Anda di halaman 1dari 7

Ketahanan Energi Indonesia:

Studi Kemandirian Pemanfaatan Energi


dalam 35 tahun ke depan
Ryanti Widya Savitri (1406584183)
Teknik Tenaga Listrik dan Energi
Universitas Indonesia
Depok, 2015

Abstrak Tulisan ini mengemukakan rapuhnya kondisi


ketahanan energi Indonesia saat ini yang disebebabkan
oleh salah kaprah nilai guna pada ekspor komoditas
sumber daya energi dan pada pengalokasian anggaran
untuk mensubsidi konsumsi energi. Dalam rangka
meningkatkan ketahanan energi, Indonesia perlu
memaksimalkan pemanfaatan bahan bakar batubara di
dalam
negeri,
dan
mempercepat
pembangunan
infrastruktur untuk pemanfaatan energi baru dan
terbarukan (EBT) secara masif. Untuk itu, Indonesia perlu
belajar dari kesuksesan negara lain dalam memanfaatkan
EBT, khususnya terkait geothermal (New Zealand) dan
biofuel (Brazil). Kemudian, Indonesia perlu menerapkan
komoditas sumber daya energi (SDE) sebagai modal
pembangunan nasional dan mengalokasikan anggaran
subsidi pada pembangunan infrastruktur EBT. Apabila
masyarakat dan pemerintah dapat saling mendukung
dalam mengusahakan kemandirian pemanfaatan energi
maka cadangan energi penyangga dan strategis dapat
segera terealisasikan, rasio elektrifikasi dapat meningkat
secara signifikan, serta tentunya berimplikasi ke
pertumbuhan ekonomi.
Kata Kunci Ketahanan Energi, Indonesia, batubara,
EBT, geothermal, biofuel

I. PENDAHULUAN
Saat ini Indonesia menghadapi tantangan dalam
hal ketahanan di bidang energi. Dalam buku Outlook
Energi Indonesia yang dikeluarkan oleh Dewan
Energi Nasional (DEN) pada tahun 2014, dinyatakan
bahwa Ketergantungan terhadap energi fosil,
terutama minyak bumi dalam pemenuhan konsumsi
di dalam negeri masih tinggi, yaitu sebesar 96%
(minyak bumi 48%, batubara 30%, dan gas 18%)
dari total konsumsi energi nasional. Artinya, bauran

energi baru dan terbarukan (EBT) dalam konsumsi


energi Indonesia hanya 4%.
Sementara itu, dalam buku Outlook Energi
Indonesia 2014 yang dikeluarkan oleh Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
dinyatakan bahwa Berdasarkan reserve to
production ratio sumber energi fosil, potensi
pemanfaatan batubara merupakan yang paling
tinggi, yaitu sekitar 75 tahun lagi akan habis, gas 33
tahun lagi, dan minyak merupakan sumber energi
fosil yang potensinya paling kecil, yaitu masih dapat
dimanfaatkan hanya sekitar 12 tahun lagi, bila tidak
ditemukan cadangan baru. Hal ini berarti,
penyediaan energi fosil dari dalam negeri yang dapat
diandalkan kontinuitasnya dalam 35 tahun ke depan
hanyalah batubara.
Berdasarkan BP Statistical Review of World
Energy 2014, pada tahun 2013 Indonesia merupakan
produsen batubara keempat terbesar dunia, yakni
setelah Cina, Amerika, dan Australia. Sayangnya,
sebagai produsen batubara terbesar di dunia, lebih
dari 75% produksi batubara Indonesia dijadikan
komoditas ekspor. Hal ini didasarkan dari pernyataan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) tahun 2014,ekspor batubara Indonesia
hingga kuartal III 2014 mencapai angka sebesar
234,76 juta ton, sedangkan capaian produksinya
mendekati angka 310,84 juta ton.
Selanjutnya, bicara tentang konsumsi energi di
Indonesia maka tidak terlepas dari dana anggaran.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2015, alokasi untuk infrastruktur penunjang
ketahanan energi hanyalah 10 triliun, yaitu berkurang

Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 1

30% dari pada Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara Perubahan (APBNP) 2014 yang sebesar 14,3
triliun. Hal ini terasa menyedihkan karena dengan
kondisi keuangan negara yang defisit dan ditopang
oleh hutang, dan sebagai suatu negara berkembang,
sebesar 344,7 triliun dianggarkan pemerintah untuk
mensubsidi konsumsi energi, sedangkan hanya 10
triliun dialokasikan untuk peningkatan ketersediaan
infrastruktur penunjang ketahanan energi.
Sehingga, penulis merasa rapuhnya kondisi
ketahanan energi Indonesia sekarang ini merupakan
akibat dari adanya salah kaprah nilai guna pada
ekspor komoditas sumber daya energi untuk
pendapatan negara dan pada pengalokasian anggaran
untuk mensubsidi konsumsi energi.
II. KONSEP KETAHANAN ENERGI
International
Energi
Agency
(IEA)
mendefinisikan
ketahanan
energi
sebagai
ketersediaan sumber energi yang tidak terputus
dengan harga yang terjangkau. Sehubungan dengan
definisi tersebut, pada bagian ini akan dipaparkan
kosep terkait ketahanan energi, yakni energy
sustainability index (ESI). Sejak tahun 2011, World
Energy Council mulai me-rangking kemampuan
suatu negara untuk memberikan kebijakan energi
yang berkelanjutan. Hal ini dikarakterisasi berdasar
trilema energi (Gambar 2.1), yaitu secara umum
terdiri dari tiga dimensi, yaitu keamanan energi,
ekuitas energi dan sustainabilitas lingkungan.

A. Kemanan Energi
World Energy Council mendefinisikan keamanan
energi sebagai indikator keefektifan manajemen
suplai energi primer dari sumber domestik maupun
eksternal, reliability infrastruktur energi, dan
kemampuan perusahaan energi untuk memenuhi
permintaan saat ini dan masa mendatang.
B. Ekuitas Energi
World Energy Council mendefinisikan ekuitas
energi sebagai indikator tingkat aksesibilitas dan
keterjangkauan harga energi yang disuplai ke seluruh
penduduk di suatu negara.
C. Sustainabilitas Lingkungan
World
Energy
Council
mendefinisikan
sustainabilitas energi sebagai indikator pencapaian
efisiensi energi, baik dari sisi suplai maupun
permintaan, serta perkembangan suplai energi dari
sumber terbarukan.
III. KONDISI ENERGI INDONESIA
Kondisi ketahanan energi di Indonesia dapat
dikatakan rapuh dibandingkan dengan negara lain.
Berdasar metodologi Indeks Trilema Energi dari
Dewan Energi Dunia (World Energy Council),
Indonesia berada pada peringkat 69 dari 129 negara
dalam hal ketahanan energi. Ditambah lagi, saat ini
Indonesia masih belum memiliki cadangan strategis
dan cadangan penyangga energi. Indonesia hanya
mengandalkan cadangan operasional untuk energi,
yaitu ketersediaan stok bahan bakar minyak untuk
18-21 hari.
Dari Tabel 3.1 terlihat bahwa potensi energi fosil
Indonesia yang terbesar berasal dari batubara.
Batubara Indonesia sampai dengan 2013 mencapai
sebesar 31,36 miliar ton, sedangkan sumber daya
batubara mencapai 120,53 miliar ton dengan rincian
sumber daya terukur sebesar 39,45 miliar ton,
terindikasi sebesar 29,44 miliar ton, tereka sebesar
32,08 miliar ton dan hipotetik sebesar 19,56 miliar
ton (DEN, 2014). Gambar 3.1 menunjukkan bahwa
sebagian besar dari sumber daya maupun cadangan
batubara yang dapat ditambang berada di wilayah
Sumatera dan Kalimantan, terutama Sumatera
Selatan dan Kalimantan Timur.

Gambar 2.1 Metodologi Indeks Trilema Energi

Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 2

Tabel 3.1 Potensi Energi Fosil di Indonesia

17/2014, pembelian tenaga listrik dari panas bumi


mempertimbangkan commercial operation date
(COD) dan wilayah, sehingga menghasilkan harga
yang lebih menarik dari sisi pengusaha bila
dibandingkan dengan harga pada peraturan
sebelumnya. Harga patokan tertinggi pada tahun
2015 adalah 11,8 cent $/ kWh (wilayah I), 17,0 cent
$/kWh (wilayah II), dan 25,4 cent $/kWh (wilayah
III). Harga patokan tertinggi meningkat pada tahun
2025 karena eskalasi menjadi 15,9 cent $/kWh
(wilayah I), 23,3 cent $/kWh (wilayah II), dan 29,6
cent $/ kWh (wilayah III).
Selanjutnya, Gambar 3.3 menunjukkan bahwa dari
sisi konsumsi energi, dari total 134 MTOE pada tahun
2013, konsumsi terbesar berasal dari sektor industri,
yaitu sekitar 47% dan dari sektor transportasi, yaitu
sekitar 35%.

Gambar 3.1 Sumber Daya Batubara di Indonesia


Tabel 3.2 Potensi EBT di Indonesia

Gambar 3.2 Bauran Konsumsi Energi Indonesia 2013


(DEN, 2014)

Dalam hal EBT, Indonesia memiliki beragam


potensi, namun masih sedikit termanfaatkan,
sebagaimana terpapar pada Tabel 3.2. Begitu pun
dalam konsumsi energi di tahun 2013, EBT baru
sekitar 4% (Gambar 3.2).
Sehubungan dengan itu, pada tahun 2014
ditetapkan perubahan kebijakan Feed-in Tariff (FiT)
untuk panas bumi, yaitu dari Permen ESDM 22/2012
ke Permen ESDM 17/2014. Perubahan ini tentang
pembelian tenaga listrik dari panas bumi oleh PLN.
Dalam Permen yang baru, yaitu Permen ESDM

Gambar 3.3 Konsumsi Energi Final Indonesia 2013

Kemudian,
dalam
hal
ketenagalistrikan,
penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya
dilakukan PLN, tetapi juga dilakukan oleh pihak
swasta, yaitu Independent Power Producer (IPP),

Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 3

Private Power Utility (PPU) dan Izin Operasi (IO)


non bahan bakar minyak (BBM).
Pada tahun 2012 kapasitas total pembangkit
nasional (PLN, IPP, PPU, IO non BBM) di wilayah
Indonesia adalah sebesar 44,8 GW, dimana sekitar
73% diantaranya berada di wilayah Jawa-Bali, 18%
di wilayah Sumatera, sedangkan sisanya di wilayah
Kalimantan dan Pulau Lainnya (Sulawesi, Maluku,
NTB-NTT, Papua).
BPPT (2014) menyatakan bahwa dilihat dari segi
input bahan bakar, pembangkit berbahan bakar
batubara dan gas mempunyai pangsa yang paling
tinggi, yaitu masing-masing sebesar 43% (19,1 GW)
dan 27% (12 GW), diikuti kemudian oleh pembangkit
berbahan bakar minyak dengan pangsa sekitar 18%
(8,1 GW). Masih tingginya pangsa pembangkit BBM
diimbangi dengan makin meningkatnya pangsa
pembangkit berbahan bakar energi terbarukan,
seperti panas bumi, dengan pangsa mendekati 3%
(1,3 GW), serta pembangkit berbasis hidro dengan
pangsa dikisaran 9% (4,2 GW). Disamping itu,
pembangkit listrik tenaga matahari dan tenaga bayu
juga sudah mulai beroperasi dengan kapasitas total
6,9 MW.
Dilihat dari sisi penyediaan tenaga listrik, pada
tahun 2012 pembangkit listrik PLN mendominasi
dengan pangsa lebih dari 73% (32,9 GW),
pembangkit listrik IPP di kisaran 17% (7,4 GW),
serta sisanya diisi oleh pembangkit listrik PPU, IO
non BBM, dan pembangkit listrik sewa dengan
pangsa di kisaran 10% (4,5 GW).
IV. STUDI KESUKSESAN PEMANFAATAN
EBT DI BEBERAPA NEGARA
Untuk meningkatkan prosentase EBT pada bauran
energi dalam 35 tahun ke depan, penulis akan
mendeskripsikan kesuksesan New Zealand dan Brazil
dalam memanfaatkan EBT, khususnya terkait
geothermal dan biofuel.
A. New Zealand (NZ)
Dari sisi ketahanan energi, berdasar World Energy
Council, ketahanan energi, NZ berada pada peringkat
10 dari 129 negara.
Kerangka kebijakan menyeluruh pemerintah NZ
terkait energi diatur dalam New Zealand Energy
Strategy (NZES) dan Energy Efficiency and

Conservation Strategy. Pada intinya, terdapat empat


prioritas
kebijakan
pemerintahnya,
yaitu
pengembangan
diversifikasi
sumber
daya,
responsibilitas lingkungan, efisiensi penggunaan
energi, dan energi yang aman dan terjangkau. NZ
sendiri telah memproduksi 88% konsumsi energi
domestik. Selain itu, secara bauran energi, 70%
energi berasal dari EBT dan pada tahun 2025
ditargetkan 90% bauran dari EBT.
Dalam hal ketenagalistrikan, NZ telah
memanfaatkan pembangkit dari panas bumi sejak
1958. Saat ini, secara bauran 13% energi NZ berasal
dari energi geothermal, dengan kapasitas terpasang
854 MW.
B. Brazil
Brazil telah mengembangkan bioetanol yang
bersumber dari tebu dengan melakukan ujicoba pada
kendaraan sejak tahun 1925, dan pemakaian biofuel
di Brazil dimulai pada 1973, saat terjadi krisis bahan
bakar. Biofuel di Brazil sudah berkembang dalam
periode cukup lama dengan dukungan penuh dari
pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif. Saat
ini, harga biofuel di Brazil telah menggunakan
mekanisme pasar.
Brazil memilih biofuel dari singkong, jarak pagar,
dan tebu, dimana yang paling maju adalah alkohol
yang disuling dari tebu. Dari seluruh produksi tebu,
perbandingan untuk pemanfaatan sebagai gula dan
bioetanol adalah sekitar 50:50.
Seperti di Indonesia, agrobisnis tebu di Brazil
berciri labour-intensive. Bagi warga Brazil, industri
tebu menjadi sumber kesejahteraan, bahkan bagi
pekerja berkualifikasi terendah sekalipun. Ini tidak
ditemukan di industri lain. Industri berbasis tebu
hanya membutuhkan biaya US$ 10 untuk
menciptakan satu kesempatan kerja, lebih rendah
ketimbang industri petrokimia (US$ 200), industri
baja (US$ 145), industri otomotif (US$ 91), industri
pengolahan bahan baku (US$ 70), dan industri
produk konsumsi (US$ 44). Ini yang membuat Brazil
jadi produsen etanol paling efisien dan termurah di
dunia: biaya produksinya (sebelum pajak) US$ 17,5
per barrel (Rp 1.080 per liter).
Keberhasilan ini ditunjang kenyataan bahwa
Brazil merupakan produsen tebu dan eksportir gula
terbesar dunia. Pada 2003/2004, Brasil menghasilkan
gula 20,4 juta ton dan etanol 14 miliar liter. Dari

Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 4

jumlah itu, 9,5 juta ton gula dan 12,7 milyar liter
etanol dipakai untuk konsumsi domestik, sementara
sisanya diekspor. Pada 2005, konsumsi biofuel Brazil
mencapai 13 milyar liter. Jumlah itu berarti
mengurangi 40% dari total kebutuhan bensin.
Produksi etanol tumbuh 8,9% per tahun.
Biodiesel dari singkong dan jarak pagar juga
berkembang pesat di Brazil. Jarak pagar ditanam di
jutaan hektar lahan. Ini tak terlepas dari langkah Liuz
Inacio Lula da Silva, presiden Brazil yang ketika
berkuasa langsung menjadikan biodiesel sebagai
prioritas utama, dengan meluncurkan A Biodiesel
Programme. Pada 2003, Brazil mengkonsumsi solar
38 miliar liter (dimana 6 miliar liternya berasal dari
pasar impor). Dengan beragamnya bahan baku
biodiesel, Brazil diperkirakan berpotensi menjadi
pemain terkemuka biodiesel dunia.
V. PEMBAHASAN DAN ANALISIS UNTUK
KETAHANAN ENERGI INDONESIA
Dalam rangka meningkatkan ketahanan energi
dalam 35 tahun ke depan, tentunya diperlukan
kemandirian dan diversifikasi energi, terutama
karena Indonesia 96% masih bergantung dari energi
fosil, dimana 48% dari minyak bumi yang statusnya
sebagai net importer. Kemandirian energi bertujuan
menyediakan sendiri konsumsi energi, sedangkan
diversifikasi energi bertujuan untuk menyiapkan
pengganti ketika kemungkinan minyak bumi akan
habis dalam 12 tahun lagi dan gas bumi 33 tahun lagi.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
batubara diprediksi akan habis 75 tahun lagi, namun
anehnya 75% produksi malah dijadikan komoditas
ekspor. Hal ini sangat disayangkan ketika batubara
dijual ke luar, padahal apabila diinvestasikan untuk
pembangunan dalam negeri yang masih berkembang
ini, nilai gunanya akan jauh lebih besar. Pada aplikasi
ketenagalistrikan misalnya, untuk meningkatkan
rasio elektrifikasi secara cepat, diperlukan
pembangkit uap dari batubara. Penyebab pengusaha
batubara pada umumnya menjual ke luar negeri
adalah karena kurangnya permintaan batubara dalam
negeri. Sebenarnya ini efek dari belum masifnya
pembangunan infrastruktur pemanfaatan batubara,
sebagai akibat dari dana anggaran yang tidak
bertambah, atau cenderung menurun di tahun 2015.

Indonesia memiliki banyak sumber EBT yang


dapat dijadikan alternatif energi fosil. Pembahasan
dalam tulisan ini akan difokuskan pada EBT dari
geothermal dan biofuel.
A. Geothermal
Reservoar geothermal di Indonesia tergolong
hidrotermal
bertemperatur
tinggi
(>225oC,
berdasarkan skala Hochstein). Dari berbagai tipe
sumber daya energi panas bumi yang dapat
dieksploitasi, sampai saat ini hanya sistem
hidrotermal yang telah dieksploitasi secara
komersial. (Sanyal, 2010).
Upaya pemanfaatan energi panas bumi di
Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1918, dimana
pada tahun tersebut kegiatan eksplorasi panas bumi
pertama kali dilakukan di Kawah Kamojang, Jawa
Barat. Saat ini, potensi panas bumi Indonesia sekitar
29 GW, dimana 40% dari potensi panas bumi dunia
dan merupakan yang terbesar di seluruh dunia.
Namun, berdasarkan data laporan statistik PLN tahun
2012, baru terpasang pembangkit listrik yang
menfaatkan energi panas bumi sebesar 1226 MW
atau sekitar 4 % dari seluruh potensi Indonesia.
Pertamina Geothermal Energy, menyebutkan
bahwa potensi total panas bumi di Indonesia
sebanyak 29 GW adalah setara dengan 12 miliar barel
minyak bumi. Sedangkan, berdasarkan data dari
Kementerian ESDM, cadangan minyak bumi
Indonesia saat ini sebesar 6 milyar barrel. Hal ini
berarti, jika energi panas bumi dimanfaatkan secara
optimal, ketergantungan terhadap energi fosil dapat
berkurang.
Lebih lanjut, dari aspek ekonomi, akibat dari
bentuk panas bumi yang tidak dapat disimpan dan
tidak dapat ditransportasikan dalam jarak jauh,
kondisi ini membuat panas bumi terlepas dari
dinamika harga pasar. Selain itu, panas bumi
merupakan alternatif yang sangat baik bagi bahan
bakar fosil terutama untuk pemanfaatan pembangkit
listrik dan dalam rangka mengurangi subsidi energi.
Tantangan dalam pemanfaatan panas bumi adalah
biaya eksplorasi yang tinggi dan proses produksi
yang juga beresiko tinggi, yaitu resiko tidak
ditemukan energi panas di daerah yang sedang
dieksplorasi atau energi listrik yang kurang
komersial. Resiko lainnya adalah kemungkinan

Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 5

penurunan laju produksi atau penurunan temperatur


yang lebih cepat dari estimasi semula.
Semenjak 2012 Indonesia memang telah menjalin
kerja sama untuk belajar dalam hal pemanfaatan
panas bumi dari NZ, yang sudah sejak tahun 1958
berhasil menghasilkan listrik dari panas bumi dan
konsisten hingga sekarang, serta memiliki kemiripan
tektonik dengan Indonesia, yaitu berada pada zona
ring of fire. Namun, agar pemanfaatan energi panas
bumi Indonesia, yang 40% potensi dunia lebih
maksimal, tentunya diperlukan peningkatan anggaran
yang signifikan untuk infrastruktur ketahanan energi.
B. Biofuel
Berbeda dengan di Indonesia yang jadi sampah,
ampas tebu di Brazil adalah berkah. Ampas ini
dibakar untuk menghasilkan panas guna menjalankan
penyaring dan mesin lain di pabrik. Untuk produksi,
pabrik hanya membutuhkan daya 60 MW dari 160
MW yang diproduksi. Sehingga, pabrik etanol
mendapat pemasukan tambahan dari penjualan
listrik, karena harganya cukup bersaing (US$ 30-40
per MWh).
Keberhasilan Brazil dalam mengembangkan
energi terbarukan disebabkan oleh empat hal.
Pertama, soal kelembagaan. Perumusan kebijakan
umum industri berbasis tebu berada di bawah
wewenang Badan Pengembangan Gula dan Alkohol,
sebuah badan di bawah Kementerian Pertanian.
Badan ini bertugas memformulasi kebijakan sektor
gula dan alkohol (dengan mengembangkan teknologi
sosial dan perdagangan) untuk menciptakan produk
yang
berkualitas
dan
kompetitif.
Kedua,
mengoptimalkan pasar domestik. Tiap tahun
dikeluarkan keputusan presiden untuk menetapkan
rentang kadar alkohol yang dicampur dalam bensin
yang dijual. Ketiga, dukungan finansial. Pemerintah
menyediakan kredit berbunga rendah (11-12 %,
sementara bunga pasar 26 %) kepada pengusaha dan
petani yang mengembangkan energi terbarukan.
Keempat,
dukungan
lembaga
riset
dan
pengembangan. Di bawah The Brazilian Agriculture
Research Corporation, sebuah badan di bawah
Departemen Pertanian, dilakukan berbagai penelitian
dan pengembangan bidang bioteknologi dengan
orientasi pada terciptanya proses produksi agrobisnis
yang modern, efisien, dan kompetitif.

Dari empat faktor itu, di Indonesia baru ada dua:


pasar domestik yang besar dan lembaga riset
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia, perguruan tinggi, dan lainlain). Sementara terhadap kelembagaan dan
dukungan finansial, perlu dilakukan perumusan.
Kedua faktor ini termasuk paling krusial di Indonesia.
Dari pembahasan di atas maka diperlukan
pemahaman bahwa komoditas SDE merupakan
modal pembangunan nasional dan sebagai negara
yang memiliki hutang, akan lebih bijak bila hutang
itu dipakai ke anggaran untuk pembangunan
infrastruktur (terutama infrastruktur ketahanan
energi), dibanding dipergunakan untuk menopang
konsumsi
energi
sehari-hari.
Hasil
yang
kemungkinan diperoleh dari penerapan pemahaman
tersebut adalah ketahanan dan kemandirian
pemanfaatan energi, serta peningkatan rasio
elektrifikasi yang lebih signifikan.
VI. KESIMPULAN

Dalam tulisan Ketahanan Energi Indonesia: Studi


Kemandirian Pemanfaatan Energi dalam 35 tahun ke
depan, dapat disimpulkan beberapa hal sbb.
1. Pemerintah Indonesia perlu belajar dari
pemerintah New Zealand dan Brazil, yang dari
masa
ke
masa
konsisten
mendukung
pengembangan Energi Baru dan Terbarukan
(khususnya geothermal dan biofuel).
2. Dalam rangka mencapai ketahanan energi,
Indonesia seharusnya mampu untuk mandiri,
sebab sangat banyak potensi EBT yang belum
termanfaatkan secara optimal.
3. Indonesia perlu menjadikan komoditas batubara
sebagai modal pembangunan nasional, serta
mengalokasikan
anggaran
subsidi
pada
pembangunan infrastruktur yang menunjang
ketahanan energi.
4. Apabila masyarakat dan pemerintah dapat saling
mendukung dalam mengusahakan kemandirian
pemanfaatan energi maka cadangan energi
penyangga dan strategis dapat segera
terealisasikan, rasio elektrifikasi dapat meningkat
secara signifikan, serta tentunya berimplikasi ke
pertumbuhan ekonomi dalam 35 tahun ke depan.

Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 6

REFERENSI
[1] BPPT (2014). Outlook Energi Indonesia.
[2] DEN (2014). Outlook Energi Indonesia.
[3] http://www.indonesiainvestments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/item236
[4] APBN Indonesia 2015
(www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/bibfin.pdf)
[5] World Energy Council. World Energy Trilemma 2014
(https://www.worldenergy.org/data/trilemma-index/)
[6] http://print.kompas.com/baca/2015/03/05/KetahananEnergi-Indonesia-Rapuh
[7] International Energy Agency (2014). World Energy
Outlook. (www.iea.org/textbase/npsum/weo2014sum.pdf)

[8] https://andri0204.wordpress.com/2013/10/16/panas-bumisebagai-sumber-energi-masa-depan/
[9] http://writingcontesttotal.bisnis.com/artikel/read/20150402/404/418661/energi
-panas-bumi-energi-yang-berlimpah-di-indonesia-namunbelum-dimanfaatkan-secara-optimal
[10] Sanyal, S. K. (2010). Future of Geothermal Energy. ThirtyFifth Workshop on Geothermal Reservoir Engineering.
Stanford, California.
[11] http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5665&c
oid=1&caid=58&gid=5
[12] http://www.esdm.go.id/berita/323-energi-baru-danterbarukan/3055-perkembangan-biofuel-di-beberapanegara.html?tmpl=component&print=1&page=

Tugas Pra UAS Manajemen dan Ekonomi Energi (Genap 2014/2015) | 7

Anda mungkin juga menyukai