Disusun Oleh:
Nama: Reinhard Philip Panjaitan
NIM: 200402103
KELAS C
DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR
Di era yang ditandai oleh perubahan iklim global dan meningkatnya kebutuhan energi,
salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, adalah
penyediaan tenaga listrik berbasis sumber energi terbarukan. Untuk mencapai keberlanjutan energi
dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, diperlukan transformasi dalam sektor energi
dengan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan penggunaan energi
terbarukan.
Dalam konteks ini, masalah khusus dalam penyediaan tenaga listrik terbarukan di Indonesia
dapat dipahami dengan mempelajari dokumen resmi seperti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik (RUPTL) yang dikeluarkan oleh PT PLN (Persero). Selain itu, tinjauan literatur terkait dari
negara lain yang menghadapi masalah serupa dalam aspek pasokan juga dilibatkan dalam analisis
ini.
Untuk mencari solusi yang efektif, telah diajukan alternatif solusi pada aspek pasokan
energi. Diversifikasi sumber energi, peningkatan investasi dalam energi terbarukan, dan
pengembangan jaringan listrik cerdas adalah beberapa solusi yang dapat membantu mengatasi
masalah ini. Namun, solusi-solusi tersebut perlu dianalisis secara mendalam untuk memahami
kelebihan, kelemahan, dan dampaknya dalam konteks Indonesia.
Melalui analisis dan pemilihan solusi terbaik, diharapkan dapat memberikan wawasan dan
rekomendasi berharga bagi pemerintah, industri energi, dan pemangku kepentingan lainnya dalam
menghadapi tantangan penyediaan tenaga listrik terbarukan di Indonesia. Meskipun transformasi
menuju sistem energi yang berkelanjutan bukanlah tugas yang mudah, dengan upaya bersama dan
implementasi solusi yang tepat, Indonesia dapat mempercepat transisi menuju masa depan yang
lebih hijau dan berkelanjutan.
BAB I
PENDAHULUAN
2. Apa saja permasalahan yang diangkat dan solusi yang telah diterapkan
dalam negara-negara lain terkait dengan aspek supply side dalam
penyediaan tenaga listrikterbarukan?
3. Bagaimana alternatif solusi pada aspek supply side yang dapat diusulkan
untuk mengatasi permasalahan dalam penyediaan tenaga listrik terbarukan
di Indonesia?
4. Apa analisis terhadap solusi-solusi yang ditawarkan untuk mengatasi
permasalahantersebut dalam konteks Indonesia?
5. Bagaimana pemilihan alternatif solusi terbaik berdasarkan pertimbangan
keberlanjutan, efisiensi, dan dampak positif dalam jangka panjang?
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
Penyediaan tenaga listrik yang andal dan memadai merupakan salah satu
faktor penting dalam menjaga keberlanjutan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Dalam rangka melakukan identifikasi permasalahan spesifik yang
terjadi pada sistem penyediaan tenaga listrik, dokumen-dokumen resmi PLN seperti
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dapat menjadi sumber
informasi yang berharga.
Pada tahun 2012 pasokan energi primer di Indonesia masih didominasi oleh
sumber energi fosil seperti minyak, batubara, dan gas (20,6%), sedangkan pasokan
dari EBT seperti tenaga air, panas bumi dan bahan bakar nabati masih dibawah 5%.
Mengingat cadangan energi fosil Indonesia terbatas yang bila dibandingkan dengan
cadangan dunia minyak hanya 0,20%, gas 1,60% dan batubara 1,10%, maka perlu
segera mengoptimalkan pemanfaatan sumber EBT.
Infrastruktur yang masih sangat kurang ini menjadi penghambat utama dalam
pengembangan wilayah serta pemerataan akses masyarakat terhadap energi. Dari sisi
pasokan energi fosil, produksi minyak terus menurun sedangkan kebutuhan bahan
bakar minyak (BBM) terus meningkat sehingga akan menyebabkan peningkatan
impor minyak mentah serta BBM. Potensi gas bumi yang cukup besar ternyata belum
dapat meningkatkan konsumsi gas dalam negeri karena infrastruktur yang ada belum
memadai.
Disamping itu kontrak ekspor gas jangka panjang dalam jumlah besar juga
menjadi kendala bagi pasokan gas domestik. Ekspor batubara terus meningkat
sedangkan konsumsi batubara domestik pada tahun 2012 hanya dapat menyerap 23%
produksi batubara. Ini berarti batubara belum secara optimal dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Batubara masih sebagai komoditas
ekspor dan belum berorientasi pada peningkatan ketahanan energi untuk jangka
panjang. Ekspor batubara dalam jumlah yang jauh melebihi konsumsi domestik bila
tidak dikendalikan akan dapat menguras sumber daya sehingga pemanfaatannya
hanya dalam waktu yang pendek dan tidak bisa digunakan sebagai cadangan pasokan
energi untuk generasi mendatang
Permasalahan di Tiongkok:
Pencemaran Lingkungan: Tiongkok menghadapi permasalahan serius terkait
polusi udara akibat pembangkit listrik berbasis batu bara yang besar. Negara
ini berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan beralih ke
sumber energi yang lebih bersih, seperti energi terbarukan dan nuklir.
Infrastruktur dan Kapasitas yang Luas: Tiongkok telah mengembangkan
infrastruktur kelistrikan yang besar dan kuat dengan kapasitas pembangkit
yang tinggi. Namun, beberapa wilayah masih menghadapi tantangan
terkait peningkatan kapasitas yang memadai untuk memenuhi
pertumbuhan permintaan yang cepat.
Efisiensi Energi: Meskipun Tiongkok memiliki infrastruktur yang canggih,
tantangan efisiensi energi masih ada. Masalah ini mencakup kerugian energi
dalam transmisi dan distribusi, serta rendahnya efisiensi dalam pembangkit
listrik.
Pengembangan Energi Terbarukan: Tiongkok merupakan salah satu pemimpin
global dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, masih ada tantangan
terkait integrasi yang mulus dengan jaringan listrik yang ada, manajemen
pasokan yang stabil, dan peningkatan efisiensi energi terbarukan.
2.3 Alternatif Solusi dari Permasalahan Tersebut dari Aspek Supply Side
Beragam tantangan dan kendala di sektor kelistrikan memang dihadapi oleh
pemerintah dan PLN dalam memenuhi target dan tujuan pembangunan nasional
di sektor kelistrikan, baik target elektrifikasi, menopang pertumbuhan ekonomi
hingga target bauran energi. Namun, pemenuhan kebutuhan listrik nasional
tersebut, tidak mungkin hanya mengandalkan APBN dan kemampuan
keuangan PLN. Apalagi, membangun infrastruktur di sektor kelistrikan,
membutuhkan investasi yang sangat besar.
1. Mendorong Kolaborasi PLN-Swasta
Dalam membangun sektor kelistrikan, RUPTL PLN 2019-2028
menyebutkan perkiraan kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit listrik
hingga 56,4 GW dalam sepuluh tahun ke depan. Dari jumlah itu, sekitar 60
persen atau 33,7 GW diharapkan berasal dari kontribusi pembangkit
swasta atau IPP. Peluang menunjukkan bahwa potensi investasi bagi
pemain swasta di sektor kelistrikan di Indonesia masih terbuka lebar.
Apalagi, untuk pembangkit EBT, Indonesia memiliki potensi sumber daya
EBT yang sangat besar dan belum dioptimalkan. Mengingat kebutuhan
investasi sangat besar, sedangkan dana APBN dan PLN sangat terbatas,
tentu sangat berat jika PLN harus membangun infrastruktur kelistrikan
sendiri, khususnya untuk pembangkit listrik. Peran pengembang swasta
atau independent power producer (IPP) menjadi semakin penting dalam
satu dekade mendatang. Kolaborasi dengan swasta akan semakin
dibutuhkan dalam pembangunan pembangkit EBT, seperti Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan lainnya.
Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung kepada energi fosil
untuk memenuhi kebutuhan listrik penduduknya. Sampai dengan akhir tahun
2019, energi fosil masih mendominasi bauran energi primer pembangkit listrik
kita sebesar 87,6%, menyisakan hanya 12,4% baurannya untuk energi
terbarukan
(KESDM, 2020). Dari berbagai data yang kami himpun di IESR (2020a), porsi
energi fosil ini sudah mendominasi setidaknya dalam empat dekade terakhir
(1970-an hingga 2010-an). Adapun yang berubah hanyalah jenis pasokan energi
fosil yang mengikuti gelombang transisi energi global seperti yang dibahas pada
Subbab transisi energi global sebelumnya.
. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari batu bara ini mengalami
peningkatan tajam dari 0% di tahun 1971, menjadi 42% di tahun 2009. Pada
akhir tahun 2019 lalu, kontribusi batu bara di bauran pembangkit listrik
Indonesia mencapai 61%. Seperti halnya batu bara, gas pun mengalami proses
transisi untuk memenuhi permintaan listrik yang terus mengalami peningkatan.
Sebagian besar kapasitas pembangkit ET saat ini berasal dari PLTA dan
PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) dengan total kapasitas masing-
masing sebesar 5.885,5 MW dan 2.130,6 MW KESDM, 2020). Laju
penambahan kapasitas pembangkit listrik ET rata-rata dalam setengah dekade
terakhir (2014- 2019) sebesar 348 MW per tahun mengindikasikan adanya
upaya yang tidak serius dalam memenuhi target dalam RUEN dan RPJMN
(Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional).
Mengapa transisi energi berbasis energi terbarukan itu penting dan urgen
untuk dilakukan di Indonesia? Salah satu diantaranya adalah tren 4D
(Dekarbonisasi, Desentralisasi, Digitalisasi, dan Demokratisasi) pada sistem
ketenagalistrikan yang saat ini sedang berlangsung di tingkat global dan
regional. Dekarbonisasi sistem energi dan ketenagalistrikan saat ini menjadi
prioritas utama dunia sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak perubahan
iklim, khususnya untuk mengejar pembatasan kenaikan suhu global di bawah
2oC (dan bahkan hingga 1,5oC) di tahun 2100. Tidak seperti energi baru
(diantaranya gas metana batu bara/ coal bed methane, batu bara
tercairkan/liquified coal, batu bara tergaskan/gasified coal, serta nuklir), yang
masih mengeluarkan emisi GRK dan juga polusi lingkungan, teknologi energi
terbarukan nyaris nir karbon dalam membangkitkan listriknya.
3.1 Kesimpulan
Ketergantungan yang tinggi pada energi fosil memiliki dampak negatif pada
lingkungan dan memiliki keterbatasan sebagai sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui. Selain itu, potensi energi terbarukan di Indonesia masih belum
dimanfaatkan secara optimal, dengan kendala seperti regulasi yang belum memadai,
kurangnya infrastruktur, dan pengembangan teknologi yang masih diperlukan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan alternatif solusi dari segi sisi
pasokan, termasuk diversifikasi sumber energi, peningkatan investasi dalam energi
terbarukan, pengembangan infrastruktur pendukung, dan kebijakan pengaturan
yang memfasilitasi perkembangan sektor energi terbarukan.