UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa tenaga listrik memiliki peran strategis
dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, maka usaha penyediaan listrik dikuasai oleh Negara dan
penyediaannnya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tetap tersedia dalam
jumlah yang cukup, merata, dan bermutu. Dalam pelaksanaannya, pemerintah membentuk badan usaha milik
Negara berwujud PLN. Karena statusnya sebagai BUMN, PLN diharuskan mengejar laba sekaligus melakukan
pelayanan umum (PSO). Saat ini, penentuan harga listrik (TDL) selalu mengandung subsidi. Subsidi itu sendiri
merupakan selisih negative antara harga jual tenaga listrik masing-masing golongan dikurangi biaya pokok
penjualan dikalikan volume penjualan untuk setiap golongan tarif.
Pelaksanaan subsidi listrik oleh pemerintah pusat selama ini, dapat dibedakan menjadi dua era, yaitu sebagai
berikut:
Selanjutnya pada tahun 2005 dengan adanya kebijakan harga jual listrik tetap (tidak
disesuaikan/dinaikkan, subsidi listrik diperluasa dengan batasan umum sebagai berikut:
1) Subsidi listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rata-
rata lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tariff tersebut.
2) Besarnya subsidi listrik dihitung dari selisih negative antara harga jual tenaga listrik rata-rata
(Rp/kWh) dari masing-masing golongan tariff dikurangi BPP (Rp/kWh) pada tegangan masing-
masing golongan tariff tersebut dikalikan volume penjualan (kWh) setiap golongan tariff.
Pada era ini, perhitungan subsidi masih belum memperhitungkan adanya margin agar PLN dapat
mengembangkan kemampuan investasi jangka panjangnya. Hal tersebut dipandang menyalahi UU No. 19
Tahun 2003 tentang BUMN karena penugasan BUMN untuk melakukan kewajiban pelayanan umum
harus tetap mengejar keuntungan (sesuai pasal 2 dan 12).
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.08/2015 tentang Tata Cara Perhitungan, Pengalokasian,
Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik menyatakan bahwa sibsidi listrik diberikan kepada
pelanggan dnegan golongan tariff yang tariff tenaga listrik rata-rata lebih rendahdari kebutuhan pendapatan
tegangan di golongan tariff tersebut. Pada tahun 2015, perhitungan subsidi listrik menggunakan formula:
Kebutuhan pendapatan merupakan batas pendapatan untuk membiayai penyediaan tenaga listrikyang dibutuhkan
PLN. Kebuthan pendapatan terdiri dari kebutuhan pendapatan operasi dan kebutuhan pendapatan investasi.
Kebutuhan Pendapatan Operasi: batas pendapatan kegiatan operasi berdasarkan biaya-biaya operasi yang
menjadi beban PLN.
Kebutuhan Pendapatan Investasi: batas pendapatan kegiatan investasi berdasarkan biaya investasi dan
margin untuk PLN dalam rangka penyediaan tenaga listrik.
Daftar Pustaka
Halim, Abdul. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan dan Pengeluaran
Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat, 2017.
Rangkuman Materi Manajemen Keuangan Sektor Publik
BAB 21—Subsidi Pangan
Andhika Putra S (16/396996/EK/20952)
Subsidi pangan merupakan alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi,
menjual, mengekspor, atau mengimpor kebutuhan pokok masyarakat sehingga negara dapat menjamin bahwa
harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Secara realita, subsidi energy terutama BBM masih memiliki
porsi paling besar dibandingkan subsidi lain karena harga-harga komoditas di pasaran masih banyak terpengaruh
oleh BBM.
Alur belanja subsidi pangan dimulai dari TKRP melakukan koordinasi terkait perencanaan dan penganggaran
program raskin hingga perhitungan dan pembayaran realisasi subsidi kepada Bulog selaku agen yang
menyalurkan beras. Bersamaan dengan itu, Bulog melakukan perencanaan tugas dengan menyusun master budget
yang dihitung berdasarkan kuantum rencana penyaluran beras bersubsidi dan tariff subsidi beras. Kuantum
dihitung berdasarkan rencana durasi penyaluran, jumlah TRS-PM, dan alokasi kilogram beras per RTS per bulan.
Sedangkan tariff subsidi dihitung berdasarkan selisihantara harga pembelian beras (HPB) dengan harga jual di
titik distribusi,yang besarannya ditetapkan Menteri Keuangan. Master budget selanjutnya diperhitungkan
pemerintah pusat dalam pengalokasian dana subsidi beras bagi masyarakat pada APBN. Selain menyalurkan
raskin, Bulog melaksanakan tugas lain sesuai yang diamanatkan dalam Inpres No. 3 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Gabah/Berita dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, yaitu:
Melaksanakan kebijakan pengadaaan gabah/beras melalui pembelian gabah/beras dalam negeri sesuai
ketentuan Harga Pembelian Pemerintah.
Pelaksanaan pengadaan melalui pembelian gabah/beras oelh pemerintah dilakukan oleh Bulog.
Menetapkan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga beras dalam negeri.
Menetapkan kebijakan pengadaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin.
Menetapkan kebijakan pengadaan dan penyaluran Cadangan Beras Pemerintah untuk menjaga stabilitas harga
beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana dan rawan pangan, bantuan dan/atau kejasama internasional.
Mentepakan kebijakan pengadaan beras dari luar negeri dengan tetap menjaga kepentingan petani dan
konsumen. Hal ini dapat dilakukan ketika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi, atau hal lain.
Terkait biaya distribusi, makin banyak titik distribusi maka akan meningkatkanbiaya distribusi tersebut. Upaya
yang dapat ditempuh adalah membagi tanggung jawab pendistribusian raskin dengan pemerintah kabupaten/kota.
Sebagai bagian dari tanggung jawab pelayanan public,pemerintah kabupaten/kota diharapkan lebih meningkatkan
perannya dalam program raskin melalio penyediaan anggaran di antaranya adalah untuk biaya distribusiyang akan
leboh mendekatkan RTS-PM ke titik penyaluran raskin.
Daftar Pustaka
Halim, Abdul. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan dan Pengeluaran
Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat, 2017.