Anda di halaman 1dari 5

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.

: 1 – 5
HAMBATAN POLITIK, ECOLITERACY DAN
KEPEMIMPINAN LINGKUNGAN

Budi Widianarko*)

“We may know what to do, but fail to do it for some reason, perhaps limited money, social constraint or political
will” (Stephen Trudgill, 1990)

Abstract
Environmental problems in Indonesia tend to be unsolved or, at most, partially solved. Thanks to the media, at
present public discourse on environmental cases has been on the rise. It is not uncommon to find high profile
environmental cases as media headlines. As Indonesia has been moving toward a more democratic governance,
civil society involvements in environmental problems are often in the form of a more concrete action, such as
protest and demonstration. Unfortunately, so far societal pressures have been ineffective in reducing the extend
of environmental problems. Most likely, the polictical barrier for environmental protection is just too great to
surpass. One of the possible explanation for this is the lack of environmental leadership among political leaders
both in the government and civil society.This paper analyzes the existing barriers to environmental mitigation,
and proposes the pivotal role of ecoliteracy to bolster the environmental leadership and governance in Indonesia.

Keywords : ecoliteracy, environmental leadership, political barrier


Prolog sumberdaya alam secara berlebihan. Persoalan
lingkungan tersebut cenderung menjadi “klasik”
Catatan sejarah menunjukkan bahwa
karena penyelesaian kasus-kasus lingkungan
banyak peradaban kuno yang tumbang karena
cenderung “alot”, untuk tidak mengatakan
kerusakan lingkungan dan eksploitasi
terkatung-katung.
sumberdaya alam. Beberapa peradaban kuno
Sudah begitu sering kasus-kasus
yang mengalami nasib serupa, antara lain Indian
lingkungan terangkat sebagai wacana publik
Maya di Amerika Tengah, Zimbabwe Raya di
(terimakasih pada media). Bisa dikatakan, akhir-
Afrika dan Angkor Wat di Kamboja. Dalam
akhir ini kasus lingkungan sepertinya sudah
literatur lingkungan, fenomena eksploitasi dan
menjadi “langganan” berita utama (headline)
perusakan lingkungan dikenal sebagai bunuh diri
media cetak maupun elektronik. Tidak jarang,
ekologis.
seiring dengan terbukanya “kran” demokrasi,
Jika pada peradaban kuno hanya dikenal
keterlibatan masyarakat (stakeholder) tidak
8 (delapan) kategori bunuh diri ekologis, maka
hanya sebatas ber”wacana”, tetapi juga
masa sekarang mengenal 12 (dua belas) kategori
terwujud dalam aksi-aksi yang lebih konkrit –
– yaitu (1). pembalakan hutan dan perusakan
seperti unjuk rasa, “pendudukan” lahan,
habitat, (2) kerusakan lahan (erosi, salinisasi,
penutupan saluran limbah dan sebagainya.
kehilangan kesuburan), (3) manajemen air, (4)
Tetapi anehnya gelombang tekanan masyarakat
perburuan yang berlebihan, (5) pengambilan
seperti tidak mempan untuk memicu
ikan yang berlebihan, (6) dampak introduksi
penyelesaian tuntas kasus-kasus itu. “Anjing
spesies baru, (7) pertumbuhan penduduk, (8)
menggonggong kafilah tetap berlalu”. Seolah ada
peningkatan dampak per kapita penduduk, (9)
“lengan-lengan” kekar- yang tak terlihat - yang
perubahan iklim, (10) pencemaran kimia, (11)
mampu menahan penyelesaian kasus-kasus itu.
kekurangan energi, dan (12) pemborosan
Inilah “misteri” yang harus segera diungkap dan
kapasitas fotosintesis bumi (Diamond, 2007).
dipecahkan. Menurut pengalaman di negara-
Empat kategori terakhir (cetak miring)
negara yang lebih berpengalaman menghadapi
merupakan ancaman yang muncul dalam
kasus-kasus lingkungan, seperti Amerika Serikat
peradaban kita sekarang.
dan Jepang, faktor politik sering disebut-sebut
Indonesia tentu saja tidak terkecualikan
sebagai yang bertanggungjawab atas “misteri”
dari keduabelas (12) tantangan lingkungan itu.
itu. Untuk memecahkan “misteri” itu,
Di berbagai penjuru negeri ini, “borok-borok”
pemberdayaan lingkungan para tokoh politik –
lingkungan masih “menganga”, seperti (1)
baik di daerah maupun pusat - tidak dapat
limbah dan pencemaran yang merusak mutu
ditawar lagi. Gerakan ecoliteracy (“melek
lingkungan (air, tanah dan udara), (2) kerusakan
lingkungan”) sudah mendesak untuk segera
eksosistem (pantai, daerah aliran sungai, hutan
dipromosikan di kalangan politisi. Diharapkan
dll), (3) ketidakseimbangan sumberdaya air
dengan memiliki ecoliteracy yang cukup para
(banjir dan kekeringan), (4) konversi dan
politisi akan menjalankan kepemimpinan
degradasi lahan yang berakibat terhadap
lingkungan (environmental leadership) yang dapat
penurunan produksi pertanian, (5) penurunan
keanekaragaman hayati, (6) eksploitasi

*) Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP), UNIKA Soegijapranata


(widianarko@unika.ac.id)
Hambatan Politik, Ecoliteracy dan
Kepemimpinan Lingkungan (Budi Widianarko)

tercermin dari kebijakan-kebijakan “pembelaan”


lingkungan yang mereka buat.

Hambatan Politik
MASALAH
Salah satu bencana lingkungan yang
terkatung-katung tanpa penyelesaian yang jelas
adalah bencana lumpur Lapindo. Bencana
dahsyat itu telah berlangsung sejak 29 Mei 2006 KESEPAKATAN
yang lalu. Penyelesaian tuntas atas bencana itu
masih jauh panggang dari api. Yang berlangsung
di Porong saat ini adalah suatu pembiaran. PENGETAHUAN
Terlepas bahwa “bandul” pertanggungjawaban
masih terus berayun, penguasa harus tampil
sebagai penyelamat. TEKNOLOGI
Disengaja atau tidak, penanggulangan
bencana Lapindo justru terhambat oleh
perdebatan yang tidak dibutuhkan korban. Setali EKONOMI
tiga wang dengan perdebatan seputar penyebab
semburan lumpur, debat terkini soal penutupan
lumpur Lapindo-pun masih berkutat dalam SOSIAL
ranah teoretik ilmiah. Komentar bijak Herry
Harjono, Deputi Ilmu Kebumian LIPI
(KOMPAS, 23/2/2008) layak untuk diperhatikan: POLITIK
“perbedaan pandangan antara pihak yang terlibat
Gerakan Menutup Lapindo dan pihak pelaksana
pengeboran dapat dijembatani jika keduanya miliki SOLUSI
itikad yang sama, yaitu menutup semburan lumpur
untuk kepentingan masyarakat pada umumnya”.
Memang itikad atau political will itulah kata
kuncinya. Gambar 1
Bencana Lumpur Lapindo hanyalah satu Hirarki Hambatan Pemecahan Masalah
dari sekian banyak persoalan lingkungan di Lingkungan
negeri ini yang tidak terselesaikan secara tuntas.
Rupanya apa yang disebut oleh Stephen Trudgill Setelah sebuah kasus lingkungan
(1990) sebagai “barriers to a better environment” teridentifikasi, maka hambatan pertama yang
memang terbukti di Indonesia. Penempatan muncul adalah hambatan kesepakatan.
hambatan politik (political barrier) sebagai Ketidaksepahaman bisa berkisar tentang apakah
pemuncak hirarki “generik” hambatan masalah tersebut benar-benar ada dan seberapa
pemecahan masalah lingkungan tampaknya “penting”nya. Bahkan ketika kasus tersebut
memang harus diakui kebenarannya (justified). sudah disepakati sebagai masalah yang harus
Dalam skema A-K-T-E-S-P yang ditawarkannya, dipecahkan, konsensus tentang cakupan dan
Trudgill (1990) menempatkan faktor politik cara-cara mencapai penyelesaian serta tujuan
sebagai hambatan terakhir setelah hambatan- akhir harus dicapai.
hambatan sosial, ekonomi, teknologi, Selanjutnya, jika hambatan
pengetahuan dan kesepakatan (social, kesepakatan sudah dilewati, maka hambatan
economic, technological, knowledge & agreement pengetahuan memunculkan pertanyaan
barriers) (lihat gambar berikut). selanjutnya: apakah tersedia cukup bukti dan
pengetahuan tentang penyebab, proses
terjadinya, dan dampak masalah itu? (We may
agree that something should be done about a
problem, but we may not know what the cause of it
is.) Setelah hambatan pengetahuan teratasi,
maka pertanyaan yang muncul berikutnya
adalah: apakah kita memiliki sarana untuk
memecahkan masalah itu. (We may agree on the
problem, know what its cause is, but not have the
means to tackle it.) Inilah hambatan teknologi.

2
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 1 - 5

Pada puncaknya, setelah ketiga hambatan mencakup kekuatan finansial dan akses lobi
sebelumnya teratasi, maka hambatan sosial, politik, di samping akses terhadap media.
ekonomi dan politik menghadang Kemampuan untuk menarik perhatian media
penyelesaian masalah lingkungan. (We may know merupakan langkah awal penting dalam proses
what to do, but fail to do it for some reason, pertarungan penetapan agenda dalam daur
perhaps limited money, social constraint or political kebijakan lingkungan (Smith, 1992).
will.) Ketiga hambatan terakhir ini saling terkait Dalam rejim yang inkrementalis,
dan merupakan faktor-faktor penentu kebijakan publik diambil hanya berdasarkan
(determining factors) dalam penyelesaian masalah beberapa alternatif terbatas. Evaluasi seluruh
lingkungan. Dalam banyak kasus, seringkali alternatif yang tersedia tidak dilakukan dengan
terjadi penekanan yang berlebihan terhadap pertimbangan keterbatasan informasi dan waktu
faktor sosial, ekonomi dan politik sehingga atau dorongan untuk mencapai konsensus
kebenaran pengetahuan ilmiah “terpaksa” (Smith, 1992). Alternatif yang dipertimbangkan
dikorbankan. Akibatnya sudah jelas kepentingan dan opsi yang akhirnya dipilih tidak akan
lingkungan dikalahkan oleh kepentingan sosial, berbeda jauh dari kebijakan yang sudah ada.
ekonomi dan politik – yang notabene hasil Konsekuensi dari masing-masing alternatif hanya
“kreasi” manusia sepenuhnya. dievaluasi secara terbatas. Masalah yang
Kinerja pengelolaan lingkungan dalam dievaluasi senantiasa ditinjau ulang dan
suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh ciri disesuaikan sehingga menjadi masalah yang lebih
pluralism dan incrementalism dalam sistem mudah dikelola (manageable).
demokratik. Pluralism dapat dimaknai sebagai Dengan keterbatasan kapasitas dan
suatu pengambilan kebijakan publik yang diambil informasi, sangat masuk akal terjadi
terutama melalui tawar-menawar (bargaining), penyederhanaan pengambilan keputusan untuk
kompromi (compromise) dan negosiasi mempermudah implementasinya. Karena politik
(negotiation) di antara kelompok-kelompok pada dasarnya melibatkan imbal pengorbanan
kepentingan (interest groups) dalam masyarakat. (trade-offs), tawar menawar (bargaining) dan
Para politisi seharunya berperan sebagai kompromi (compromise) maka tidaklah
penyeimbang di antara kelompok-kelompok mengherankan jika kebijakan yang diambil saat
kepentingan tersebut. ini tidak berbeda jauh dari kebijakan
Menurut Smith (1992) kepentingan sebelumnya.
utama dalam masyarakat secara umum dapat Tidak bisa dipungkiri dalam masyarakat
direpresentasikan oleh dua kelompok besar di negara manapun, terutama yang didominasi
saja, yaitu kelompok kepentingan ekonomi oleh kapitalisme, selalu terdapat bias ideologi
(private economic interest group) dan kelompok yang lebih memihak pada pembangunan (Smith,
kepentingan publik (public noneconomic interest 1992; Fujikura, 2002). Asumsi-asumsi normal
group). Secara khas kelompok kepentingan dalam sistem kapitalis tentang produksi dan
ekonomi (swasta) cenderung mengejar konsumsi seringkali berbenturan dengan
keuntungan non-kolektif atau hanya untuk prinsip-prinsip pelestarian lingkungan (Smith,
kelompoknya sendiri. Kelompok kepentingan 1992). Bias yang sama tentu saja dapat dijumpai
publik adalah mereka yang memperjuangkan pula dalam masyarakat Indonesia. Ideologi
kepentingan kolektif, seperti keamanan, pembangunan ekonomi sebagai mainstream –
perlindungan hak asasi, kualitas lingkungan dan seperti tercermin dalam strategi pemulihan
lain-lain. Organisasi-organisasi pembela ekonomi pasca krisis yang sangat
lingkungan merupakan salah satu contoh mengutamakan investasi dan cenderung
kelompok kepentingan publik ini. Kedua mengabaikan aspek lingkungan. Hal ini berisiko
kelompok kepentingan tersebut selalu untuk berbenturan dengan ideologi
berbenturan dalam seluruh daur kebijakan pembangunan berkelanjutan yang telah diadopsi
(policy cycle) lingkungan, sejak dari (1) penetapan oleh pemerintah Indonesia.
agenda (agenda setting), (2) pembuatan Bias kepentingan jangka pendek sering
kebijakan (policy making) dan (3) implementasi dihadapi para politisi dalam mengambil sebuah
kebijakan (policy implementation) (Trudgill, 1990; kebijakan. Umumnya para politisi akan memilih
Smith, 1992). alternatif kebijakan yang aman dalam jangka
Keberhasilan kelompok kepentingan pendek (low short-term costs) meskipun berbiaya
tertentu dalam mempengaruhi kebijakan besar dalam jangka panjang (high long-term costs)
lingkungan sangat ditentukan oleh sumberdaya dibanding sebaliknya (Smith, 1992).
yang dimilikinya. Kelompok yang memiliki Dalam proses desentralisasi pengelolaan
kekayaan sumberdaya akan dapat lebih lingkungan, misalnya, perilaku politisi lokal
berperan dalam panggung pengambilan merupakan faktor keberhasilan utama. Menurut
keputusan. Sumberdaya tersebut terutama Gibson & Lehoucq (2003) desentralisasi sering

3
Hambatan Politik, Ecoliteracy dan
Kepemimpinan Lingkungan (Budi Widianarko)

berangkat dari beberapa asumsi ideal Serikat (MacDonald, 2003) mungkin layak dikaji
pemerintah lokal seperti: (1) mengedepankan sebagai bahan renungan.
kesejahteraan masyarakat, (2) selalu menyambut
baik setiap wewenang yang dialihkan dari tingkat Dua minggu setelah pelantikan Richard
pusat, dan (3) selalu berusaha sesuai dengan Nixon (29/1/1969) terjadi bencana semburan
tujuan desentralisasi. Satu-satunya kekurangan minyak dan gas akibat pengeboran minyak di
pemerintah lokal yang diasumsikan adalah anjungan Union Oil Company pada kedalaman
kelemahan kapasitas teknis dan finansial. Padahal 3500 kaki, enam mil lepas pantai Santa Barbara,
seringkali asumsi-asumsi tersebut tidak California. Setidaknya 200,000 galon minyak
tercermin dalam realitas. mentah tersebar di perairan seluas 800 mil
Dalam studinya Gibson & Lehoucq persegi. Ketika mendapat laporan awal tentang
(2003) menyimpulkan bahwa kecenderungan bencana itu, Presiden Nixon tidak “tergerak”.
politisi untuk mempertahankan kekuasaan Namun liputan media yang sangat gencar
adalah determinan utama terjadinya berhasil “menyeret” sang Presiden untuk terjun
penyimpangan dari asumsi-asumsi tersebut. ke lapangan. Berikut ini adalah cuplikan kisah
Studi di delapan kota di Bangladesh, India, Pantai Gordon MacDonald ketika mengantar Richard
Gading dan Ghana menunjukkan bahwa Nixon ke lokasi.
pelayanan publik terbaik dijumpai di kota-kota “...Untuk menunjukkan kepada publik
yang dipimpin oleh walikota yang dipilih secara bahwa semuanya baik-baik saja, Presiden akan
demokratis, independen dari pemilihan dewan berjalan menyusuri pantai, dan diliput langsung
kota. Serupa dengan pengamatan di lima negara oleh juru kamera televisi. Saya berjalan di sisi
tersebut, studi di 16 kota Columbia mendapati kanan Nixon dan di sisi kirinya, Fred Hartley,
bahwa kepuasan warga terhadap pemerintah pimpinan Union Oil Company. Di sepanjang
kota merupakan fungsi dari (1) kompetisi dalam perjalanan yang dirancang rapi itu, Hartley terus-
pemilihan, (2) keterlibatan komunitas dan (3) menerus meyakinkan bahwa tidak ada kerusakan.
kepemimpinan yang inovatif. Dia mengulang-ulang hal itu, “I don’t like to call
it a disaster, because there has been no loss
Ecoliteracy dan Kepemimpinan of human life. I am amazed at the publicity
Lingkungan for the loss of a few birds.” Dia juga
Kuatnya hambatan politik dalam setiap menegaskan tidak ada minyak sama sekali di
pemecahan masalah lingkungan perlu diatasi pantai itu.”
dengan “pemberdayaan” para penguasa politik. “Saking” gusarnya MacDonald terhadap
Meminjam istilah Fritjof Capra (2002), gerakan pengingkaran Hartley itu, maka terjadilah
ecoliteracy (“melek lingkungan”) sudah sebuah drama kecil ..Impulsively, I kicked at
mendesak untuk segera dipromosikan di the sand, sending an oily glob of sand onto
kalangan politisi. Secara sederhana ecoliteracy a highly strategic area of the President’s
bisa didefinisikan sebagai pemahaman, trousers. Hartley apologized profusely for
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ekologi my action, and began brushing off the
yang berguna dalam menyikapi persoalan- President's pants, much to the delight of the
persoalan lingkungan. Ecoliteracy berbeda TV cameramen.”
dengan ekologi, karena yang disebutkan Peristiwa itu ternyata berhasil mengubah
pertama merupakan sebuah paket dari kognisi sikap skeptis Nixon, sehingga dalam jumpa pers
hingga afeksi. Manifestasi taraf ecoliteracy para setelah itu ia berungkap, “It is sad that it was
politisi akan tercermin dari kebijakan-kebijakan necessary that Santa Barbara should be the
“pembelaan” lingkungan yang diambil. example that had to be bring to the
Dalam kasus Lumpur Lapindo, misalnya, attention of the American people [sic].
pembiaran bencana itu sedikit banyak juga What is involved is the use of our resources
menyangkut soal ecoliteracy. Para pemimpin of the sea and of the land in a more
politik negeri ini tentu saja sudah mengerti dan effective way, and with more concern for
memahami bencana yang terjadi di sana, tetapi preserving the beauty and the natural
mereka gagal bersikap dan bertindak. Ada resources that are so important to any kind
respon yang tertunda (delayed response). Ada of society that we want for the future. The
kesenjangan antara kognisi dan afeksi. Untuk Santa Barbara incident has frankly touched
menghapus kesenjangan itu diperlukan sebuah the conscience of the American people.”.
proses. Dalam kaitan ini, kisah mendiang Belajar dari perubahan sikap Nixon di
Profesor Gordon MacDonald ketika bertugas atas, jelas yang diperlukan adalah perubahan
sebagai anggota Dewan Mutu Lingkungan di persepsi penguasa untuk nantinya menghasilkan
masa kepresidenan Richard Nixon, di Amerika sikap memihak pada korban. Secara kognitif

4
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 1 - 5

sangat boleh jadi Richard Nixon telah Epilog


memahami berbagai kenis kerusakan ekosistem. Komitmen terhadap lingkungan adalah
Namun, tanpa “percikan” noda minyak di salah satu unsur terpenting dalam
celananya, mungkin masih dibutuhkan waktu kepemimpinan lingkungan (environmental
lebih lama untuk menyadarkan Nixon. Dalam leadership), namun komitmen harus didukung
drama itu, kesadaran Nixon akan bencana sudah oleh ecoliteracy dan dilengkapi dengan
menyentuh ranah emosi. Ketika emosi sudah keteladanan. Pengalaman selama ini
tersentuh maka bisa diharapkan lahir sebuah menunjukkan bahwa perbaikan lingkungan bisa
persepsi baru terhadap suatu bencana akan terjadi jika ada perubahan perilaku masyarakat.
muncul. Perubahan persepsi ini pada gilirannya Pendekatan hukum dan teknis seringkali tidak
mampu mentransformasi kognisi lingkungan mampu menghasilkan perubahan perilaku yang
menjadi tindakan (afeksi) yang pro lingkungan. berarti.
Salah satu sarana lain untuk terus Lebih jauh, dalam iklim demokrasi,
meningkatkan taraf ecoliteracy para politisi kepemimpinan lingkungan perlu dipadukan
adalah pemantauan terhadap kinerja dengan ketataprajaan lingkungan (environmental
“pembelaan” lingkungan mereka. Ceruk (niche) governance). Pemerintah dituntut untuk
tugas ini dapat diemban oleh pihak ketiga yang bekerjasama dengan para stakeholders: dunia
independen. Dalam melaksanakan aktivitasnya, usaha, perguruan tinggi, kelompok-kelompok
sebuah lembaga pemanatu mutlak bekerja sama swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga
dengan media. Dengan pengungkapan hasil swadaya masyarakat. Keberhasilan pemerintah
pemantauan terhadap kebijakan lingkungan para tidak sekedar ditentukan berdasarkan
politisi kepada masyarakat luas maka secara keberhasilan menjalankan kebijakannya sendiri,
bertahap taraf ecoliteracy para politisi diharapkan melainkan juga kemampuannya dalam
akan “dipaksa” meningkat. Bahkan sebenarnya, mendorong usaha-usaha LSM, dunia usaha, dan
pemantauan yang jujur dan kredibel justru akan kelompok masyarakat lain.
menjadi stimulus bagi para politisi yang sadar
bahwa kinerja “pembelaan” lingkungan yang baik
akan memberikan political gain bagi mereka. DAFTAR PUSTAKA
Sosialisasi hasil pemantauan terhadap
kinerja “pembelaan“ lingkungan para politisi Capra, F. 2002. The Hidden Connections – A
dengan sendirinya akan membuka “mata” Science for Sustainable Living. London:
konstituen politik. Dengan begitu para politisi Harper Collins Publishers.
justru akan mendapatkan apa yang disebut oleh Diamond, J. 2006. Collapse. London: Penguin
Trudgill (1990) sebagai “vote catching potential”. Books.
Electability (keterpilihan?) partai atau politisi Fujikara, R. “The Background to Successful Air
justru akan meningkat karena kinerja Pollution Control in Japan”. Regional
“pembelaan” lingkungan yang dilakukannya. Workshop on Promoting Practical
Taraf ecoliteracy yang memadai akan Environmental Compliance and
memungkinkan para politisi menjalankan Enforcement Approaches in East Asia,
kepemimpinan lingkungan (environmental Manila, June 24-29, 2002.
leadership) yang dapat membuahkan kebijakan- Gibson, C.C. & F.E. Lehoucq. 2003. “The Local
kebijakan yang membela lingkungan. Dalam Politics of Decentralized Environmental
kaitan ini, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Policy in Guatemala”. Journal of
Rachmat Witolear (Kominfo-Newsroom, Environment and Development 12(1): 28-
23/01/08) pernah menyatakan bahwa salah satu 49
faktor penting yang kurang mendapat perhatian Kominfo-Newsroom,23 Januari 2008. Kompas,,
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan 23 Februari 2008.
berwawasan lingkungan adalah lemahnya MacDonald, G. J. 2003. “Environment:
komitmen pejabat negara baik di pusat maupun Evolution of A Concept”. The Journal of
di daerah. Komitmen lingkungan mensyaratkan Environment and Development , 12 (2),
taraf ecoliteracy tertentu. Tanpa memiliki 151-176.
ecoliteracy yang cukup seorang politisi tidak akan Smith, Z.A. 1992. The Environmental Policy
dapat berperan sebagai pemimpin lingkungan Paradox. Englewoods Cliff, New Jersey:
(environmental leader). Singkatnya, untuk Prentice Hall.
menghasilkan sebuah kepemimpinan lingkungan Trudgill, S.T. 1990. Barriers to a Better
diperlukan pemberdayaan ecoliteracy di kalangan Environment. London: Belhaven Press.
para politisi.

Anda mungkin juga menyukai