Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ari Hastanto

NIM : 30000422410004
Program Studi : Magister Energi

Dosen: Prof. Dr. Ir. Widayat, S.T., M.T., IPM., ASEAN Eng

Opini terkait Rencana Strategis Dirjen Energi Baru, Terbarukan,

dan Konservasi Energi 2020-2024

Program strategis pemerintah dalam rangka meningkatkan penggunakan energi baru


terbarukan (EBT) harus kita dukung sepenuhnya, karena penggunaan sumber daya EBT ini
sudah tak terelakkan dan pilihan wajib demi kelangsungan hidup manusia dan kelestarian alam.
Melihat track record perkembangan perusahaan yang sudah menandatangani kontrak untuk
mendirikan pembangkit dengan teknologi EBT semakin meningkat dari tahun ke tahun sejak
tahun 2014, puncaknya pada tahun 2019, 127 kontrak dilakukan dengan total daya 4.787 MW,
tentu saja menjadi angin segar bagi perkembangan di dunia pembangkitan energi di Indonesia
yang masih sangat tergantung pada energi fosil.

Potensi penerimaan negara juga semakin meningkat seiring semakin banyaknya


penggunaan teknologi EBT. Dilihat dari trend penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahun
2019 mencapai 1,97 triliun rupiah, atau 219% dari target, tentu saja menjadi hal yang sangat
menggembirakan. Hal ini dikarenakan semakin efisiensi biaya operasional perusahaan,
rendahnya biaya operasi, klaim asuransi pengeboran, reimbursement PPN, hingga kenaikan
kurs.

Statistik pencapaian pengembangan energi panas bumi nampak dengan semakin


meningkatnya kapasitas yang terpasang dari tahun ke tahun, yang sebanding dengan kenaikan
tingkat prosuksi dan bonus produksi. Potensi yang sangat besar ini dikarenakan penelitian yang
menunjukkan panas bumi berpotensi 23,9 GW, sangat jauh dari kapasitas terpasang saat ini,
yaitu 2,1 GW. PLTP juga lebih handal dibandingkan energi fosil, terkait dengan waktu
pengoperasian lebih dari 30 tahun, pengembangan infrastruktur, tidak perlu bahan bakar, harga
stabil, dan faktor ketersediaan hingga 95%. Bila diusahakan dan didukung dengan maksimal,
termasuk kemudahan investasi dan dalam hal birokrasi, PLTP tentu bisa menjadi solusi terbaik
di daerah yang berpotensi. PLTP ini menjadi sustainable dan bisa diandalkan saat dikelola
dengan baik.

Terkait potensi pengembangan bioenergi di beberapa propinsi di Indonesia adalah pada


tahap inisiasi, dengan total 32.654 Mwe. Tantangan pada pengembangan bioenergi adalah
1
Nama : Ari Hastanto
NIM : 30000422410004
Program Studi : Magister Energi

harga yang sangat fluktuatif terhadap bahan baku, yang merupakan 60% dari komponen
produksi. Kurang minatnya investasi karena teknologi yang masih terlalu mahal dan juga
sedikitnya lahan. Jika melihat dari kondisi ketahanan pangan di Indonesia, pemanfaatan
bioenergi berbahan baku seperti kelapa sawit sepertinya bisa menjadi solusi yang menarik
mengingat Indonesia adalah pemilik lahan kelapa sawit terbesar di dunia. Namun, pengolahan
bahan baku lain nampaknya kurang menjadi solusi yang baik dikarenakan menggunakan bahan
pangan yang juga dibutuhkan masyarakat untuk hidup. Meskipun beberapa pengolahan
bioenergi menggunakan limbah, tetapi tetap limbah ini akan jarang bila harga bagian utamanya
sedang tinggi. Pembangkit listrik dengan bioenergi sepertinya kurang menjadi sustainable bila
melihat dengan tingkat kemandirian bahan baku dan kebutuhan masyarakat.

Untuk potensi PLTA di Indonesia, sudah jauh berkembang dengan capaian total 75.091
MW. Potensi pembangkit listrik dengan menggunakan sumber daya air ini sangat cocok dengan
iklim di Indonesia dengan curah hujan yang cukup tinggi. Tantangan dalam pembangunan
PLTA mini atau mikrohidro yang paling utama adalah permintaan atau demand yang biasanya
terlalu jauh dengan ketersediaan sumber energi, hal ini dikarenakan lokasi air yang
menggerakkan turbin terlalu jauh. Serta kapasitas pembangkitan yang tidak bisa besar, dan juga
drop tegangan cukup tinggi. Meskipun tantangan tidak sedikit, PLTA bisa menjadi sustainable
saat ditemukan teknologi yang tepat dan dapat memenuhi cukup satu area saja tanpa harus
terhubung on-grid.

Pada pemanfaatan tenaga surya dengan PLTS, pertumbuhannya paling signifikan


dengan total 207.898 MW di seluruh Indonesia. Hal ini didukung dengan posisi geografis
Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, sehingga cenderung memperoleh sinar matahari
sepanjang tahun. Melihat dari RENSTRA 2020-2024, harga jual listrik, regulasi perusahaan,
dan rendahnya kualitas SDM, adalah kendala yang dialami dalam pengembangan PLTS di
Indonesia. Hal-hal ini tentu saja tidak terlalu menjadi penghalang serius jika pemerintah
Indonesia benar-benar mau dan konsisten dalam pengembangan PLTS, serta menjadikan PLTS
sebagai keputusan politik. Karena melihat pesatnya industri lain, baik dalam bidang
perminyakan, pertambangan, atau pembangkitan energi, kemampuan SDM Indonesia sudah
cukup baik selama didukung pemerintah dengan regulasi yang sesuai. Berdasarkan hal ini,
PLTS bisa menjadi sustainable.

2
Nama : Ari Hastanto
NIM : 30000422410004
Program Studi : Magister Energi

Mengenai potensi tenaga angin di Indonesia, pemanfaatan PLTB (bayu/angin) cukup


menjanjikan karena saat ini kapasitas di seluruh Indonesia terpasang sudah jauh lebih besar
dari PLTA, walaupun belum sebesar PLTS, yaitu 60.647 MW. Hal ini sesuai dengan kondisi
Indonesia yang memiliki garis pantai panjang dan otomatis berpotensi terdapat aliran angin
yang sesuai dengan kebutuhan untuk memutar turbin angin. Namun pengembangan PLTB ini
masih terbentur cukup banyak kendala, seperti program dan anggaran pemerintah yang masih
sangat terbatas, teknologi pembuat komponen, iklim dan kondisi yang kurang kondusif
termasuk lokasi di pinggir pantai yang korosif, hingga kualitas SDM. Berdasarkan potensi
sumber daya energi, PLTB dapat menjadi sustainable saat pemerintah sudah benar-benar fokus
dan berani mengambil teknologi yang lebih mumpuni dan mahal, seperti di Belanda, namun
dengan dampak jangka panjang yang cukup menjanjikan.

Pada tujuan utama dari konservasi energi, yaitu pengurangan emisi gas CO2, tentu saja
pengembangan EBT adalah pilihan yang sangat sesuai, bahkan bisa jadi tidak hanya
mengurangi melainkan tanpa emisi CO2 pada beberapa jenis pembangkit. Potensi ini diprediksi
menurunkan emisi hingga 170.39 juta ton CO2 pada tahun 2030. Kerangka regulasi untuk
pengembangan EBT yang saat ini sudah dan sedang diamati oleh Kementerian ESDM harus
tepat sasaran dan benar-benar mendukung tanpa menghalangi, terutama pada proses birokrasi.
Visi misi Kementerian ESDM ini yang sudah sesuai dengan Perpres no. 7 tahun 2015, hanya
tinggal diimplementasikan sebenar-benarnya pada tahap pelaksanaan agar tidak hanya berhenti
pada regulasi kosong tanpa perlakuan berarti di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai