Trilema Energi Indonesia, yang mengevaluasi kinerja sistem energi
suatu negara berdasarkan ketahanan energi, pemerataan energi, dan kelestarian lingkungan. Ini menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia karena ketergantungannya pada impor minyak dan penggunaan batubara, menekankan pentingnya energi terbarukan dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunannya. Analisis keberlanjutan tenaga surya di Indonesia menggunakan Analytical Hierarchy Process juga dieksplorasi, menunjukkan perjuangan negara untuk memenuhi target energi terbarukan dan perlunya upaya kolektif untuk transisi menuju energi terbarukan. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi energi primer masih didominasi oleh batu bara sebesar 15.527.106 terajoule, gas alam sebesar 2.374.248 terajoule, serta minyak mentah dan kondensat sebesar 1.808.758 terajoule, dengan total produksi energi primer sebesar 20.600.280 terajoule.
Trilemma Energi dikembangkan oleh World Energy Council sejak
2010 dan digunakan untuk menilai performa sistem energi sebuah negara. Trilemma tersebut adalah keamanan energi (energy security), ekuitas energi (energy equity), dan keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability). Keamanan energi adalah gambaran manajemen suplai energi, keandalan infrastruktur energi, dan kemampuan energi memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang. Komponen kunci dari Trilema Energi Indonesia adalah ketahanan energi, pemerataan energi, dan kelestarian lingkungan. Komponen-komponen ini berdampak pada sektor energi Indonesia dengan mempengaruhi kebijakan dan strategi untuk memastikan keseimbangan antara pasokan energi yang andal, akses energi yang adil, dan praktik ramah lingkungan. Sebelum transisi energi di Indonesia sendiri cenderung bergantung pada energi fosil, terutama batu bara, minyak bumi, dan gas alam, untuk memenuhi kebutuhan energinya. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan yang melimpah dan harga yang relatif murah dari sumber energi fosil tersebut. Namun, penggunaan berlebihan energi fosil ini telah menyebabkan masalah seperti polusi udara, kerusakan lingkungan, dan ketergantungan pada impor energi. Semenjak tahun 2003 Indonesia menjadi net importir minyak dari 24 negara, diantaranya Arab Saudi, Nigeria, dan Angola sebesar 52% dari total impor pada tahun 2017 dan pada 2018 mencapai 68,6%. Ketergantungan kepada ketiga negara tersebut, termasuk ke beberapa negara lain, di antaranya Libya, Iran, Kongo, Sudan, Mesir, dan Turki, merupakan ancaman bagi keamanan energi nasional. Ketika negara asal impor minyak Indonesia mengalami konflik, sangat mungkin berpengaruh pada pasokan minyak ke Indonesia (energy security), termasuk kemudian berefek pada perubahan harga minyak di tingkat konsumen (affordability). Pemanfaatan energi batu bara juga masih didominasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dewan Energi Nasional (DEN) mencatat pada tahun 2018 kapasitas pembangkit listrik di Indonesia sebesar 64,5 GW dan 56,4% dari PLTU batu bara.
Upaya Indonesia dalam transisi energi antara lain meliputi
pembangunan pembangkit listrik tenaga terbarukan, seperti tenaga surya, tenaga angin, dan bioenergi, untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang mendukung pengembangan energi terbarukan, memberikan insentif bagi investasi di sektor energi terbarukan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya energi terbarukan. Adapun regulasi tersebut antara lain :
1. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM RI), 2019, Statistik Ketenagalistrikan Tahun 2018 – Edisi No. 32 Tahun Anggaran 2019. 2. Wardhana, Ahmad R. dan Ma’rifatullah, Wening H. (2019). Evaluasi Kebijakan: Pebangunan Desa melalui Energi Terbarukan (Studi Kasus Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Desa Rawasari, Jambi). Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 19(3).
Setelah transisi energi di Indonesia, diharapkan negara akan
mencapai keberlanjutan energi yang lebih baik dengan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan pemanfaatan sumber energi terbarukan. Hal ini diharapkan akan mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan keamanan energi, dan memberikan akses energi yang lebih merata kepada masyarakat. Selain itu, transisi energi juga diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan.
Hambatan utama yang menghambat Indonesia mencapai target
energi terbarukan termasuk tingginya biaya energi terbarukan dibandingkan dengan bahan bakar fosil, peraturan dan kebijakan yang tidak jelas mengenai energi terbarukan, dan dominasi bahan bakar fosil dalam bauran energi. Untuk mengatasi hambatan tersebut, langkah-langkah seperti pemberian insentif dan subsidi untuk proyek energi terbarukan, klarifikasi dan penguatan regulasi untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap dapat dilakukan. Selain itu, meningkatkan kesadaran dan pendidikan masyarakat tentang energi terbarukan, mempromosikan penelitian dan pengembangan teknologi energi terbarukan, dan meningkatkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi dapat membantu mempercepat transisi menuju energi terbarukan di Indonesia.
Dari jurnal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih
menghadapi tantangan dalam mencapai target energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Konsep Trilemma Energi, yang mencakup keamanan energi, ekuitas energi, dan keberlanjutan lingkungan, menjadi penting dalam mengevaluasi performa sistem energi Indonesia. Peralihan menuju energi terbarukan di Indonesia memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan entitas lainnya, serta dukungan pembiayaan yang memadai. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan juga ditekankan sebagai langkah kecil namun bermanfaat dalam mengurangi dampak perubahan iklim.