Anda di halaman 1dari 6

Social Impact Assessment of Just Energy

Transition
Konsumsi energi didefinisikan sebagai salah satu faktor penentu utama degradasi lingkungan. Oleh
karena itu, masalah ini menjadi salah satu poin utama perdebatan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan. Beberapa penelitian menghadirkan kembali apa yang disebut sebagai paradoks
Jevons, dimana di bawah skenario paradoks Jevons, inovasi teknologi menjadi faktor yang
mengurangi permintaan energi. Pada abad ke-19, seorang ekonom terkenal bernama William
Stanley Jevons dalam The Coal Question (1865), menyatakan bahwa peningkatan efisiensi dalam
penggunaan batubara di Skotlandia antara tahun 1830 dan 1863 menyebabkan peningkatan
permintaannya, bukan penurunan. Jevons mendefinisikan kasus ekstrem dari apa yang sekarang kita
kenal sebagai "efek pantulan": efek tak terduga dari peningkatan efisiensi, produktivitas, atau
konservasi sumber daya—tidak diprediksi oleh analisis teknik—pada penggunaan sumber daya ini
karena respons sosioekonomi dan perilaku konsumen.

Penyebaran proyek ET yang lebih luas saat ini sedang berlangsung di Global South, dan negara-
negara seperti Cina, India, Brasil, dan Meksiko termasuk di antara sepuluh negara dengan investasi
paling signifikan dalam teknologi ini (WB, 2017; McCrone et al. , 2018). Selain itu, mengingat bahwa
kondisi politik, fitur proyek tertentu, dan karakteristik sosial-budaya dan lingkungan lokal semuanya
memengaruhi oposisi sosial (Martínez et al., 2016; Devine-Wright, 2011; Miller et al., 2015),
kurangnya penelitian dalam geografi ini membatasi pemahaman teoretis yang diperlukan tentang
aspek kontekstual SIA.

Selama dua dekade terakhir, struktur perekonomian Indonesia telah mengalami pergeseran. Pada
tahun 2000, pertanian menyumbang sekitar 17% dari PDB dan industri hampir 50%. Pada tahun
2021, pangsa pertanian turun sekitar lima poin persentase dan pangsa industri dalam PDB (termasuk
ekstraksi minyak dan gas) turun delapan poin persentase (EIA, 2021).

Figure 1. GDP by sector, 2000 – 2021, and GDP per capita in 2021 in
Meskipun terjadi penurunan di sektor migas, sektor komoditas ini tetap signifikan bagi
perekonomian Indonesia. Pada tahun 2021, subsektor pertambangan batubara menyumbang sekitar
2,4% dari PDB atas dasar harga konstan, sedikit menurun dari puncaknya sebesar 3,1% pada tahun
2013. Secara keseluruhan, ekstraksi batu bara, minyak dan gas alam menyumbang sekitar 5% dari
PDB Indonesia pada tahun 2021, diukur dengan harga konstan. Namun, diukur dengan harga saat ini,
ekstraksi minyak, gas, dan batu bara menyumbang sekitar 6,5% dari PDB pada tahun 2021, turun
dari puncaknya sebesar 9,1% pada tahun 2011 selama periode harga tinggi dari siklus super
komoditas (EIA, 2021), hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 2.

Figure 2. Oil, natural gas, coal and palm oil in goods trade in Indonesia (IEA, 2021)

Figure 3. Total energy supply by source in Indonesia, 2000 – 2021 (IEA, 2022)

Indonesia juga telah melihat perubahan yang signifikan dalam neraca perdagangan minyaknya. Pada
tahun 2000, ekspor minyak bersihnya setara dengan hampir seperempat konsumsi domestik. Ini
telah berubah secara dramatis pada tahun 2021, dengan impor bersih menyumbang lebih dari
separuh konsumsi minyak dalam negeri. Porsi bahan bakar fosil dalam total pasokan energi
Indonesia telah meningkat lebih banyak dari sepuluh poin persentase sejak tahun 2000, meskipun
tren ini menunjukkan tanda-tanda stabil akhir-akhir ini dengan pertumbuhan energi terbarukan
modern.

Sehubungan dengan adanya target penurunan emisi GRK Indonesia, guna mencapai NZE di tahun
2060 atau lebih awal, maka pengembangan energi terbarukan harus dilakukan secara lebih masif
lagi. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) memperkirakan,
untuk mencapai NZE di tahun 2060, komposisi pembangkit listrik dari EBT akan berasal dari
pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 421 GW, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB)
sebesar 94 GW, PLTA 72 GW, pembangkit listrik tenaga bioenergi (PLTBio) mencapai 60 GW, PLTN 31
GW, PLTP (panas bumi) 22 GW, dan PLT Arus Laut mencapai 8 GW. Sedangkan untuk teknologi
penyimpanan (storage) akan terdiri dari pumped storage sebesar 4,2 GW, dan BESS sebesar 56 GW.
Figure 4. Kapasitas pembangkit pada kondisi Net Zero Emission di tahun 2060 (GW) (Iswahyudi dan Kusdiana, 2022)

Sektor energi di dalam NDC Indonesia yang pertama, ditargetkan dapat menurunkan sekitar 314-446
juta2 ton CO2-ek pada tahun 2030, melalui upaya-upaya pengembangan energi terbarukan,
pelaksanaan efisiensi energi, konversi energi, dan penerapan teknologi energi bersih. Untuk
melaksanakan hal ini, Indonesia mulai memperhitungkan untuk melakukan early retirement dari
beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Indonesia, yang berasal dari batu bara (Gambar 5).

Figure 5. Sebaran proyek PLTU yang dibatalkan dalam rangka transisi energi (Wanhar, 2022)

Studi dampak sosial pada sektor ini akan memperlihatkan i) pengaruh pendekatan studi dampak
sosial dalam pengelolaan dampak sosial proyek transisi energi secara makro; ii) efektifitas dari
desain dan praktek studi dampak sosial; dan iii) pengaruh regulasi pada sektor energi terhadap
rancangan dan praktik studi dampak sosial.

Saat ini Indonesia sedang mengembangkan skenario untuk melakukan phase down/phase out
pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Akan tetapi, perlu diingat juga, bahwa pada saat
Indonesia melakukan phase down/phase out pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, maka ada
pasokan listrik yang harus dipenuhi dari pembangkit listrik lain yang seharusnya tidak berasal dari
fosil. Itu sebabnya, dalam mengembangkan skenario phase down/phase out pembangkit fosil,
Indonesia perlu mengembangkan skenario phase-in dari energi terbarukan untuk memenuhi
pasokan listrik yang sebelumnya dipasok dari bahan bakar fosil. Indonesia juga perlu memperkuat
jaringan (grid) yang ada, sehingga memastikan akses listrik terdistribusi dengan baik (Andayani,
Marthen, Imelda, Setiadi, 2022).

Metodologi
Metodologi yang digunakan untuk mencapai empat output penelitian ini adalah kualitatif dan
kuantitatif. Metode kualitatif yang digunakan adalah studi literatur dan wacana atas isi laporan
sektor energi 20 tahun terakhir. Sedangkan metode kuantitaif yang digunakan adalah analisis
pemodelan statistik per provinsi dan Interpretative Structural Modelling.

Tingkat konsumsi energi per provinsi diasumsikan akan dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut.

1. Pertumbuhan ekonomi
2. Pertumbuhan penduduk/migrasi sirkuler
3. Pertumbuhan industri dan lapangan kerja
4. Pertumbuhan infrastruktur
5. Peningkatan kesejahteraan sosial
6. Perubahan budaya kehidupan sosial seperti meningkatnya ekonomi digital dan gaya hidup
hijau

Figure 6. Grafik metodologi pertumbuhan konsumsi energi dan faktor yang memengaruhi

Tugas 1: Masukan untuk kerangka kerja Just Transition

Konsep ini sejalan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27: (i) Semua warga
negara harus sama di depan hukum dan pemerintah dan harus menghormati hukum dan
pemerintahan, tidak ada kecualinya; (ii) Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan untuk
mencari penghidupan yang manusiawi, dan (iii) Setiap warga negara berhak dan berkewajiban untuk
berpartisipasi dalam upaya pembelaan negara.

Mempertimbangkan empat prinsip keadilan, keadilan distributif, restoratif keadilan, keadilan


antargenerasi, dan keadilan prosedural, sebuah kerangka transisi yang adil yang sesuai konteks lokal
sangat diperlukan.
Dalam studi ini pertanyaan mengenai Just Transition juga mengacu pada keadilan ekologi, ekonomi,
dan sosial dalam literatur 20 tahun terakhir. Dalam konteks lokal perubahan energi dalam suatu
komunitas dijadikan contoh untuk dinamika sosial. Ini dilakukan melalui kajian analisis peraturan dan
kebijakan serta studi pustaka (literature review). kajian akan melakukan pengkajian ‘kata kunci’
untuk mengidentifikasi hasil riset dan kebijakan pemerintah dalam kurun waktu 20 tahun. Kata kunci
ini memberi kami gambaran tentang konten, topik, atau metodologi artikel.

Tugas 2: Kajian dampak sosial tingkat makro untuk transisi energi di Indonesia

Keterkaitan antara pembangunan sosial dan ekologi menjadi semakin banyak terlihat, karena
perubahan iklim dan kebijakan mitigasi dan adaptasinya memengaruhi kelompok rentan tidak
proporsional. Transisi yang adil membutuhkan reformasi makro-fiskal yang mendorong
pembangunan netral karbon dan pada saat yang sama disertai dengan jaring pengaman yang
memadai untuk bagian masyarakat yang paling rentan dan terpinggirkan. Biaya sosial dari transisi
perlu dikurangi dan dimitigasi, sambil meningkatkan manfaat tambahan untuk semua.

Penilaian dampak dilakukan untuk memungkinkan pengelolaan dan mitigasi. Kajian harus
mempertimbangkan dampak positif dan negatif, dampak jangka panjang dan jangka pendek,
dampak langsung, tidak langsung, dan imbas dengan potensi untuk melihat ke dalam tata ruang.
disagregasi dampak.

Penilaian dampak pada Tugas 2 akan berfokus pada penilaian tingkat makro yang dirancang untuk
itu memberikan informasi luas tentang dampak potensial dari area investasi yang ditentukan oleh
JETP:

1. Jalur transmisi dan penyebaran jaringan


2. Pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara
3. Akselerasi penyebaran ET Baseload
4. Akselerasi penerapan RE variabel
5. Peningkatan rantai nilai terbarukan

Metodologi kajian dengan expert panel (focus group discussion). Penilaian dimulai dengan
identifikasi pemangku kepentingan yang terkena dampak (individu, kelompok/komunitas, atau
kelembagaan). Menyangkut hal-hal sebagai berikut.

1. Availability : Ketersediaan pasokan energi


2. Accessibility : Kemudahan konsumsi/ketersediaan infrastruktur.
3. Affordability : Keterjangkauan harga/daya beli.
4. Acceptability : Penerimaan masyarakat dan lingkungan
5. Sustainability : Keberlanjutan pasokan jangka panjang

Tugas 3: Penilaian dampak sosial terperinci untuk penghentian awal pembangkit listrik tenaga
batu bara dan variabel penyebaran energi terbarukan

Sudah umum diketahui bahwa transisi energi sangat membutuhkan pergeseran yang signifikan dari
listrik yang dihasilkan bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Selama fase transisi, ada beberapa
dampak sosial ekonomi yang mungkin terjadi, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Di
antaranya, manfaat pensiun dini pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

Sementara itu, risiko atau kerugian awal termasuk dampak kesehatan kumulatif yang terkait dengan
penanganan dan membuang limbah beracun, kehilangan pekerjaan mengakibatkan hilangnya
pendapatan pajak penghasilan, hilangnya mata pencaharian dan pendapatan, berkurangnya
keandalan pasokan listrik yang menyebabkan hilangnya kegiatan ekonomi, meningkat tekanan pada
sistem kesejahteraan negara dan perlindungan sosial, peningkatan rumah tangga rentan;
mengurangi pendapatan dari menyewakan properti dan nilai properti, dan meningkatnya kekerasan
dalam rumah tangga dan berbasis gender karena hilangnya pendapatan.

Metodologi kajian dengan pemangku kepentingan Focus Group Discussion di studi kasus penutupan
PLTU berbasis batubara. Antara lain’

1. Pemerintah Daerah
2. Serikat kerja
3. Asosiasi industri energi
4. Kadin
5. YLKI

Meskipun sebagian besar literatur menyarankan untuk menilai dampak sosial pada berbagai skala,
relatif sedikit perhatian yang diberikan untuk merancang metode studi dampak sosial yang
memenuhi kebutuhan khusus untuk menilai dampak pada skala yang berbeda. Efektifitas studi
bervariasi tergantung pada skala yang diperiksa. Pada skala mikro individu dan keluarga, studi
dampak sosial harus mengeksplorasi cara peristiwa yang berdampak berinteraksi dengan keadaan
sosial dan pandangan psikologis individu. Pada skala komunitas atau 'meso', pertimbangan
mencakup sejauh mana peristiwa yang berdampak memicu perubahan terus-menerus di luar
individu yang secara langsung dipengaruhi, dan berinteraksi dengan kondisi dan tren sosial untuk
menghasilkan serangkaian hasil yang unik bagi komunitas. Pada skala makro kebutuhan analisis
dampak dilakukan pada aspek kebijakan, di dalamnya terdapat berbagai aktor seperti Negara
sebagai regulator dan fasilitator, pelaku bisnis sebagai importir dan eksportir energi dan
distribusinya termasuk sektro swasta dan BUMN, dan asosiasi konsumen.

Tugas 4 : Rekomendasi strategi intervensi sosial secara keseluruhan

Indonesia bercita-cita mencapai kondisi maju dan sejahtera dalam seratus tahun ke depan
kemerdekaan (visi Indonesia 2045). Transisi yang efektif dan inklusif ke rendah emisi gas rumah kaca
dan pembangunan yang tahan iklim membutuhkan transisi yang adil dari tenaga kerja, penciptaan
pekerjaan yang layak dan pekerjaan berkualitas, memenuhi kebutuhan kesetaraan gender dan
keadilan, antar generasi dan kelompok rentan termasuk masyarakat adat dan lokal yang terkena
dampak masyarakat. Oleh karena itu, persoalan transisi yang adil akan disikapi secara sinergis
dengan yang sedang berlangsung transisi menuju Indonesia yang maju dan sejahtera.

Rekomendasi untuk strategi intervensi sosial secara keseluruhan dilakukan dengan Intepretative
Structural Modelling (ISM). Interpretative Structural Modeling (ISM) merupakan teknik pemodelan
yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategi. ISM merupakan metode dalam
pengambilan keputusan dari situasi yang kompleks dengan menghubungkan dan mengorganisasi ide
dalam peta map visual. ISM adalah pemodelan yang menggambarkan hubungan spesifik
antarvariabel, struktur menyeluruh dan memiliki output berupa model grafis berupa kuadran dan
level variabel (Li & Yang, 2014).

Pertanyaan ISM dilakukan di setiap sesi FGD untuk mendapatkan poin 2 dan 3. pada setiap sesi
tersebut dilakukan pengisian data ISM.

Anda mungkin juga menyukai