Anda di halaman 1dari 7

A.

Latar Belakang

Energi memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Energi dapat mencapai
keseimbangan antara tujuan pembangunan berkelanjutan, termasuk aspek sosial, ekonomi
dan lingkungan. Selain itu, energi juga berperan sebagai penggerak utama bagi
pengembangan sektor lainnya, khususnya industri. Tingkat konsumsi energi juga dapat
menjadi salah satu indikator kemajuan pembangunan suatu negara. Hal ini karena
pertumbuhan ekonomi, kekayaan masyarakat dan pertumbuhan penduduk dikaitkan
dengan konsumsi energi yang cepat. Konsumsi yang cepat juga membawa tantangan baru,
terutama dalam hal efisiensi konsumsi energi.

Pada bulan April 2011, Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa, sebagai aspek
pembangunan berkelanjutan, merekomendasikan agar pengembangan energi yang
dilakukan oleh aktor di sektor publik dan swasta pada akhirnya meningkatkan akses energi
dari menjadi di sektor energi. produksi dan konsumsi energi domestik juga bertujuan untuk
berkontribusi pada upaya perlindungan iklim global. Oleh karena itu, upaya ini memerlukan
pengelolaan sumber daya yang lebih baik, dan penggunaan energi yang lebih efisien dapat
mendorong prioritas pembangunan berkelanjutan. Pesan ini tidak berlebihan. paradigma
ekonomi riil. Paradigma ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan
kerusakan lingkungan, kesempatan kerja baru, dan peningkatan kualitas pertumbuhan
ekonomi dapat terus didorong dalam jangka panjang.

Indonesia memiliki potensi sumber energi fosil dan non fosil yang melimpah. Namun,
mengacu pada Energy Sustainability Index , keadaan sistem energi Indonesia belum tertata
dengan baik. Sebagai contoh, pada tahun 2013, menempatkan Indonesia pada peringkat 73
dari 129 negara dalam pengelolaan energi terbaik .Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
efisiensi penggunaan energi yang optimal belum tercapai. Penggunaan 4.444 bahan bakar
fosil seperti minyak, gas dan batubara dominan.

Data Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) 2016 menunjukkan bahwa minyak, batu bara,
dan gas bumi masih berperan dominan dalam memenuhi kebutuhan energi negara. Peran
minyak dan batu bara masih 46,21%, dan gas bumi masih di kisaran 18%. Energi terbarukan,
di sisi lain, hanya berkontribusi 5%. Situasi ini merupakan kerentanan terhadap ketahanan
energi bangsa. Selain itu, kerentanan ini juga disebabkan oleh permintaan energi yang tinggi
dan ketergantungan yang terus meningkat pada penggunaan bahan bakar fosil. Dengan
demikian, kecuali cadangan energi (fosil) baru dan teknologi non-tradisional ditemukan
dalam eksplorasi dan pengembangan, situasi ketidaksetaraan besar antara pasokan dan
permintaan energi nasional akan tetap ada.

Karakteristik sumber energi fosil bersifat tidak dapat diperbarui , karena cadangannya
terbatas dan terus berkurang hingga (habis). Situasi ini berarti kerentanan keamanan energi
nasional. Selain itu, kerentanan ini juga disebabkan oleh permintaan energi yang tinggi dan
ketergantungan yang terus meningkat pada penggunaan bahan bakar fosil. Oleh karena itu,
kecuali ada cadangan energi (fosil) baru dan teknologi yang tidak konvensional dalam
eksplorasi dan pengembangannya, akan terus ada ketidaksetaraan yang tinggi di seluruh
negeri antara permintaan dan pasokan energi.Gambar(1).
Berdasarkan beberapa penelitian juga diketahui bahwa ketergantungan pada energi fosil
memiliki dampak negatif lingkungan yang terus menerus berupa pencemaran lingkungan,
perubahan iklim, dan pemanasan global. Pada saat yang sama, ini juga merupakan
tantangan besar bagi pemerintah. Hasil Konferensi Bangsa-Bangsa ke-21 (COP 21) Konvensi
PBB tentang Perubahan Iklim di Paris, Prancis pada tahun 2015 menunjukkan bahwa
orang, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
sebesar 29 % menjadi pada tahun 2030. Diketahui sebagai Paris Agreement, hasil COP 21
dan kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang
Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework

Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja


Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), menegaskan pentingnya
pencapaian target ambang batas peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius dan
berupaya menekan batas kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius di atas suhu bumi pada
masa praindustri.

Berdasarkan uraian di atas dan besarnya potensi sumber energi alternatif khususnya dari
sumber terbarukan, memaksa pemerintah untuk memprioritaskan pengembangan sumber
energi baru dan terbarukan (EBT). Tujuannya tentu untuk mencapai kedaulatan, ketahanan,
dan kemandirian energi nasional. Hal ini tidak berlebihan karena data resmi pemerintah
menunjukkan bahwa potensi sumber energi terbarukan Indonesia mencapai 441,7 GW
tetapi baru 9,07 GW atau 2% yang dimanfaatkan.

Sumber energi baru diartikan sebagai sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi
baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tidak
terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batubara
tercairkan (liquified coal), dan batubara tergaskan (gasified coal). Sementara itu, sumber
energi terbarukan diartikan sebagai sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi
yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar
matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Optimalisasi pemanfaatan besarnya potensi sumber EBT juga sejalan dengan amanat tujuan
pembangunan nasional sebagaimana telah ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum. Amanat ini juga sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun
1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.

Arah kebijakan ini juga ditujukan untuk mencapai kedaulatan, ketahanan, dan kemandirian
energi nasional. Dan yang tidak kalah strategisnya adalah mendorong terpenuhinya akses
seluruh masyarakat terhadap sumber energi khususnya mereka yang berada di pulau-pulau
terluar. Dalam kerangka mencapai upaya terobosan inilah, penyiapan perangkat kerangka
hukum yang komprehensif dalam pengembangan EBT diharapkan dapat menjamin
pengembangannya.
B. Dasar Pemikiran atau Undang-undang

Pusat Penelitian Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menyoroti RUU Energi Baru
Terbarukan (RUU EBT) yang belum disahkan. Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber
energi non-fosil yang melimpah, namun tidak dikelola dengan baik. Karena ketergantungan
kita pada energi fosil memiliki efek jangka panjang terhadap lingkungan dalam bentuk
polusi, perubahan iklim dan pemanasan global. Berdasarkan beberapa penelitian,
ketergantungan yang berlebihan pada bahan bakar fosil dilaporkan berdampak buruk bagi
lingkungan berupa polusi, perubahan iklim, dan pemanasan global.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan
(PUSHEP) dengan tema diskusi “Isu-Isu Krusial dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan”,
23/4/2021, Akmaluddin Rachim mengatakan bahwa menghadapi kondisi tersebut,
pemerintah telah menetapkan kebijakan pengoptimalan penggunaan EBT. Melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Dalam kebijakan tersebut pemerintah telah menetapkan peran EBT paling sedikit mencapai
23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Kebijakan penerapan peran EBT ini
sebenarnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Menurut Akmaluddin, arah kebijakannya adalah mewujudkan kedaulatan energi, ketahanan


dan kemandirian bangsa, serta mempermudah akses sumber energi bagi semua, terutama
yang berada di pulau-pulau terpencil. Sebagai bagian dari upaya perintis ini, Akmaluddin
lebih lanjut mengatakan bahwa kerangka hukum yang komprehensif untuk pengembangan
EBT harus disiapkan, yang diharapkan dapat memastikan pengembangan EBT. Memang,
untuk menjawab kebutuhan tersebut, pemerintah dan DPR telah mengembangkan UU EBT.

Kebijakan tersebut, menurut Akmaluddin Rachim, menjadi modal politik bagi pemerintah
dalam membentuk RUU EBT. Bahwa telah ada kesepakatan global untuk mengatasi dampak
lingkungan, perubahan iklim akibat dari kegiatan pertambangan serta pemanasan global,
maka perlu didorong pembentukan undang-undang mengenai pengelolaan dan
pemanfaatan EBT.

Akmaluddin menjelaskan bahwa secara filosofis, pembentukan undang-undang tentang EBT


merupakan jawaban terhadap tujuan negara mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia. Upaya negara untuk mewujudkan kesejahteran bagi rakyat diamanatkann dalam
UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan
bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara. Selanjutnya, Pasal Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih
lanjut dijelaskan Akmaluddin bahwa ketentuan mengenai EBT saat ini sudah diatur dalam
berbagai undang-undang. Selain yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang
Energi, pengaturan EBT juga dapat ditemukan dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan dan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Untuk mendukung
upaya dan program pengembangan EBT, terdapat beberapa peraturan pelaksanaa yang
telah ada antara lain Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional,

Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi

Nasional, Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi

Energi, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan serta Konservasi Energi.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang ada tentang energi baru dan
terbarukan masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut
Akmaluddin, saat ini regulasi yang dikeluarkan pemerintah tentang EBT sering mengalami
perubahan dan tidak diatur secara komprehensif oleh undang-undang, sehingga tidak ada
dasar hukum atau kepastian hukum yang kuat, tidak dapat dijamin. Oleh karena itu,
diperlukan pengaturan khusus dalam undang-undang tersendiri yang mengatur EBT sebagai
dasar hukum dan mengacu pada undangundang yang mendasarinya.

Adapun, Akmaluddin menyampaikan bahwa adapun isu-isu krusial dalam RUU EBT antara
lain terkait dengan konsep hak menguasai negara dalam RUU EBT. Ketentuan konsideran
yang menyatakan bahwa “energi baru dan terbarukan sebagai sumber daya alam strategis
yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi telah mengatur
bahwa sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir
dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketentuan ini secara spesifik menyebutkan bahwa hanya energi fosil, panas bumi,
mikrohidro, serta nuklir dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sementara dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2007
tentang Energi mengatur bahwa sumber daya energi baru dan sumber daya energi
terbarukan diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Isu berikutnya adalah terkait denga peran dan kewenangan pemerintah daerah. Terkait
dengan peran dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan, pengembangan dan
pemanfaatan EBT pada dasarnya belum sepenuhnya diakomodasi dalam RUU EBT. Dalam
RUU EBT Pemerintah Daerah dibebankan diwajibkan menyediakan sarana dan prasarana
dalam pengelolaan dan pemanfaatan EBT. Namun di sisi lain Pemerintah Daerah memiliki
keterbatasan wewenang dan anggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan EBT.

Adapun dalam perkembangannya, RUU EBT sampai saat ini masih belum disahkan. Menurut
Mahawira S. Dillon, perkembangan RUU EBT ini masih dalam tahap pembahasan Komisi VII
DPR RI. Menurutnya, pembahasan RUU EBT dilakukan dengan kurang terbuka sehingga
masyarakat sipil tidak dapat mengakses draf yang definitif. Selain itu, jadwal rapat sering
tertutup dan RDP yang kurang menjangkau masyarakat luas. Keadaan ini membuat tidak
adanya saling mengawasi dan memberikan masukan terhadap substansi RUU.

Kelemahan RUU EBT saat ini, menurut Mahawira, adalah belum terkonsolidasinya
inventarisasi potensi sumber daya energi. Konsep konseling dan dukungan yang dijelaskan
dalam teks ilmiah tidak termasuk dalam rancangan EBT. Selain itu, terdapat beberapa
tumpang tindih yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya terkait dengan
UU No. 30/2007. Kelemahan lainnya adalah potensi ketidakpastian hukum, karena tidak ada
pembagian kekuasaan dan fungsi yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah.

C. Program Jangka Pendek

Menteri ESDM Ignacius Jonan mengatakan enam program akan diprioritaskan pada 2017.
Ketujuh program tersebut adalah Hilir, Revisi PP 79 2010, Masela, Mahakam, Penyelesaian
Blok East Natuna, Kebijakan Harga BBM, dan Kilang BBM. Dua program tambahan lainnya
adalah Percepatan Proyek 35.000 MW dan Partisipasi Daerah.

Enam program menjadi program prioritas jangka pendek Kementerian ESDM, pertama kita
akan menyelesaikan masalah hilirisasi minerba, yang kedua itu menyelesaikan revisi
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2010 terkait masalah cost recovery, ketiga
menyelesaikan permasalahan, Blok Mahakam, Masela dan East Natuna."Ini prioritas karena
ini sesuai arahan Presiden juga, ini harus diselesaikan," ujar Jonan dalam acara temu dengan
media hari ini. Rabu (26/10).

Program selanjutnya, keempat kebijakan BBM satu harga, ini harusnya sudah lari, kelima
pengelolaan harga gas supaya sampai di plan gate atau sampai ditangan konsumen itu bisa
lebih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya terutama negara yang
tidak punya gas.

Program prioritas yang harus segera dilaksanakan yakni masalah refinery. Refinery migas itu
kita mendukung upaya jumlahnya makin lama jumlahnya makin besar dan jika Pertamina
belum bisa maka dapat juga melibatkan pihak swasta."Kebutuhan kita itu kira-kira 1,6 juta
barel per hari untuk BBM, nah kapasitas terpasang refinery kita 1,1 juta barel dengan
efektifitas sekitar 800.000 barel, ini harus ditingkatkan," jelas Jonan.

Prioritas terakhir adalah kepemilikan saham daerah atau PI (Participating interest) yang
menjadi hak Pemerintah Daerah apapun bentuk namanya itu sebaiknya memang harus
dimiliki Pemerintah Daerah. Kalau Pemerintah Daerah tidak punya uang yang idealnya
adalah dibiayai oleh sponsor utamanya.

D. Program Jangka Panjang


1. Masuknya Investor Asing

LG Energy Solutions telah resmi menandatangani Memorandum of

Understanding (MoU) dengan pemerintah untuk proyek pabrik baterai EV. Hingga akhir
tahun 2020, perusahaan telah berkomitmen untuk menginvestasikan US$9,8 miliar atau
sekitar Rp. 142 triliun di industri baterai dari hulu hingga hilir.

Fasilitas ini akan mengintegrasikan seluruh rantai pasokan baterai mulai dari pertambangan,
peleburan, prekursor, katoda, otomotif hingga pabrik daur ulang. Semua sistem dibangun di
Indonesia. MoU antara pemerintah dan LG menyepakati bahwa 70% dari nikel yang
digunakan untuk memproduksi baterai kendaraan listrik harus diproses di Indonesia.
Investor lain yang berencana berinvestasi di industri baterai kendaraan listrik adalah
Contemporary Amperex Technology (CATL). Perusahaan berencana menginvestasikan
hingga US$ 5 miliar atau Rs 70 triliun untuk membangun pabrik baterai lithium di Indonesia.
Pemerintah akan mewajibkan CATL untuk mengolah 60% nikel yang digunakan pada baterai
kendaraan listrik di Indonesia.

2. Insentif Investasi
Investasi pengolahan nikel merupakan salah satu dari 17 sektor ekonomi yang
berhak mendapatkan insentif pajak dan non-pajak. Insentif pajak dan non-pajak segera
tersedia bagi investor yang mengajukan Izin Usaha Terintegrasi Elektronik Berbasis
Risiko (OSSRBA). BKPM juga memfasilitasi akses izin usaha. Semua izin usaha yang
memerlukan persetujuan di tingkat departemen/lembaga dan kota dapat ditangani
langsung melalui layanan satu atap OSS-RBA.

E. Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Salah
satunya adalah Nikel. Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel yang melimpah
dan menjadi komoditas unggulan di Indonesia. Penggunaan nikel di Indonesia sudah mulai
diumumkan ke dunia. Dimulai dengan kebijakan embargo dan pembangunan pengecoran
logam di dalam negeri akan meningkatkan nilai tambah bahan baku nikel. Ditambah dengan
produksi kendaraan bermotor listrik dunia yang terus berlanjut, hal ini memberikan dampak
yang menguntungkan bagi Indonesia karena bahan baku baterai Lithium ion terutama
terdiri dari kobalt dan nikel. Hal ini mendorong investasi di sektor energi di Indonesia.
Berpartisipasi dalam pengembangan energi ini akan memberikan dampak positif bagi
Indonesia, seperti dari segi ekonomi, sumber daya manusia, transfer pengetahuan, dan lain-
lain.

F. Referensi
Bpkm.co.id. 13 Januari 2020. Nikel Untuk Kesejahteraan Bangsa. Diakses pada 29 Oktober
2022. Melalui

https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/nikel -untukkesejahteraan-bangsa

Bphn.go.id.Desember 2016. Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan

Evaluasi Hukum Dalam Rangka Kedaulatan Energi. Diakses pada tanggal

29 Oktober 2022.Melalui

https://www.bphn.go.id/data/documents/kedaulatan_energi.pdf

Dpr.go.id. Juni 2021. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

Tentang Energi Baru dan Terbarukan, Komisi VII Dewan Perwakilan


Rakyat Republik Indonesia 2021. Diakses pada tanggal 29 Oktober

2022.Melalui

https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K7 -RJ-20210723-1200377002.pdf

Kemenperin.co.id/22 Februari 2021. Upaya Pemerintah pada Pertumbuhan Industri


Kendaraan Listrik. Diakses pada 29 Oktober 2022. Melalui
https://kemenperin.go.id/artikel/22304/Upaya-Pemerintah-pada-

Pertumbuhan-Industri-Kendaraan-Listrik

Sampe L. Purba, “Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan Energi,” Media Indonesia, 8


September 2016,

http://www.mediaindonesia.com/news/read/65854/ketahanan kemandirian- atau-


kedaulatan-energi/2016-09-08. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai