainable
Development.
___, 2014. Indonesia Energy Subsidy Review: A Biannual Survey of Energy Subsidy Policies.
International Institute for Sustainable Development..
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/25/171800726/
Mulai.1.Januari.2016.Subsidi.Listrik.Hanya.untuk.Si.Miskin
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151027104220-85-87587/2016-pln-cabut-subsidi-dari-22-
juta-pelanggan-listrik-900-va/

11

Anda mungkin juga menyukai