Oleh :
TEDDY LASZUARDY
E3B023004
UNIVERSITAS BENGKULU
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Isu Pemanasan global adalah isu lingkungan yang menjadi topik lokal, nasional dan
internasional. Penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu cara untuk mengurangi
pemanasan global. Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) yang memiliki prospek
potensial cukup besar untuk dikembangkan adalah berbahan baku limbah kelapa sawit.
energi masa depan dan bagian pembangunan berkelanjutan. Berbagai negara di dunia
terutama negara maju sudah memanfaatkan energi ini, sedangkan pada negara dunia ketiga
termasuk Indonesia masih banyak kendala dalam pengembangan EBT. Salah satu
pemicunya adalah kebijakan energi yang belum memihak pada energi alternatif ini. Negara
berkembang masih melihat energi fosil masih dijadikan sumber energi murah dan bahan
bakar ini harus tetap mendapatkan porsi utama dengan pemberian subsidi dari anggaran
EBT dapat menjadi sumber energi pengganti dari sumber energi yang pada umunya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Saat ini peningkatan kebutuhan energi
didominasi oleh energi fosil yang tak terbarukan dan tentunya tak ramah lingkungan
(Armstrong Internal Magazine, 2014). Konversi energi dari fosil ke non fosil mempunyai
banyak tantangan seperti besarnya biaya investasi dan belum adanya pemetaan sumber
energi Energi terbarukan dari berbagai sumbernya termasuk biomassa memiliki potensi
sebagai pengganti peran sumber energi fosil dimasa yang akan datang. Fungsi pengganti ini
dimaksudkan sebagai pengganti energi fosil apabila suatu waktu energi ini tidak tersedia
lagi.
Sumber energi alternatif ini dapat digunakan sebagai penyedia energi seperti energi
listrik maupun sebagai sumber bahan bakar. Tantangan dan hambatan dalam
hambatan pendanaan, dan ketersediaan bahan baku dan regulasi yang mendukung
Perkebunan kelapa sawit menjadi tanaman yang penting dan menjadi sektor
unggulan bagi Indonesia karena menjadi penyumbang devisa negara. Luas perkebunan
kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 15.081.021 ha dengan
Sumatera Selatan pada tahun 2019 milik perkebunan swasta besar sejumlah 478.251 ha
Pada pengolahan tandan buah segar menjadi minyak kelapa sawit kasar (CPO),
diperoleh sebesar 21,5-23 persen dan 55 kg inti sawit (palm kernel;PK sisanya berupa hasil
sampng atau limbah berbentuk padat, cair, dan gas. Limbah padat terdiri atas tandan buah
kosong (16-23%, serat perasan buah (11-26%) inti sawit (4%), cangkang (4-6%), dan
limbah padat lain (16,5%). Pada pengolahan 1 ton tandah buah segar (TBS) juga dihasilkan
0,7 m3 air limbah. Air limbah kelapa sawit atau palm oil mill effluent (POME) merupakan
air limbah yang dihasilkan dari proses ekstraksi, pencucian, dan pembersihan minyak.
Pada proses penguraian POME akan menghasilkan biogas yang merupakan gas
terbentuk secara alami ketika limbah cair pabrik kelapa sawit (POME) terurai tanpa adanya
oksigen. Tanpa dimanfaatkan, gas ini merupakan kontributor yang tidak diinginkan dan
berpotensi berbahaya. Biogas biasanya terdiri dari 50-75% metana (CH4), 25-45% karbon
dioksida (CO2), dan gas lainnya. Ketika pengumpulan POME tidak terkontrol, CH4
dilepaskan secara langsung ke dalam atmosfer dan merupakan gas rumah kaca (GRK)
Di sisi lain, gas methana ini juga memiliki tingkat energi yang cukup tinggi. Gas
methana ini memiliki nilai kalor 50,1 MJ/kg. Jika densitas methana 0,717 kg/m3 maka 1
m3 gas methana akan memiliki energi setara dengan 35,9 MJ atau sekitar 10 kWh. Jika
kandungan gas methana adalah 62% dalam biogas, maka 1 m3 biogas akan memiliki
tingkat energi sebesar 6,2 kWh. Hal ini berarti gas methana dari limbah POME punya
Pembangkit listrik tenaga biogas mengambil manfaat dari proses penguraian alami
untuk membangkitkan listrik. Limbah cair organik yang dihasilkan selama produksi kelapa
sawit merupakan sumber energi besar yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia.
Mengubah POME menjadi biogas untuk dibakar dapat menghasilkan energi sekaligus
mengurangi dampak perubahan iklim dari proses produksi minyak kelapa sawit.
Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit
Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Oleh PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero) yang menunjukkan bahwa pemerintah telah mendukung upaya
bahwa penggunaan EBT ditargetkan pada tahun 2025 mencapai 25% dan pada tahun 2050
sebesar 31% dari total penggunaan energi nasional. PT. PLN (Persero) sebagai perusahaan
listrik nomor satu nasional ikut serta dalam upaya mendukung kebijakan pemerintah.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan pengkajian ilmiah terkait
model kebijakan pengembangan Energi Listrik Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit di
Kabupaten Musi Rawas.
Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara merupakan sumber energi
utama di Indonesia, akan tetapi sumber energi tersebut berdampak merusak lingkungan
termasuk pencemaran udara, emisi gas rumah kaca dan pemanasan global. Permasalahan
lain adalah tingginya harga bahan bakar fosil, kenaikan jumlah impor minyak bumi akibat
konsumsi bahan bakar nasional, serta cadangan minyak bumi yang semakin menipis.
Kebutuhan energi nasional diketahui bahwa lebih dari 50% penggunaannya didominasi
oleh bahan bakar fosil, untuk itu pengembangan energi alternatif menjadi pilihan yang
fosil beralih ke sumber energi alternatif berbahan baku nabati yang sifatnya terbarukan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam proposal ini yaitu
bagaimana model kebijakan pengembangan Energi Listrik Biogas Limbah Cair Kelapa
Sawit di Kabupaten Musi Rawas?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis model kebijakan
pengembangan Energi Listrik Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit di Kabupaten Musi
Rawas.
4. Secara umum penelitian ini di harapkan bermanfaat bagi pembaca dan bagi
peneliti yang beminat untuk mengkaji lebih lanjut tentang pengembangan energi
terbarukan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Palm oil mill effluent (POME) adalah limbah cair yang dihasilkan dari penggilingan
kelapa sawit. Pome tersebut berasal dari tiga sumber, yaitu kondensat sterilisasi, pemisahan
lumpur, dan air limbah hidrosiklon. Ketiga sumber ini memiliki karakteristik tersendiri, bila
digabungkan, membentuk air limbah asam berkekuatan tinggi dengan kandungan komponen
organik yang tinggi yang berasal dari minyak, serat, dinding sel, dan lain-lain. Contoh
karakteristik POME dari sumber penggilingan yang berbeda disajikan pada Tabel. Dari ketiga
sumber air limbah yang membentuk POME, pemisahan lumpur sebagian besar POME (sekitar
60%) diikuti oleh kondensat sterilisasi (sekitar 36%) dan air limbah hidrosiklon (sisa 4%).
Karakteristik pome pada Tabel 2.1. merupakan contoh dan dapat bervariasi dengan
peningkatan teknologi penggilingan dan faktor-faktor lain. Dalam studi karakteristik yang
dilakukan oleh Poh et al. (2010),pengambilan sampel POME dilakukan selama musim
Biogas diproduksi di pabrik dengan bantuan degradasi oleh bakteri pada biomassa
dalam kondisi anaerobik. Ada tiga kategori biomassa: (1) substrat asal pertanian seperti
pupuk cair, limbah pakan, limbah panen dan tanaman energi; (2) limbah dari rumah tangga
dan kota seperti: sebagai sampah organik yang dikumpulkan secara terpisah (dalam wadah
sampah organik), pasar limbah, makanan kadaluarsa atau sisa makanan; (3) produk
sampingan industri seperti gliserin, produk sampingan dari pengolahan makanan atau
limbah dari pemisah lemak. Zat tersebut merupakan senyawa organik yang diubah menjadi
Komponen utama biogas yang menentukan kandungan energi gas adalah metana
yang mudah terbakar (CH4). Bergantung kepada substrat yang dicerna di pabrik biogas,
kandungan metana dari biogas berfluktuasi antara 50% dan 75%. Komponen utama kedua
dari biogas adalah karbon dioksida (CO2) dengan porsi antara 25% dan 50%. Komponen
biogas lainnya adalah air (H2O), oksigen (O2) dan sisa-sisa belerang (S2) dan hidrogen
sulfida (H2S). Jika biogas ditingkatkan menjadi biometana dengan sekitar 98% metana di
pabrik pengolahan biogas, biometana memiliki sifat yang sama dengan gas alam
Pengelola proyek biogas dapat memilih salah satu dari beberapa teknologi yang
tersedia untuk penguraian limbah cair secara anaerobik. Semua desain bertujuan untuk
memastikan terjadinya kontak yang cukup antara substrat dan mikroorganisme serta
mencegah mikroorganisme terbawa keluar dari sistem. Berikut ini dipaparkan enam desain
CSTR umumnya berbentuk silinder yang terbuat dari bahan beton atau logam
dengan rasio tinggi terhadap diameter yang kecil. Sistem ini dapat beroperasi pada suhu
mesofilik atau termofilik, dan dengan sistem pengadukan mekanik, hidrolik, maupun
injeksi gas.
b. Kolam Tertutup
Kolam anaerobik pada prinsipnya adalah kolam tertutup yang dilengkapi dengan
mekanisme pengadukan. Desain ini biasanya digunakan untuk menangani limbah dengan
kandungan padatan kurang dari 3%, dan beroperasi pada kisaran suhu mesofilik.
c. Filter Anaerobik
mikroorganisme aktif melekat dan mencegah terdorong keluar dari sistem. Filter
anaerobik dapat menghasilkan biogas yang berkualitas sangat tinggi dengan kandungan
sehingga membentuk koloni. Sistem ini mempunyai aliran kuat ke atas yang menyebabkan
secara berkelompok sehingga mikroorganisme tetap berada dalam reaktor meskipun arus
substrat yang masuk cukup kuat. Sistem ini memompakan limbah masuk ke dalam reaktor
dengan cukup kencang sehingga terjadi proses pengadukan dan terjadi kontak antara
Reaktor expanded granular sludge bed mirip dengan reaktor UASB, tetapi dengan
tingkat kecepatan aliran ke atas yang lebih tinggi untuk memungkinkan air limbah
melewati tumpukan lumpur. Desain ini cocok untuk konsentrasi COD kurang dari 1 sampai
2 g COD/l atau untuk air limbah yang mengandung partikel tersuspensi yang tidak mudah
terbiodegradasi.
Karena kandungan padatan dan minyak yang tinggi dalam limbah keluaran pabrik
kelapa sawit, maka pengolahan menggunakan filter anaerobik, ßuidized bed, UASB, atau
EGSB lebih sulit untuk dilakukan. Kandungan minyak dan padatan yang tinggi dalam
POME harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum masuk ke sistem tersebut, sehingga
kolam tertutup untuk mengkonversi POME menjadi biogas. Kedua teknologi penguraian
anaerobik ini dapat menangani limbah dengan kandungan padatan dan minyak yang tinggi.
Kedua teknologi ini juga relatif mudah dioperasikan dan dipelihara serta lebih ekonomis
lingkungan tertentu agar dapat tumbuh dan berkembang biak. Kondisi lingkungan yang
optimal dapat menunjang pertumbuhan bakteri, sehingga biogas yang dihasilkan pun
dapat maksimal. Berikut faktor dalam (dari digseter) dan faktor luar yang dapat
Jenis bahan organik yang digunakan dapat berpengaruh terhadap lama waktu
fermentasi oleh bakteri. Pasalnya, masing-masing jenis bahan organik memiliki total padatan
yang berbeda, sehingga proses pembusukan material padatan pun akan berbeda. Secara umum,
urutan kandungan bahan organik berdasarkan lamanya waktu penguraian yaitu gula, protein,
lemak, hemiselulosa, dan lignin. Bahan organik berupa limbah pertanian yang banyak
mengandung selulosa dan lignin biasanya lebih lama diuraikan dibandingkan dengan limbah
kotoran ternak. Karena itu, bahan organik berupa kotoran ternak harus dicampur dengan
rumput keringt atau limbah pertanian agar proses fermentasi dapat berlangung optimal.
menjadi 6 atau lebih rendah akibat terbentuknya asam organik. Padahal, kehidupan
mikroorganisme selama proses fermentasi akan efektif dengan pH 6,5-7,5. Setelah dua
sampai tiga minggu, pH akan naik kembali yang menandakan perkembangan bakteri
metan. Penurunan pH yang ekstrem dapat dicegah dengan menambahkan larutan kapur,
seperti Ca(OH)2 atau CaCO3. Laju pencernaan anaerobik akan menurun jika kondisi pH
lebih rendah menyebabkan tidak seimbangnya populasi bakteri metagenik terhadap bakteri
menyebabkan produksi metan yang rendah. Pasalnya, bahan dengan rasio C/N tinggi hanya
mengandung nitrogen dengan kadar yang rendah. Padahal, nitrogen sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan kadar nitrogen, pada bahan harus ditambahkan bahan organic yang
Sementara itu, jika rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan berakumulasi
dalam bentuk amoniak sehingga menyebabkan bau busuk yang berlebih. Karena itu,
diperlukan tambahan bahan lain yang mengadnung karbon atau serat tinggi, seperti rumput,
d) Suhu
Aktivitas bakteri penghasil biogas juga sangat dipengaruhi oleh suhu di dalam
digester. Perubahan suhu yang mendadak dalam digester biogas dapat mengakibakan
penurunan produksi biogas secara cepat. Suhu ideal untuk produksi biogas adalah 32 oC
sampai 37oC. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan Digester rentan mengalami
e) Zat toksik
Zat toksik atau zat racun yang terkandung dalam bahan organic atau alat produksi
produksi biogas. Zat toksik tersebut diantaranya adalah ion mineral dan logam berat, seperti
tembaga, detergen, pestisida, kaporit, dan antiobiotik yang bersifat racun. Ion mineral
terlalu banyak, dapat menjadi racun bagi mikroorganisme tersebut. Oleh karena itu, air yang
menjadi campuran haruslah air yang tidak mengandung zat toksik seperti air sawah yang
tercampur pestisida, campuran air sabun, dan sumber air yang tercemar oleh bahan kimia
lainnya.
f) Pengadukan
dalam digester. Selain untuk mencampur bahan, pengadukan juga berfungsi untuk
Biasanya, pengendapan terjadi jika bahan yang digunakan berasal dari kotoran kering.
g) Starter
mikroorganisme perombak. Starter yang digunakan dapat berupa starter alami, semibuatan
dan huata. Starter alami yang berasal dari alam yang dapat berupa lumpur aktif organic
atau cairan isi rumen. Starter semi buatan didapat dari instalasi pembentuk biogas yang
masih dalam keadaan aktif. Sementara itu, starter buatan berupa bakteri metan yang
Tahapan Proses
Secara garis besar proses pembentukan biogas dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Contohnya polisakarida diubah menjadi
Pada tahap ini, bakteri (Acetobacter aceti) menghasilkan asam untuk mengubah
senyawa rantai pendek hasil proses hidrolisis menjadi asam asetat, hydrogen, dan karbon
dioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dan berkembah
dalam keadaan asam. Bakteri memerlukan oksigen dan karbondioksida yang diperoleh dari
oksigen yag terlarut untuk menghasilkan asam asetat. Pembentukan asam pada kondisi
anaerobic tersebut penting untuk pembentukan gas metana oleh mikroorganisme pada
proses selanjutnya. Selain itu bakteri tersebut juga mengubah senyawa berantai pendek
menjadi alcohol, asam organic, asam amino, karbon dioksida, hydrogen sulfide, dan sedikit
gas metana. Tahap ini termauk reaksi ekonomis yang menghasilkan energi.
proses asidifikasi menjadi metana dan CO2 dalam kondisi anaerob. Proses pembentukan
Tahap-tahap reaksi pembentukan secara biologi dan kimia pada fermentasi anaerob dapat
menciptakan suatu system kedap udara dengan bagian-bagain pokok yang terdiri dari
tangka pebcerna (digester tank), lubang input bahan baku, lubang output lumpur sisa hasil
pencernaan (slurry) dan lubang penyaluran biogas yang terbentuk. Dalam digester
terkandung bakteri metana yang akan mengolah limbah organik menjadi biogas. Proses
anaerobic berlangsung baik, maka terlihat gelembung-gelembung gas yang keluar dari
Bagian utama dari pabrik konversi POME menjadi biogas meliputi pengolahan
awal kemudian masuk ke sistem Bio-digester, scrubber H2S Dehumifier dan gas engine.
a. Sistem Bio-Digester
kolam sedimentasi. Pada proses pengolahan awal, POME dikondisikan untuk mencapai
nilai-nilai parameter yang standar untuk masuk ke digester. Pada proses ini, dilakukan
proses penyaringan untuk menghilangkan partikel besar seperti kotoran atau serat. Proses
pengadukan dan netralisasi pH dilakukan untuk mencapai pH optimal pada 6,5–7,5. Sebuah
sistem pendinginan (cooling tower atau heat exchanger) berfungsi untuk menurunkan suhu
POME menjadi sekitar 40°–50°C. Suhu digester harus dijaga di bawah 40˚C agar kondisi
mesofilik optimal. Penurunan suhu ini juga dibantu dengan proses resirkulasi air limbah
berupa kolam tertutup atau CSTR. Proses penguraian POME menghasilkan biogas dan residu
(slurry). Digester dirancang kedap udara dan air. Digester dibuat dalam berbagai bentuk dan
ukuran, dan dari berbagai bahan. Ukuran digester ditentukan berdasarkan laju alir POME,
beban COD, dan waktu retensi hidrolik (HRT) yang diperlukan untuk penguraian yang optimal
Air limbah hasil proses anaerobik dari digester mengalir ke kolam sedimentasi di
mana POME yang telah terurai dipisahkan lebih lanjut dari lumpur dan padatan.
Perkebunan dapat menggunakan limbah cair dari sedimentasi sebagai pupuk. Sistem
pembuangan padatan berfungsi untuk memisahkan lumpur dan padatan yang terakumulasi
digester pada kolam tertutup atau pada bagian atap tangki pada sistem tangki/CSTR. Sistem
kolam tertutup mempertahankan tekanan rendah 0–2 mbarg (tergantung pada desain penyedia
teknologi), sementara sistem tangki menyimpan biogas pada tekanan yang lebih tinggi yakni
8−30 mbarg. Pabrik pengolahan kelapa sawit umumnya tidak menggunakan tangki
penyimpanan biogas yang terpisah karena biayanya tinggi. Sistem tangki memiliki kapasitas
penyimpanan biogas antara 30 menit hingga 3 jam, sedangkan kolam tertutup memiliki
kapasitas penyimpanan 1 hingga 2 hari. Biogas yang terkumpul di dalam digester kemudian
dialirkan dan diproses lebih lanjut ke dalam sistem pengolahan gas atau dibakar dalam flare.
Pada tahap ini sebelum biogas menghasilkan daya listrik, scrubber hidrogen
sulfida digunakan untuk menurunkan konsentrasi H 2S ke tingkat yang disyaratkan oleh gas
engine, biasanya di bawah 200 ppm. Hal bertujuan untuk mencegah korosi,
mengoptimalkan operasi, dan memperpanjang umur gas engine. H 2S dalam biogas berasal
dari komponen sulfat (SO2) dan sulfur lainnya dalam air limbah.
Dalam digester anaerobik pada kondisi tidak ada oksigen, sulfat berubah menjadi
H2S. Ada tiga jenis scrubber yang digunakan dalam proses desulfurisasi untuk menurunkan
kandungan H2S dalam biogas, yaitu scrubber biologis, kimia, atau air. Scrubber biologis
scrubber kimia menggunakan bahan kimia seperti NaOH untuk mengubah H2Smenjadi
SO4. Scrubber air bekerja berdasarkan penyerapan fisik dari gas-gas terlarut dalam air dan
menggunakan air bertekanan tinggi. Scrubber biologis biasa digunakan untuk aplikasi
c. Dehumidifier Biogas
Dehumidifier gas, dalam bentuk dryer, chiller, atau cyclone; berfungsi untuk
mengurangi kadar air dalam biogas yang akan dialirkan ke dalam gas engine. Dehumidifier
mengambil air yang terkandung dalam biogas. Hal ini membantu mengoptimalkan proses
pembentukan asam. Asam terbentuk saat air bereaksi dengan H2S dan oksigen. Biogas
yang berkualitas tinggi dengan kelembaban relatif di bawah 80% meningkatkan efisiensi
d. Gas Engine
Gas engine termasuk mesin pembakaran dalam yang bekerja dengan bahan bakar
gas seperti gas alam atau biogas. Setelah kandungan pengotor pada biogas diturunkan
hingga kadar tertentu, biogas kemudian dialirkan ke gas engine untuk menghasilkan listrik.
Bergantung pada spesifikasi gas engine yang digunakan, gas engine yang berbahan bakar
biogas umumnya memerlukan biogas dengan kadar air dibawah 80% dan konsentrasi H 2S
kurang dari 200 ppm. Gas engine mengubah energi yang terkandung dalam biogas menjadi
energi mekanik untuk menggerakkan generator yang menghasilkan listrik. Biasanya gas
Biogas yang dihasilkan dari proses penguraian anaerobik dapat menjadi bahan
bakar boiler. Burner gas biasanya dipasang pada dinding boiler. Biogas merupakan bahan
bakar alternatif bagi boiler untuk menghasilkan panas atau listrik menggantikan bahan
bakar biomassa, seperti cangkang dan serat, yang biasa digunakan di pabrik kelapa sawit.
f. Flare Biogas
Flare Biogas digunakan di industri proses atau pabrik untuk membakar kelebihan
gas. Dengan alasan keamanan, pembangkit listrik tenaga biogas harus memasang Flare
untuk membakar kelebihan biogas, terutama pada saat biogas tidak bisa diumpankan ke gas
engine atau peralatan pembakaran lainnya. Umumnya hal ini terjadi saat puncak panen
tandan buah segar, yang menyebabkan kelebihan produksi biogas. Kelebihan produksi
meningkatkan laju alir biogas melebihi batas maksimum biogas yang dapat masuk ke gas
engine. Flare juga digunakan saat gas engine sedang tidak beroperasi dalam masa
pemeliharaan. Instalasi biogas tanpa gas engine atau boiler harus menggunakan ßare secara
terus−menerus untuk membakar biogas. Operator tidak boleh melepaskan kelebihan biogas
secara langsung ke atmosfer karena sifatnya yang mudah terbakar pada konsentrasi tinggi.
Selain itu, pelepasan biogas secara langsung juga berarti pelepasan gas rumah kaca ke
parameter seperti suhu, pH, aliran cairan dan gas, serta tekanan gas. Sistem kontrol juga
digunakan untuk menghentikan sistem secara manual maupun otomatis saat kondisi tidak
aman.
Limbah cair organik yang dihasilkan selama produksi kelapa sawit merupakan
sumber energi besar yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia (Tabel 2.4.). Potensi
listrik dari dari konversi POME menjadi biogas yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit
Tabel 2.4 Potensi energi pada setiap jenis limbah kelapa sawit
No Jenis Limbah Bentuk Kandungan Energi (Kcal)
1. Crude Palm Oil Cair 20 – 23% -
2. Inti Sawit (Kernel) Padat 5–7% -
3. Janjang Kosong Padat 22 – 23% 4492/kg
4. Serat (Fiber) Padat 12 – 14% 2637 – 4554 /kg
5. Cangkang (Shell) Padat 6- 8% 4105 – 4802/kg
6. POME Cair 2 ton 4695 – 8569 /m3
Sumber : Sri Rahayu Ade et al., (2015)
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian tahap I
Penelitian ini menggunakan metode analisis berupa Deskriptif Kuantitatif serta Analisis
Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis Deskriptif Kuantitatif berfungsi untuk mengidentifikasi
pra syarat pengembangan energi baru dan energi terbarukan, termasuk perhitungan potensi listrik
yang dihasilkan dari masing-masing sumber EBT, serta menentukan skenario untuk menghitung
bauran energi Kabupaten Musi Rawas tahun 2025 dan 2050. SIG berfungsi sebagai alat pengolah
data spasial untuk memetakan potensi sumber energi baru terbarukan berdasarkan kondisi
geografis, seperti data ketinggian, tutupan lahan, panjang jalan serta ruang terbangun. SIG juga
berfungsi untuk menggabungkan data (Overlay) kriteria fisik, sosio-ekonomi serta atribut
Pengumpulan data dilakukan melalui telaah dokumen dari berbagai sumber, diantaranya
yaitu BPS Kabupaten Musi Rawas, Data perusahaan pabrik kelapa sawit dari Dinas Lingkungan
Hidup Kabupaten. Sementara itu, analisis potensi pengembangan EBT dilakukan dengan
menghitung besaran listrik yang dapat dihasilkan dari masin-gmasing sumber. Sesuai dengan
Melakukan analisis kelayakan teknis dan finansial terhadap pembangkit listrik biogas,
dengan mengambil sampel Pabrik kelapa sawait PT Evans Lestari dengan Kapasitas 60
ton/jam
Analisis Biaya
Analisis Ekonomi Teknik Secara umum analisis ekonomi mengarah kepada perhitungan
biaya. Adapun biaya tersebut meliputi biaya investasi, biaya operasi, dan biaya perawatan.
dan pengembangan pembangkit tenaga listrik. Dari sisi ekonomi, analisa tersebut meliputi
Net Present Value (NPV), Return of Investment (ROI), Benefit-Cost Ratio (BCR) dan
Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal kegiatan usaha dalam
jumlah yang relatif besar dan berdampak jangka panjang sehingga dapat memberikan
manfaat bagi perusahaan. Biaya investasi untuk pembangunan PLTBg meliputi biaya EPC
dan biaya non EPC. Harga biaya diperoleh berdasarkan pada Buku Panduan Konversi
Biaya operasional dan perawatan adalah biaya yang dikeluarkan selama PLTBg
beroperasi. Biaya operasional dan perawatan meliputi biaya tetap (fixed cost) yaitu biaya
yang tidak berhubungan terhadap besar tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit
tenaga dan biaya tidak tetap (variabel cost) yaitu biaya yang berkaitan dengan pengeluaran
untuk alat-alat dan perawatan yang dipakai dalam periode pendek dan tergantung pada
Pada pembangkit ini menggunakan bahan bakar dari limbah cair pabrik kelapa
sawit. Oleh sebab itu pada pembangkit ini tidak dikenakan biaya bahan bakar. Akan tetapi
biaya bahan bakar dimasukkan ke dalam biaya operasional, yaitu bagaimana untuk
Penenlitian tahap 3
Melakukan analisis kelayakan teknis dan ekonomi terhadap beberapa pabrik kelapa sawit
dengan kapasitas yang berbeda, sehingga didapat standar minimal kapasitas pabrik untuk
A. Kanwal et al., “Recent advances in green carbon dots (2015–2022): synthesis, metal ion
sensing, and biological applications,” Beilstein J. Nanotechnol., vol. 13, pp. 1068–
1107, 2022.
E. Bompard et al., “An electricity triangle for energy transition: Application to Italy,” Appl.
Energy, vol. 277, p. 115525, 2020, doi: https://doi.org/
10.1016/j.apenergy.2020.115525.
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi. 2015. Road Map
Pengembangan EBTKE 2014- 2019. Jakarta :Ditjen EBTKE
FAO, “Unified Bioenergy Terminology,” no. December, pp. 1–50, 2004, [Online].
Available:http://www.fao.org/3/b-j4504e.pdf
Hambali, Erliza dkk. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta: Agro Media Pustaka.
H. Hu, W. Xue, P. Jiang, and Y. Li, “Bibliometric analysis for ocean renewable energy:
Ancomprehensive review for hotspots, frontiers, and emerging trends,” Renew.
Sustain. Energy Rev.,vol. 167, p. 112739, 2022, doi:
https://doi.org/10.1016/j.rser.2022.112739.
J. A. Lesser and X. Su, “Design of an economically efficient feed-in tariff structure for
renewable energy development,” Energy Policy, vol. 36, no. 3, pp. 981–990, 2008,
doi:https://doi.org/10.1016/j.enpol.2007.11.007.
K. Jayaswal, D. K. Palwalia, and A. Sharma, “Renewable Energy in India and World for
Sustainable Development,” in Power Electronics for Green Energy Conversion,
2022, pp. 67–89. doi:https://doi.org/10.1002/9781119786511.ch3.
N. A. Rashidi, Y. H. Chai, and S. Yusup, “Biomass Energy in Malaysia: Current Scenario,
Policies, and Implementation Challenges,” BioEnergy Res., vol. 15, no. 3, pp. 1371–
1386, 2022, doi:10.1007/s12155-022-10392-7.
Pamudji, N. (2015). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero)
2015-2024. Jakarta: PT PLN (Persero).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi
Nasional,
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Eenergi
Nasional, no. Kebijakan energi nasional. 2006, p. 5.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008, Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008. 2008, pp. 1–18.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 12 Tahun
2015,
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 12 Tahun
2015. 2015, pp. 1–6.
Q. Wang, R. Huang, and R. Li, “Impact of the COVID-19 pandemic on research on marine
plastic pollution – A bibliometric-based assessment,” Mar. Policy, vol. 146, p.
105285, 2022, doi:https://doi.org/10.1016/j.marpol.2022.105285.
S. Mujiyanto and G. Tiess, “Secure energy supply in 2025: Indonesia’s need for an energy
policy strategy,” Energy Policy, vol. 61, no. 5, pp. 31–41, 2013, doi:
10.1016/j.enpol.2013.05.119.
Tirto.id, “Apa itu Biomassa & Jenisnya: Pengertian Biogas, Ethanol, Biodiesel,” 2021.
https://tirto.id/apa-itu-biomassa-jenisnya-pengertian-biogas-ethanol-biodiesel-gbck