Anda di halaman 1dari 30

MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ENERGI LISTRIK

BIOGAS LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT


DI KABUPATEN MUSI RAWAS

DISERTASI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT


MEMPEROLEH GELAR DOKTOR
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Oleh :
TEDDY LASZUARDY
E3B023004

PROGRAM STUDI DOKTOR


PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM (S3)
FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BENGKULU
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Isu Pemanasan global adalah isu lingkungan yang menjadi topik lokal, nasional dan

internasional. Penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu cara untuk mengurangi

pemanasan global. Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) yang memiliki prospek

potensial cukup besar untuk dikembangkan adalah berbahan baku limbah kelapa sawit.

Energi Baru Terbarukan (EBT) terus meningkat sebagai wujud pengarusutamaan

energi masa depan dan bagian pembangunan berkelanjutan. Berbagai negara di dunia

terutama negara maju sudah memanfaatkan energi ini, sedangkan pada negara dunia ketiga

termasuk Indonesia masih banyak kendala dalam pengembangan EBT. Salah satu

pemicunya adalah kebijakan energi yang belum memihak pada energi alternatif ini. Negara

berkembang masih melihat energi fosil masih dijadikan sumber energi murah dan bahan

bakar ini harus tetap mendapatkan porsi utama dengan pemberian subsidi dari anggaran

negara yang pada akhirnya menghambat pengembangan EBT.

EBT dapat menjadi sumber energi pengganti dari sumber energi yang pada umunya

digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Saat ini peningkatan kebutuhan energi

didominasi oleh energi fosil yang tak terbarukan dan tentunya tak ramah lingkungan

(Armstrong Internal Magazine, 2014). Konversi energi dari fosil ke non fosil mempunyai

banyak tantangan seperti besarnya biaya investasi dan belum adanya pemetaan sumber

energi Energi terbarukan dari berbagai sumbernya termasuk biomassa memiliki potensi

sebagai pengganti peran sumber energi fosil dimasa yang akan datang. Fungsi pengganti ini
dimaksudkan sebagai pengganti energi fosil apabila suatu waktu energi ini tidak tersedia

lagi.

Sumber energi alternatif ini dapat digunakan sebagai penyedia energi seperti energi

listrik maupun sebagai sumber bahan bakar. Tantangan dan hambatan dalam

pengembangan energi terbarukan, diantaranya adalah seperti hambatan teknologi,

hambatan pendanaan, dan ketersediaan bahan baku dan regulasi yang mendukung

pengembangan EBT. Hambatan ini dianggap sebagai hambatan utama dalam

pengembangan energi terbarukan. Beberapa hambatan lainnya yaitu seperti hambatan

konsistensi dalam upaya mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.

Perkebunan kelapa sawit menjadi tanaman yang penting dan menjadi sektor

unggulan bagi Indonesia karena menjadi penyumbang devisa negara. Luas perkebunan

kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 15.081.021 ha dengan

produktivitas 3,987 ton/ha/tahun (Kementerian Pertanian, 2021). Khusus Provinsi

Sumatera Selatan pada tahun 2019 milik perkebunan swasta besar sejumlah 478.251 ha

dan rakyat 637.676 ha (Dirjen Perkebunan, 2019).

Pada pengolahan tandan buah segar menjadi minyak kelapa sawit kasar (CPO),

diperoleh sebesar 21,5-23 persen dan 55 kg inti sawit (palm kernel;PK sisanya berupa hasil

sampng atau limbah berbentuk padat, cair, dan gas. Limbah padat terdiri atas tandan buah

kosong (16-23%, serat perasan buah (11-26%) inti sawit (4%), cangkang (4-6%), dan

limbah padat lain (16,5%). Pada pengolahan 1 ton tandah buah segar (TBS) juga dihasilkan

0,7 m3 air limbah. Air limbah kelapa sawit atau palm oil mill effluent (POME) merupakan

air limbah yang dihasilkan dari proses ekstraksi, pencucian, dan pembersihan minyak.
Pada proses penguraian POME akan menghasilkan biogas yang merupakan gas

terbentuk secara alami ketika limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) terurai tanpa adanya

oksigen. Tanpa dimanfaatkan, gas ini merupakan kontributor yang tidak diinginkan dan

berpotensi berbahaya. Biogas biasanya terdiri dari 50-75% metana (CH4), 25-45% karbon

dioksida (CO2), dan gas lainnya. Ketika pengumpulan POME tidak terkontrol, CH4

dilepaskan secara langsung ke dalam atmosfer dan merupakan gas rumah kaca (GRK)

dimana metana adalah 21 kali lebih kuat dari CO2.

Di sisi lain, gas methana ini juga memiliki tingkat energi yang cukup tinggi. Gas

methana ini memiliki nilai kalor 50,1 MJ/kg. Jika densitas methana 0,717 kg/m3 maka 1

m3 gas methana akan memiliki energi setara dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh. Jika

kandungan gas methana adalah 62% dalam biogas, maka 1 m3 biogas akan memiliki

tingkat energi sebesar 6,2 kWh. Hal ini berarti gas methana dari limbah POME punya

potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi.

Pembangkit listrik tenaga biogas mengambil manfaat dari proses penguraian alami

untuk membangkitkan listrik. Limbah cair organik yang dihasilkan selama produksi kelapa

sawit merupakan sumber energi besar yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia.

Mengubah POME menjadi biogas untuk dibakar dapat menghasilkan energi sekaligus

mengurangi dampak perubahan iklim dari proses produksi minyak kelapa sawit.

Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik

Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit

Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Oleh PT Perusahaan

Listrik Negara (Persero) yang menunjukkan bahwa pemerintah telah mendukung upaya

pengembangan energi listrik dari biogas.


Pemerintah dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menyatakan

bahwa penggunaan EBT ditargetkan pada tahun 2025 mencapai 25% dan pada tahun 2050

sebesar 31% dari total penggunaan energi nasional. PT. PLN (Persero) sebagai perusahaan

listrik nomor satu nasional ikut serta dalam upaya mendukung kebijakan pemerintah.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan pengkajian ilmiah terkait
model kebijakan pengembangan Energi Listrik Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit di
Kabupaten Musi Rawas.

1.2. Rumusan Masalah

Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara merupakan sumber energi

utama di Indonesia, akan tetapi sumber energi tersebut berdampak merusak lingkungan

termasuk pencemaran udara, emisi gas rumah kaca dan pemanasan global. Permasalahan

lain adalah tingginya harga bahan bakar fosil, kenaikan jumlah impor minyak bumi akibat

konsumsi bahan bakar nasional, serta cadangan minyak bumi yang semakin menipis.

Kebutuhan energi nasional diketahui bahwa lebih dari 50% penggunaannya didominasi

oleh bahan bakar fosil, untuk itu pengembangan energi alternatif menjadi pilihan yang

penting. Sudah saatnya Indonesia memutuskan ketergantungan terhadap sumber energi

fosil beralih ke sumber energi alternatif berbahan baku nabati yang sifatnya terbarukan

(Hambali et al. 2007).

Tantangan Potensi Penyelesaian


Kurangnya informasi  Peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan
mengenai teknologi seperti perusahaanperusahaan, pemerintah, LSM
penangkapan metana (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan lembaga keuangan.
 Berbagi pengetahuan oleh perusahaan-perusahaan yang
telah membangun fasilitas penangkapan internasional,
pembuatan panduan dan standar nasional oleh
pemerintah, dan standar keselamatan untuk PLTBg.
Kurangnya sumber daya Pelatihan teknis standar kepada pabrik yang menjadi mitra
manusia di perusahaan- kerja sebelum melakukan studi kelayakan untuk berbagi
perusahaan untuk pengetahuan mengenai persyaratan-persyaratan dan langkah-
dialokasikan ke proyek langlah yang diperlukan (seperti: mengapa harus dipasang
flow meter, mengapa harus memberikan data produksi, serta
pasokan dan permintaan energy, dan lain-lain.
Kurangnya insentif Kementerian Pertanian harus mendorong kewajiban
pembangunan penangkapan metana melalui ISPO
(Indonesian Sustainable Palm Oil); feed-in-tariff yang
spesifik untuk proyek konversi POME menjadi energo;
sertifikasi keberlanjutan sukarela menetapkan emisi GRK
yang mensyaratkan instalasi penangkapan metana: poin
tambahan dalam penilaian PROPER (Program Penilaian
Peringkat Kerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan)
untuk pabrik-pabrik yang memiliki fasilitas penangkapan
metana dan laporan emisi GRK.
Terbatasnya contoh Pemerintah membangun proyek pilot yang bisa dijadikan
keberhasilan di Indonesia sebagai pusat pelatihan dan membuat rujukan pada proyek-
proyek di Negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia.
Persepsi perusahaan-  Akses yang lebih mudah bagi perusahaan-perusahaan
perusahaan mengenai dalam pengajuan PPA atau perjanjian excess power;
sulitnya bekerja sama  Kemauan dari PLN untuk berinvestasi dalam jaringan
dengan PLN listrik baru di dekat lokasi pabrik;
 PPA standar untuk proyek biogas.
Kurangnya minat untuk  Fokus pada pembiayaan balance-sheet; mengingat
investasi atau penyediaan proyek biogas termasuk kecil untuk skala proyek
pinjaman investasi, sehingga kurang menarik bagi lembaga
keuangan untuk mendukung dengan skema pembiayaan
proyek (project financing);
 Menjadikan 2-3 proyek dalam satu paket untuk
meningkatkan daya tarik investasi;
 Memastikan kelayakan keuangan melalui studi kelayakan
yang lengkap;
 Pembangunan kapastias lembaga keuangan dalam
penilaian risiko dan karakter proyek;
 Mengupayakan opsi pinjaman lunak.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam proposal ini yaitu
bagaimana model kebijakan pengembangan Energi Listrik Biogas Limbah Cair Kelapa
Sawit di Kabupaten Musi Rawas?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis model kebijakan

pengembangan Energi Listrik Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit di Kabupaten Musi

Rawas.

1. Menggali potensi sumber energi alternative di Kabupaten Musi Rawas

2. Melakukan inventarisir perusahaan yang telah menggunakan energi alternative

yang bersumber dari limbah pengolahan kelapa sawit

3. Membuat rekomendasi kapasitas pabrik kelapa sawit yang layak untuk di

jadikan sumber energi untul Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg)

4. Membuat rekomendasi kebijakan terhadap pelaku usaha pabrik kelapa sawit

dalam menunjang EBT

1.4. Manfaat Penelitian

1. Mendapatkan potensi pengembangan energi terbarukan yang bersumber dari

kelapa sawit di Kabupaten Musi Rawas

2. Mengurangi pemanasan global akibat pelepasan gas metan

3. Mendapatkan sumber energi baru yang ramah lingkungan

4. Secara umum penelitian ini di harapkan bermanfaat bagi pembaca dan bagi

peneliti yang beminat untuk mengkaji lebih lanjut tentang pengembangan energi

terbarukan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Palm Oil Mill Effluent (POME)

Palm oil mill effluent (POME) adalah limbah cair yang dihasilkan dari penggilingan

kelapa sawit. Pome tersebut berasal dari tiga sumber, yaitu kondensat sterilisasi, pemisahan

lumpur, dan air limbah hidrosiklon. Ketiga sumber ini memiliki karakteristik tersendiri, bila

digabungkan, membentuk air limbah asam berkekuatan tinggi dengan kandungan komponen

organik yang tinggi yang berasal dari minyak, serat, dinding sel, dan lain-lain. Contoh

karakteristik POME dari sumber penggilingan yang berbeda disajikan pada Tabel. Dari ketiga

sumber air limbah yang membentuk POME, pemisahan lumpur sebagian besar POME (sekitar

60%) diikuti oleh kondensat sterilisasi (sekitar 36%) dan air limbah hidrosiklon (sisa 4%).

Karakteristik pome pada Tabel 2.1. merupakan contoh dan dapat bervariasi dengan

peningkatan teknologi penggilingan dan faktor-faktor lain. Dalam studi karakteristik yang

dilakukan oleh Poh et al. (2010),pengambilan sampel POME dilakukan selama musim

panen puncak dan di luar musim puncak panen.

2.2. Teknologi Pengolahan Biogas

Biogas diproduksi di pabrik dengan bantuan degradasi oleh bakteri pada biomassa

dalam kondisi anaerobik. Ada tiga kategori biomassa: (1) substrat asal pertanian seperti

pupuk cair, limbah pakan, limbah panen dan tanaman energi; (2) limbah dari rumah tangga

dan kota seperti: sebagai sampah organik yang dikumpulkan secara terpisah (dalam wadah

sampah organik), pasar limbah, makanan kadaluarsa atau sisa makanan; (3) produk
sampingan industri seperti gliserin, produk sampingan dari pengolahan makanan atau

limbah dari pemisah lemak. Zat tersebut merupakan senyawa organik yang diubah menjadi

biogas oleh bakteri dalam beberapa langkah.

Komponen utama biogas yang menentukan kandungan energi gas adalah metana

yang mudah terbakar (CH4). Bergantung kepada substrat yang dicerna di pabrik biogas,

kandungan metana dari biogas berfluktuasi antara 50% dan 75%. Komponen utama kedua

dari biogas adalah karbon dioksida (CO2) dengan porsi antara 25% dan 50%. Komponen

biogas lainnya adalah air (H2O), oksigen (O2) dan sisa-sisa belerang (S2) dan hidrogen

sulfida (H2S). Jika biogas ditingkatkan menjadi biometana dengan sekitar 98% metana di

pabrik pengolahan biogas, biometana memiliki sifat yang sama dengan gas alam

Tabel 2.3 Komponen Biogas


Unsur Rumus Konsentrasi
(%Volume)
Metana CH4 50–75
Karbon dioksida CO2 25–45
Uap air H2O 2–7
Oksigen O2 <2
Nitrogen N2 <2
Hidrogen Sulfida H2S <2
Amonia NH3 <1
Hidrogen H2 <1
Sumber: nachwaschende−rohstoffe.de

Pengelola proyek biogas dapat memilih salah satu dari beberapa teknologi yang

tersedia untuk penguraian limbah cair secara anaerobik. Semua desain bertujuan untuk

memastikan terjadinya kontak yang cukup antara substrat dan mikroorganisme serta

mencegah mikroorganisme terbawa keluar dari sistem. Berikut ini dipaparkan enam desain

umum untuk teknologi penguraian anaerobik:


a. Continuously Stirred Tank Reactor (CSTR)

CSTR umumnya berbentuk silinder yang terbuat dari bahan beton atau logam

dengan rasio tinggi terhadap diameter yang kecil. Sistem ini dapat beroperasi pada suhu

mesofilik atau termofilik, dan dengan sistem pengadukan mekanik, hidrolik, maupun

injeksi gas.

b. Kolam Tertutup

Kolam anaerobik pada prinsipnya adalah kolam tertutup yang dilengkapi dengan

mekanisme pengadukan. Desain ini biasanya digunakan untuk menangani limbah dengan

kandungan padatan kurang dari 3%, dan beroperasi pada kisaran suhu mesofilik.

c. Filter Anaerobik

Filter anaerobik menggunakan “carrier” yang terbuat dari plastik tempat

mikroorganisme aktif melekat dan mencegah terdorong keluar dari sistem. Filter

anaerobik dapat menghasilkan biogas yang berkualitas sangat tinggi dengan kandungan

metana hingga 85%.

d. Fluidized and Expanded Beds

Pada ßuidized and expanded bed, mikroorganisme menarik partikel−partikel kecil

sehingga membentuk koloni. Sistem ini mempunyai aliran kuat ke atas yang menyebabkan

partikel−partikel mengambang sehingga mikroorganisme melakukan kontak dengan substrat.

e. Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB)

Reaktor upßow anaerobic sludge blanket memungkinkan mikroorganisme tumbuh

secara berkelompok sehingga mikroorganisme tetap berada dalam reaktor meskipun arus

substrat yang masuk cukup kuat. Sistem ini memompakan limbah masuk ke dalam reaktor
dengan cukup kencang sehingga terjadi proses pengadukan dan terjadi kontak antara

mikroorganisme dengan substrat.

f. Expanded Granular Sludge Bed (EGSB)

Reaktor expanded granular sludge bed mirip dengan reaktor UASB, tetapi dengan

tingkat kecepatan aliran ke atas yang lebih tinggi untuk memungkinkan air limbah

melewati tumpukan lumpur. Desain ini cocok untuk konsentrasi COD kurang dari 1 sampai

2 g COD/l atau untuk air limbah yang mengandung partikel tersuspensi yang tidak mudah

terbiodegradasi.

Karena kandungan padatan dan minyak yang tinggi dalam limbah keluaran pabrik

kelapa sawit, maka pengolahan menggunakan filter anaerobik, ßuidized bed, UASB, atau

EGSB lebih sulit untuk dilakukan. Kandungan minyak dan padatan yang tinggi dalam

POME harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum masuk ke sistem tersebut, sehingga

memerlukan fasilitas pengolahan awal yang lebih banyak. Konsekuensinya, sistem

pengolahan limbah tersebut akan menghasilkan biogas yang lebih sedikit.

Pabrik pengolahan kelapa sawit biasanya menggunakan teknologi CSTR atau

kolam tertutup untuk mengkonversi POME menjadi biogas. Kedua teknologi penguraian

anaerobik ini dapat menangani limbah dengan kandungan padatan dan minyak yang tinggi.

Kedua teknologi ini juga relatif mudah dioperasikan dan dipelihara serta lebih ekonomis

dibandingkan dengan sistem yang lain, sehingga cocok untuk agribisnis.

2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Proses

Biogas dihasilkan dengan bantuan bakteri yang menumbuhkan kondisi

lingkungan tertentu agar dapat tumbuh dan berkembang biak. Kondisi lingkungan yang

optimal dapat menunjang pertumbuhan bakteri, sehingga biogas yang dihasilkan pun
dapat maksimal. Berikut faktor dalam (dari digseter) dan faktor luar yang dapat

mempengaruhi pembuatan biogas.

a) Jenis bahan organik

Jenis bahan organik yang digunakan dapat berpengaruh terhadap lama waktu

fermentasi oleh bakteri. Pasalnya, masing-masing jenis bahan organik memiliki total padatan

yang berbeda, sehingga proses pembusukan material padatan pun akan berbeda. Secara umum,

urutan kandungan bahan organik berdasarkan lamanya waktu penguraian yaitu gula, protein,

lemak, hemiselulosa, dan lignin. Bahan organik berupa limbah pertanian yang banyak

mengandung selulosa dan lignin biasanya lebih lama diuraikan dibandingkan dengan limbah

kotoran ternak. Karena itu, bahan organik berupa kotoran ternak harus dicampur dengan

rumput keringt atau limbah pertanian agar proses fermentasi dapat berlangung optimal.

b) Deajat kemasaman (pH)

Derajat kemasaman pada saat proses fermentasi akan mengalami penurunan

menjadi 6 atau lebih rendah akibat terbentuknya asam organik. Padahal, kehidupan

mikroorganisme selama proses fermentasi akan efektif dengan pH 6,5-7,5. Setelah dua

sampai tiga minggu, pH akan naik kembali yang menandakan perkembangan bakteri

metan. Penurunan pH yang ekstrem dapat dicegah dengan menambahkan larutan kapur,

seperti Ca(OH)2 atau CaCO3. Laju pencernaan anaerobik akan menurun jika kondisi pH

lebih rendah menyebabkan tidak seimbangnya populasi bakteri metagenik terhadap bakteri

asam sehingga dapat menggagalkan proses pencernaan anaerobik.

c) Rasio Carbon/Nitrogen (C/N)

Aktivitas mikroorganisme yang berperan selama proses fermentasi sangat

bergantung pada imbangan C/N. Mikroorganisme perombak dapat beraktivitas secara


optimum jika imbangan C/N sebesar 25-30. Rasio C/N tinggi pada bahan organik akan

menyebabkan produksi metan yang rendah. Pasalnya, bahan dengan rasio C/N tinggi hanya

mengandung nitrogen dengan kadar yang rendah. Padahal, nitrogen sangat dibutuhkan

sebagai sumber energi untuk perkembangbiakan mikroorganisme pengurai. Karena itu,

untuk meningkatkan kadar nitrogen, pada bahan harus ditambahkan bahan organic yang

mengandung nitrogen yang tinggi seperti kotoran hewan ternak.

Sementara itu, jika rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan berakumulasi

dalam bentuk amoniak sehingga menyebabkan bau busuk yang berlebih. Karena itu,

diperlukan tambahan bahan lain yang mengadnung karbon atau serat tinggi, seperti rumput,

jerami dan dedaunan.

d) Suhu

Aktivitas bakteri penghasil biogas juga sangat dipengaruhi oleh suhu di dalam

digester. Perubahan suhu yang mendadak dalam digester biogas dapat mengakibakan

penurunan produksi biogas secara cepat. Suhu ideal untuk produksi biogas adalah 32 oC

sampai 37oC. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan Digester rentan mengalami

kerusakan, sedangkan yang terlalu rendah akan menghambat proses fermentasi.

e) Zat toksik

Zat toksik atau zat racun yang terkandung dalam bahan organic atau alat produksi

biogas dapat menjadi penghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga menurunkan

produksi biogas. Zat toksik tersebut diantaranya adalah ion mineral dan logam berat, seperti

tembaga, detergen, pestisida, kaporit, dan antiobiotik yang bersifat racun. Ion mineral

dibutuhkan untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme dalam digester. Namun jika

terlalu banyak, dapat menjadi racun bagi mikroorganisme tersebut. Oleh karena itu, air yang
menjadi campuran haruslah air yang tidak mengandung zat toksik seperti air sawah yang

tercampur pestisida, campuran air sabun, dan sumber air yang tercemar oleh bahan kimia

lainnya.

f) Pengadukan

Pengadukan bertujuan untuk menghomogenkan bahan baku pembuatan biogas.

Biasanya, pengadukan dilakukan sebelum dimasukkan di dalam digester dan setelah di

dalam digester. Selain untuk mencampur bahan, pengadukan juga berfungsi untuk

mencegah terjadinya pengedapan di dasar digester yang menghambat pembentukan biogas.

Biasanya, pengendapan terjadi jika bahan yang digunakan berasal dari kotoran kering.

Setelah ditambahkan air sampai kekentalan yang diinginkan, pengadukan mutlak

diperlukan agar kotoran tidak mengendap.

g) Starter

Untuk mempercepat proses penguraian, dapat ditambahkan starter berupa bakteri

mikroorganisme perombak. Starter yang digunakan dapat berupa starter alami, semibuatan

dan huata. Starter alami yang berasal dari alam yang dapat berupa lumpur aktif organic

atau cairan isi rumen. Starter semi buatan didapat dari instalasi pembentuk biogas yang

masih dalam keadaan aktif. Sementara itu, starter buatan berupa bakteri metan yang

sengaja dibiakkan dilaboratorium dan telah banyak dijual di pasaran.

Tahapan Proses
Secara garis besar proses pembentukan biogas dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:

1. Tahap Hidrolisis (Hydroliysis)


Pada tahap ini, bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat kompleks, protein

dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Contohnya polisakarida diubah menjadi

monosakarida, sedangkan protein diubah menjadi peptide dan asam amino.

2. Tahap Asidifikasi (Acidogenesis dan Acetogenesis)

Pada tahap ini, bakteri (Acetobacter aceti) menghasilkan asam untuk mengubah

senyawa rantai pendek hasil proses hidrolisis menjadi asam asetat, hydrogen, dan karbon

dioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dan berkembah

dalam keadaan asam. Bakteri memerlukan oksigen dan karbondioksida yang diperoleh dari

oksigen yag terlarut untuk menghasilkan asam asetat. Pembentukan asam pada kondisi

anaerobic tersebut penting untuk pembentukan gas metana oleh mikroorganisme pada

proses selanjutnya. Selain itu bakteri tersebut juga mengubah senyawa berantai pendek

menjadi alcohol, asam organic, asam amino, karbon dioksida, hydrogen sulfide, dan sedikit

gas metana. Tahap ini termauk reaksi ekonomis yang menghasilkan energi.

3. Tahap Pembetukan Gas Metana (Methanogenesis)

Pada tahap ini, bakteri Methnobacterium omelianski mengubah senyawa hasil

proses asidifikasi menjadi metana dan CO2 dalam kondisi anaerob. Proses pembentukan

gas metana ini termasuk reaksi eksotermis.

Tahap-tahap reaksi pembentukan secara biologi dan kimia pada fermentasi anaerob dapat

dilihat pada gambar dibawah ini:


Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Biogas Sumber: Rashid et al., (2019)

Proses pembuatan biogas dengan menggunakan biodigester pada prinsipnya adalah

menciptakan suatu system kedap udara dengan bagian-bagain pokok yang terdiri dari

tangka pebcerna (digester tank), lubang input bahan baku, lubang output lumpur sisa hasil

pencernaan (slurry) dan lubang penyaluran biogas yang terbentuk. Dalam digester

terkandung bakteri metana yang akan mengolah limbah organik menjadi biogas. Proses

perombakan anaerobic menghasilkan gas sehingga visual bila proses perombakan

anaerobic berlangsung baik, maka terlihat gelembung-gelembung gas yang keluar dari

permukaan kolam limbah.


2.4. Komponen Utama Biogas

Bagian utama dari pabrik konversi POME menjadi biogas meliputi pengolahan

awal kemudian masuk ke sistem Bio-digester, scrubber H2S Dehumifier dan gas engine.

Detail komponen utama biogas disajikan pada Gambar 2.2

Gambar 2.2. Komponen Utama Biogas


Sumber: Rahayu et al (2015)

a. Sistem Bio-Digester

Pada Sistem bio−digester meliputi proses pengolahan awal, bio−digester, dan

kolam sedimentasi. Pada proses pengolahan awal, POME dikondisikan untuk mencapai

nilai-nilai parameter yang standar untuk masuk ke digester. Pada proses ini, dilakukan

proses penyaringan untuk menghilangkan partikel besar seperti kotoran atau serat. Proses

pengadukan dan netralisasi pH dilakukan untuk mencapai pH optimal pada 6,5–7,5. Sebuah

sistem pendinginan (cooling tower atau heat exchanger) berfungsi untuk menurunkan suhu

POME menjadi sekitar 40°–50°C. Suhu digester harus dijaga di bawah 40˚C agar kondisi

mesofilik optimal. Penurunan suhu ini juga dibantu dengan proses resirkulasi air limbah

keluaran dari digester.


POME yang telah dilakukan pengolahan awal dipompa ke bio−digester, yang dapat

berupa kolam tertutup atau CSTR. Proses penguraian POME menghasilkan biogas dan residu

(slurry). Digester dirancang kedap udara dan air. Digester dibuat dalam berbagai bentuk dan

ukuran, dan dari berbagai bahan. Ukuran digester ditentukan berdasarkan laju alir POME,

beban COD, dan waktu retensi hidrolik (HRT) yang diperlukan untuk penguraian yang optimal

Air limbah hasil proses anaerobik dari digester mengalir ke kolam sedimentasi di

mana POME yang telah terurai dipisahkan lebih lanjut dari lumpur dan padatan.

Perkebunan dapat menggunakan limbah cair dari sedimentasi sebagai pupuk. Sistem

pembuangan padatan berfungsi untuk memisahkan lumpur dan padatan yang terakumulasi

baik di dalam digester maupun di dalam kolam sedimentasi.

Gambar: 2.3. Lagoon Digester


Sumber: https://www.en-aqualimpia.com

Biogas yang dihasilkan melalui proses anaerobik terkumpul di bawah cover/penutup

digester pada kolam tertutup atau pada bagian atap tangki pada sistem tangki/CSTR. Sistem
kolam tertutup mempertahankan tekanan rendah 0–2 mbarg (tergantung pada desain penyedia

teknologi), sementara sistem tangki menyimpan biogas pada tekanan yang lebih tinggi yakni

8−30 mbarg. Pabrik pengolahan kelapa sawit umumnya tidak menggunakan tangki

penyimpanan biogas yang terpisah karena biayanya tinggi. Sistem tangki memiliki kapasitas

penyimpanan biogas antara 30 menit hingga 3 jam, sedangkan kolam tertutup memiliki

kapasitas penyimpanan 1 hingga 2 hari. Biogas yang terkumpul di dalam digester kemudian

dialirkan dan diproses lebih lanjut ke dalam sistem pengolahan gas atau dibakar dalam flare.

b. Crubber Hidrogen Sulfida (H2S)

Pada tahap ini sebelum biogas menghasilkan daya listrik, scrubber hidrogen

sulfida digunakan untuk menurunkan konsentrasi H 2S ke tingkat yang disyaratkan oleh gas

engine, biasanya di bawah 200 ppm. Hal bertujuan untuk mencegah korosi,

mengoptimalkan operasi, dan memperpanjang umur gas engine. H 2S dalam biogas berasal

dari komponen sulfat (SO2) dan sulfur lainnya dalam air limbah.

Dalam digester anaerobik pada kondisi tidak ada oksigen, sulfat berubah menjadi

H2S. Ada tiga jenis scrubber yang digunakan dalam proses desulfurisasi untuk menurunkan

kandungan H2S dalam biogas, yaitu scrubber biologis, kimia, atau air. Scrubber biologis

menggunakan bakteri sulfur-oksidasi untuk mengubah H 2S menjadi SO4, sementara

scrubber kimia menggunakan bahan kimia seperti NaOH untuk mengubah H2Smenjadi

SO4. Scrubber air bekerja berdasarkan penyerapan fisik dari gas-gas terlarut dalam air dan

menggunakan air bertekanan tinggi. Scrubber biologis biasa digunakan untuk aplikasi

POME menjadi energi karena biaya operasionalnya rendah.


Gambar 3.4. Scrubber Hidrogen Sulfida
Sumber: https://bangazul.com/scrubber-hidrogen-sulfida/

c. Dehumidifier Biogas

Dehumidifier gas, dalam bentuk dryer, chiller, atau cyclone; berfungsi untuk

mengurangi kadar air dalam biogas yang akan dialirkan ke dalam gas engine. Dehumidifier

mengambil air yang terkandung dalam biogas. Hal ini membantu mengoptimalkan proses

pembakaran pada mesin, mencegah pengembunan, dan melindungi mesin dari

pembentukan asam. Asam terbentuk saat air bereaksi dengan H2S dan oksigen. Biogas

yang berkualitas tinggi dengan kelembaban relatif di bawah 80% meningkatkan efisiensi

mesin dan mengurangi konsumsi bahan bakar gas.

d. Gas Engine

Gas engine termasuk mesin pembakaran dalam yang bekerja dengan bahan bakar

gas seperti gas alam atau biogas. Setelah kandungan pengotor pada biogas diturunkan

hingga kadar tertentu, biogas kemudian dialirkan ke gas engine untuk menghasilkan listrik.

Bergantung pada spesifikasi gas engine yang digunakan, gas engine yang berbahan bakar

biogas umumnya memerlukan biogas dengan kadar air dibawah 80% dan konsentrasi H 2S
kurang dari 200 ppm. Gas engine mengubah energi yang terkandung dalam biogas menjadi

energi mekanik untuk menggerakkan generator yang menghasilkan listrik. Biasanya gas

engine memiliki efisiensi listrik antara 36−42%.

e. Burner dan Boiler

Biogas yang dihasilkan dari proses penguraian anaerobik dapat menjadi bahan

bakar boiler. Burner gas biasanya dipasang pada dinding boiler. Biogas merupakan bahan

bakar alternatif bagi boiler untuk menghasilkan panas atau listrik menggantikan bahan

bakar biomassa, seperti cangkang dan serat, yang biasa digunakan di pabrik kelapa sawit.

f. Flare Biogas

Flare Biogas digunakan di industri proses atau pabrik untuk membakar kelebihan

gas. Dengan alasan keamanan, pembangkit listrik tenaga biogas harus memasang Flare

untuk membakar kelebihan biogas, terutama pada saat biogas tidak bisa diumpankan ke gas

engine atau peralatan pembakaran lainnya. Umumnya hal ini terjadi saat puncak panen

tandan buah segar, yang menyebabkan kelebihan produksi biogas. Kelebihan produksi

meningkatkan laju alir biogas melebihi batas maksimum biogas yang dapat masuk ke gas

engine. Flare juga digunakan saat gas engine sedang tidak beroperasi dalam masa

pemeliharaan. Instalasi biogas tanpa gas engine atau boiler harus menggunakan ßare secara

terus−menerus untuk membakar biogas. Operator tidak boleh melepaskan kelebihan biogas

secara langsung ke atmosfer karena sifatnya yang mudah terbakar pada konsentrasi tinggi.

Selain itu, pelepasan biogas secara langsung juga berarti pelepasan gas rumah kaca ke

atmosfer seperti layaknya di penggunaan kolam limbah terbuka.


g. Sistem Instrumentasi dan Kontrol

Operator menggunakan sistem instrumentasi dan kontrol untuk memantau

parameter seperti suhu, pH, aliran cairan dan gas, serta tekanan gas. Sistem kontrol juga

digunakan untuk menghentikan sistem secara manual maupun otomatis saat kondisi tidak

aman.

2.5. Potensi Listrik

Limbah cair organik yang dihasilkan selama produksi kelapa sawit merupakan

sumber energi besar yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia (Tabel 2.4.). Potensi

listrik dari dari konversi POME menjadi biogas yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit

sebanyak 4.695-8.569 Kcal/m3

Tabel 2.4 Potensi energi pada setiap jenis limbah kelapa sawit
No Jenis Limbah Bentuk Kandungan Energi (Kcal)
1. Crude Palm Oil Cair 20 – 23% -
2. Inti Sawit (Kernel) Padat 5–7% -
3. Janjang Kosong Padat 22 – 23% 4492/kg
4. Serat (Fiber) Padat 12 – 14% 2637 – 4554 /kg
5. Cangkang (Shell) Padat 6- 8% 4105 – 4802/kg
6. POME Cair 2 ton 4695 – 8569 /m3
Sumber : Sri Rahayu Ade et al., (2015)

Tabel 2.5 Potensi daya dari POME berdasarkan kapasitas PKS

POME yang dihasilkan Potensi Daya


3
No. Kapasitas PKS m /jam m3/hari (Mwe)
(ton TBS/Jam)
1. 30 21 400 1,1
2. 45 31,5 600 1,6
3. 60 42 800 2,1
4. 90 63 1.200 3,2
Asumsi :
Setiap ton tbs menghasilkan 0,7 m3 POME, 20 jam operasi/hari, konsentrasi COD 55.000 mg/l
**).
Sumber : Sri Rahayu Ade et al., (2015)
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Musi Rawas

3.2. Tahapan Penelitian

Penelitian tahap I

Analisis potensi pengembangan sumber energi baru terbarukan :

Penelitian ini menggunakan metode analisis berupa Deskriptif Kuantitatif serta Analisis

Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis Deskriptif Kuantitatif berfungsi untuk mengidentifikasi

pra syarat pengembangan energi baru dan energi terbarukan, termasuk perhitungan potensi listrik

yang dihasilkan dari masing-masing sumber EBT, serta menentukan skenario untuk menghitung

bauran energi Kabupaten Musi Rawas tahun 2025 dan 2050. SIG berfungsi sebagai alat pengolah

data spasial untuk memetakan potensi sumber energi baru terbarukan berdasarkan kondisi

geografis, seperti data ketinggian, tutupan lahan, panjang jalan serta ruang terbangun. SIG juga

berfungsi untuk menggabungkan data (Overlay) kriteria fisik, sosio-ekonomi serta atribut

keruangan sehingga dapat diketahui hubungan antara ketiganya.

Pengumpulan data dilakukan melalui telaah dokumen dari berbagai sumber, diantaranya

yaitu BPS Kabupaten Musi Rawas, Data perusahaan pabrik kelapa sawit dari Dinas Lingkungan

Hidup Kabupaten. Sementara itu, analisis potensi pengembangan EBT dilakukan dengan

menghitung besaran listrik yang dapat dihasilkan dari masin-gmasing sumber. Sesuai dengan

literatur, rumusrumus untuk menghitung potensi sumber EBT.


Penelitian tahap 2

Analisis ekonomi dan teknis terhadap kelayakan pembangkit listrik biogas :

Melakukan analisis kelayakan teknis dan finansial terhadap pembangkit listrik biogas,

dengan mengambil sampel Pabrik kelapa sawait PT Evans Lestari dengan Kapasitas 60

ton/jam

Analisis Biaya

Analisis Ekonomi Teknik Secara umum analisis ekonomi mengarah kepada perhitungan

biaya. Adapun biaya tersebut meliputi biaya investasi, biaya operasi, dan biaya perawatan.

1. Biaya Investasi (Investmen Cost)

Perlu adanya analisa terlebih dahulu sebelum merumuskan kebijakan pembangunan

dan pengembangan pembangkit tenaga listrik. Dari sisi ekonomi, analisa tersebut meliputi

Net Present Value (NPV), Return of Investment (ROI), Benefit-Cost Ratio (BCR) dan

Payback Period (Prasetyo, 2015).

Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal kegiatan usaha dalam

jumlah yang relatif besar dan berdampak jangka panjang sehingga dapat memberikan

manfaat bagi perusahaan. Biaya investasi untuk pembangunan PLTBg meliputi biaya EPC

dan biaya non EPC. Harga biaya diperoleh berdasarkan pada Buku Panduan Konversi

POME Menjadi Biogas, 2015.

2. Biaya Operasional dan Perawatan (O&M)

Biaya operasional dan perawatan adalah biaya yang dikeluarkan selama PLTBg

beroperasi. Biaya operasional dan perawatan meliputi biaya tetap (fixed cost) yaitu biaya

yang tidak berhubungan terhadap besar tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit
tenaga dan biaya tidak tetap (variabel cost) yaitu biaya yang berkaitan dengan pengeluaran

untuk alat-alat dan perawatan yang dipakai dalam periode pendek dan tergantung pada

besar tenaga listrik yang dihasilkan.

3. Biaya Bahan Bakar

Pada pembangkit ini menggunakan bahan bakar dari limbah cair pabrik kelapa

sawit. Oleh sebab itu pada pembangkit ini tidak dikenakan biaya bahan bakar. Akan tetapi

biaya bahan bakar dimasukkan ke dalam biaya operasional, yaitu bagaimana untuk

mengubah limbah cair tersebut menjadi biogas.

Penenlitian tahap 3

Melakukan analisis kelayakan teknis dan ekonomi terhadap beberapa pabrik kelapa sawit

dengan kapasitas yang berbeda, sehingga didapat standar minimal kapasitas pabrik untuk

pengembangan biogas limbah cair kelapa sawit.


Gambar 1. Model Penelitian
DAFTAR PUSTAKA

A. Kanwal et al., “Recent advances in green carbon dots (2015–2022): synthesis, metal ion
sensing, and biological applications,” Beilstein J. Nanotechnol., vol. 13, pp. 1068–
1107, 2022.

A. Bełdycka-Bórawska, P. Bórawski, L. Holden, T. Rokicki, and B. Klepacki, “Factors


Shaping Performance of Polish Biodiesel Producers Participating in the Farm
Accountancy Data Network in the Context of the Common Agricultural Policy of the
European Union,” Energies, vol. 15, no. 19. 2022. doi: 10.3390/en15197400.

E. Bompard et al., “An electricity triangle for energy transition: Application to Italy,” Appl.
Energy, vol. 277, p. 115525, 2020, doi: https://doi.org/
10.1016/j.apenergy.2020.115525.

Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi. 2015. Road Map
Pengembangan EBTKE 2014- 2019. Jakarta :Ditjen EBTKE

FAO, “Unified Bioenergy Terminology,” no. December, pp. 1–50, 2004, [Online].
Available:http://www.fao.org/3/b-j4504e.pdf

Febriyanita, W. (2015). Pengembangan Biogas Dalam Rangka Pemanfaatan Energi Terbarukan Di


Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Skripsi, 2(2), 1–13

G. Hostyn, C. Schwartz, J.-M. Côme, and S. Ouvrard, “Assessment for combined


phytoremediation and biomass production on a moderately contaminated soil,”
Environ. Sci. Pollut. Res., vol. 29, no. 39, pp. 59736–59750, 2022, doi:
10.1007/s11356-022-19963-9.

Hambali, Erliza dkk. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta: Agro Media Pustaka.
H. Hu, W. Xue, P. Jiang, and Y. Li, “Bibliometric analysis for ocean renewable energy:
Ancomprehensive review for hotspots, frontiers, and emerging trends,” Renew.
Sustain. Energy Rev.,vol. 167, p. 112739, 2022, doi:
https://doi.org/10.1016/j.rser.2022.112739.

J. A. Lesser and X. Su, “Design of an economically efficient feed-in tariff structure for
renewable energy development,” Energy Policy, vol. 36, no. 3, pp. 981–990, 2008,
doi:https://doi.org/10.1016/j.enpol.2007.11.007.

K. Jayaswal, D. K. Palwalia, and A. Sharma, “Renewable Energy in India and World for
Sustainable Development,” in Power Electronics for Green Energy Conversion,
2022, pp. 67–89. doi:https://doi.org/10.1002/9781119786511.ch3.
N. A. Rashidi, Y. H. Chai, and S. Yusup, “Biomass Energy in Malaysia: Current Scenario,
Policies, and Implementation Challenges,” BioEnergy Res., vol. 15, no. 3, pp. 1371–
1386, 2022, doi:10.1007/s12155-022-10392-7.

M. R. Z. Passarini, A. W. F. Duarte, L. H. Rosa, V. M. de Oliveira, and J. R. Ottoni,


“Chapter 10 -Extremofuels: production of biofuels by extremophile microbes as an
alternative to avoid climate change effects,” A. Kumar, J. Singh, and L. F. R. B. T.-
M. U. C. C. Ferreira, Eds. Woodhead Publishing, 2022, pp. 237–256. doi:
https://doi.org/10.1016/B978-0-323-90571-8.00010-9.

Pamudji, N. (2015). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero)
2015-2024. Jakarta: PT PLN (Persero).

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi
Nasional,

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Eenergi
Nasional, no. Kebijakan energi nasional. 2006, p. 5.

Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008, Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008. 2008, pp. 1–18.

Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 12 Tahun
2015,

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 12 Tahun
2015. 2015, pp. 1–6.

Q. Wang, R. Huang, and R. Li, “Impact of the COVID-19 pandemic on research on marine
plastic pollution – A bibliometric-based assessment,” Mar. Policy, vol. 146, p.
105285, 2022, doi:https://doi.org/10.1016/j.marpol.2022.105285.

Replubika.co.id, “Empat Kendala Pengembangan Biodiesel di Indonesia,” 2014.


https://www.republika.co.id/berita/n2zjvi/ini-4-kendala-pengembangan-biodiesel-di-
indonesia.

S. Mujiyanto and G. Tiess, “Secure energy supply in 2025: Indonesia’s need for an energy
policy strategy,” Energy Policy, vol. 61, no. 5, pp. 31–41, 2013, doi:
10.1016/j.enpol.2013.05.119.

S. Varjani, “Efficient removal of tar employing dolomite catalyst in gasification: Challenges


and opportunities,” Sci. Total Environ., vol. 836, p. 155721, 2022,
doi:https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2022.155721.

Tirto.id, “Apa itu Biomassa & Jenisnya: Pengertian Biogas, Ethanol, Biodiesel,” 2021.
https://tirto.id/apa-itu-biomassa-jenisnya-pengertian-biogas-ethanol-biodiesel-gbck

Anda mungkin juga menyukai