Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PEMBANGKIT LISTRIK DENGAN MENGGUNAKAN


GENERATOR
Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Konversi Energi Elektrik

Disusun Oleh :
Nama : Hendrickson
NPM : 13410221
Kelas : 2IB02

Program Sarjana Teknik Elektro


Fakultas Teknologi Industri
Tahun 2012

KATA PENGANTAR

          Puji dan syukur, kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena rahmat-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah Dasar Konversi Energi Elektrik ini.
Selain sebagai tugas, makalah yang kami buat ini bertujuan memberi informasi kepada para
pembaca tentang “Pembangkit Listrik dengan Menggunakan Generator”.
          Pembuatan penyusunan makalah dengan materi “Pembangkit Listrik dengan
Menggunakan Generator” diharapkan dapat memberikan manfaat & wawasan pengetahuan bagi
rekan-rekan mahasiswa juga para pembaca untuk lebih memahami pemanfaatan dan
pengimplementasian generator pada pembangkit listrik.
          Kami menyadari banyak  hambatan dalam penyusunan makalah ini, baik itu masalah
waktu, sarana, dan lain sebagainya. Selesainya makalah ini semata-mata bukan hanya atas
kemampuan kami sendiri, tetapi banyak pihak yang mendukung dan membantu kami dalam
penyusunan makalah ini. Dalam kesempatan ini  pula, kami mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
          Kami berharap agar makalah ini  berguna bagi para pembaca, agar dapat memahami dan
mengimplementasikan pemahaman yang didapat, mengenai generator. Kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami butuhkan agar di masa yang akan datang, kami mampu lebih baik lagi.

Bekasi, 28 April 2012

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………..    i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………........    ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………..    1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….    3
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………………...4

BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Generator ……………………………………………………...    5
2.2  Prinsip Kerja Generator……………………………………………………    6
2.3  Kriteria Pemilihan Pembangkit………………………………………...    8
2.4  Karakteristik Beban……………………………………………………...    8
2.5  Keandalan Pembangkit………….……………………………………...    9   
2.6  Aspek Ekonomi………………………………………………………....    10
2.7  Aspek Lingkungan dan Geografis………………………..……………….    11
2.8    Aspek Sosial dan Politik……….………………………………………………...    11
2.9   Jenis – Jenis Pembangkit…………..……………………………………..    12
2.9.1 Pembangkit Listrik Berbahan bakar Minyak……….…………………...    12
2.9.2 Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas…...…………………………..    14
2.9.3 Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batubara…………………………..    16
2.9.4 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir……………………………………… 19
2.9.5 Pembangkit Listrik Terbarukan………………………………………… 28
2.9.6 Tenaga Air……………………………………………………………… 28
2.9.7 Tenaga Surya…………………………………………………………… 31
2.9.8  Tenaga Angin……………………………………………………………33
2.9.9   Biomassa………………………………………………………………..36
2.9.10 Tenaga Panas Bumi…………………………………………………….40

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan………………………………………………………………...    44
3.2 Saran……………………………………………………………………….    45

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setelah pulih dari krisis moneter pada tahun 1998, Indonesia mengalami lonjakan hebat dalam
konsumsi energi. Dari tahun 2000 hingga tahun 2004 konsumsi energi primer Indonesia
meningkat sebesar 5.2 % per tahunnya. Peningkatan ini cukup signifikan apabila dibandingkan
dengan peningkatan kebutuhan energi pada tahun 1995 hingga tahun 2000, yakni sebesar 2.9 %
pertahun. Dengan keadaan yang seperti ini, diperkirakan kebutuhan listrik indonesia akan terus
bertambah sebesar 4.6 % setiap tahunnya, hingga diperkirakan mencapai tiga kali lipat pada
tahun 2030.
Tentunya pemerintah pun tidak tinggal diam dalam menghadapi lonjakan kebutuhan energi,
terutama energi listrik. Salah satu langkah awal yang pemerintah lakukan adalah dengan
membuat blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006 – 2025 (Keputusan Presiden RI nomer 5
tahun 2006). Secara garis besar, dalam blueprint tersebut ada dua macam solusi yang dilakukan
secara bertahap hingga tahun 2025, yaitu peningkatan efisiensi penggunaan energi
(penghematan) dan pemanfaatan sumber-sumber energi baru (diversifikasi energi). Mengingat
rasio elektrifikasi yang masih relatif rendah, yaitu 63 % pada tahun 2005, sedangkan Indonesia
menargetkan rasio elektrifikasi 95 % pada tahun 2025, maka pembahasan pada artikel ini akan
lebih diarahkan pada pemanfaatan sumber energi primer sebagai pembangkit listrik.
Dan seiring dengan perkembangan dunia industri, fabrikasi pengolahan dan perkembangan
teknologi lainnya maka akan meningkat pula kebutuhan akan tenaga listrik karena energi listrik
dapat dengan mudah dibangkitkan, ditransmisikan, lalu didistribusikan dengan melalui bentuk
konversi energi dari energi yang satu menjadi bentuk energi yang lainnya.
Suatu sistem tenaga listrik tidak hanya didukung oleh sistem operasi yang optimal maupun
pelayanan yang efisien, tetapi juga tergantung pada sistem pengontrolan dan sistem proteksi itu
sendiri. Tujuan sistem pengontrolan dalam sistem tenaga listrik adalah mengontrol agar segala
peralatan listrik yang membangun sistem kelistrikan dapat bekerja secara maksimal mulai dari
pengontrolan sistem pembangkitan ke beban sampai pada pengontrolan terhadap gangguan yang
mungkinterjadi selama pengoperasian sistem itu sendiri.
Salah satu sistem pengontrolan dari peralatan-peralatan kelistrikan adalah pengontrolan dari
kerja generator, dimana tujuannya adalah mempertahankan kondisikerja dari generator itu sendiri
dengan mengatur parameter-parameter yang ada didalamnya seperti frekuensi dan tegangan. Hal
ini sebenarnya dilakukan untuk mempertahankan kesinambungan pelayanan kepada konsumen.
Generator adalah alat untuk mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Generator
menghasilkan energi listrik dengan digerakkan atau diputar oleh suatu penggerak mula (prime
mover). Penggerak mula dari pada generator dapat berupa turbin air (PLTA), turbin gas (PLTG),
turbin uap (PLTU), mesin diesel (PLTD), dan lain-lain.
Generator akan mengkonversi energi mekanik tersebut menjadi energi listrik yang kemudian
dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan rumah tangga, industri dan lain-lain. Atas dasar
itulah, materi mengenai generator diangkat dalam makalah ini. Indonesia adalah negara yang
memiliki sumber daya energi yang berlimpah dan beragam baik yang bersumber dari fosil seperti
minyak bumi, batubara dan gas bumi. Ataupun sumber energi alternatif dan terbarukan lainnya
seperti tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, geothermal, biomasa dan lain-lain. Meskipun
potensi sumber energi yang dimiliki berlimpah, Indonesia sampai saat ini tetap belum bisa
memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya sendiri.
Diversifikasi energi (bauran sumber energi) merupakan suatu konsep / strategi yang dapat
dipergunakan sebagai alat (tools) untuk mencapai pembangunan energi dan ekonomi yang
berkelanjutan.  Kebijakan bauran energi (energy mix) menekankan bahwa Indonesia tidak boleh
hanya tergantung pada sumber energi berbasis fosil, namun harus juga mengembangkan
penggunaan energi terbarukan. Kebijakan bauran energi di Indonesia perlu dikembangkan
dengan memperjelas strategi, sasaran penggunaan, jumlah pemanfaatandan pengelolaan energi
nasional, dengan mempertimbangkan potensi energi, permintaan energi, infrastruktur energi serta
faktor lainnya seperti harga energi, teknologi, pajak, investasi dan sebagainya.
Makalah ini akan mengkaji kelebihan dan kekurangan masing-masing sumber energi di
Indonesia. Dengan memaparkan kelebihan dan kekurangan ini, diharapkan dapat memberikan
pemahaman kepada masyarakat untuk mendukung program pemerintah dalam mengembangkan
energi di Indonesia berdasarkan blueprint pengelolaan energi nasional (Presidential degree 5,
2006).

1.2 Rumusan Permasalahan


 Adapun rumusan permasalahan yang didapat dari latar belakang permasalahan di atas, yaitu
sebagai berikut :
1.    Apa yang dimaksud dengan generator ?
2.    Bagaimana prinsip kerja generator ?
3.    Apa saja kriteria pemilihan pembangkit ?
4.    Bagaimana karakteristik pada beban tersebut ?
5.    Bagaimana keadaan pembangkitnya ?
6.    Bagaimana dampaknya dalam segi aspek ekonomi ?
7.    Bagaimana dampaknya dalam segi aspek lingkungan & geografis ?
8.    Bagaimana dampaknya dalam segi aspek sosial & politik ?
9.    Sebutkan jenis – jenis pembangkit listrik ?
10.    Jelaskan tentang pembangkit listrik berbahan bakar minyak ?
11.    Jelaskan tentang pembangkit listrik berbahan bakar gas ?
12.    Jelaskan tentang pembangkit listrik berbahan bakar batubara ?
13.    Jelaskan tentang pembangkit listrik tenaga nuklir ?
14.    Jelaskan tentang pembangkit listrik terbarukan ?
15.    Jelaskan tentang pembangkit listrik tenaga air ?
16.    Jelaskan tentang pembangkit listrik tenaga surya ? 
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini di antaranya, yaitu:
1.    Untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar Konversi Energi Elektrik.
2.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan generator.
3.    Untuk mengetahui prinsip kerja generator.
4.    Untuk mengetahui kriteria pemilihan pembangkit.
5.    Untuk mengetahui karakteristik pada beban.
6.    Untuk mengetahui keadaan pembangkit.
7.    Untuk mengetahui dampaknya dalam segi aspek ekonomi.
8.    Untuk mengetahui dalam segi aspek lingkungan & geografis.
9.    Untuk mengetahui dampaknya dalam segi aspek sosial & politik.
10.  Untuk mengetahui jenis – jenis pembangkit listrik.

BAB II
PEMBAHASAN

Generator merupakan salah satu aspek pendukung dalam sistem tenaga dan merupakan salah satu
aspek penting di dalam pengkonversian energi elektromekanik; yaitu konversi energi dari bentuk
mekanik ke listrik dan daribentuk listrik ke mekanik. Generator dapat digolongkan ke dalam
sistem pembangkit dimana sistem ini berperan untuk mengubah bentuk energi mekanik menjadi
energi listrik. Suatu mesin listrik (baik generator ataupun motor) akan berfungsi bila memiliki,
yaitu:
-    Kumparan medan, untuk menghasilkan medan magnet.
-    Kumparan jangkar, untuk mengimbaskan ggl pada konduktor – konduktor yang terletak pada
alur – alur jangkar.
-    Celah udara, yang memungkinkan berputarnya jangkar dalam medan magnet.

Pada mesin arus searah, kumparan medan yang berbentuk kutub sepatumerupakan stator (bagian
yang tidak berputar), dan kumparan jangkar merupakanrotor (bagian yang berputar). Bila
kumparan jangkar berputar dalam medanmagnet akan dibangkitkan tegangan (ggl) yang berubah
– ubah arah setiapsetengah putaran, sehingga merupakan tegangan bolak – balik.
e = Emaks sin ωt
Untuk memperoleh tegangan searah diperlukan alat penyearah yang disebut komutator dan sikat.

2.1 Pengertian Generator


Generator adalah mesin listrik yang mengubah daya mekanis menjadi daya listrik. Mesin listrik
dapat berupa generator dan motor dan berdasarkan arah arusnya mesin listrik terbagi atas mesin
listrik arus searah dan mesin listrik arus bolak-balik.

2.2 Prinsip Kerja Generator


Prinsip dari Generator Arus Searah berdasarkan Hukum Induksi Farraday. Jika sepotong kawat
terletak di antara kutub-kutub magnet kemudian kawat tersebut digerakkan maka di ujung kawat
ini timbul gaya gerak listrik (GGL)karena induksi.
e = B.L.V
Jadi dasarnya adalah harus ada konduktor (penghantar), harus ada medan magnet, dan harus ada
gerak atau perputaran dari konduktor pada medan magnetik. Arah GGL sesuai dengan kaidah
tangan kanan, dimana:
    Jempol  gerak  putaran (v)
    Jari telunjuk  medan magnetik  U – S (kutub) (B)
    Jari tengah  besarnya galvanis  (L)
    Ketiga arah ini saling tegak lurus.

Jika kumparan yang terletak di antara kutub-kutub magnet diputar dengan kecepatan putar (ω)
yang tetap maka pada tiap-tiap perubahan kedudukan dari kumparan ini untuk besaran GGL
induksinya berbeda-beda. Dengan berputarnya kumparan pada kecepatan tetap, maka besar GGL
induksi setiap saat di ujung-ujung kumparan adalah :

Untuk mengalirkan GGL induksi bolak-balik di ujung-ujung kumparan jangkar ke beban


generator, dipakai dua cincin yang ikut berputar dengan kumparan dan pada cincin dipasang
sikat arang yang tidak ikut berputar dengan kumparan tersebut. Untuk memperbesar GGl induksi
yang terjadi pada ujung-ujung kumparan jangkar dapat dilakukan dengan membelitkan beberapa
kumparan yang dialiri arus listrik pada kutub-kutub magnet generator. Untuk mendapatkan
tegangan atau arus yang dialirkan ke beban generator, maka kedua cincin itu diganti dengan satu
cincin belah. Cincin belah ini sering disebut Komutator dan masing - masing belahannya disebut
Lamel.
Untuk perolehan arus searah dari tegangan bolak balik, meskipun tujuan utamanya adalah
pembangkitan tegangan searah, tampak bahwa tegangan kecepatan yang dibangkitkan pada
kumparan jangkar merupakan tegangan bolak-balik. Bentuk gelombang yang berubah-ubah
tersebut karenanya harus disearahkan. Untuk mendapatkan arus searah dari arus bolak balik
dengan menggunakan:
a. Saklar
Saklar berfungsi untuk menghubung singkatkan ujung-ujung kumparan. Prinsip kerjanya adalah
sebagai berikut :
Bila kumparan jangkar berputar, maka pada kedua ujung kumparan akan timbul tegangan yang
sinusoida. Bila setengah periode tegangan positif saklar dihubungkan, maka tegangan menjadi
nol. Dan bila saklar dibuka lagi akan timbul lagi tegangan. Begitu seterusnya setiap setengah
periode tegangan saklar dihubungkan, maka akan dihasilkan tegangan searah gelombang penuh.

b. Komutator
Komutator berfungsi sebagai saklar, yaitu untuk menghubung singkatkan kumparan jangkar.
Komutator berupa cincin belah yang dipasang pada ujung kumparan jangkar. Bila kumparan
jangkar berputar, maka cincin belah ikut berputar. Karena kumparan berada dalam medan
magnet, akan timbul tegangan bolak-balik sinusoidal.

Bila kumparan telah berputar setengah putaran, sikat akan menutup celah cincin sehingga
tegangan menjadi nol. Karena cincin berputar terus, maka celah akan terbuka lagi dan timbul
tegangan lagi. Bila perioda tegangan sama dengan perioda perputaran cincin, tegangan yang
timbul adalah tegangan arus searah gelombang penuh.

c. Dioda
Dioda adalah komponen pasif yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
- Bila diberi prasikap maju (forward bias) bisa dialiri arus.
- Bila diberi pra sikap balik (reverse bias) dioda tidak akan dialiri arus.
Berdasarakan bentuk gelombang yang dihasilkan, dioda dibagi menjadi:
- Half wave rectifier (penyearah setengah gelombang)
- Full wave rectifier (penyearah satu gelombang penuh)

2.3  Kriteria Pemilihan Pembangkit


Meskipun Indonesia memiliki banyak potensi energi yang dapat dikembangkan menjadi
pembangkit listrik, namun kenyataannya proses realisasinya tidak semudah membalik telapak
tangan. Pemilihan pembangkit listrik bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus
dipertimbangkan secara matang, seperti: prediksi pertumbuhan beban per tahun, karakteristik
kurva beban, keandalan sistem pembangkit, ketersediaan dan harga sumber energi primer yang
akan digunakan, juga isu lingkungan, sosial dan politik.

2.4   Karakteristik Beban


 Hingga saat ini tidak ada satu alat pun yang dapat menyimpan energi listrik dalam kapasitas
yang sangat besar. Untuk itu besarnya listrik yang dibangkitkan harus disesuaikan dengan
kebutuhan beban pada saat yang sama. Apabila melihat kurva beban harian pada Gambar 3,
sebagai contoh kurva beban listrik di Pulau Jawa, terlihat bahwa beban yang ditanggung PLN
berubah secara fluktuatif setiap jamnya.
Secara garis besar ada 3 tipe pembangkit listrik berdasarkan waktu beroperasinya. Tipe base
untuk menyangga beban-beban dasar yang konstan, dioperasikan sepanjang waktu dan memiliki
waktu mula yang lama. Tipe intermediate biasanya digunakan sewaktu-waktu untuk menutupi
lubang-lubang beban dasar pada kurva beban, memiliki waktu mula yang cepat dan lebih reaktif.
Tipe peak/puncak, hanya dioperasikan saat PLN menghadapi beban puncak, umumnya
pembangkit tipe ini memiliki keandalan yang tinggi, namun tidak terlalu ekonomis untuk
digunakan terus-menerus.
Melihat kurva diatas pula, maka kebijakan mengenai pembangunan pembangkit baru juga harus
merefleksikan kurva beban sesuai dengan proyeksi kebutuhan listrik dimasa depan. Maka
nantinya akan terlihat berapa pembangkit yang harus menjadi pembangkit tipe base dan berapa
yang menjadi pembangkit mendukung beban intermediate dan beban puncak.

2.5  Keandalan Pembangkit


Salah satu hal penting dari penyediaan pasokan energi listrik adalah isu keandalan. Keandalan
kapasitas pembangkit didefenisikan sebagai persesuaian antara kapasitas pembangkit yang
terpasang terhadap kebutuhan beban. Artinya pasokan energi diharuskan selalu tersedia untuk
melayani beban secara kontinyu.
Banyak faktor yang menjadi parameter keandalan dan kualitas listrik. Diantaranya : (i)
Ketidakstabilan frekuensi (ii) Fluktuasi tegangan (iii) interupsi atau pemadaman listrik. Untuk
parameter pertama dan kedua, umumnya permasalahannya muncul di sektor transmisi atau
distribusi. Sedangkan parameter ketiga lebih banyak pada sektor pembangkitan, karena terkait
masalah pemenuhan kapasitas pasokan terhadap beban.
Metoda yang biasa digunakan untuk menentukan indeks itu adalah dengan metoda LOLP (Loss
Of Load Probability) atau sering dinyatakan sebagai LOLE (Loss Of Load Expectation).
Probabilitas kehilangan beban adalah metode yang dipergunakan untuk mengukur tingkat
keandalan dari suatu sistem pembangkit dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya
peristiwa sistem pembangkit tidak dapat mensuplai beban secara penuh.
Banyak kegagalan pembangkit terjadi akibat tidak tersedianya sumber energi primer.
Permasalahan ketersediaan ini seringkali menimpa pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil.
Di Indonesia sendiri banyak pembangkit berbahan bakar gas yang harus dioperasikan dengan
bahan bakar minyak karena langkanya ketersediaan gas untuk konsumsi pembangkit Indonesia.
Atau bisa juga karena masalah distribusi yang tersendat, seperti masalah kapal batu bara yang
tidak bisa merapat, terganggu akibat faktor cuaca. Sedangkan pada kebanyakan pembangkit
listrik energi terbarukan, ketersediaanya memang bisa dibilang cukup menjanjikan, karena
semuanya memang sudah tersedia di alam dan tinggal dimanfaatkan saja.

2.6  Aspek Ekonomi


Pertimbangan aspek ekonomi pembangkit umumnya meliputi 3 lingkup besar, yaitu: (i) biaya
investasi awal; (ii) biaya operasional; (iii) biaya perawatan pembangkit. Sifat ekonomis sebuah
sistem pembangkit listrik dapat dilihat dari harga jual listrik untuk setiap kWh (kilo watt kali
jam). Salah satu faktor yang mempengaruhi bahwa pembangkit listrik-ekonomis (harga jual
listrik serendah mungkin untuk setiap kWh) adalah biaya bahan bakar. Secara umum, biaya
bahan bakar untuk pembangkit berbahan bakar fosil adalah 80 % dari biaya pembangkitan dan
untuk pembangkit nuklir adalah 50 % dari biaya pembangkitan.
2.7 Aspek Lingkungan dan Geografis
Sistem harus sesuai dengan kondisi geografis dan hubungan antarnegara. Sebuah pembangkit
dibangun mengacu pada letak geografis dan pengaruhnya terhadap negara tetangga atau negara
lain. Misalkan sebuah PLTU dioperasikan dan mengeluarkan gas CO2 ke udara. Pengontrolan
terhadap pengeluaran gas CO2 perlu di lakukan juga oleh negara tetangga atau negara lain. Di
dalam hal ini, kerja sama internasional sangat diperlukan untuk menjamin sistem berkeselamatan
andal dan ramah lingkungan.

2.8   Aspek Sosial dan Politik


Sistem harus sesuai dengan program penelitian dan pengembangan negara itu serta terbentuknya
kerja sama yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat untuk menjamin tingkat
keselamatan sistem yang tinggi dan andal. Kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah
tentang program penelitian dan pengembangan bidang energi harus sesuai / searah untuk
menjamin perencanaan energi nasional di masa depan berlangsung dengan baik.
Energi nasional seharusnya dapat direncanakan dan diprediksi secara jangka pendek maupun
jangka panjang dengan berdasarkan 5 kriteria pemilihan/kompatibilitas pembangkit. Hal ini
untuk menjamin sebuah sistem pembangkit yang mendukung program energi nasional dapat
beroperasi dengan baik dan berkeselamatan. Andal agar lingkungan tidak tercemari dan
hubungan kerja sama internasional tetap berlangsung dengan baik. Berdasarkan kriteria tersebut,
perencanaan bauran energi nasional sangat diperlukan untuk menghilangkan ketergantungan
teknologi kepada salah satu jenis pembangkit, serta menjamin keberlangsungan kebutuhan energi
di masa depan.
2.9 Jenis-Jenis Pembangkit
Krisis energi dunia yang terjadi pada tahun 1973 dan tahun 1979 memberikan pengalaman
berharga kepada Indonesia khususnya tentang masalah dan dampak yang terjadi akibat
ketergantungan pada satu jenis energi yang diimpor yaitu minyak bumi. Kenaikan harga minyak
dunia mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia. Hal ini menyebabkan terjadinya permintaan
untuk pusat-pusat pembangkit tenaga listrik yang dapat mempergunakan jenis bahan bakar lain.
Pada saat ini terdapat 5 jenis bahan bakar untuk pembangkitan tenaga listrik skala besar, yaitu :
minyak, gas, batubara, hidro dan nuklir. Kemudian berkembang tuntutan-tuntutan lain, yaitu
keperluan peningkatan efisiensi pembangkitan dan perlunya teknologi yang lebih bersahabat
lingkungan. Perkembangan pembangkit listrik energi terbarukan, biomasa dan geothermal juga
menjadi suatu sasaran yang penting.
2.9.1   Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Minyak
Terminologi pembangkit listrik berbahan bakar minyak pada umumnya diidentikkan dengan
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Walau pada kenyataannya bahan bakar minyak juga
terkadang digunakan pada PLTG (akan dibahas pada 2.2). Prinsip kerja PLTD adalah dengan
menggunakan mesin diesel yang berbahan bakar High Speed Diesel Oil (HSDO). Mesin diesel
bekerja berdasarkan siklus diesel. Mulanya udara dikompresi ke dalam piston, yang kemudian
diinjeksi dengan bahan bakar kedalam tempat yang sama. Kemudian pada tekanan tertentu
campuran bahan bakar dan udara akan terbakar dengan sendirinya. Proses pembakaran seperti ini
pada kenyataannya terkadang tidak menghasilkan pembakaran yang sempurna. Hal inilah yang
menyebabkan efisiensi pembangkit jenis ini rendah, lebih kecil dari 50 %. Namun apabila
dibandingkan dengan mesin bensin (otto), mesin diesel pada kapasitas daya yang besar masih
memiliki efisiensi yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan rasio kompresi pada mesin diesel jauh
lebih besar daripada mesin bensin.
Keuntungan utama penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar minyak atau sering disebut
dengan PLTD adalah dapat beroperasi sepanjang waktu selama masih tersediannya bahan bakar.
Kehandalan pembangkit ini tinggi karena dalam operasinya tidak bergantung pada alam seperti
halnya PLTA. Mengingat waktu start-nya yang cepat namun ongkos bahan bakarnya tergolong
mahal dan bergantung dengan perubahan harga minyak dunia yang cenderung meningkat dari
tahun ke tahun,PLTD disarankan hanya dipakai untuk melayani konsumen pada saat beban
puncak saja.
Investasi awal pembangunan PLTD yang relatif murah, kebutuhan energi di daerah-daerah
terisolasi yang mendesak dan kebutuhan energi daerah-daerah yang belum terlalu besar,
pemerintah Indonesia berinisiatif membangun PLTD yang berfungsi sebagai base-supply untuk
memenuhi kebutuhan listrik di daerah-daerah ini, untuk mengurangi biaya transmisi dan rugi-
rugi jaringan dalam menyalurkan energi listrik dari kota terdekat.
Dengan digunakannya bahan bakar konvensional maka adanya kemungkinan pembangkit ini
akan sulit dioperasikan di masa depan karena persediaan minyak bumi dunia yang semakin
menipis. Harga minyak yang terus meningkat menjadi pertimbangan utama dalam menggunakan
pembangkit ini. Harga minyak yang mahal diakibatkan karena pasar minyak dunia yang tidak
stabil dan ongkos transportasi untuk membawa minyak tersebut ke daerah yang dituju. Padahal
di sisi beban, PLN dipaksa menjual dengan harga murah. Inilah yang menyebabkan PLN rugi
besar.
Penulis berpendapat bahwa dengan memperhatikan alasan utama masalah ketersediaan minyak
bumi nasional yang semakin sedikit, maka akan lebih bijaksana apabila tingkat konsumsi
pembangkit listrik berbahan bakar minyak dikurangi. Dengan cara seperti itu diharapkan akan
mempercepat Indonesia menjadi negara yang mandiri energi, tidak terpengaruh dengan krisis
energi global. Oleh karena itu, upaya bauran energi nasional pembangkit listrik di Indonesia
harus segera direalisir menjadi tindakan yang konkret dan menjadi komitmen bersama.

2.9.2   Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas


Turbin gas kini memegang peran penting di dalam pengembangan pusat-pusat pembangkit
tenaga listrik yang baru. Peran itu tampaknya masih akan terus berlanjut memasuki abad ke-21
yang akan datang. Dominasi ini disebabkan karena efisiensi termal yang dimiliki turbin gas yang
relatif tinggi bila dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar lainnya. Perkembangan yang
cepat dari teknologi turbin gas dimulai dari awal 1990-an, dengan mempergunakan gas bumi
sebagai bahan bakar akan meningkatkan efisiensi pusat listrik siklus kombinasi (combine cycle)
mendekati 60 %. Diprediksi bahwa efisiensi ini masih akan terus meningkat dalam beberapa
tahun mendatang.
Pada Gambar 4 dijelaskan tentang cara kerja pembangkit listrik berbahan bakar gas. Prinsip kerja
PLTG adalah dengan mamanfaatkan tekanan aliran udara ungtuk menggerakkan turbin. Pertama-
tama udara dinaikkan tekanannya dengan menggunakan kompresor dan kemudian dibakar di
ruang pembakaran untuk meningkatkan energinya. Pembakaran dilakukan dengan menggunakan
bahan bakar gas (bisa juga digunakan MFO atau HSDO, tapi dengan efisiensi yang lebih
rendah). Udara yang sudah bertekanan tinggi kemudian dialirkan melalui turbin dan
menggerakkan generator, sehingga dihasilkanlah listrik. Keuntungan lain menggunakan PLTG
adalah gas yang dipakai bisa dibilang lebih mudah untuk disiapkan daripada uap, sehingga PLTG
bisa mulai berproduksi dengan cepat dari keadaan ‘dingin’ dalam hitungan menit, jauh lebih
cepat daripada PLTU.
Satu hal yang menarik pada PLTG adalah gas yang keluar dari turbin biasanya masih ‘cukup
panas’. Cukup panas disini dalam artian bila di sebelah PLTG ada sebuah PLTU, maka gas hasil
proses di PLTG masih dapat digunakan untuk memanaskan boiler kepunyaan PLTU. Inilah
kemudian yang dikenal dengan sebutan siklus kombinasi, sebuah pembangkit yang terdiri dari
PLTG dan PLTU. Keuntungan dari pembangkit listrik gabungan ini, PLTGU (gas – uap), harga
jual listriknya relatif lebih murah bila dibandingkan dengan harga jual listrik PLTU-batubara.
Apabila Indonesia mampu mengolah dengan baik penggunaan cadangan gas bumi nasionalnya
sehingga diperoleh pemasokan gas bumi untuk pembangkit dengan harga yang lebih rendah,
maka biaya listrik dari pengoperasian PLTGU akan bisa lebih murah lagi. Selain pembangkitan
listrik yang murah, keuntungan lain dari pembangkit listrik berbahan bakar gas bumi adalah
emisi CO2 yang sangat rendah. PLTGU sering disebut sebagai bahan bakar yang ‘bersih’
sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang minimal.
Indonesia : dalam hal ini PT PLN (Persero), sekarang ini telah banyak mengoperasikan PLTGU.
Dapat dikemukakan bahwa pada saat ini perusahaan Amerika GE (General Electric) berusaha
untuk meningkatkan efisiensi PLTGU yang dapat melampaui 60 % dengan mempergunakan
siklus kombinasi Kalina, yang mempergunakan suatu campuran dari air (H2O) dan amonia
(NH3) sebagai fluida kerja. Teknologi kogenarsi, yang membangkitkan energi listrik dan panas
dapat menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi lagi bahkan hingga 90 %. Teknologi ini juga
sudah dimanfaatkan di beberapa pabrik di Indonesia.
Namun kendala utama perkembangan pembangkit ini di Indonesia adalah pada proses
penyediaan bahan bakar gas itu sendiri. Pemeriksaan BPK menemukan bahwa jumlah kebutuhan
gas bumi untuk sejumlah pembangkit PLN di Jawa dan Sumatera sebanyak 1.459 juta kaki kubik
per hari, sedangkan pasokan gas yang disediakan oleh para pemasok sebanyak 590 juta kaki
kubik per hari. Dengan demikian terjadi kekurangan pasokan gas sebanyak 869 juta kaki kubik
per hari
Menurut data Departemen ESDM, gas bumi di Indonesia di perkirakan hanya mencukupi untuk
61 tahun kedepan. Kemudian cadangan batubara diperkirakan habis dalam waktu 147 tahun lagi,
sedangkan cadangan minyak bumi hanya cukup untuk 18 tahun kedepan. Agar mampu
mengembangkan PLTGU di Indoneia, permasalahan persaingan penggunaan gas bumi : untuk
transportasi, pembangkit listrik-industri dan konsumsi publik (program pemerintah : PT.
Pertamina yang menyarankan konversi minyak tanah ke bahan bakar gas untuk memasak dan
lain-lain), hal ini harus dapat diatur dengan jelas penyediaannya agar tidak menjadi dua hal yang
saling kompetitif.

2.9.3  Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batubara


Secara global, fakta menyebutkan bahwa lebih banyak energi listrik dibangkitkan dengan
batubara dibandingkan dengan bahan bakar lain. Situasi ini tampaknya masih akan terus
berlanjut, hal ini disebabkan karena cadangan batubara yang besar. Namun di lain pihak, masalah
utama pembangkit listrik berbahan bakar batubara adalah pembangkitan listrik ini merupakan
salah satu kontributor pencemaran gas CO2 yang terbesar. Karena alasan tersebut berbagai usaha
dilakukan untuk mengurangi masalah pencemaran itu, yang sering dinamakan dengan teknologi
batubara bersih.
Gambar 5 menunjukan cara kerja pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Pertama-tama
batubara dari luar dialirkan ke penampung batubara dengan conveyor, kemudian dihancurkan
dengan pulverized fuel coal sehingga menjadi tepung batubara. Kemudian batubara halus
tersebut dicampur dengan udara panas oleh forced draught fan sehingga menjadi campuran udara
panas dan batubara. Dengan tekanan yang tinggi, campuran udara panas dan batubara
disemprotkan ke dalam boiler sehingga akan terbakar dengan cepat seperti semburan api.
Kemudian air dialirkan ke atas melalui pipa yang ada di dinding boiler, air tersebut akan dimasak
menjadi uap dan uap tersebut dialirkan ke tabung boiler untuk memisahkan uap dari air yang
terbawa. Selanjutnya uap dialirkan ke superheater untuk melipatgandakan suhu dan tekanan uap
hingga mencapai suhu 570° C dan tekanan sekitar 200 bar yang meyebabkan pipa akan ikut
berpijar menjadi merah.
Untuk mengatur turbin agar mencapai set point, kita dapat men-setting steam governor valve
secara manual maupun otomatis. Uap keluaran dari turbin mempunyai suhu sedikit di atas titik
didih, sehingga perlu dialirkan ke condenser agar menjadi air yang siap untuk dimasak ulang.
Sedangkan air pendingin dari condenser akan di semprotkan kedalam cooling tower. Hal inilah
yang meyebabkan timbulnya asap air pada cooling tower. Kemudian air yang sudah agak dingin
dipompa balik ke condenser sebagai air pendingin ulang. Sedangkan gas buang dari boiler diisap
oleh kipas pengisap agar melewati electrostatic precipitator untuk mengurangi polusi dan
kemudian gas yg sudah disaring akan dibuang melalui cerobong.
Teknologi gasifikasi merupakan pemecahan yang kini mulai dipandang sebagai teknologi
batubara yang dapat memenuhi keperluan akan pembangkitan tenaga listrik yang bersih dan
efisien (teknologi batubara bersih). Diperkirakan bahwa pada awal abad ke-21, PLTU-batubara
dengan teknologi gasifikasi akan mengeluarkan 99 % lebih sedikit sulfur dioksida (SO2) dan abu
terbang, serta 90 % kurang nitrogen oksida (NOx) dari PLTU-batubara masa kini. PLTU-
batubara gasifikasi juga diperkirakan akan menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) dengan 35
– 40 %, menurunkan buangan padat dengan 40 – 50 % dan menghasilkan penghematan biaya
daya 10 – 20 %. Teknologi gasifikasi digabung dengan teknologi turbin gas maju akan
memegang peran utama dalam pusat-pusat pembangkit gasifikasi terpadu.
Gasifikasi batubara maupun minyak residu sudah terjadi memanfaatkan kayu buangan atau bagas
tebu juga menjanjikan. Dengan meningkatnya tuntunan-tuntunan lingkungan, kemungkinan
besar teknologi gasifikasi akan menyebabkan batubara akan dapat mempertahankan posisi
utamanya sebagai bahan bakar untuk pembangkitan tenaga listrik. Karena memiliki cadangan
batubara yang cukup besar, terutama yang berupa lignit, teknologi gasifikasi akan menjadi sangat
penting bagi Indonesia di masa mendatang. Di Amerika Serikat telah ada bebarapa proyek
demontrasi siklus kombinasi gas terpadu (Integrated Gas Combined Cycle, IGCC), antara lain
Wabash River Repowering Project di Indiana dengan daya 262 MWdan Camden Clean Energy
Demonstration Project di New Jersey dengan daya 480 MW.
Teknologi pencairan batubara masih banyak terganggu oleh biaya yang tinggi. Negara yang
paling maju dalam bidang ini adalah Afrika Selatan. Negara ini memiliki beberapa pabrik yang
memproduksi batubara cair. Pabrik pertama adalah “Sasol One” terletak dekat kota Sasolburg,
yang sejak pertengah 1950an telah berproduksi. Pabrik kedua, ‘Sasol Two’, terletak di kota
Secunde berproduksi sejak tahun 1980, dan pabrik ketiga, ‘Sasol Three’, berproduksi sejak tahun
1982.
Walaupun teknologi pengolahan batubara sebagai bahan bakar primer sudah jauh berkembang
dan cadangan nasional batubara cukup tinggi, sayangnya pembangkit listrik ini membuang
energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan. Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari
pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5,6 juta ton CO2 per tahun.CO2
merupakan salah satu gas yang paling menyebabkan global warming atau efek rumah kaca.
Bagaimanapun teknologi batubara bersih yang digunakan, Penulis masih menganggap bahwa
proses gasifikasi / batubara cair ‘belum’ bisa mengurangi emisi gas karbondioksida dan ‘belum’
bisa meningkatkan efisiensi bahan bakar. Terlalu banyak energi yang dibuang selama proses
pengolahan dari batubara ‘mentah’ menjadi batubara cair/gas. Walaupun PLTU dengan
teknologi batubara bersih mampu mengurangi 90 % gas buangan dan abu terbangnya pada saat
beroperasi, namun polutan selama proses pembuatan batubara cair / gasyang dihasilkan masih
cukup tinggi.

2.9.4 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir


Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mengalami beberapa perkembangan yang sangat
signifikan, terutama perkembangan di pembuatan desain sedemikian hingga PLTN generasi
berikutnya menjadi lebih andal, aman, ekonomis serta lebih mudah untuk dioperasikan.
Peningkatan keandalan dan keamanan diperoleh pada penyederhanaan sistem pipa primer,
perbaikan pada mekanisme batang kendali dan optimasi dari pendinginan inti dalam keadaan
darurat.
Peningkatan kemudahan operasi dan pemeliharaan diupayakan dengan cara perbaikan sistem
instrumentasi dan pengendalian, sedangkan penurunan biaya konstruksi dan operasi diharapkan
dapat meningkatkan unjuk kerja secara ekonomis. Pengembangan teknologi PLTN juga meliputi
penurunan jumlah dari limbah radioaktif yang dihasilkan. Perkembangan terpesat PLTN kini
terjadi di RRC, yang diperkirakan akan memiliki 20 GW daya terpasang PLTN pada tahun 2010.
PLTN yang banyak terpasang adalah PWR (Pressurized Water Reactor), diperkirakan juga akan
berkembang PLTN Candu (Canadian Deuterium Uranium), teknologi dari Kanada.
Cara kerja PLTN jenis PWR dan BWR ditunjukkan pada Gambar 6 : yang berbeda dari PLTN
adalah mesin pembangkit uapnya, yaitu berupa reaktor nuklir. Dalam reaktor nuklir, reaksi fisi
berantai dipertahankan kontinuitasnya dalam bahanbakar sehingga bahan bakar menjadi panas.
Panas ini kemudian ditransfer ke pendingin reaktor yang kemudian secara langsung atau tak
langsung digunakan untuk membangkitkan uap. Pembangkitan uap langsung dilakukan dengan
membuat pendingin reaktor (biasanya air biasa, H2O) mendidih dan menghasilkan uap. Pada
pembangkitan uap tak langsung, pendingin reaktor (disebut pendingin primer) yang menerima
panas dari bahan bakar disalurkan melalui pipa ke perangkat pembangkit uap. Pendingin primer
ini kemudian memberikan panas (menembus media dinding pipa) ke pendingin sekunder (air
biasa) yang berada di luar pipa perangkat pembangkit uap untuk kemudian panas tersebut
mendidihkan pendingin sekunder dan membangkitkan uap.
Pada umumnya tipe reaktor nuklir dalam PLTN dibedakan berdasarkan komposisi, konstruksi
dari bahan moderator neutron dan bahan pendingin yang digunakan, sehingga digunakan sebutan
seperti reaktor gas, reaktor air ringan, reaktor air berat (air ringan (H2O) dan air berat (D2O) ; D
adalah salah satu isotop hidrogen, yaitu deuterium 2H1). Selain itu, faktor kondisi air pendingin
juga menjadi pertimbangan penggolongan tipe reaktor nuklir dalam PLTN. Jika air pendingin
dalam kondisi mendidih disebut reaktor air didih, jika tak mendidih (atau tidak diizinkan
mendidih, dengan memberi tekanan secukupnya pada pendingin) disebut reaktor air tekan.
Reaktor nuklir dengan temperatur pendingin sangat tinggi (di atas 800o C) disebut reaktor gas
temperatur tinggi. Kecepatan neutron rata-rata dalam reaktor yang dihasilkan dari reaksi fisi juga
dipakai untuk menggolongkan tipe reaktor. Berdasarkan kecepatan neutron rata-rata dalam teras,
ada reaktor cepat dan reaktor termal (neutron dengan kecepatan relatif lambat sering disebut
sebagai neutron termal).
Terdapat beberapa tipe Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), yaitu : (i) Reaktor Air Tekan
(Pressurized Water Reactor, PWR); (ii) Reaktor Air Tekan Rusia (VVER); (iii) Reaktor Air
Didih (Boiling Water Reactor, BWR); (iv) Reaktor Air Berat Pipa Tekan (CANDU); (v) Reaktor
Air Berat Pembangkit Uap (Steam Generating Heavy Water Reactor, SGHWR); (vi) Reaktor
Pendingin Gas (Gas Cooled Reactor, GCR); (vii) Reaktor Gas Maju (Advanced Gas Reactor,
AGR); (viii) Reaktor Gas Suhu Tinggi (High Temperatur Gas Reactor, HTGR); (ix) Reaktor
Moderator Grafit Pendingin Air Didih (RBMK); (x) Reaktor Pembiak Cepat (Fast Breeder
Reactor, FBR).
Reaktor Air Ringan (Light Water Reactor, LWR) : Diantara PLTN yang masih beroperasi di
dunia, 80 % adalah PLTN tipe Reaktor Air Ringan (LWR). Reaktor ini pada awalnya dirancang
untuk tenaga penggerak kapal selam angkatan laut Amerika. Dengan modifikasi secukupnya dan
peningkatan daya seperlunya kemudian digunakan dalam PLTN. PLTN tipe ini dengan daya
terbesar yang masih beroperasi pada saat ini (tahun 2003) adalah PLTN Chooz dan Civaux di
Perancis yang mempunyai daya 1500 MWe, dari kelas N-4 Perancis. Reaktor Air Ringan dapat
dibedakan menjadi dua golongan yaitu Reaktor Air Didih dan Reaktor Air Tekan (pendingin
tidak mendidih), kedua golongan ini menggunakan air ringan sebagai bahan pendingin dan
moderator. Pada tipe reaktor air ringan sebagai bahan bakar digunakan uranium dengan
pengayaan rendah sekitar2 – 4 % (bukan uranium alam karena sifat air yang menyerap neutron).
Kemampuan air dalam memoderasi neutron (menurunkan kecepatan / energi neutron) sangat
baik, maka jika digunakan dalam reaktor (sebagai moderator neutron dan pendingin) ukuran
teras reaktor menjadi lebih kecil (kompak) bila dibandingkan dengan reaktor nuklir tipe reaktor
gas dan reaktor air berat.
Reaktor Air Tekan (Pressurized Water Reactor, PWR) : Pada PLTN tipe PWR, air sistem
pendingin primer masuk ke dalam bejana tekan reaktor pada tekanan tinggi dan temperatur lebih
kurang 290o C. Air bertekanan dan bertemperatur tinggi ini bergerak pada sela-sela batang bahan
bakar dalam perangkat bahan bakar ke arah atas teras sambil mengambil panas dari batang bahan
bakar, sehingga temperaturnya naik menjadi sekitar 320o C. Air pendingin primer ini kemudian
disalurkan ke perangkat pembangkit uap (lewat sisi dalam pipa pada perangkat pembangkit uap),
di perangkat ini air pendingin primer memberikan energi panasnya ke air pendingin sekunder
(yang ada di sisi luar pipa pembangkit uap) sehingga temperaturnya naik sampai titik didih dan
terjadi penguapan. Uap yang dihasilkan dari penguapan air pendingin sekunder tersebut
kemudian dikirim ke turbin untuk memutar turbin yang dikopel dengan generator listrik.
Perputaran generator listrik akan menghasilkan energi listrik yang disalurkan ke jaringan listrik.
Air pendingin primer yang ada dalam bejana reaktor dengan temperatur 320o C akan mendidih
jika berada pada tekanan udara biasa (sekitar 1 atm). Agar pendingin primer ini tidak mendidih,
maka sistem pendingin primer diberi tekanan hingga 157 atm. Karena adanya pemberian tekanan
ini maka bejana reaktor sering disebut sebagai bejana tekan atau bejana tekan reaktor. Pada
reaktor tipe PWR, air pendingin primer yang membawa unsur-unsur radioaktif dialirkan hanya
sampai ke pembangkit uap, tidak sampai turbin, oleh karena itu pemeriksaan dan perawatan
sistem sekunder (komponen sistem sekunder: turbin, kondenser, pipa penyalur, pompa sekunder
dan lain-lain) menjadi mudah dilakukan. Konstruksi bejana reaktor tipe PWR ditunjukkan pada
Gambar 6.
Pada prinsipnya PWR yang dikembangkan oleh Rusia (disebut VVER) sama dengan PWR yang
dikembangkan oleh negara-negara barat. Perbedaan konstruksi terdapat pada bentuk penampang
perangkat bahan bakar VVER (berbentuk segi enam) dan letak pembangkit uap VVER
(horisontal). Pada reaktor tipe PWR, seperti yang banyak beroperasi saat ini, peralatan sistem
primer saling dihubungkan membentuk suatu untai (loop). Jika peralatan sistem primer
dihubungkan oleh dua pipa penghubung utama yang diperpendekdan kemudian dimasukkan
dalam bejana reaktor maka sistem seperti ini disebut reaktor setengah terintegrasi (setengah
modular). Tetapi jika seluruh sistem primer disatukan dan dimasukkan ke dalam bejana reaktor
maka disebut reaktor terintegrasi (modular), lihat. Reaktor setengah modular ataupun modular
tidak dikembangkan untuk PLTN berdaya besar.
Reaktor Air Didih (Boiling Water Reactor, BWR) : Karakteristika unik dari reaktor air didih
adalah uap dibangkitkan langsung dalam bejana reaktor dan kemudian disalurkan ke turbin
pembangkit listrik. Pendingin dalam bejana reactor berada pada temperatur sekitar 285o C dan
tekanan jenuhnya sekitar 70 atm. Reaktor ini tidak memiliki perangkat pembangkit uap
tersendiri, karena uap dibangkitkan di bejana reaktor. Karena itu pada bagian atas bejana reaktor
terpasang perangkat pemisah dan pengering uap, akibatnya konstruksi bejana reaktor menjadi
lebih rumit. Konstruksi reaktor BWR diperlihatkan pada Gambar 6.
Reaktor Air Berat (Heavy Water Reactor, HWR) : Dalam hal kemampuan memoderasi neutron,
air berat berada pada urutan berikutnya setelah air ringan, tetapi air berat hampir tidak menyerap
neutron. Oleh karena itu jika air berat dipakai sebagai moderator, maka dengan hanya
menggunakan uranium alam (tanpa pengayaan) reaktor dapat beroperasi dengan baik. Bejana
reaktor (disebut kalandria) merupakan tangki besar yang berisi air berat, di dalamnya terdapat
pipa kalandria yang berisi perangkat bahan bakar. Tekanan air berat biasanya berkisar pada
tekanan satu atmosferdan temperaturnya dijaga agar tetap di bawah 100o C. Akan tetapi
pendingin dalam pipa kalandria mempunyai tekanan dan temperatur yang tinggi, sehingga
konstruksi pipa kalandria berwujud pipa tekan yang tahan terhadap tekanan dan temperatur yang
tinggi.
Reaktor Air Berat Tekan (Pressurized Heavy Water Reactor, PHWR) : CANadian Deuterium
Uranium Reactor (CANDU) adalah suatu PLTN yang tergolong pada tipe reaktor pendingin air
berat tekan dengan pipa tekan. Reaktor ini merupakan reaktor air berat yang banyak digunakan.
Bahan bakar yang digunakan adalah uranium alam. Kanada menjadi pelopor penyebaran reaktor
tipe ini di seluruh dunia.
Reaktor Air Berat Pendingin Gas (Heavy Water Gas Cooled Reactor, HWGCR) : HWGCR atau
sering dibalik GCHWR adalah suatu tipe reaktor nuklir yang menggunakan air berat sebagai
bahan moderatornya, sehingga pemanfaatan neutronnya optimal. Gas pendingin dinaikkan
temperaturnya sampai pada tingkat yang cukup tinggi sehingga efisiensi termal reaktor ini dapat
ditingkatkan. Tetapi oleh karena persoalan pengembangan bahan kelongsong yang tahan
terhadap temperatur tinggi dan paparan radiasi lama belum terpecahkan hingga sekarang, maka
pada akhirnya di dunia hanya terdapat 4 reaktor tipe ini. Di negara Perancis reaktor tipe ini
dibangun, tetapi sebagai bahan kelongsong tidak digunakan berilium melainkan stainless steel.
Reaktor Air Berat Pembangkit Uap (Steam Generated Heavy Water Reactor, SGHWR) : Reaktor
ini sering disebut Light Water Cooled Heavy Water Reactor (LWCHWR) dan hanya ada di Pusat
Penelitian Winfrith Inggris. Reaktor berdaya 100 MWe ini merupakan prototipe reaktor
pembangkit daya tipe SGHWR dan beroperasi dari tahun 1968 sampai tahun 1990. Pada waktu
itu reaktor SGHWR sempat menjadi suatu fokus pengembangan di Inggris, tetapi oleh karena
persoalan ekonomi maka tidak dikembangkan lebih lanjut. Sementara itu Jepang
mengembangkan reaktor air berat yang disebut Advanced ThermalReactor (ATR). Jepang
membangun reaktor ATR Fugen berdaya 165 MWe. Keunikan dari reaktor ATR ini adalah,
bahan bakar dapat terbuat dari uranium dengan pengayaan rendah atau uranium alam yang
diperkaya dengan plutonium. Pada saat bahan bakar terbakar, penyusutan plutonium di bahan
bakar sedikit sekali. Reaktor prototipe Fugen dioperasikan sejak tahun 1979, tetapi karena terjadi
perubahan kebijakan dari pemerintah, sampai saat ini reaktor ATR komersial belum pernah
terwujud. Reaktor Fugen beroperasi hingga tahun 2002 dan pada tahun berikutnya direncanakan
untuk didekomisioning.
Reaktor GrafitPendingin Gas (Gas Cooled Reactor, GCR) : Grafit sebagai bahan moderator
sudah digunakan oleh ilmuwan Enrico Fermi sejak reaktor nuklir pertama Chicago Pile No.1 (CP
1). Grafit terkenal murah dan dapat diperoleh dalam jumlah besar. Plutonium (Pu-239) yang
digunakan pada bom atom yang dijatuhkan pada saat Perang Dunia II dibuat di reaktor grafit.
Setelah perang dunia berakhir reaktor GCR adalah salah satu tipe reaktor yang didesain-ulang di
Inggris maupun Perancis. Reaktor ini menggunakan bahan bakar logam uranium alam,
moderator grafit pendingin gas karbondioksida. Bahan kelongsong terbuat dari paduan
magnesium (Magnox), oleh karena itu reaktor ini disebut sebagai reaktor Magnox. Reaktor
Magnox mempunyai pembangkitan daya listrik cukup besar dan efisiensi ekonomi yang baik.
Raktor tipe modifikasi Magnox pernah dibangun di Jepang pada tahun 1967 sebagai PLTN
Tokai. Setelah beroperasi selama 30 tahun reaktor ini ditutup pada tahun 1998.
Reaktor Grafit Pendingin Gas Maju (Advanced Gas-cooled Reactor, AGR) : Di Inggris fokus
pengembangan teknologi PLTN bergeser ke reaktor berbahan bakar uranium dengan pengayaan
rendah, yang memiliki kerapatan daya dan efisiensi termal yang tinggi. Unjuk kerja reaktor ini
terbukti dapat diperbaiki. Di Inggris reaktor ini hanya sempat dibangun sebanyak 14 buah saja,
karena setelah pertengahan tahun 1980 kebijakan Pemerintah Inggris berubah.
Reaktor Grafit Pendingin Gas Suhu Tinggi (High Temperatur Gas-cooled Reactor, HTGR) :
Reaktor ini menggunakan gas helium sebagai pendingin. Karakteristika menonjol yang unik dari
reaktor HTGR ini adalah konstruksi teras didominasi bahan moderator grafit, temperature
operasi dapat ditingkatkan menjadi tinggi dan efisiensi pembangkitan listrik dapat mencapai
lebih dari 40 %. Terdapat 3 bentuk bahan bakar dari HTGR, yaitu dapat berupa: (a) Bentuk
batang seperti reaktor air ringan (dipakai di reaktor Dragon dan Peach Bottom); (b) Bentuk blok,
di mana di dalam lubang blok grafit yang berbentuk segi enam di masukkan batang bahan bakar
(dipakai di reaktor Fort St. Vrain, MHTGR, HTTR); (c) Bentuk bola (peble bed), di mana butir
bahan bakar bersalut didistribusikan dalam bola grafit (dipakai di reaktor AVR, THTR-300).
Reaktor Grafit Pipa Tekan Air Didih Moderator Grafit (Light Water Gas-cooled Reactor,
LWGR) RBMK adalah reaktor tipe ini yang hanya dikembangkan di Rusia. Reaktor ini tidak
menggunakan tangki kalandria (berisi air berat) seperti reaktor tipe SGHWR tetapi menggunakan
grafit sebagai moderator, oleh karena itu dimensi reaktor menjadi besar. Sekitar 1700 buah pipa
tekan menembus susunan blok grafit. Di dalam pipa tekan diisi batang bahan bakar di mana di
sekelilingnya mengalir air ringan yang mengambil panas dari batang bahan bakar sehingga
mendidih. Uap yang terbentuk dikirim ke turbin pembangkit listrik untuk memutar turbin dan
membangkitkan listrik. Salah satu reaktor tipe ini yang terkenal karena mengalami kecelakaan
adalah reaktor Chernobyl No.4 yang merupakan reaktor tipe RBMK-1000. Salah satu kegagalan
desain pada reaktor tipe RBMK yang dianggap sebagai kambing hitam terjadinya kecelakaan
Chernobyl adalah tidak tersedianya bejana pengungkung reaktor.
Reaktor Cepat (Fast Reactor, FR), Reaktor Pembiak Cepat (Liquid Metal Fast Breeder Reactor,
LMFBR) : Seperti tersirat dalam nama tipe reaktor ini, neutron cepat yang dihasilkan dari reaksi
fisi dengan kecepatan tinggi dikondisikan sedemikian rupa sehingga diserap oleh uranium-238
menghasilkan plutonium-239. Dengan kata lain di dalam reaktor dapat dibiakkan (dibuat) unsur
plutonium. Rapat daya dalam teras reaktor cepat sangat tinggi, oleh karena itu sebagai pendingin
biasanya digunakan bahan logam natrium cair atau logam cair campuran natrium dan kalium
(NaK) yang mempunyai kemampuan tinggi dalam mengambil panas dari bahan bakar.
Konstruksi reaktor pembiak cepat terdiri dari pendingin primer yang berupa bahan logam cair
mengambil panas dari bahan bakar dan kemudian mengalir ke alat penukar panas-antara
(intermediate heat exchanger), selanjutnya energi panas ditransfer ke pendingin sekunder dalam
alat penukar panas-antara ini. Kemudian pendingin sekunder (bahan pendingin adalah natrium
cair atau logam cair natrium) yang tidak mengandung bahan radioaktif akan mengalir membawa
panas yang diterima dari pendingin primer menuju ke perangkat pembangkit uapdan
memberikan panas ke pendingin tersier (air ringan) sehingga temperaturnya meningkat dan
mendidih (proses pembangkitan uap). Uap yang dihasilkan selanjutnya dialirkan ke turbin untuk
memutar generator listrik yang dikopel dengan turbin. Komponen sistem primer dari reaktor
pembiak cepat terdiri dari bejana reaktor, pompa sirkulasi primer, alat penukar panas-antara.
Komponen ini dirangkai oleh pipa penyalur pendingin membentuk suatu untai (loop), karena itu
reaktor seperti ini digolongkan dalam kelas reaktor untai. Apabila seluruh komponen sistem
primer di atas semuanya dimasukkan ke dalam bejana reaktor, maka reaktor pembiak cepat
seperti ini digolongkan dalam kelas reaktor tangki atau reaktor kolam. Contoh reaktor pembiak
cepat tipe reaktor untai adalah reaktor prototipe Monju di Jepang, sedangkan untuk tipe reaktor
kolam adalah reaktor Super Phenix di Perancis yang sudah menjadi reaktor komersial. Reaktor
Cepat Eropa (Europian Fast Reactor, EFR) yang secara intensif dikembangkan oleh negara-
negara Eropa diharapkan akan mulai masuk pasar komersial pada tahun 2010.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir selalu menggelitik para pendengar, pembaca atau pemirsa di
media koran, televisi atau media lainnya. PLTN akan selalu memunculkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat awam terhadap teknologi tersebut, maupun di golongan ilmuwan yang
mengerti secara umum terhadap perkembangan teknologi PLTN. Dalam pengoperasian
pembangkit listrik tenaga nuklir, jaminan terhadap keselamatan menjadi hal yang penting untuk
memberikan rasa aman kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Untuk meningkatkan
pemahaman dan kepercayaan masyarakat, perlu diberikan penjelasan tentang tata cara atau
prosedur yang aman dalam pengoperasian suatu instalasi nuklir, sehingga akan terjadi saling
pengertian antara masyarakat dengan pihak operator instalasi. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
dapat menjadi alternatif untuk menggantikan pembangkit tipe base (beban dasar) berbahan bakar
fosil di masa yang akan datang.
 
2.9.5   Pembangkit Listrik Energi Terbarukan
Dalam 10 tahun terakhir ini, kebutuhan dunia akan sumber energi terbarukan meningkat dengan
laju hampir 25% per tahun. Peningkatan ini didorong oleh: (i) naiknya kebutuhan energi listrik;
(ii) naiknya keinginan untuk menggunakan teknologi yang bersih; (iii) terus naiknya harga bahan
bakar fossil; (iv) naiknya biaya pembangunan saluran transmisi dan (v) naiknya untuk
meningkatkan jaminan pasokan energi. Agar peran energi terbarukan bisa meningkat dengan
cepat maka harga dan keandalan sistem pembangkit listrik berbasis energi terbarukan harus bisa
bersaing dengan pembangkit konvensional.

2.9.6  Tenaga Air


Yunani tercatat sebagai negara pertama yang memanfaatkan tenaga air untuk memenuhi
kebutuhan energi listriknya. Pada akhir tahun 1999, tenaga air yang sudah berhasil dimanfaatkan
di dunia adalah sebesar 2650 TWh, atau sebesar 19 % energi listrik yang terpasang di dunia.
Kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam teknologi komputer dan komunikasi merupakan daya
dorong utama untuk perkembangan otomatisasi pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Sumber energi yang mengandalkan debit air dan ketinggian jatuhnya air ini diharapkan bisa
menjawab ketersediaan energi terutama di daerah yang hingga kini belum teraliri oleh
perusahaan listrik negara.
Indonesia mempunyai potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 70.000 mega watt
(MW). Potensi ini baru dimanfaatkan sekitar 6 persen atau 3.529 MW atau 14,2 % dari jumlah
energi pembangkitan PT PLN. Berdasarkan konstruksinya, ada dua cara pemanfaatan tenaga air
untuk pembangkit listrik: (i) membangun bendungan dan membuat reservoir untuk mengalirkan
air ke turbin; (ii) memanfaatkan aliran air sungai tanpa membangun bendungan dan reservoir
atau yang sering disebut dengan Run-of-river Hydropower. Seperti terlihat pada Gambar 8.

Secara umum cara kerja pembangkit listrik tenaga air adalah dengan mengambil air dalam
jumlah debit tertentu dari sumber air (sungai, danau, atau waduk) melalui intake, kemudian
dengan menggunakan pipa pembawa (headrace) air diarahkan menuju turbin. Namun sebelum
menabrak turbin, air dilewatkan ke pipa pesat (penstock) tujuannya adalah meningkatkan energi
dalam air dengan memanfaatkan gravitasi. Selain itu pipa pesat juga mempertahankan tekanan
air jatuh, oleh karena itu pipa pesat tidak boleh bocor. Turbin yang tertabrak air akan memutar
generator dalam kecepatan tertentu, sehingga terjadilah proses konversi energi dari gerak ke
listrik. Sementara air yang tadi digunakan untuk memutar turbin dikembalikan ke alirannya.
Besarnya energi yang dapat dikonversi menjadi energi listrik bergantung pada ketinggian jatuh
air (Head) dan begitu pula pemilihan turbin untuk PLTA. Pada Tabel 2 menjelaskan tentang
panduan umum penggunaan berbagai macam turbin untuk berbagai macam ketinggian jatuh air.
Gambar 9 memperlihatkan bentuk-bentuk dari turbin air.

Keunggulan Pembangkit Listrik Tenaga Air umumnya terlihat jelas dari sisi ekonomidan
lingkungan. Secara ekonomis, walaupun memerlukan bendungan, ternyata PLTA memiliki
ongkos produksi yang relatif rendah. Selain itu PLTA pun umumnya memiliki umur yang
panjang, yaitu 50-100 tahun. Bendungan yang digunakan pun biasanya dapat sekaligus
digunakan untuk kegiatan lain, seperti irigasi atau sebagai cadangan air dan pariwisata.
Sedangkan dari segi lingkungan berkurangnya emisi karbon akibat digunakannya sumber energi
bersih seperti air, jelas merupakan kontribusi berharga bagi lingkungan.
Namun ada juga efek negatif pada lingkungan akibat dibangunnya PLTA, yaitu mengganggu
keseimbangan ekosistem sungai atau danau tempat dibangunnya bendungan untuk PLTA. Selain
itu pembangunan bendungan juga memakan biaya waktu yang lama. Terkadang, walaupun
sangat jarang, kerusakan pada bendungan dapat menyebabkan resiko kerugian yang sangat besar.
Belakangan semakin marak digunakannya mikrohidro, pembangkit listrik tenaga air skala kecil
(dibawah 100 kW), sebagai sumber pasokan listrik di desa-desa kecil dan terpencil. PLTA
mikrohidro semakin dipilih mengingat banyaknya sungai kecil yang ada di Indonesia. Potensi
mikrohidro di Indonesia ada 458,75 MW dan baru terpasang 84 MW. Selain itu teknologinya
yang mudah pun menjadi suatu nilai tambah bagi penduduk desa dalam memanfaatkan aliran
sungai sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik. 

2.9.7   Tenaga Surya


Di antara sumber energi alternatif yang saat ini banyak dikembangkan seperti turbin angin,
tenaga air (hydro power) dan lain-lain, tenaga surya atau solar sel merupakan salah satu sumber
yang cukup menjanjikan di Indonesia. Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya
hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69 % dari total energi pancaran matahari. Suplai
energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya
yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun, energi ini setara dengan 2 x 1017 Watt. Jumlah energi
sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain,
dengan menutup 0,1 persen saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki efisiensi
10 % sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini.
Pada tengah hari yang cerah radiasi sinar matahari mampu mencapai 1000 Watt/m2. Jika sebuah
divais semikonductor seluas 1 m2 memiliki efisiensi 10 % maka modul solar sel ini mampu
memberikan tenaga listrik sebesar 100 Watt. Saat ini efisiensi modul solar sel komersial berkisar
antara 5 – 15 % tergantung material penyusunnya.
Karena fleksibel, sel surya yang dihasilkan bisa dibentuk seperti genting, jendela, atau bentuk
bagian bangunan lainnya. Hambatan utama dari penerapan teknologi ini adalah mahalnya
teknologi peralatan yang dipakai untuk memproduksinya. Teknologi terbaru yang masih dalam
tahap pengembangan adalah sel surya berbasis bahan organik. Teknologi yang digunakan
berbeda jauh dengan teknologi sel surya konvensional. Jika teknologi manufaktur yang murah
bisa diciptakan maka sel surya organik semacam ini bisa jauh lebih murah dibanding sel surya
konvensional.
Masalah utama penggunaan energi surya untuk PLTS adalah ketersediannya. Energi matahari
hanya tersedia di siang hari. Oleh sebab itu, PLTS harus bekerjasama dengan pembangkit lain
untuk meningkatkan keandalannya. Untuk itu, tegangan DC yang dihasilkan oleh modul
fotovoltaik harus diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan inverter. Tegangan bolak-
balik yang dihasilkan inverter harus mempunyai bentuk dan frekuensi yang baik agar bisa
diparalelkan dengan jaringan listrik yang ada.
Gambar 10 memperlihatkan skema pembangkit listrik tenaga surya skala kecil yang dipakai
untuk skala rumah tangga. Tegangan DC yang dihasilkan sel surya diubah menjadi tegangan AC
dengan menggunakan inverter. Inverter diparalel dengan tegangan jala-jala (misal PLN).
Sebagian energi listrik yang dihasilkan sel surya akan dikonsumsi sendiri. Jika berlebih, energi
listrik yang dihasilkan bisa dijual ke jaringan PLN. Pembangkit listrik semacam ini tidak
memerlukan batere sebagai penyimpan energi.

PLTS tidak hanya berguna bagi rakyat Indonesia yang tinggal di daerah kepulauan untuk
meningkatkan kemandirian di bidang energi tetapi juga berguna bagi penduduk pulau Jawa yang
ingin mengurangi beban PLN atau mengurangi emisi CO2. Di banding pembangkit batu bara,
PLTS mempunyai peluang mengurangi lebih dari 1 kg CO2 untuk setiap kWh energi listrik yang
dibangkitkannya. Pemasangan PLTS bisa digunakan untuk meningkatkan image perusahaan
dalam memperoleh sertifikat ramah lingkungan. Di banyak negara maju, memiliki sertifikat
ramah lingkungan terbukti sangat berguna dalam menarik investor dan menaikkan harga saham.
Sampai tahun 2025, pemerintah Indonesia berencana memasang PLTS sampai 1000 MW. Jika
melihat kebutuhan akan PLTS dunia, maka peluang bisnis PLTS sangat-sangat besar.
Sayangnya, hanya sedikit orang Indonesia yang menguasai teknologi ini. Tidak ada industri di
Indonesia yang memproduksi sel surya, biasanya baru terbatas merakitnya. Seperti halnya
pembangkit listrik energi terbarukan lainnya, hanya sedikit orang atau industri di Indonesia yang
menguasai teknologi elektronika daya yang diperlukan dalam PLTS.
Terus naiknya pasar pembangkit listrik berbasis PLTS harus digunakan sebagai momentum
untuk mempersiapkan diri sehingga rakyat Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dan
penonton. Persiapan ini harus mencakup persiapan sumber daya manusia, industri, dan
peraturannya. Hambatan subsidi yang menyebabkan penerapan penerapan PLTS kurang
ekonomis harus secara bertahap diatasi.

2.9.8   Tenaga Angin


Pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB) mengalami perkembangan yang sangat pesat
dalam 20 tahun terakhir ini, terutama di belahan Eropa utara. Jerman dan Denmark telah
menggunakan tenaga angin untuk membangkitkan hampir 20% kebutuhan energi listriknya. Pada
akhir tahun 2010, diperkirakan PLTB terpasang di dunia akan mencapai lebih dari 150 GW.
Sebagai negara yang berada di ekuator, potensi dari PLTB memang tidak terlalu besar. Akan
tetapi berdasarkan data yang ada, ada beberapa daerah di Indonesia, misal NTB dan NTT, yang
mempunyai potensi bagus. Sebagian besar daerah di Indonesia mempunyai kecepatan angin rata-
rata sekitar 4 m/s, kecuali di dua propinsi tersebut. Oleh sebab itu, PLTB yang cocok
dikembangkan di Indonesia adalah pembangkit dengan kapasitas di bawah 100 kW. Tentu saja
ini berbeda dengan Eropa yang berkonsentrasi untuk mengembangkan PLTB dengan kapasitas di
atas 1 MW atau lebih besar lagi untuk dibangung di lepas pantai.
Masalah utama dari penggunaan PLTB adalah ketersediaannya yang rendah. Untuk mengatasi
masalah ini maka PLTB harus dioperasikan secara paralel dengan pembangkit listrik lainnya.
Pembangkit listrik lainnya bisa berbasis Sumber Energi Alternatif (SEA) atau pembangkit
konvensional. Walaupun sebuah PLTB hanya membangkitkan daya kurang dari 100 kW, kita
bisa membangun puluhan PLTB dalam satu daerah. Dengan memanfaatkan PLTB maka
kebutuhan akan bahan bakar fossil akan jauh berkurang. Selain mengurangi biaya operasi,
penggunaan PLTB akan meningkatkan jaminan pasokan energi suatu daerah. Di daerah
kepulauan seperti halnya NTB dan NTT, yang mana semua kebutuhan energinya harus
didatangkan dari daerah lain, keberadaan PLTB akan membantu meningkatkan kemandiriannya.
Di banding dengan diesel, PLTB mempunyai potensi mengurangi emisi CO2 sebesar 700 gram
untuk setiap kWh energi listrik yang dibangkitkan.
Gambar 10 memperlihatkan skema PLTB yang cocok untuk daya kurang dari 100 kW. Turbin
angin memutar generator tegangan bolak-balik. Karena kecepatan angin berubah-ubah maka
tegangan AC yang dihasilkan generator mempunyai frekuensi yang berubah-ubah. Tegangan AC
yang frekuensinya berubah-ubah ini harus diubah menjadi tegangan DC yang tetap dengan
menggunakan penyearah. Tegangan DC ini selanjutnya diubah menjadi tegangan AC frekuensi
50 Hz dengan menggunakan inverter. Keluaran inverter diparalel dengan jaringan listrik yang
ada. Dengan menggunakan konsep ini, semua energi listrik yang dibangkitkan oleh PLTB bisa
dikirim ke jaringan untuk dimanfaatkan. Pembangkit semacam ini juga tidak memerlukan batere
yang mahal dan butuh pemeliharaan rutin.
Teknologi turbin atau kincir angin yang diperlukan dalam PLTB telah dikuasai oleh orang
Indonesia dan beberapa industri lokal telah mampu membuatnya dengan baik. Generator yang
digunakan bisa menggunakan generator induksi (yang murah dan kokoh) atau generator magnet
permanen yang efisien. Kedua teknologi generator ini telah dikuasai oleh orang Indonesia dan
beberapa industri telah mampu membuatnya. Yang menjadi masalah adalah bahan baku yang
sebagian besar harus didatangkan dari luar. Teknologi penyearah dan inverter juga dikuasai oleh
orang Indonesia walaupun industri yang mampu membuatnya masih terbatas. Di Indonesia juga
tidak tersedia orang yang menguasai teknologi komponen elektronika daya, apalagi industrinya.
Semua komponen elektronika daya harus didatangkan dari luar. Di Indonesia, peneliti yang
mendalami teknologi elektronika daya juga sangat terbatas. Perkembangan kebutuhan akan
pembangkit listrik berbasis SEA ini sebaiknya diambil oleh pemerintah Indonesia untuk
mengembangkan industri elektronika daya berserta sumber daya manusianya.

2.9.9   Biomassa
Bioenergi adalah istilah umum bagi energi yang dihasilkan melalui material organik, seperti
kayu, tanaman pertanian, sekam, sampah, atau kotoran hewan. Berdasarkan sumbernya,
bioenergi dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu yang dari hasil pertanian dan budidaya,
dan yang dari limbah buangan, seperti buangan tanaman sisa panen, kotoran hewan, sampah
kota, limbah pabrik, dsb.
Banyak yang menyangsikan kalau bioenergi adalah salah satu solusi energi terbarukan, terutama
untuk bioenergi yang bersumber dari hasil pertanian dan budidaya. Hal ini disebabkan karena
penggunaan lahan yang sangat besar dan waktu produksi yang terlalu lama. Terlebih lagi
ternyata selisih antara energi keluaran dan energi fosil yang terpakai selama proses tidak terlalu
signifikan. Selain itu walaupun ditujukan untuk mengurangi polusi CO2, produksi bioenergi
bukan berarti tanpa CO2, walaupun memang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada CO2 yang
dihasilkan dari produksi energi fosil. Sehingga tantangan kedepan agar bioenergi dapat bersaing
dengan sumber energi lainnya adalah bagaimana meningkatkan efisiensi dari teknologi
prosesnya dan bagaimana mempercepat produksi sumber energinya.
Pengolahan biomassa menjadi bioenergi dapat dilakukan dalam tiga cara : (i) pembakaran
biomassa padat (ii) produksi bahan bakar gas dari biomassa (iii) produksi bahan bakar cair dari
biomassa.
Cara yang pertama adalah dengan membakar langsung biomassa dan diambil energi panasnya.
Energi panas ini dapat digunakan untuk apa saja, bisa sebagai pemanas ruangan, ventilasi, atau
jika dalam terminologi kelistrikan, energi panas ini kemudian digunakan untuk memanaskan dan
menguapkan air pada aplikasi turbin uap. Biomassa yang digunakan bisa apa saja, namun
umumnya adalah sisa produk hutan dan pertanian, arang, atau sampah kota (pada PLTSa).
Pengolahan biomassa dengan cara ini umumnya sudah ditinggalkan (kecuali pada PLTSa),
karena walaupun teknologinya sederhana namun efisiensinya sangat rendah. Selain itu biomassa
padat memiliki kerapatan energi yang relatif kecil, sehingga proses transportasinya memakan
biaya yang besar.
Khusus untuk biomassa sampah kota, PLTSa dapat menjadi solusi yang menarik untuk
dikembangkan, mengingat produksi sampah kota terus meningkat dari tahun ke tahun. PLTSa di
dunia kini sudah mencapai lebih dari 3 GW dengan setengahnya berada di eropa. Di Indonesia
sendiri PLTSa masih menjadi solusi yang sulit untuk diterapkan. Penolakan terhadap PLTSa
umumnya disebabkan kekhawatiran masyarakat akan pencemaran lingkungan, terutama
pencemaran udara. Namun tidak perlu khawatir karena teknologi PLTSa yang berkembang saat
ini sudah dilengkapi dengan sistem pengeringan dan filter abu. Sistem ini berfungsi untuk
mengurangi unsur-unsur kimia berbahaya yang terkandung pada abu gas buangan, sehingga gas
buangan PLTSa masih dalam taraf aman.

Cara yang kedua adalah produksi biomassa dalam bentuk gas. Ada beberapa alasan dibalik
berkembangnya teknologi ini. Hasil yang didapatkan melalui produk biogas ini selain dapat
dimanfaatkan untuk pembakaran biasa / pemanasan, ternyata bisa juga digunakan sebagai bahan
bakar pada mesin bakar dan turbin gas. Produk biogas juga menawarkan efisiensi yang lebih
tinggi dari pembakaran biomassa padat, selain itu karena dalam bentuk gas, penyalurannya relatif
lebih mudah (bisa dengan menggunakan pipa).
Konversi kedalam bentuk gas dapat dilakukan melalui proses biokimia dan termokimia. Untuk
proses biokimia, digunakan anaerob yang kemudian akan memecah materi organik kedalam
senyawa gula, dan kemudian menjadi zat asam, dan akhirnya menjadi gas. Pada tahun 1999,
Inggris telah memiliki 1-MW-anaerobic-disgestion-plant. Sementara di Cina ada 5 juta
pembangkit anaerob skala kecil pada pertengahan 1990 dan di India ada 2.8 juta yang sudah
terpasang sejak 1998 dan akan membangun lagi 12 juta pembangkit anaerob skala kecil. Untuk
proses termokimia, gasifikasi dilakukan dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan proses
gasifikasi batu bara, hanya saja yang menjadi objeknya adalah biomassa. Produksi gasifikasi
dalam kondisi tertentu dapat menghasilkan gas sintesis, kombinasi antara hidrokarbon dan
hidrogen. Dari gas sintesis ini hampir seluruh hidrokarbon, bensin sintesis dan bahkan hidrogen
murni dapat dibentuk (yang nantinya dapat digunakan pada fuel cell). Tantangan dari biogas ini
adalah proses pembuatannya yang rumit, dan di negara berkembang seperti indonesia ini masih
membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk investasi awalnya.
Cara yang ketiga adalah dengan memproduksi biofuel cair dari biomassa. Fokus terbesar
pengembangan bioenergi terletak pada biofuel sebagai pengganti bahan bakar minyak. Ada tiga
macam olahan biofuel yang dapat mereduksi penggunaan bahan bakar minyak, yaitu (i) bio-
ethanol (ii) bio-diesel (iii) bio-oil.
Bio-ethanol didapatkan melalui proses fermentasi. Proses fermentasi ini membutuhkan produk
gula, sehingga sumber paling efektif untuk digunakan dalam produksi bio-etanol ini adalah tebu.
Brazil adalah negara terbesar penghasil ethanol dari residu gula. Kegunaan dari bio-ethanol
adalah dapat mereduksi penggunaan bensin, yaitu dengan mencampurkan bio-ethanol kedalam
bensin (premium). Salah satu produknya yang sudah banyak dikenal adalah Gasohol E-10,
didapatkan dengan mencampurkan 10% Bio-ethanol dengan 90% premium. Seiring dengan
perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin campuran Bio-ethanol di kemudian hari akan
semakin besar persentasenya.
Bio-diesel didapatkan melalui transesterifikasi minyak sayur (diekstrak dari biji-bijian seperti
jarak, kelapa sawit, dsb). Sebenarnya minyak sayur dapat digunakan langsung pada mesin diesel,
hal senada diungkapkan oleh Dr Rudolf Diesel pada tahun 1911 dalam tulisannya, hal ini
disebabkan minyak sayur memiliki kandungan energi yang tidak jauh berbeda (37-39 Gj/t)
dengan solar (42 Gj/t). Namun bio-diesel lebih dipilih karena minyak sayur memiliki
pembakaran yang tidak sempurna jika dioperasikan langsung pada mesin diesel. Kegunaan dari
bio-diesel adalah dapat mereduksi penggunaan solar, yaitu dengan mencampurkan bio-diesel
kedalam solar. Salah satu produknya yang sudah banyak dikenal adalah Biodiesel B-10,
didapatkan dengan mencampurkan 10% Bio-diesel dengan 90% solar. Di beberapa negara iklim
tropis seperti filipina dan Brazil, campuran 70% solar dengan 30% minyak sayur tanpa
transesterifikasi dilakukan untuk menggantikan diesel. Namun, biasanya sektor pangan dan
kosmetik mau membayar lebih mahal, sehingga hal tersebut hanya dilakukan pada daerah
tertentu yang kekurangan supply solar. Produksi biodiesel dunia kini mencapai lebih dari 1.5 juta
ton per tahunnya. Dan kini pemerintah USA serta Inggris sedang mengembangkan teknologi
biodiesel dari minyak jelantah.
Bio-oil didapatkan melalui proses pyrolisis dari sekam, tempurung kelapa, jarak atau kelapa
sawit. Proses ini melibatkan penguapan material biomassa sehingga terbagi menjadi uap dan
padatan residu. Kemudian uapnya diembunkan sehingga dihasilkan cairan bio-oil yang
membawa kandungan energi cukup besar. Bio-oil digunakan sebagai pengganti solar industri
(IDO), Marine Fuel Oil (MFO), dan kerosin. Bio-oil dapat digunakan pada pembangkit listrik
diesel

2.9.10  Tenaga Panas Bumi (Geothermal)


Sebelum abad 20, fluida panas bumi (geothermal) hanya digunakan untuk mandi, mencuci dan
memasak. Dewasa ini pemanfaatan fluida panas bumi sangat beraneka ragam, baik untuk
pembangkit listrik maupun untuk keperluan lainnya di sektor non-listrik, yaitu untuk pemanas
ruangan, rumah kaca, tanah pertanian, pengering hasil pertanian dan peternakan, pengering kayu
dll.
Pemanfaatan energi panas bumi secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pemanfaatan
tidak langsung dan pemanfaatan langsung. Pemanfaatan tidak langsung yaitu memanfaatkan
energi panas bumi untuk pembangkit listrik. Sedangkan pemanfaatan langsung yaitu
memanfaatkan secara langsung panas yang terkandung pada fluida panas bumi untuk berbagai
keperluan.
Fluida panas bumi yang telah dikeluarkan ke permukaan bumi mengandung energi panas yang
akan dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Hal ini dimungkinkan oleh suatu sistem
konversi energi fluida panas bumi (geothermal power cycle) yang mengubah energi panas dari
fluida menjadi energi listrik.
Fluida panas bumi bertemperatur tinggi (>225 oC) telah lama digunakan di beberapa negara
untuk pembangkit listrik, namun beberapa tahun terakhir ini perkembangan teknologi telah
memungkinkan digunakannya fluida panas bumi bertemperatur sedang (150-225 oC) untuk
pembangkit listrik.
Selain temperatur, faktor-faktor lain yang biasanya dipertimbangkan dalam memutuskan apakah
suatu sumber daya panas bumi tepat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik adalah
sebagai berikut: (i) Sumberdaya mempunyai kandungan panas atau cadangan yang besar
sehingga mampu memproduksi uap untuk jangka waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 25-30
tahun. (ii) Sumber daya panas bumi menghasilkan fluida yang mempunyai pH hampir netral agar
laju korosinya relatif rendah, sehingga fasilitas produksi tidak cepat terkorosi. Selain itu
hendaknya kecenderungan fluida membentuk skala yang relatif rendah. (iii) Reservoirnya tidak
terlalu dalam, biasanya tidak lebih dari 3 km. (iv) Sumber daya panas bumi terdapat di daerah
yang relatif tidak sulit dicapai. (v) Sumber daya panas bumi terletak di daerah dengan
kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal yang relatif rendah. Proses produksi fluida panas
bumi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal.
Energi panas bumi yang relatif tidak menimbulkan polusi dan terdapat menyebar di seluruh
kepulauan Indonesia (kecuali Kalimantan) sesungguhnya merupakan salah satu energi yang tepat
untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik di masa yang akan datang untuk memenuhi
sebagian dari kebutuhan listrik nasional yang cenderung terus meningkat.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) pada prinsipnya sama seperti Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU), hanya pada PLTU uap dibuat di permukaan menggunakan boiler,
sedangkan pada PLTP uap berasal dari reservoir panas bumi. Apabila fluida di kepala sumur
berupa fasa uap, maka uap tersebut dapat dialirkan langsung ke turbin, dan kemudian turbin akan
mengubah energi panas bumi menjadi energi gerak yang akan memutar generator sehingga
dihasilkan energi listrik. Apabila fluida panas bumi keluar dari kepala sumur sebagai campuran
fluida dua fasa (fasa uap dan fasa cair) maka terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan pada
fluida. Hal ini dimungkinkan dengan melewatkan fluida ke dalam separator, sehingga fasa uap
akan terpisahkan dari fasa cairnya. Fraksi uap yang dihasilkan dari separator inilah yang
kemudian dialirkan ke turbin.
Untuk kandungan panas atau cadangan yang relatif kecil, namun mempunyai suhu yang cukup
tinggi untuk dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik, bisa digunakan untuk pembangkit listrik
berskala kecil dengan kapasitas terpasang antara 1-5 MW. Di beberapa tempat pembangkit
dibangun dengan kapasitas kecil, seperti di Fang Thailand yang berkapasitas 300 kW.
Pada dasarnya pembangkit tenaga panas bumi dapat di bangun mengikuti permintaan beban
listrik. Pembangkit tenaga kecil biasanya dibangun menggunakan pendekatan modular yang
dapat mengurangi biaya konstruksi dan dapat ditempatkan dekat ke sumur sehingga keseluruhan
proyek mempunyai dampak lingkungan yang minimal. Pembangkit tenaga kecil telah
memainkan peranan penting dalam perkembangan dan penggunaan tenaga panas bumi. Kunci
sukses pembangkit tenaga panas bumi skala kecil adalah tidak membangun pembangkit yang
kapasitasnya melebihi permintaan, dan selalu mencari kemungkinan penyatuan sistem
pemanfaatan langsung air panas untuk memperbaiki perekonomian perusahaan pembangkit dan
juga masyarakat setempat. 

BAB III
PENUTUP 

3.1 Kesimpulan
Dengan memperhatikan kecenderungan-kecenderungan perkembangan teknologi yang kini
terjadi, beberapa catatan dapat dibuat. Penggunaan gas bumi sebagai bahan bakar pembangkitan
energi listrik akan meningkat dengan pesat di Indonesia. Pemanfaatan batubara juga akan
meningkat, sekalipun tidak setajam gas. Posisi batubara sebagai bahan bakar utama masih dapat
dipertahankan untuk beberapa tahun ke depan. Penggunaan energi nuklir secara global akan
menggantikan peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil (minyak bumi – batubara – gas
alam) secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan listrik dengan karakteristik beban yang
konstan (Jawa – Bali). Pemanfaatan minyak akan banyak menurun. Minat akan energi terbarukan
akan meningkat juga, sekalipun secara relatif memiliki peran yang masih kecil.
Melimpahnya tenaga surya yang merata dan dapat ditangkap di seluruh
kepulauan Indonesia hampir sepanjang tahun merupakan sumber
energi listrik yang sangat potensial. Oleh karena itu, PV dan biomassa diperkirakan akan
meningkat dengan pesat.Selain itu ada juga pemanfaatan energi panas bumi bisa menjadi
alternatif yang murah dan ramah lingkungan. Tetapi pemanfaatan energi panas bumi tidak bisa
maksimal karena persediaannya sangat terbatas dan teknologi untuk mengelolanya dianggap
mahal.
Efisiensi pembangkitan tenaga listrik akan meningkat, bukan saja karena teknologi
pembangkitannya menjadi lebih baik, akan tetapi juga karena pengusahaan tenaga listrik makin
lama makin banyak mempergunakan otomatisasi. Dan juga perlu disebut masalah lingkungan
akan menjadi lebih kecil karena perkembangan teknologi yang lebih bersahabat di lingkungan.

3.2 Saran
Berdasarkan prinsip generator arus searah dalam hukum Induksi Farraday. Bahwa “jika sepotong
kawat terletak di antara kutub-kutub magnet kemudian kawat tersebut digerakkan, maka di ujung
kawat ini timbul gaya gerak listrik (GGL) karena induksi”. Jadi, untuk dapat
mengimplementasikan prinsip kerja tersebut, pada syaratnya adalah :
    Harus ada konduktor (penghantar).
    Harus ada medan magnet.
    Harus ada gerak atau perputaran dari konduktor pada medan magnetik.
Untuk memperoleh arus searah dari tegangan bolak balik, meskipun tujuan utamanya adalah
pembangkitan tegangan searah, tampak bahwa tegangan kecepatan yang dibangkitkan pada
kumparan jangkar merupakan tegangan bolak-balik. Bentuk gelombang yang berubah-ubah
tersebut karenanya harus disearahkan. Untuk mendapatkan arus searah dari arus bolak balik,
sebaiknya kita menggunakan alat-alat berikut :
    Saklar
    Komutator
    Dioda

DAFTAR PUSTAKA 

Paul Breeze, Power Generation Technologies, Jordan Hill, Oxford,2005


Presidential degree 5, 2006
Dr. Ir. Pekik A. Dahono, Sumber Energi Alternatif (SEA),Laboratorium Penelitian Konversi
Energi Elektrik, Teknik Elektro ITB
Prof. Ir. Abdul Kadir, IPM, Beberapa Kecenderungan Perkembangan Teknologi Pembangkit
Listrik, Ketua Sekolah Tinggi Teknik Yayasan PLN, Jakarta
Dr. Ir. Wilson Walery Wenas, Teknologi Sel Surya : Perkembangan Dewasa Ini dan yang Akan
Datan,Laboratorium Semikonduktor, Fisika-ITB
Teguh Priyambodo, Pembangkit Listrik Tenaga Surya: Memecah Kebuntuan Kebutuhan Energi
Nasional dan Dampak Pencemaran Lingkungan
http://konversi.wordpress.com/2009/02/18/pembangkit-listrik-masa-depan-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai