Anda di halaman 1dari 4

Rangkuman Materi Manajemen Keuangan Sektor Publik

BAB 20—Subsidi Listrik


Andhika Putra S (16/396996/EK/20952)

UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa tenaga listrik memiliki peran strategis
dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, maka usaha penyediaan listrik dikuasai oleh Negara dan
penyediaannnya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tetap tersedia dalam
jumlah yang cukup, merata, dan bermutu. Dalam pelaksanaannya, pemerintah membentuk badan usaha milik
Negara berwujud PLN. Karena statusnya sebagai BUMN, PLN diharuskan mengejar laba sekaligus melakukan
pelayanan umum (PSO). Saat ini, penentuan harga listrik (TDL) selalu mengandung subsidi. Subsidi itu sendiri
merupakan selisih negative antara harga jual tenaga listrik masing-masing golongan dikurangi biaya pokok
penjualan dikalikan volume penjualan untuk setiap golongan tarif.

Pembayaran dan Perhitungan Subsidi Listrik

Pelaksanaan subsidi listrik oleh pemerintah pusat selama ini, dapat dibedakan menjadi dua era, yaitu sebagai
berikut:

a. Era sebelum 2007


Pada tahun 2002, subsidi listrik memiliki batasan umum sebagai berikut.
1) Golongan tarif S-1, S-2, R1-1, 1-1, dan B-1 diberikan untuk pelanggan dengan daya terpasang sampai
dengan 450 Volt Ampere.
2) Besarnya subsidi listrik adalah selisih negatif antara hasil penjualan listrik rata-rata (Rp/kWh) rata-
rata tegangan rendahdikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap golongan tariff.

Selanjutnya pada tahun 2005 dengan adanya kebijakan harga jual listrik tetap (tidak
disesuaikan/dinaikkan, subsidi listrik diperluasa dengan batasan umum sebagai berikut:

1) Subsidi listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rata-
rata lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tariff tersebut.
2) Besarnya subsidi listrik dihitung dari selisih negative antara harga jual tenaga listrik rata-rata
(Rp/kWh) dari masing-masing golongan tariff dikurangi BPP (Rp/kWh) pada tegangan masing-
masing golongan tariff tersebut dikalikan volume penjualan (kWh) setiap golongan tariff.

Pada era ini, perhitungan subsidi masih belum memperhitungkan adanya margin agar PLN dapat
mengembangkan kemampuan investasi jangka panjangnya. Hal tersebut dipandang menyalahi UU No. 19
Tahun 2003 tentang BUMN karena penugasan BUMN untuk melakukan kewajiban pelayanan umum
harus tetap mengejar keuntungan (sesuai pasal 2 dan 12).

b. Era setelah tahun 2007


Pada tahun 2007, dengan ikut mempertimbangkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, batasan
umum subsidi diperluas menjadi:
1) Subsidi listrik diberikan kepada penlanggan dengan golongan tariff yang harga jual tenaga listrik
rata-ratanya lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tarif tersebut
2) Subsidi sebagaimana yang dimaksud, dihitung dari selisih kurang antara harga jual tenaga listrik rata-
rata dari masing-masing golongan dikurangi BPP masing-masing golongan ditambah margin (%
tertentu dari BPP).
3) Penentuan margin berdasarkan usul dari Menteri ESDM dengan mempertimbangkan usulan Menteri
Negara BUMN.

Perhitungan subsidi listrik menggunakan formula:

S = -(Harga jual tenaga listrik – BPP (1+margin)) x Volume penjualan


Pembayaran subsidi listrik yang diambil APBN harus dimintakan izin tertulis lebih dulu kepada Menteri
Keuangan cq. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan. Jumlah subsidi ini dapat dibayarkan sementara secara
bulanan sebesar 95% dari hasil perhitungan verifikasi. Besarnya subsidi listrik dalam satu tahun disampaikan oleh
auditor kepada Kemenkeu. Apabila terdapat selisih kurang pembayaran subsidi maka dapat diusulkan untuk
dianggarkan kembali pada APBN atau APBN-P tahun anggaran berikutnya. Apabila terdapat selisih lebih antara
subsidi yang dibayar kepada PLN dengan hasil audit, maka PLN harus segra menyetorkannya kepada rekening
kas umum negara Nomor 502.000000 Bank Indonesia sebagai penerimaan bukan pajak sesuai ketentuan
perundang-undangan.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.08/2015 tentang Tata Cara Perhitungan, Pengalokasian,
Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik menyatakan bahwa sibsidi listrik diberikan kepada
pelanggan dnegan golongan tariff yang tariff tenaga listrik rata-rata lebih rendahdari kebutuhan pendapatan
tegangan di golongan tariff tersebut. Pada tahun 2015, perhitungan subsidi listrik menggunakan formula:

S = -((Tarif Tenaga Listrik Rata-rata x Volume penjualan) – Kebutuhan Pendapatan)

Kebutuhan pendapatan merupakan batas pendapatan untuk membiayai penyediaan tenaga listrikyang dibutuhkan
PLN. Kebuthan pendapatan terdiri dari kebutuhan pendapatan operasi dan kebutuhan pendapatan investasi.
 Kebutuhan Pendapatan Operasi: batas pendapatan kegiatan operasi berdasarkan biaya-biaya operasi yang
menjadi beban PLN.
 Kebutuhan Pendapatan Investasi: batas pendapatan kegiatan investasi berdasarkan biaya investasi dan
margin untuk PLN dalam rangka penyediaan tenaga listrik.

Komponen kebutuhan pendapatan sebgaimana yang dimaksud adalah meliputi:


a. Kebuthan Pendapatan Operasi, terdiri atas
 Biaya pembangiktan: biaya bahan bakar, biaya pembeliantenaga listrik, biaya sewa pembangkit tenaga
listrik, biaya pendukung pembangkitan .
 Biaya transmisi: biaya kepegawaian, biaya honorarium, biaya pemakaian material, biaya jasa
borongan, biaya perjalanan dinas, biaya teknologi informasi, biaya asuransi, biaya sewa set, biaya
adminsitrasi transmisi lainnya.
 Biaya fungsional perusahaan: biaya bunga pinjaman kredit Modal Kerja, biaya Lindung Nilai, biaya
CSU, biaya pajak badan, biaya fungsional lainnya.
 Biaya distribusi dan penjualan: biaya baca meter, biaya pengelolaan pelanggan, biaya penagihan
rekening, biaya penertiban pemakaian tenaga listrik.
b. Kebutuhan Pendanaan Investasi, terdiri dari:
 Biaya untuk memenuhi kewajiban pembiayaan.
 Biaya untuk menambahkapasitas usaha dan menjaga kinerja asset.

Daftar Pustaka
Halim, Abdul. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan dan Pengeluaran
Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat, 2017.
Rangkuman Materi Manajemen Keuangan Sektor Publik
BAB 21—Subsidi Pangan
Andhika Putra S (16/396996/EK/20952)

Subsidi pangan merupakan alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi,
menjual, mengekspor, atau mengimpor kebutuhan pokok masyarakat sehingga negara dapat menjamin bahwa
harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Secara realita, subsidi energy terutama BBM masih memiliki
porsi paling besar dibandingkan subsidi lain karena harga-harga komoditas di pasaran masih banyak terpengaruh
oleh BBM.

Mekanisme Subsidi Pangan (Raskin)


Target penerima raskin (Rumah tangga sasaran) beserta harga tebus setiap tahunnya ditetapkan dalam anggaran
APBN. Pendistribusian diserahkan di tiap titik oleh Satker Raskin kepada Pelaksana Distribusi Raskin di tingkat
Desa/Kelurahan. Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima program raskin didasarkanpada data yang dikeluarkan
Basis DataTerpadu yang dikelola Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Untuk
mengefektifkan pelaksanaan program dan pertanggungjawabannya maka dibentuk Tim Koordinasi Raskin
(TKRP) di pusat sampai kecamatan dan Pelaksana Distribusi Raskin di Desa/Kelurahan.

Alur belanja subsidi pangan dimulai dari TKRP melakukan koordinasi terkait perencanaan dan penganggaran
program raskin hingga perhitungan dan pembayaran realisasi subsidi kepada Bulog selaku agen yang
menyalurkan beras. Bersamaan dengan itu, Bulog melakukan perencanaan tugas dengan menyusun master budget
yang dihitung berdasarkan kuantum rencana penyaluran beras bersubsidi dan tariff subsidi beras. Kuantum
dihitung berdasarkan rencana durasi penyaluran, jumlah TRS-PM, dan alokasi kilogram beras per RTS per bulan.
Sedangkan tariff subsidi dihitung berdasarkan selisihantara harga pembelian beras (HPB) dengan harga jual di
titik distribusi,yang besarannya ditetapkan Menteri Keuangan. Master budget selanjutnya diperhitungkan
pemerintah pusat dalam pengalokasian dana subsidi beras bagi masyarakat pada APBN. Selain menyalurkan
raskin, Bulog melaksanakan tugas lain sesuai yang diamanatkan dalam Inpres No. 3 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Gabah/Berita dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, yaitu:

 Melaksanakan kebijakan pengadaaan gabah/beras melalui pembelian gabah/beras dalam negeri sesuai
ketentuan Harga Pembelian Pemerintah.
 Pelaksanaan pengadaan melalui pembelian gabah/beras oelh pemerintah dilakukan oleh Bulog.
 Menetapkan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga beras dalam negeri.
 Menetapkan kebijakan pengadaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin.
 Menetapkan kebijakan pengadaan dan penyaluran Cadangan Beras Pemerintah untuk menjaga stabilitas harga
beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana dan rawan pangan, bantuan dan/atau kejasama internasional.
 Mentepakan kebijakan pengadaan beras dari luar negeri dengan tetap menjaga kepentingan petani dan
konsumen. Hal ini dapat dilakukan ketika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi, atau hal lain.

Perhitungan Kuantum Penyaluran Beras


Jumlah subsidi pangan yang tercermin dari harga pembelian beras yaitu harga pembelian beras oleh pemerintah
pusat kepada Bulog yang dialokasikan APBN. Besaran tersebut tergantung dalam RTS-PM (menggunakan data
rumah tangga miskin dari survey BPS), durasi penyaluran dalam satu tahun, jumlah kilogram yang disalurkan,
dan harga tebus yang ditetapkan (selisih antara HPB Pemerintah kepada Bulog dengan subsidi).

Permasalahan yang sering ditemui terkait subsidi adalah:


1) Permasalahan RTS, yaitu jumlah RTS yang ditetapkan cenderung tetap sedangkan jmlah masyarakat
miskin mengalami perubahan yang fluktuatif setiap tahunnya.
2) Kualitas beras Raskin, yaitu banyak ditemukan beras Raskin yang tidak layak konsumsi atau berkutu.
Penyimpanan yang buruk oleh Bulog dapatmenjadi penyebab utama.
3) Alokasi subsidi yang berkaitan dengan pangan belum tepat. Pemerintah cenderung utnuk mengandalkan
impor untuk memenuhi kebutuhan pangan daripada meningkatkan produksi dalam negeri melalui bantuan
pupuk terhadap petani.
4) Kurangnya peran yang dimiliki Bulog, karena peran Bulog sendiri masih sebatas mengendalikan harga
beras. Sedangkan banyak kebutuhan pokok lain yang tidak tidak kalah pentingnya seperti bawang merah,
kedelai, susu, daging, dan lain-lain untuk dikendalikan dari tangan-tangan swasta.

Struktur Biaya HPB dan ruang efisiensinya


Struktur biaya perhitungan HPB adalah sebagai berikut:
a. Stok awal
b. Biaya produksi, overhead, dan manajemen
1) Biaya produksi
A. Biaya pengadaan dalam negeri: pengadaan gabah, pengadaan beras
B. Biaya pengadaan luar negeri
C. Biaya opslag/timbang
D. Biaya survey
E. Biaya giling gabah
2) Biaya overhead
a. Biaya penyimpanan dan perawatan
b. Biaya movement
c. Bbiaya rebagging
d. Biaya asuransi dan bea masuk
e. Biaya karantina/survey
f. Biaya karung pembungkus
3) Biaya manajemen
4) Margin fee
c. Bunga dan administrasi bank
d. Jumlah stok yang dikuasai (A+B+C)
e. Stok akhir
f. HPP Barang yang disalurkan (D-E)
g. Biaya distribusi, yaitu biaya pendistribusian beras sampai titik distribusi
h. Total anggaran HPB (F+G)
i. Jumlah yang disalurkan
j. HPB perkilogram (H/I)

Bunga dan Administrasi Bank


Sesuai dengan Pasal 6 pmk Nomor 36 PMK.02/2015 dalam hal dana untuk mendukung kegiatan belum
mencukupi, Bulog dapat mengajukan permohonan kredit kepada bank umum milik Negara dan/atau bank devisa.
Namun, konsekuensinya adalah timbulnya biaya bunga dan administrasi yang kemudian membebani HPB.
Adanya biaya bunga semacam itu dapat diminimalisir apabila dalam melaksanakan tugasnya Bulog dapat
memperoleh dana dari APBN di awal tahun, sehingga tidak harus meminjam dari bank.

Terkait biaya distribusi, makin banyak titik distribusi maka akan meningkatkanbiaya distribusi tersebut. Upaya
yang dapat ditempuh adalah membagi tanggung jawab pendistribusian raskin dengan pemerintah kabupaten/kota.
Sebagai bagian dari tanggung jawab pelayanan public,pemerintah kabupaten/kota diharapkan lebih meningkatkan
perannya dalam program raskin melalio penyediaan anggaran di antaranya adalah untuk biaya distribusiyang akan
leboh mendekatkan RTS-PM ke titik penyaluran raskin.

Daftar Pustaka
Halim, Abdul. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan dan Pengeluaran
Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat, 2017.

Anda mungkin juga menyukai