Anda di halaman 1dari 5

Lingkungan hidup berdasarkan ekologi-teologi dan Laudato Si’

1. Pengantar

Bumi yang adalah planet dimana makhluk hidup berupa unsur abiotik dan biotik
berada di dalamnya. Manusia sebagai citra Allah sendiri, diberikan sebuah tanggungjawab
besar dalam menjadi penguasa bagi bumi ini. Setelah ribuan tahun lamanya, Bumi ini banyak
sekali mengalami perubahan, mulai dari Daratan besar (Pangea  Laurasia - Gondwana)
dan Lautan besar (Tethys) sampai yang terbentuk hingga saat ini. Tidaklah mengherankan
jika perkembangan ilmu pengetahuan juga mewarnai segala macam apa yang terjadi di Bumi
yang diciptakan ini. Unsur yang paling menakjubkan diciptakan oleh Sang Pencipta itu
sendiri adalah Lingkungan Hidup yang asri, permai, dan subur. Segala yang diciptakanNya
itu adalah “Baik”, karena diriNya juga adalah sumber segala Kebaikan. Hanya saja, semakin
luas berkembangnya kehidupan di dunia, tak jarang juga ada tindakan yang sebenarnya sudah
“membuat pertiwi menangis”.

Alangkah kejamnya manusia, yang telah berani mengambil tindak eksploitatif dan
membabi buta ini. Daratan yang luas, dimana tumbuh-tumbuhan menjadi pompa oksigen bagi
segenap ciptaan, dirusak dan dijadikan Industri yang tak ramah lingkungan. Lautan yang luas
dan penuh keanekaragaman hayati, rusak karena pencemaran berupa tambang laut, sampah,
dan pemboman terumbu karang. Mirisnya keadaan seperti ini, apakah tetap ada yang mau
mendengar dan menyelamatkannya? Itu hanya akan terjawab jika diri ini bisa bertindak
dengan bijaksana dan bersedia menjadi “martir bagi pertiwi”. Menyelamatkan “dunia yang
menangis” ini diikuti berbagai macam tantangan dan ujud nyata yang sudah tampak.

2. Pesatnya budaya Konsumerisme

Majunya suatu budaya pasti telah menjadi “jamur” yang sangat kekinian di dunia
masa demi masanya. Terlebih lagi ketika adanya keberanian untuk menerima salah satu part
yang mengharuskan “kebaratan” ada, khususnya di Indonesia. Sejarah sendiri mencatat
bahwa hal ini terjadi sejak munculnya kapitalisme modern seiring dengan revolusi industri.
Asal mula konsumerisme dikaitkan dengan proses industrialisasi pada awal abad ke-19. Karl
Marx menganalisa buruh dan kondisi-kondisi material dari proses produksi. Menurutnya,
kesadaran manusia ditentukan oleh kepemilikan alat-alat produksi. Prioritas ditentukan oleh
produksi sehingga aspek lain dalam hubungan antar manusia—kesadaran, kebudayaan dan
politik—dikatakan dikonstruksikan oleh relasi ekonomi1.

Sedangkan menurut Jean Baudrillard2, konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-


simbol secara aktif. Ia melihat bukan lagi kepada use or exchange value, melainkan pada
symbolic value, dimana orang tidak lagi menggunakan konsumsi objek yang didasari pada
kegunaan atau nilai tukar, tetapi oleh simbol yang bersifat abstrak dan terkonstruktif.
Tindakan yang mengambil kunci untuk “menikmati” segala barang yang ada, tidak secara
sadar telah menimbulkan perubahan secara signifikan. Kritisme paling utama dari Baudrillard
terhadap teori Marx mungkin berkenan dengan perubahan dari produksi objek menjadi
produksi tanda, dari alat-alat produksi menjadi lat-alat konsumsi atau ―“the simultaneous
production of the commodity as sign and the sign as commoditty”. Dominasi tidak lagi terjadi
dalam bentuk kontrol terhadap alat-alat produksi, namun dominasi lebih banyak terjadi pada
alat-alat konsumsi. Terlebih lagi, dominasi tersebut terjadi pada tingkatan model signifikansi
(dulunya model produksi) dalam kehidupan sehari-hari.

Ditemukannya unsur-unsur kimia yang diteliti oleh para Ahli, seperti Thomas
Midgley Jr. (Freon & <Hidro>Chloroflourcarbon - <H>CFC), Albert Einstein (Atom -
Nuklir), Balard (Bromin), sudah menuangkan sedikit demi sedikit pengetahuan yang
berkembang menjadi alat atau senjata penghancur lingkungan hidup. Bumi yang asri dan
dipuja oleh segala makhluk, perlahan-lahan rusak oleh kerakusan dan ketamakkan manusia.
Apakah ini yang setiap orang harapkan? Pastinya tidak. Pertiwi nan megah akan segala
sumber dayanya, dikeruk perlahan-lahan sehingga makin menipis. Adakah dari setiap orang
berani untuk mengurangi budaya ini? Tentu perlu proses panjang dalam menghidupkan lagi
alam atau nature yang sudah ada sejak dulu.

“Bumi, rumah kita, mulai terlihat lebih seperti tumpukan kotoran yang sangat besar. Di
banyak bagian planet ini, para lansia meratapi pemandangan yang dulunya indah kini
tertutup sampah”3.

3. Harapan yang menjadi nyata

1
Bdk. https://sejarahkita.com/sejarah-ideologi-konsumerisme/. Dikunjungi pada 30 November 2021, pkl.
16.50.
2
Jean Baudrillard adalah salah seorang tokoh intelektual dari masa kini yang telah menghasilkan banyak karya
di bidang filosofi, teori sosial, dan budaya. Spesifikasi dan ketertarikannya terutama adalah pada post-
modernisme dan post-strukturalisme. Sumber: https://www.merdeka.com/jean-baudrillard/. Dikunjungi pada
30 November 2021, pkl. 17.00
3
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201022142149-136-561538/foto-pernyataan-paus-
fransiskus-yang-mengguncang/3?zoom_foto. Keterangan foto tertulis: Soal Perubahan Iklim (2015).
Semenjak Paus Fransiskus menjadi gembala agung dan pemimpin seluruh umat
katolik sedunia, Ia sudah lama memperhatikan kondisi kehidupan yang terjadi. Salah satu
yang pernah Ia singgung adalah ketika dunia sedang hangat-hangatnya dengan pengurangan
secara drastis lapisan Ozon yang menjadi “payung bagi bumi”, dan usaha besar dari kaum
muda untuk menanggulanginya4. Akibat maraknya hidup secara megah tanpa melihat
lingkungan, rumah kaca menjadi andalan yang mengakibatkan kerusakan besar di area kutub.
Selain itu, dengan ditambahnya kebakaran hutan serta lahan hijau, membuat setiap ekosistem
yang ada menjadi terganggu & lenyapnya kehidupan bagi tanaman serta hewan.

Industri sudah ada sejak revolusi industri sendiri berdiri. Banyak pabrik sudah
berusaha menjadi pesaing untuk mendapatkan investasi secara besar-besaran dengan
memprodukkan hasil unggulan mereka. Hanya saja, apakah itu meraup untung dengan cara
yang baik? Tentu dari para pemelihara kelestarian lingkungan hidup akan menolak dengan
keras hal seperti ini. Bagaimana tidak? Setiap tahunnya, bahan kimia yang digunakan setiap
pabrik, belum bisa menjadikan kebersihan & selamatnya ekosistem yang lain. Sisa dari
pabrik (limbah) hanya akan memperburuk keadaan yang ada. Bahan-bahan yang diracik
menjadi barang gas, cair, dan juga padat hanya mejadi penolong aktivitas manusia saja, tetapi
tidak untuk tanaman serta hewan. Contoh yang ditemukan salah satunya adalah Pabrik
Djantin di daerah Siantan, Kalimantan Barat 5. Dulunya, pabrik ini menggunakan bahan karet
atau latex yang digunakan sebagai bahan bakar pabrik. Tetapi sekarang, pabrik ini sudah
tergolong ramah lingkungan, karena sisa dari karet yang kering, bisa dipakai untuk tambahan
tekstil, ban, dan juga pakaian.

Secara khusus di Indonesia sendiri, budaya besar yang sudah lama menjadi
permasalahan adalah penggunaan kantong plastik atau kresek. Kantong ini menjadi budaya
yang sangat “menjamur” di seluruh tempat, baik itu pasar rakyat, toko kelontong, bahkan di
market modern sendiri. Tanpa disadari ,kantong plastik yang digunakan juga sekedar dipakai
untuk membungkus segala sesuatu, entah itu daging, makanan ringan atau jajanan, bahan kue,
dan masih banyak lagi. Semakin lama waktu berjalan, semakin banyak pula tuntutan yang
harus dikerjakan di bumi ini. Penggunaan kantong plastik sendiri sudah merebak kemana-
mana. Kini, tinggal bagaimana bersedia mengurangi penggunaannya.

4. Budaya Tote bag atau Kantong kain.


4
Bdk. https://www.tagar.id/paus-fransiskus-puji-aktivis-muda-soal-penanganan-pemanasan-global. Dikunjungi
pada 1 Desember 2021, pkl. 14.00
5
Lih. https://www.daftarperusahaan.com/bisnis/sumber-djantin-ii-pt. Perusahaan ini berada di kalimantan
barat. Salah satunya ada di Sambas dan juga Pontianak – Siantan.
Penulis teringat akan salah satu cuplikan dari Cartoon Network, yaitu “We Bare
Bears” dalam episode Tote Bag Life6. Dalam kartun tersebut memberikan inspirasi bercampur
komedi, dimana 3 beruang mengenal hidup berbelanja dengan kantong plastik, kemudian
dikenalkan dengan Tote Bag. Namun malangnya, Tote bag itu meracuni pikiran mereka,
sehingga setiap harinya mereka menerima apapun di tempat-tempat umum, dan akhirnya
mereka pun menjadi gila. Tetapi, dengan adanya nasehat dari polisi hutan sahabat mereka,
merea bertiga menerima 1 Tote masing-masing, dan Tote lainnya mereka buat untuk
menyelamatkan rumah berang-berang.

Dari cuplikan kartun tersebut, tentulah kembali teringat pada kondisi saat ini, dimana
kantong plastik sudah menjadi “alat bantu” untuk mengangkut barang-barang yang dibeli
atau dibelanjakan. Hanya saja, apakah banyak orang menghiraukan masalah itu setelahnya?
Tentu tidak banyak. Para ahli kesehatan dan bahkan siaran TV swasta sudah pernah
menayangkan akan bahayanya kantong kresek yang ada di pasaran. Akan tetapi, tidak banyak
yang memahaminya. Maka dari itu, perlulah untuk menghidupkan kembali kesadaran akan
lingkungan saat ini. Lingkungan yang kita tempati, kini tengah meminta bantuan kita yang
terbaik untuk menyelamatkan mereka.

Tentunya, banyak sekali tantangan yang harus dijalani dalam hidup ini. Tidak perlu
lagi adanya pandangan bahwa setiap orang terbatas pada informasi. Kelajuan suatu kabar
berita sangatlah cepat simpang siur kemana-mana. Hanya saja bagi setiap pribadi, beranikah
untuk mengawali langkah baru dalam mengurangi pemakaian kantong plastik? Contoh yang
sangat mudah ditunjukkan adalah Pasar Raya Mirota yang ada di Kaliurang, Sleman,
Jogjakarta. Dalam setiap berbelanja, setiap pengunjung yang membeli sesuatu, sudah
diberikan informasi bahwa tidak menggunakan kantong plastik demi mengurangi sampah di
lingkungan. Hal seperti ini amatlah perlu diperhatikan bagi setiap tempat berbelanja lainnya,
sebab sudah sangat gawat dalam menggunakan kantong plastik ini.

Harga yang dibutuhkan untuk membeli kantong kain ini pun tidak begitu mahal.
Ditambah lagi, cukup kuat untuk menopang barang-barang yang dimasukkan di dalamnya.
Jika ini sudah menjadi budaya, maka budaya kantong plastik pun dapat berkurang, sehingga
produksi pabrik pun tidak menjadi “membengkak” akibat perlunya kebutuhan di dunia saat
ini.

5. Kesimpulan
6
Tote Life is the 19th episode of the first season of We Bare Bears and the 19th episode overall. Sumber:
https://webarebears.fandom.com/wiki/Tote_Life. Dikunjungi pada 1 Desember 2021, pkl. 21.00
Dengan melihat dari keadaan saat ini, kantong plastik sudah cukup merebak, bahkan
sudah ada menjadi “pengotor suasana” di wilayah manapun, baik itu laut dan darat. Kantong
plastik yang sudah bertumpuk-tumpuk menjadi bukit bahkan sampah, sangatlah sulit untuk
diuraikan dan dihancurkan. Alam tengah meminta bantuan kita, dan alam ingin lagi sekali
“tersenyum” kepada apapun yang terjadi.

Maka, perlulah bagi setiap orang perlu sadar dari diri sendiri. Terus menerus
digaungkan manfaat yang diberikan alam dengan Cuma-Cuma. Oleh Allah sendiri yang
menciptakan kita manusia dengan baik, demikianlah Alam yang ada di dunia ini menjadi
sahabat, saudara, dan ibu pertiwi yang perlu dijaga.

Anda mungkin juga menyukai