Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI ATAS PERMASALAHAN


SPESIFIK TERKAIT SUPPLYSIDE MANAGEMENT UNTUK
PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK TERBARUKAN DI
INDONESIA
Disusun untuk memenuhi UAS
Mata Kuliah: Energi Baru dan
Terbarukan
Dosen Pengampu: Sheylin Wimora Lumban Tobing ST, M.Eng

Disusun Oleh:
Nama: Reinhard Philip Panjaitan
NIM: 200402103

KELAS C
DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Di era yang ditandai oleh perubahan iklim global dan meningkatnya kebutuhan energi,
salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, adalah
penyediaan tenaga listrik berbasis sumber energi terbarukan. Untuk mencapai keberlanjutan energi
dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, diperlukan transformasi dalam sektor energi
dengan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan penggunaan energi
terbarukan.
Dalam konteks ini, masalah khusus dalam penyediaan tenaga listrik terbarukan di Indonesia
dapat dipahami dengan mempelajari dokumen resmi seperti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik (RUPTL) yang dikeluarkan oleh PT PLN (Persero). Selain itu, tinjauan literatur terkait dari
negara lain yang menghadapi masalah serupa dalam aspek pasokan juga dilibatkan dalam analisis
ini.
Untuk mencari solusi yang efektif, telah diajukan alternatif solusi pada aspek pasokan
energi. Diversifikasi sumber energi, peningkatan investasi dalam energi terbarukan, dan
pengembangan jaringan listrik cerdas adalah beberapa solusi yang dapat membantu mengatasi
masalah ini. Namun, solusi-solusi tersebut perlu dianalisis secara mendalam untuk memahami
kelebihan, kelemahan, dan dampaknya dalam konteks Indonesia.
Melalui analisis dan pemilihan solusi terbaik, diharapkan dapat memberikan wawasan dan
rekomendasi berharga bagi pemerintah, industri energi, dan pemangku kepentingan lainnya dalam
menghadapi tantangan penyediaan tenaga listrik terbarukan di Indonesia. Meskipun transformasi
menuju sistem energi yang berkelanjutan bukanlah tugas yang mudah, dengan upaya bersama dan
implementasi solusi yang tepat, Indonesia dapat mempercepat transisi menuju masa depan yang
lebih hijau dan berkelanjutan.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor kelistrikan memainkan peran penting dalam pembangunan suatu negara.


Fungsinya tidak hanya terbatas sebagai alat produksi untuk memfasilitasi
pembangunan sektor ekonomi lainnya, tetapi juga sebagai faktor yang memenuhi
kebutuhan sosial masyarakat sehari-hari. Beberapa studi (Wallace 2008; Arief, 2011,
Adam, 2012) menyimpulkan bahwa sektor kelistrikan adalah sektor yang menjadi
dasar dalam mencapai tujuan pembangunan, seperti menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan nasional, mengubah struktur ekonomi, dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Listrik menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan saat ini, yang terlihat jelas
dari perbedaan kehidupan antara mereka yang memiliki akses listrik dengan yang
tidak. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan
listrik bagi seluruh penduduknya, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang aman,
adil, dan sejahtera. Penggunaan listrik saat ini tidak hanya terbatas pada fungsi
penerangan, tetapi juga mendukung hampir semua sektor kehidupan masyarakat.
Namun, sampai sekarang pemerintah belum mampu memenuhi kebutuhan listrik bagi
seluruh rakyatnya.
Pertumbuhan kebutuhan listrik masih jauh melampaui pertumbuhan
pembangunan infrastruktur kelistrikan nasional. Akibatnya, pemerintah hanya
memprioritaskan pembangunan kelistrikan di daerah-daerah tertentu seperti perkotaan
dan perindustrian, sedangkan daerah pedesaan menjadi prioritas kedua.
Tenaga listrik merupakan salah satu komponen utama dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang adil dan makmur.
Oleh karena itu, diperlukan perencanaan yang komprehensif dalam penyediaan tenaga
listrik yang merata, andal, dan berkelanjutan, sesuai semangat Nawa Cita dalam
pembangunan nasional.
Meskipun memiliki peran penting, pembangunan sektor kelistrikan di Indonesia
masih tertinggal. Tingkat ketersediaan listrik relatif terbatas dibandingkan dengan
tingkat kebutuhan. Misalnya, tingkat elektrifikasi Indonesia pada akhir tahun 2011
baru mencapai 71,2%, lebih rendah daripada beberapa negara ASEAN seperti
Singapura (100%) serta Malaysia dan Brunei (85%). Artinya, masih ada sekitar 28,8%
masyarakat
yang belum memiliki akses listrik. Di wilayah timur Indonesia, tingkat elektrifikasi
bahkan jauh di bawah 50%, misalnya di NTT hanya mencapai 34,5%.
Keterbatasan ketersediaan listrik menciptakan kesulitan bagi Indonesia dalam
memperbaiki lingkungan bisnis agar lebih kondusif. Sektor kelistrikan masih
dianggap sebagai faktor yang membuat biaya berbisnis di Indonesia lebih mahal
dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan Tiongkok.
Penelitian World Bank (2005) menunjukkan bahwa sekitar 900 perusahaan yang
disurvei mengalami kerugian sebesar 6% dari total penjualan mereka setiap tahun
akibat masalah listrik dan sumber energi lainnya.
Keterlambatan dalam membangun infrastruktur kelistrikan menyebabkan
ketersediaan listrik di Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya.
Akibatnya, sektor kelistrikan belum optimal dalam mendorong pembangunan
ekonomi.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kinerja sektor kelistrikan dan
mendiskusikan permasalahan yang menghambat peningkatan kinerja tersebut. Hasil
analisis mengenai kinerja dan permasalahan sektor kelistrikan ini akan menjadi dasar
untuk menemukan solusi dan memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah,
PT PLN (Perusahaan Listrik Negara), dan pemangku kepentingan sektor
kelistrikan lainnya.
.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi dan tantangan dalam penyediaan tenaga listrik berbasis


energi terbarukan di Indonesia berdasarkan analisis dokumen resmi seperti
RencanaUsaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dikeluarkan oleh
PT PLN (Persero)?

2. Apa saja permasalahan yang diangkat dan solusi yang telah diterapkan
dalam negara-negara lain terkait dengan aspek supply side dalam
penyediaan tenaga listrikterbarukan?
3. Bagaimana alternatif solusi pada aspek supply side yang dapat diusulkan
untuk mengatasi permasalahan dalam penyediaan tenaga listrik terbarukan
di Indonesia?
4. Apa analisis terhadap solusi-solusi yang ditawarkan untuk mengatasi
permasalahantersebut dalam konteks Indonesia?
5. Bagaimana pemilihan alternatif solusi terbaik berdasarkan pertimbangan
keberlanjutan, efisiensi, dan dampak positif dalam jangka panjang?

1.3 TUJUAN MASALAH

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis permasalahan spesifik yang dihadapi dalam sistem penyediaan


tenaga listrik terbarukan di Indonesia berdasarkan analisis dokumen resmi
seperti RencanaUsaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang
dikeluarkan oleh PLN.
2. Melakukan kajian literatur terkait permasalahan yang diangkat terkait
supply side dalam penyediaan tenaga listrik terbarukan di negara-negara
lain.
3. Menyusun alternatif solusi dari aspek supply side untuk mengatasi
permasalahan dalam penyediaan tenaga listrik terbarukan di Indonesia.
4. Menganalisis solusi-solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi
permasalahan tersebut berdasarkan faktor teknis, kebijakan, dan investasi.
5. Memilih alternatif solusi terbaik berdasarkan pertimbangan keberlanjutan,
efisiensi, dan dampak positif dalam jangka panjang untuk penyediaan tenaga
listrikterbarukan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Permasalahan Spesifik Pada Sistem Penyediaan Tenaga


Listrik Berdasarkan Dokumen-Dokumen Resmi yang Ada di PLN

Penyediaan tenaga listrik yang andal dan memadai merupakan salah satu
faktor penting dalam menjaga keberlanjutan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Dalam rangka melakukan identifikasi permasalahan spesifik yang
terjadi pada sistem penyediaan tenaga listrik, dokumen-dokumen resmi PLN seperti
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dapat menjadi sumber
informasi yang berharga.

Pada tahun 2012 pasokan energi primer di Indonesia masih didominasi oleh
sumber energi fosil seperti minyak, batubara, dan gas (20,6%), sedangkan pasokan
dari EBT seperti tenaga air, panas bumi dan bahan bakar nabati masih dibawah 5%.
Mengingat cadangan energi fosil Indonesia terbatas yang bila dibandingkan dengan
cadangan dunia minyak hanya 0,20%, gas 1,60% dan batubara 1,10%, maka perlu
segera mengoptimalkan pemanfaatan sumber EBT.

Indonesia memiliki berbagai jenis energi terbarukan seperti hidro, panas


bumi, angin, surya, kelautan dan biomasa yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Pengembangan energi untuk jangka panjang perlu mengoptimalkan pemanfaatan
EBT untuk mengurangi pangsa penggunaan energi fosil. Panas bumi dengan potensi
yang mencapai lebih dari 28.617 MW baru dimanfaatkan sebesar 1.341 MW,
sementara tenaga air dengan potensi 75.000 MW baru dimanfaatkan 7.059 MW, dan
pembangkit biomasa dengan potensi sebesar 13.662 MW baru dimanfaatkan 1.772
MW. Diantara sumberdaya EBT maka sumberdaya energi biomasa baik untuk bahan
bakar pembangkit listrik atau sebagai bahan baku untuk diolah menjadi bahan bakar
nabati (BBN) merupakan jenis sumberdaya energi terbarukan yang sangat prospektif
untuk dikembangkan.

Pembangunan sumberdaya EBT ini selain mengurangi ketergantungan pada


BBM yang saat ini sekitar 50% berasal dari impor, juga bisa mengurangi pencemaran
baik berupa polutan (padat, cair dan gas) maupun emisi gas rumah kaca (GRK).
Beberapa hal yang menghambat pengembangan EBT antara lain adalah biaya
investasi
yang masih tinggi, belum ada insentif yang memadai, harga jual energi terbarukan
masihh lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil, kurangnya pengetahuan dalam
mengadaptasi fasilitas energi bersih, serta potensi sumberdaya EBT pada umumnya
kecil dan tersebar. Dari sisi disparitas wilayah, permasalahan yang muncul adalah
kebutuhan energi yang sangat besar di wilayah Jawa sedangkan potensi sumber
energi yang dimiliki sangat terbatas. Sementara itu luar Jawa yang memiliki potensi
sumberdaya energi yang besar hanya membutuhkan energi yang relatif kecil.
Disamping itu infrastruktur energi di wilayah luar Jawa masih sangat kurang, baik
secara kualitas maupun kuantitas.

Infrastruktur yang masih sangat kurang ini menjadi penghambat utama dalam
pengembangan wilayah serta pemerataan akses masyarakat terhadap energi. Dari sisi
pasokan energi fosil, produksi minyak terus menurun sedangkan kebutuhan bahan
bakar minyak (BBM) terus meningkat sehingga akan menyebabkan peningkatan
impor minyak mentah serta BBM. Potensi gas bumi yang cukup besar ternyata belum
dapat meningkatkan konsumsi gas dalam negeri karena infrastruktur yang ada belum
memadai.

Disamping itu kontrak ekspor gas jangka panjang dalam jumlah besar juga
menjadi kendala bagi pasokan gas domestik. Ekspor batubara terus meningkat
sedangkan konsumsi batubara domestik pada tahun 2012 hanya dapat menyerap 23%
produksi batubara. Ini berarti batubara belum secara optimal dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Batubara masih sebagai komoditas
ekspor dan belum berorientasi pada peningkatan ketahanan energi untuk jangka
panjang. Ekspor batubara dalam jumlah yang jauh melebihi konsumsi domestik bila
tidak dikendalikan akan dapat menguras sumber daya sehingga pemanfaatannya
hanya dalam waktu yang pendek dan tidak bisa digunakan sebagai cadangan pasokan
energi untuk generasi mendatang

Untuk mengidentifikasi permasalahan spesifik pada sistem penyediaan tenaga


listrik terbarukan di Indonesia, dapat dilihat berdasarkan dokumen resmi seperti
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang diterbitkan oleh PLN.
Beberapa permasalahan yang mungkin diidentifikasi meliputi:

1. Rendahnya Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik Terbarukan: RUPTL


menunjukkan bahwa kapasitas pembangkit tenaga listrik terbarukan
masih
jauh di bawah target yang ditetapkan. Hal ini dapat disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya, keterlambatan proyek pembangunan, atau
kendala lainnya.
2. Ketidakseimbangan Regional: Terdapat ketidakseimbangan dalam
penyebaran pembangkit tenaga listrik terbarukan di berbagai wilayah
di Indonesia. Beberapawilayah mungkin memiliki akses yang lebih baik
ke sumber daya terbarukan, sementara wilayah lain mungkin kurang
mendapatkan perhatian yang cukup.
3. Infrastruktur Transmisi yang Tidak Memadai: Sistem transmisi yang
tidak memadai dapat menjadi hambatan dalam menghubungkan
pembangkit tenaga listrik terbarukandengan jaringan listrik nasional. Hal
ini dapat menghambat pengembangan proyek- proyek tenaga listrik
terbarukan.
4. Regulasi dan Kebijakan yang Kurang Jelas: Kehadiran regulasi dan
kebijakan yang kurang jelas atau ambigu dapat menyulitkan
pengembangan tenaga listrik terbarukan di Indonesia. Ketidakpastian ini
dapat menghambat investasi dan inovasi dalam sektorenergi terbarukan.

2.2 Kajian Review Terkait Permasalahan yang Diangkat Terkait Supply


Side di Negara Lain
Meskipun pertumbuhan produksi listrik selalu lebih besar daripada
konsumsinya, namun hal ini tidak bisa serta merta diterjemahkan bahwa tingkat
ketersediaan listrik sudah mampu memenuhi tingkat kebutuhannya. Argumentasinya
adalah secara konseptual produksi listrik memang harus selalu lebih besar dari
konsumsi karena produsen listrik (seperti PLN) membutuhkan listrik untuk dipakai
sendiri sebagai penunjang proses produksi dan adanya toleransi terhadap losses yang
muncul pada saat proses transmisi dari produsen ke konsumen.
Selain itu, produksi listrik Indonesia sebagai rasio dari produksi listrik di
beberapa negara, seperti Tiongkok dan India, ternyata masih sangat kecil. Ini
mengindikasikan bahwa kemampuan Indonesia untuk menyediakan tenaga listrik relatif
masih terbatas dibandingkan dengan Tiongkok dan India. Misalnya, pada tahun 2009,
produksi listrik di Indonesia hanya mencapai 155.470 GWh, sedangkan di Tiongkok
dan India masing-masing sudah mencapai 3.695.928 GWh dan 899.389 GWh. Karena
itu, pada tahun 2009, rasio produksi listrik Indonesia terhadap produksi listrik
Tiongkok dan India masing-masing hanya mencapai 4,2% dan 17,3% (Tabel 2).
Perhitungan
menunjukkan bahwa pada periode 1971-2001, rasio produksi listrik Indonesia terhadap
produksi listrik Tiongkok dan India terus mengalami kenaikan. Namun demikian, sejak
tahun 2001, rasio produksi listrik Indonesia, khususnya terhadap Tiongkok, kembali
mengalami penurunan. Gambaran ini mengindikasikan bahwa sejak tahun 2001,
Tiongkok melakukan langkah-langkah ekspansif untuk mendorong produksi listrik,
sehingga pertumbuhan produksi listrik di Tiongkok meningkat dengan pesat, jauh
meninggalkan Indonesia (Tabel 2).

Permasalahan penyedia listrik di India dan Tiongkok memiliki beberapa perbedaan


tergantung pada karakteristik dan tantangan unik yang dihadapi oleh masing-masing
negara. Berikut adalah beberapa permasalahan umum yang terkait dengan penyediaan
listrik di kedua negara tersebut:
Permasalahan di India:
 Kekurangan Pasokan: India menghadapi tantangan besar dalam memenuhi
permintaan listrik yang terus meningkat, terutama di daerah perkotaan.
Kekurangan pasokan listrik masih menjadi permasalahan serius, yang
mengakibatkan pemadaman listrik yang sering terjadi.
 Rendahnya Kapasitas Pembangkit: Meskipun India memiliki kapasitas
pembangkit listrik yang besar, beberapa wilayah masih mengalami rendahnya
kapasitas pembangkit yang memadai. Hal ini dapat disebabkan oleh
keterbatasan investasi, lambatnya pembangunan infrastruktur, dan kendala
lainnya.
 Infrastruktur Tidak Memadai: Infrastruktur transmisi dan distribusi yang tidak
memadai adalah permasalahan serius di India. Gangguan dalam jaringan
transmisi dan distribusi dapat menyebabkan kerugian energi yang signifikan
dan ketidakstabilan pasokan listrik.
 Tantangan dalam Integrasi Energi Terbarukan: India telah berinvestasi
dalam energi terbarukan dengan cepat, terutama energi surya dan energi
angin. Namun, integrasi energi terbarukan ke dalam jaringan listrik masih
menjadi permasalahan, termasuk fluktuasi daya dan keterbatasan
infrastruktur untuk mengakomodasi energi terbarukan.

Permasalahan di Tiongkok:
 Pencemaran Lingkungan: Tiongkok menghadapi permasalahan serius terkait
polusi udara akibat pembangkit listrik berbasis batu bara yang besar. Negara
ini berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan beralih ke
sumber energi yang lebih bersih, seperti energi terbarukan dan nuklir.
 Infrastruktur dan Kapasitas yang Luas: Tiongkok telah mengembangkan
infrastruktur kelistrikan yang besar dan kuat dengan kapasitas pembangkit
yang tinggi. Namun, beberapa wilayah masih menghadapi tantangan
terkait peningkatan kapasitas yang memadai untuk memenuhi
pertumbuhan permintaan yang cepat.
 Efisiensi Energi: Meskipun Tiongkok memiliki infrastruktur yang canggih,
tantangan efisiensi energi masih ada. Masalah ini mencakup kerugian energi
dalam transmisi dan distribusi, serta rendahnya efisiensi dalam pembangkit
listrik.
 Pengembangan Energi Terbarukan: Tiongkok merupakan salah satu pemimpin
global dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, masih ada tantangan
terkait integrasi yang mulus dengan jaringan listrik yang ada, manajemen
pasokan yang stabil, dan peningkatan efisiensi energi terbarukan.

2.3 Alternatif Solusi dari Permasalahan Tersebut dari Aspek Supply Side
Beragam tantangan dan kendala di sektor kelistrikan memang dihadapi oleh
pemerintah dan PLN dalam memenuhi target dan tujuan pembangunan nasional
di sektor kelistrikan, baik target elektrifikasi, menopang pertumbuhan ekonomi
hingga target bauran energi. Namun, pemenuhan kebutuhan listrik nasional
tersebut, tidak mungkin hanya mengandalkan APBN dan kemampuan
keuangan PLN. Apalagi, membangun infrastruktur di sektor kelistrikan,
membutuhkan investasi yang sangat besar.
1. Mendorong Kolaborasi PLN-Swasta
Dalam membangun sektor kelistrikan, RUPTL PLN 2019-2028
menyebutkan perkiraan kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit listrik
hingga 56,4 GW dalam sepuluh tahun ke depan. Dari jumlah itu, sekitar 60
persen atau 33,7 GW diharapkan berasal dari kontribusi pembangkit
swasta atau IPP. Peluang menunjukkan bahwa potensi investasi bagi
pemain swasta di sektor kelistrikan di Indonesia masih terbuka lebar.
Apalagi, untuk pembangkit EBT, Indonesia memiliki potensi sumber daya
EBT yang sangat besar dan belum dioptimalkan. Mengingat kebutuhan
investasi sangat besar, sedangkan dana APBN dan PLN sangat terbatas,
tentu sangat berat jika PLN harus membangun infrastruktur kelistrikan
sendiri, khususnya untuk pembangkit listrik. Peran pengembang swasta
atau independent power producer (IPP) menjadi semakin penting dalam
satu dekade mendatang. Kolaborasi dengan swasta akan semakin
dibutuhkan dalam pembangunan pembangkit EBT, seperti Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan lainnya.

2. Perbaikan Iklim Investasi di Indonesia


a. Insentif untuk Investasi
Pemberian insentif fiskal dan non fiskal menjadi salah satu solusi untuk
meningkatkan minat investor di sektor kelistrikan, khususnya pembangunan
pembangkit EBT. Insentif untuk investasi dapat menurunkan biaya energi
sehingga ragam dan kuantitas cadangan energi terbarukan dapat bersaing
dengan energi fosil. Pada tahap inisiasi pembangunan pembangkit, PLN dan
swasta juga perlu merancang skema agar sinkron dengan bisnis pengadaan
listrik dan penyerapan kebutuhan konsumen.
b. Penyesuaian Tarif Listrik untuk Pelanggan
Sejak 2017-2019, pemerintah belum menyesuaikan tarif dasar listrik
untuk semua golongan pelanggan termasuk non subsidi. Hal ini dilakukan
untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas perekonomian. Namun,
keputusan tersebut berdampak pada beban keuangan PLN akibat kenaikan
biaya produksi dan beban anggaran negara melalui pembayaran
kompensasi. Ke depan, setelah pandemi Covid-19 berakhir, pemerintah
perlu mempertimbangkan untuk menerapkan skema penyesuaian kenaikan
tarif tenaga listrik dalam jangka panjang agar menjamin ketahanan energi
dan menyehatkan keuangan PLN.
c. Penyesuaian Komposisi Saham Pembangkit
Perpres No 14/2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan perlu ditinjau kembali. Komposisi kepemilikan saham
pembangkit PLN : swasta sebesar 51 : 49 dianggap tidak berjalan efektif
dan dikeluhkan para pengembang swasta. Sebab, dengan komposisi
tersebut, pengembang kesulitan mendapatkan pinjaman ke perbankan
karena dinilai tidak bankable. Akibatnya, pengembang sulit merealisasikan
pembangunan pembangkit dengan skema kepemilikan tersebut.
d. Percepatan Penetapan RTRW di Daerah
Dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga diperlukan
untuk mempercepat penyelesaian untuk menetapkan Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) di daerah masing-masing. Penetapan ini juga
mencakup Rencana Detail Tata Ruang Daerah dan Peraturan Zonasi
(RDTRPZ), termasuk untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Penetapan ini sangat dibutuhkan mengingat proses perizinan untuk
kelistrikan sudah dipermudah dan disederhanakan di pusat melalui online
single submission (OSS). Namun, perizinan ini tidak bisa keluar jika RTRW
di daerah belum ada kejelasan.
e. Omnibus Law untuk Investasi Kelistrikan
Berbagai kendala investasi seperti tumpang tindih regulasi antara
pusatdaerah, kementerian/lembaga, dan lintas sektoral membuat perlu
adanya pembenahan dari segi aturan. Saat ini, RUU Omnibus Law sudah
disetujui oleh DPR dan dalam pembahasan untuk disahkan. Beberapa poin
utama dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan RUU Perpajakan yang
berdampak pada investasi kelistrikan adalah penyederhanaan perizinan
berusaha dengan penyederhanaan regulasi serta percepatan proses perizinan
dan administrasi. Perbaikan tersebut diharapkan dapat mempercepat dan
memperluas investasi kelistrikan
3. Percepatan Pembangunan Pembangkit EBT
Sejumlah langkah perbaikan regulasi dan kebijakan sudah dilakukan
oleh pemerintah untuk memberi kemudahan dan percepatan pembangunan
pembangkit EBT. Salah satunya adalah perubahan skema kerja sama untuk
pembangunan pembangkit EBT. Semula skema yang digunakan adalah

2.4 Analisis Atas Solusi-Solusi yang Dapat Ditawarkan Untuk Mengatasi


Masalah
Solusi untuk permasalahan kelistrikan dapat beragam tergantung pada
sifat dan akar masalah yang spesifik. Namun, berikut adalah beberapa solusi
umum yang dapat diterapkan untuk memperbaiki dan mengatasi permasalahan
dalam penyediaan energi listrik:
 Diversifikasi Sumber Energi: Mengurangi ketergantungan pada bahan
bakar fosil seperti batu bara dan minyak adalah langkah penting.
Memperluas penggunaan energi terbarukan seperti energi surya,
angin, hidro, dan nuklir dapat membantu mengurangi emisi gas rumah
kaca dan meningkatkan keberlanjutan energi.
 Investasi Infrastruktur: Meningkatkan investasi dalam infrastruktur
kelistrikan, termasuk pembangunan dan perbaikan jaringan
transmisi dan distribusi, dapat membantu mengurangi kerugian
energi, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat keandalan pasokan
listrik.
 Efisiensi Energi: Program dan kebijakan yang mendorong
penggunaan energi secara efisien dapat membantu mengurangi
konsumsi energi yang berlebihan. Ini melibatkan adopsi teknologi
efisiensi energi,
kampanye kesadaran publik, dan insentif untuk mendorong praktek
efisiensi energi di sektor rumah tangga, komersial, dan industri.
 Integrasi Energi Terbarukan: Meningkatkan integrasi energi
terbarukan ke dalam sistem listrik dengan pengembangan teknologi
penyimpanan energi dan peningkatan manajemen jaringan listrik dapat
membantu mengatasi tantangan fluktuasi daya dan meningkatkan
stabilitas pasokan energi terbarukan.
 Peningkatan Kapasitas Pembangkit: Meningkatkan kapasitas
pembangkit listrik, baik melalui pembangunan pembangkit baru
maupun perluasan pembangkit yang ada, dapat membantu memenuhi
pertumbuhan permintaan listrik dan mengatasi kekurangan pasokan
listrik.
 Perencanaan dan Pengelolaan yang Baik: Penyusunan perencanaan
yang baik untuk kebutuhan energi jangka panjang dan pengelolaan
yang efektif dari sistem kelistrikan dapat membantu mengoptimalkan
penggunaan sumber daya, mengurangi risiko kekurangan pasokan,
dan meningkatkan keandalan dan efisiensi operasional.
 Kebijakan dan Regulasi yang Mendukung: Kebijakan energi yang
progresif dan regulasi yang tepat dapat menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi investasi dalam sektor energi, termasuk energi
terbarukan. Ini mencakup insentif fiskal, tarif listrik yang adil, dan
kerangka kerja yang jelas untuk pembangunan dan pengoperasian
infrastruktur listrik.
Penting untuk diingat bahwa solusi yang tepat akan bervariasi tergantung
pada kondisi dan tantangan unik yang dihadapi oleh setiap negara atau
wilayah. Menerapkan kombinasi solusi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan
lokal akan membantu mencapai penyediaan

2.5 Pemilihan Alternatif Solusi Terbaik

Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung kepada energi fosil
untuk memenuhi kebutuhan listrik penduduknya. Sampai dengan akhir tahun
2019, energi fosil masih mendominasi bauran energi primer pembangkit listrik
kita sebesar 87,6%, menyisakan hanya 12,4% baurannya untuk energi
terbarukan
(KESDM, 2020). Dari berbagai data yang kami himpun di IESR (2020a), porsi
energi fosil ini sudah mendominasi setidaknya dalam empat dekade terakhir
(1970-an hingga 2010-an). Adapun yang berubah hanyalah jenis pasokan energi
fosil yang mengikuti gelombang transisi energi global seperti yang dibahas pada
Subbab transisi energi global sebelumnya.

Indonesia mulai bertransisi untuk mengurangi pembangkit listrik berbasis


minyak sejak tahun 1970-an. Di tahun 1971, bauran pembangkit listrik ini
mendominasi sebesar 56%, dan berkurang secara bertahap menjadi 23% di
tahun 2009, dan turun drastis di akhir tahun 2019 lalu hingga sebesar 4%.
Transformasi ini tidak lain disebabkan oleh keekonomian pembangkit yang
kalah oleh sumber fosil lainnya sebagai akibat dari melambungnya harga
minyak dalam periode ini.

. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari batu bara ini mengalami
peningkatan tajam dari 0% di tahun 1971, menjadi 42% di tahun 2009. Pada
akhir tahun 2019 lalu, kontribusi batu bara di bauran pembangkit listrik
Indonesia mencapai 61%. Seperti halnya batu bara, gas pun mengalami proses
transisi untuk memenuhi permintaan listrik yang terus mengalami peningkatan.

Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) juga memulai baurannya dari 0% di


tahun 1971, dan bereskalasi cukup signifikan hingga tahun 2009 menjadi
sebesar 22%. Sejak itu, penambahan porsi gas dalam bauran pembangkit listrik
hanya bertambah relatif sebesar 1% hingga akhir tahun 2019 lalu. Sementara itu,
listrik yang dibangkitkan dari energi terbarukan (tidak termasuk Pembangkit
Listrik Tenaga Air PLTA) hanya tumbuh sekitar 3% dari 3% pada tahun 1990,
menjadi 6% di akhir tahun 2009. Apabila kita memasukan penambahan
kapasitas dari PLTA, maka pertumbuhan ET pada dekade selanjutnya (2009-
2019) membuat porsinya menjadi dua kali lipat ke 12% di akhir tahun lalu.

Sebagian besar kapasitas pembangkit ET saat ini berasal dari PLTA dan
PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) dengan total kapasitas masing-
masing sebesar 5.885,5 MW dan 2.130,6 MW KESDM, 2020). Laju
penambahan kapasitas pembangkit listrik ET rata-rata dalam setengah dekade
terakhir (2014- 2019) sebesar 348 MW per tahun mengindikasikan adanya
upaya yang tidak serius dalam memenuhi target dalam RUEN dan RPJMN
(Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional).

Mengapa transisi energi berbasis energi terbarukan itu penting dan urgen
untuk dilakukan di Indonesia? Salah satu diantaranya adalah tren 4D
(Dekarbonisasi, Desentralisasi, Digitalisasi, dan Demokratisasi) pada sistem
ketenagalistrikan yang saat ini sedang berlangsung di tingkat global dan
regional. Dekarbonisasi sistem energi dan ketenagalistrikan saat ini menjadi
prioritas utama dunia sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak perubahan
iklim, khususnya untuk mengejar pembatasan kenaikan suhu global di bawah
2oC (dan bahkan hingga 1,5oC) di tahun 2100. Tidak seperti energi baru
(diantaranya gas metana batu bara/ coal bed methane, batu bara
tercairkan/liquified coal, batu bara tergaskan/gasified coal, serta nuklir), yang
masih mengeluarkan emisi GRK dan juga polusi lingkungan, teknologi energi
terbarukan nyaris nir karbon dalam membangkitkan listriknya.

Hal ini menjadikan ET berperan sebagai solusi utama dalam menjawab


tantangan dekarbonisasi ini. Biaya teknologi energi surya dan bayu (serta sistem
penyimpanan energi) yang setiap tahun menjadi semakin murah, telah
menjadikan sistem energi berbasis ET menjadi lebih kompetitif dibandingkan
dengan pembangkit listrik konvensional berbasis energi fosil. Seperti yang telah
dibahas pada sub-bab sebelumnya, teknologi surya dan bayu telah turun secara
drastis dalam kurun waktu satu dekade terakhir (IRENA, 2019).

Hal ini menyebabkan investasi di ET terus meningkat, bahkan telah


mendominasi investasi energi fosil dalam lima tahun terakhir (BNEF, 2020).
Teknologi energi terbarukan juga memungkinkan demokratisasi dan
desentralisasi energi. Energi surya misalnya, memungkinkan seseorang, yang
awalnya hanya bisa menjadi konsumen listrik dari perusahaan penyedia tenaga
listrik seperti PLN, untuk dapat memproduksi listrik sendiri dan bahkan menjadi
penyalur listrik ke jaringan PLN apabila sedang tidak digunakan. Proses
demokratisasi ini diproyeksikan akan terus bergulir seiring dengan semakin
menurunnya harga panel surya setiap tahunnya. Sehingga pada akhirnya,
pembangkit listrik tidak lagi terpusat dan besar-besar, tetapi menjadi
terdesentralisasi menjadi sistem-sistem pembangkit listrik berskala kecil yang
tersebar. Adanya kemajuan teknologi dan aplikasinya di sektor energi, juga
mendorong terjadinya revolusi digital di sektor ketenagalistrikan. Internet of
things misalnya, dapat membuat pengelolaan jaringan listrik menjadi automasi
secara lebih efektif dan efisien. Teknologi blockchain memungkinkan terjadinya
transaksi jual beli listrik antara satu rumah dengan rumah tetangganya, ataupun
dapat memungkinkan mobil listrik untuk dapat menjual listrik yang tersimpan
dalam baterainya ke jaringan listrik saat harganya kompetitif. Gangguan-
gangguan dan kemajuan teknologi (technological disruptions and advancement)
ini dapat menghadirkan ancaman serius terhadap model bisnis industri tenaga
listrik konvensional dan struktur sistem pasokan listrik di Indonesia yang saat
ini masih tersentralisasi dan monopoli.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah menganalisis masalah spesifik dalam sistem penyediaan energi


listrik terbarukan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa tantangan
yang harus diatasi agar transisi menuju energi terbarukan dapat dipercepat.

Ketergantungan yang tinggi pada energi fosil memiliki dampak negatif pada
lingkungan dan memiliki keterbatasan sebagai sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui. Selain itu, potensi energi terbarukan di Indonesia masih belum
dimanfaatkan secara optimal, dengan kendala seperti regulasi yang belum memadai,
kurangnya infrastruktur, dan pengembangan teknologi yang masih diperlukan.

Integrasi energi terbarukan ke dalam jaringan listrik juga menghadapi


tantangan teknis, termasuk keandalan pasokan, stabilitas sistem, dan manajemen
beban. Oleh karena itu, diperlukan upaya komprehensif untuk mengatasi masalah-
masalah pada sisi pasokan dalam penyediaan energi listrik terbarukan di Indonesia.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting untuk belajar dari pengalaman negara
lain yang telah berhasil mengatasi tantangan serupa. Tinjauan literatur tentang
masalah- masalah pada sisi pasokan di negara-negara lain dapat memberikan
wawasan dan pelajaran berharga yang dapat diadopsi dan disesuaikan dengan
kondisi di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan alternatif solusi dari segi sisi
pasokan, termasuk diversifikasi sumber energi, peningkatan investasi dalam energi
terbarukan, pengembangan infrastruktur pendukung, dan kebijakan pengaturan
yang memfasilitasi perkembangan sektor energi terbarukan.

Anda mungkin juga menyukai