oleh:
Seno Ajisaka
(1406584196)
1. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan 13.000 pulau lebih yang tersebar
dari Aceh hingga Papua. Indonesia juga kaya dengan potensi sumber daya manusia. Pada
tahun 2014 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 240 juta orang dan terus
bertumbuh. Tetapi masih cukup banyak penduduk Indonesia yang belum bisa menikmati
listrik. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya kapasitas pembangkit listrik yang tersedia dan
masih banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau distribusi listrik karena hambatan
geografis. Sejak beberapa tahun terakhir keterbatasan pasokan tenaga listrik telah mencapai
keadaan yang mempengaruhi tingkat keandalan tenaga listrik yang didistribusikan kepada
pelanggan dan bahkan harus diambil langkah drastis seperti pemadaman listrik bergilir karena
adanya defisit pasokan.
Untuk memenuhi kebutuhan kapasitas daya listrik nasional, pemerintah melakukan
berbagai upaya. Salah satu program yang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan
kapasitas sistem ketenagalistrikan nasional adalah dengan membangun 10.000 MW
pembangkit listrik berbahan batubara. Program pembangungan 10.000 MW tahap I
pembangkit listrik tenaga uap ini didasarkan atas Peraturan Presiden RI No. 71 tahun 2006.
Program 10.000 MW tahap I sebesar 2.590 MW, berasal dari 3 pembangkit yang telah
COD, yaitu PLTU Indramayu Unit 2 dan 3 (660 MW); PLTU Suralaya (1x625 MW); dan
PLTU Lontar Unit 1 (315 MW), serta pembangkit yang telah beroperasi namun belum COD;
yaitu: PLTU Lontar Unit 2 (315 MW), PLTU Rembang (2x315 MW), PLTU Amurang Unit 1
(25 MW) dan PLTU Kendari (2x10 MW). Program IPP sebesar : 840 MW, yang terdiri dari 2
pembangkit yang telah COD; yaitu PLTA Asahan 1 (180 MW0 dan PLTU Tanjung Jati B
(660 MW).
Menelaah program ini memiliki tujuan untuk memenuhi defisit pasokan energi pada
saat sekarang ini dan mengantisipasi pertumbuhan permintaan energi dalam beberapa tahun
kedepan. Program ini juga untuk menunjang peningkatan diversifikasi energi dalam
pembangkitan energi listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan
bahan bakar batubara dijadikan pilihan dibandingkan pembangkit listrik tenaga lain, karena
faktor sumber daya alam berupa batubara tersedia cukup besar di Indonesia sehingga masih
mencukupi kebutuhan nasional hingga 60 sampai 70 tahun kedepan. PLTU juga merupakan
sistem pembangkit listrik yang paling efisien dan murah dibandingkan PLTN atau PLTD. Dan
juga PLTU dapat dijadikan sebagai pembangkit untuk kebutuhan beban dasar listrik yang
beroperasi 24 jam penuh.
2.
Rumusan Masalah
Dengan mengetahui keterkaitan antara penggunaan teknologi konversi batubara dalam
pembangunan PLTU yang bertujuan meningkatkan pasokan energi yang berskala nasional
dan dampaknya pada lingkungan maka yang dapat masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dampak teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU terhadap aktifitas
sosial ekonomi masyarakat dan kualitas lingkungan?
2. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak
teknologi konversi batubara pada pembangunan PLTU?
3. Pembahasan
3.1. Teknologi Konversi Batubara
Teknologi pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik telah
berkembang cukup lama dan bahkan merupakan salah satu teknologi pembangkitan listrik
yang pertama setelah PLTA. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut telah berhasil
dikembangkan berbagai sistem dan teknologi konversi. Secara sederhana prinsip kerja sebuah
pembangkit listrik tenaga uap batubara dapat dijelaskan sebagai berikut : batubara disulut dan
dibakar dalam sebuah ruang bakar untuk mendidihkan air dalam ketel uap. Uap bertekanan
ini kemudian dialirkan menuju turbin yang akan merubah energi thermokimia ini menjadi
energi kinetik rotasi. Turbin uap ini terhubung dengan generator listrik sehingga saat turbin
berputar generator akan bekerja dan menghasilkan energi listrik.
Tabel Sistem konversi batubara menjadi listrik
Teknologi
Pulverized Fuel(PF)
Prinsip
Batubara ditumbuk halus kemudian dimasukan ke
dalam
ruang
bakar.
Panas
yang
dihasilkan
menjadi uap
Di samping batubara kualitas baik, juga bisa
(FBC)
Cycle (IGCC)
sendiri.
2. Memberikan peluang kerja karena dapat menyerap tenaga kerja dari berbagai tingkatan, baik
3.
dari masyarakat sekitar proyek maupun dari luar wilayah proyek pembangkit itu..
Memberikan peluang usaha, dengan banyaknya warga masyarakat yang bekerja di proyek
PLTU secara tidak langsung dapat meningkatkan roda perekonomian, yaitu masyarakat warga
sekitar dapat membangun perumahan yang bisa disewakan dan dikontrakkan ke pekerjapekerja dari luar kota, yang secara langsung berpengaruh pada pendapatan para pedagang di
4.
sekitar PLTU.
Memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan listrik yang
memuaskan karena memiliki cadangan pasokan listrik yang dihasilkan dari PLTU yang ada
di wilayahnya.
b. Dampak Negatif
hidup di lokasi tersebut. Demikian pula bagi para petani garam, yang tidak lagi bisa
mendapatkan hasil yang optimal karena air laut yang tercemar.
2. Dengan hilangnya mata pencaharian, menyebabkan banyaknya anak-anak usia sekolah yang
kehilangan kesempatan untuk bersekolah karena sekolah menjadi sesuatu beban yang mahal.
Hal ini disebabkan orang tua mereka kehilangan penghasilan.
3. Makin besarnya kemungkinan resiko pemukiman warga menjadi banjir karena pengurugan
tanah untuk pembangunan PLTU menutup sebagaian bersar air sungai dari darat sehingga
bila hujan dan pasang laut, pemukiman mereka bisa menjadi banjir.
4. Timbulnya ketegangan sosial antara masyarakat yang menolak dan yang mendukung
pembangunan PLTU. Salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat diantara warga adalah
masalah pembebasan tanah. Pemberian ganti rugi tanah dilakukan beberapa tahap dengan
harga yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan kecemburuan dan ketegangan. Ketegangan
antar warga masyarakat ini bisa memicu timbulnya bentrokan yang pada akhirnya hanya akan
merugikan masyarakat itu sendiri.
3.3. Dampak Teknologi Konversi Batubara pada pembangunan PLTU terhadap lingkungan
Proses teknologi konversi batubara (coal) pada PLTU menghasilkan polutan dan gas
buang dengan komposisi yang paling banyak di antara minyak bumi, gas, batubara. Polutan
dan gas buang yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara ini memiliki dampak negatif
terhadap manusia, lingkungan lokal, dan bahkan lingkungan global.
Berikut adalah dampak negatif dari teknologi konversi batubara pada proses PLTU :
1. Hujan Asam
Hujan asam terutama terjadi diakibatkan karena tingginya gas sulphur oksida dan nitrogen
oksida (Peavy,et al,1985).Gas SOx dan NOx akan bereaksi dengan uap air yang terdapat
dalam atmosfer dan mengalami oksidasi. Oksidasi gas SOx akan menghasilkan H2S, HSO3dan H2SO4 yang bersifat asam kuat, sedangkan oksidasi gas NOx akan menghasilkan asam
nitrat (HNO3). Pengaruh hujan asam adalah asidifikasi (pengasaman) yang mengakibatkan :
Terganggunya kesetimbangan ion pada banyak organisme akuatik, sehingga akan
menyebabkan kematian organisme akuatik; Meningkatkan kadar logam, karena pengasaman
akan melarutkan banyak logam di perairan, misalnya merkuri dan aluminium; Menjadikan
terganggunya siklus nutrient ; Mengganggu proses dekomposisi, karena akan mengubah
komposisi mikroba ; Mengakibatkan penurunan alga yang hidup di perairan; merusak
bangunan karena mengakibatkan pengkaratan, dan lain-lain.
2. Green House Effect
CO2 yang dihasilkan dari PLTU dapat menyebabkan efek rumah kaca, karena kumpulan gas
tersebut akan menyelubungi permukaan bumi. Oleh karena itu, cahaya matahari yang masuk
ke bumi tidak dapat lagi dipantulkan ke angkasa, sebab terperangkap di dalam bumi.
3. Penyakit pada Manusia
PLTU menghasilkan berbagai limbah partikulat dan debu,seperti fly ash, debu silikat, oksida
besi, dan lain sebagainya. Limbah tersebut dapat menyebabkan gangguan dan penyakit
pernapasan pada manusia, contohnya adalah Pneumoconiosis, atau penyakit pengerasan paruparu, sehingga tidak dapat mengembang dan mengempis secara normal. Selain itu, limbah
radioaktif dari PLTU juga dapat mengganggu organ tubuh manusia, karena umumnya bersifat
karsinogen.
4. Kerusakan Biota
Logam-logam berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, Se juga dihasilkan oleh PLTU. Logam berat ini
apabila terakumulasi di perairan dapat menyebabkan kematian organisma, terutama bila
logam tersebut tersuspensi dalam air limbah yang dibuang oleh PLTU dan kemudian menuju
laut, maka akan mencemari biota di laut lebih luas lagi.
3.4.
a. Sistim pembakaran batu bara bersih Pembakaran Lapisan Mengambang /Fluidized Bed
Combustion (FBC) .
Prinsip kerja PLTU adalah batu bara yang akan digunakan/dipakai dibakar di dalam boiler
secara bertingkat. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh laju pembakaran yang rendah dan
tanpa mengurangi suhu yang diperlukan sehingga diperoleh pembentukan NOx yang rendah.
Bila suhu pembakaran pada Bioler biasa adalah sekitar 1400 1500, maka dengan
menggunakan FBC, suhu pembakaran berkisar antara 850 900 saja sehingga
kadar thermal NOx yang timbul dapat ditekan. Proses pembakaran suhunya lebih rendah
sehingga NOx yang dihasilkan kadarnya menjadi rendah, dengan demikian sistim
pembakaran ini bisa mengurangi polutan. Bila ke dalam tungku boiler dimasukkan kapur
(Ca) dan dari dasar tungku yang bersuhu 750 950oC dimasukkan udara, akibatnya terbentuk
lapisan mengambang yang membakar. Pada lapisan itu terjadi reaksi kimia yang
menyebabkan sulfur terikat dengan kapur sehingga dihasilkan CaSO 4 yang berupa debu
sehingga mudah jatuh bersama abu sisa pembakaran. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya pengurangan emisi sampai 98% dan abu CaSO 4-nya bisa dimanfaatkan.
Keuntungan sistim pembakaran ini adalah bisa menggunakan batu bara bermutu rendah
dengan kadar belerang yang tinggi, dan banyak ditemukan di Indonesia.
b. Electrostatic Precipitator
Electrostatic Precipitator (ESP) adalah salah satu alternatif penangkap debu dengan effisiensi
tinggi (mencapai diatas 90%) dan rentang partikel yang didapat cukup besar. Dengan
menggunakan electrostatic precipitator (ESP) ini, jumlah limbah debu yang keluar dari
cerobong diharapkan hanya sekitar 0,16 % (efektifitas penangkapan debu mencapai
99,84%). Alat ini sudah digunakan di PLTU di Indonesia. Cara kerja dari electrostatic
precipitator (ESP) adalah (1) melewatkan gas buang (flue gas) melalui suatu medan listrik
yang terbentuk antara discharge electrode dengan collector plate, flue gas yang mengandung
butiran debu pada awalnya bermuatan netral dan pada saat melewati medan listrik, partikel
debu tersebut akan terionisasi sehingga partikel debu tersebut menjadi bermuatan negative.
(2) Partikel debu yang sekarang bermuatan negatif (-) kemudian menempel pada pelat-pelat
pengumpul (collector plate). Kemudian debu yang dikumpulkan di collector plate
dipindahkan kembali secara periodik dari collector plate melalui suatu getaran (rapping).
Debu ini kemudian jatuh ke bak penampung (ash hopper).
c. FGD (Flue Gas Desulfurization)
FGD adalah alat yang berguna untuk menghilangkan/mereduksi Sulfur Dioksida (SO 2) dari
flue gas (gas buang) hasil pembakaran batubara PLTU. Hasil samping proses FGD disebut
gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam. Gipsum
tersebut dapat digunakan untuk bahan bangunan.
d.
abu (Ash Run Off) dan air limpasan hujan di penampungan batu bara (Coal Run Off). Air
yang masih mengandung material berbahaya diolah dalam beberapa proses antara lain,
netralisasi dan sedimentasi.
Tahapan proses yang terjadi adalah :
Netralisasi yaitu proses penyesuaian pH air limbah. pH air limbah harus disesuaikan dengan
kondisi ideal ekosistem biota laut yakni antara 6-9. Air limbah dengan kadar pH yang masih
berbahaya dicampurkan dengan senyawa lain agar menjadi lebih ramah lingkungan.
Flokulasi / Sedimentasi yaitu proses penggumpalan bahan-bahan terlarut sehingga mudah
untuk diendapkan.Setelah mengendap, endapan tersebut dipadatkan. Padatan itu kemudian
ditempatkan di Kolam Abu. Kolam Abu ini dilapisi oleh plastik dengan tingkat kekedapan air
yang amat tinggi sehingga menutup kemungkinan limbah berbahaya di atasnya dapat terserap
ke dalam tanah. Semua proses tersebut mengubah material berbahaya menjadi material yang
bersahabat dengan lingkungan.
4. Kesimpulan
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan suatu bagian dari
rencana percepatan pembangunan 10.000 MW pembangkit listrik tenaga uap yang memiliki
tujuan untuk memenuhi defisit pasokan energi dan mengantisipasi pertumbuhan permintaan
energi dalam beberapa tahun kedepan serta untuk menunjang peningkatan diversifikasi energi
dalam pembangkitan energi listrik.
Pemanfaatan batubara sebagai sebuah solusi jangka pendek atau menengah harus
segera diikuti dengan penyusunan strategi penyediaan energi listrik jangka panjang.
Cadangan sumber daya alam fosil nasional dalam jangka panjang ketersediaannya sangat
terbatas. Sehingga solusi penyediaan tenaga listrik jangka panjang perlu dipikirkan secara
lebih serius untuk menjaga kelanjutan pembangunan nasional khususnya energi listrik yang
bersih, handal, mencukupi dan berkelanjutan.
Pemanfaatan teknologi konversi batubara dalam upaya memenuhi kebutuhan energi
listrik masih bisa dilakukan namun seyogyanya juga mengadopsi teknologi pengelolaan gas
buang dan polutan sehingga dapat mengurangi dampak negatif bagi lingkungan sosial,
ekonomi maupun lingkungan alam sehingga tujuan pembangunan PLTU tersebut mempunyai
nilai manfaat yang lebih besar. Dengan kata lain setiap teknologi yang digunakan dalam
setiap pembangunan yang membawa dampak besar bagi perubahan kondisi sosial, ekonomi
dan lingkungan haruslah memperhatikan faktor keselamatan dan kesehatan serta pelestarian
lingkungan sehingga kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat
terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Nyoman S. Kumara, Telaah terhadap Program Percepatan Pembangunan Listrik melalui
Pembangunan PLTU Batubara 10.000 MW.
----------------, Walau Sering Didemo Warga, Pltu Cirebon Ditargetkan Beroperasi Oktober,
http://www.pikiran-rakyat.com, Tribun Jabar Online, Selasa, 29 Maret 2011
-----------------,
Makalah
Dampak
Pencemaran
Lingkungan,
http://