Anda di halaman 1dari 3

Jawaban :

1. Menurut saya, jenis teknologi energi terbarukan yang paling efektif sebagai tujuan
dalam peningkatan porsi EBT di Indonesia adalah teknologi pembangkit listrik tenaga
air / hydro. Alasan alasan yang membuat saya lebih memilih teknologi air / hydro adalah
sebagai berikut :
1.) Seperti pada tabel di atas, bahwa Indonesia memiliki potensi energi listrik dari
sumber bahan baku air yang mana baru dimanfaatkan hanya sekitar 6% saja. Pun
dari 6 % ini, pembangkit-pembangkit listrik tenaga air yang sudah ada di Indonesia
sudah sangat familiar dan SDM kita sudah sangat memahami cara pengoperasian
dan pemeliharaannya. Prinsip kerja PLTA juga sangat mudah dimengerti sehingga
transfer ilmu pengetahuan dari pengembang / vendor kepada SDM yang akan
mengelola dirasa akan lebih cepat.
2.) Alasan yang kedua adalah bahwa PLTA dapat menyuplai kebutuhan sistem di Pulau
Pulau besar di Indonesia pada kapasitas yang lebih besar. Sebagai contoh kita
ambil PLTA Cirata, yang mana merupakan PLTA terbesar di Indonesia. PLTA ini
memiliki konstruksi power house di bawah tanah dengan kapasitas 8x126 Megawatt
(MW) sehingga total kapasitas terpasang 1.008 Megawatt (MW). Dengan total luas
waduk air sebesar 62 km persegi, PLTA Cirata mampu menghasilkan produksi energi
listrik rata-rata 1.428 Giga Watthour (GWh) pertahun. Hal ini sesuai dengan kebutuhan
dan kenaikan demand beban yang ada pada Pulau Jawa sehingga dapat membantu
memperkuat sistem ketengalistrikan di Pulau Jawa. Memang isu yang sangat kental
pada setiap pembangunan PLTA ini adalah mahalnya proses pembangunan dan
lamanya jangka waktu pembangunan PLTA sampai pada waktunya untuk COD/
Comissioning of Date , namun menurut hemat saya adalah karena Indonesia ini
memang menargetkan peningkatan bauran energi terbarukan pada jangka panjang,
yaitu target 23% pada tahun 2025 dan 41% pada tahun 2030 sehingga saya rasa
memilih PLTA sebagai ujung tombak pembangkit EBT tentu tidak salah. Rata rata
pembangunan PLTA dari masa pembangunan sampai dengan siap dioperasikan adalah
7-10 tahun tergantung pada kapasitasnya. Dalam jangka waktu tersebut memang kita
masih akan bergantung pada pembangkit – pembangkit listrik berbahan bakar fosil,
namun jelas setelah selesainya pembangunan PLTA ini ketergantungan pada sumber
lsitrik berbahan bakar fosil akan berkurang,
3.) Ada isu mengatakan bahwa pembangunan PLTA akan memakan biaya investasi
yang mahal pada awal mula pembangunannya. Menurut berita
(https://economy.okezone.com/read/2014/11/27/19/1071440/bangun-plta-butuh-
anggaran-hingga-usd2-juta), bahwa pada berita di atas disebutkan bahwa biaya
investasi awal pembangunan PLTA nilai invetasinya tidak jauh berbeda dengan
pembangkit – pembangkit lainnya, namun memiliki estimasi biaya pemeliharaan
yang lebih murah. Biaya perawatan Untuk PLTA itu biaya perawatannya bervariasi
tergantung kapasitas. Kalau yang kecil sekitar Rp850 per Kwh. Kalau yang besar
bisa sampai cuma Rp700 per KwH. Sehingga jika pemerintah menginvestasikan
PLTA sebagai penopang pembangkit untuk meningkatkan bauran energi baru
terbarukan juga masih on point dengan asumsi –asumsi di atas.
4.) Dari sisi lingkungan jelas PLTA merupakan pembangkit yang sangat ramah
lingkungan, dikarenakan sumber bahan baku air yang dipakai memang tidak diolah
apapun serta tidak menambahkan chemical apau n sebelum digerakkan untuk
memutar turbin air. Mungkin hanya diberikan beberapa filterisasi yang mana
semuanya masih sangat ramah lingkungan. Satu hal kecil terkait dengan limbah
mungkin adalah pada bagian – bagian rotatimng equipmentnya saja yang
membutuhkan penggantian pelumas secara berkala. Dengan panduan dari DLH
dan kebutuhan proper di Pembangkit lstrik saya rasa pengelolaan limbah tidak
menjadi masalah yang besar terhadap pada isu lingkungan di sekitar PLTA.
5.) Pembangunan PLTA memang dilakukan pada dataran yang lebih tinggi karena
memanfaatkan energi potensial dari ketinggian untuk mengalirkan air dari waduk ke
turbin. DI beberapa daerah ada PLTA yang menerapkan sistem turunan , dimana
pada sistem ini keluaran air dari PLTA A dialirkan kembali ke bawah untuk
dimasukkan pada PLTA B yang lokasinya ada di bawah PLTA A. Contohnya adalah
PLTA Jelok di Kabupaten Semarang. Sumber air dari PLTA Jelok ini adalah di Rawa
Pening, air dialirkan ke bawah ke turbin PLTA Jelok sehingga turbin berputar
mengkopel generator dan menghasiilkan energi listrik. Keluaran air dari PLTA Jelok
ini kemudian ditampung pada suatu kolam, dan siap dialirkan kembali melalui pipa
sebagai inputan dari PLTA Timo yang lokasinya lebih kebawah lagi dari PLTA Jelok
, sehingga mampu menhasilkan energi listrik. Sehingga pada konsep ini satu
bendungan / rawa bisa dimanfaatkan oleh satau atau lebih PLTA yang diooerasikan
6.) Mungkin kekurangan dari PLTA selanjutnya adalah kapasitasnya tidak bisa sebesar
dari Pembangkit- pembangkit fosil seperti PLTU, yang mana pada PLTU pada 1
atau 2 blok PLTU (ambil contoh di PLTU Pacitan) pada satu lokasi di PLTU Pacitan
memiliki kapasitas 2 x 300 MW sehingga mampu menopang kelistrikan Jawa bagian
Selatan dan Timur. PLTA tidak demikian, dibutuhkan beberapa PLTA untuk
mengimbangi dan menopang seperti PLTU pada sistem kelistrikan yang besar
seperti di Pulau Jawa. Selain itu, isu lainnya adalah sumber air yang berasal dari
waduk / bendungan sangat rawan pada serangan tanaman liar yang sangat cepat
pertumbuhannya dan laju sedimentasi yang sangat cepat juga sehingga perlu
penanganan dan koordinasi dengan pihak pihak lain yang mengelola waduk /
bendungan.

2. Agar target bauran energi dapat tercapai, beberapa langkah – langkah yang perlu
dilakukan antara lain :
1.) Memonitor progress – progress pembangunan pmbangkit listrik yang masih
kapasitas besar dan masih progress pembanguan seperti PLTA PLTA di Pulau [ulau
besar.
2.) Mengkampanyekan program EBT kepada masyarakat, sehingga masyrakat tertarik
untuk ikut berpartisipasi dengan ikut memasang panel surya di rumah rumah
mereka , tentunya kampane kampanye ini disertai dengan kemudahan
pemasangan, tariff pemasangan yang murah dan dapat ditransaksian dengan PLN
apabila rumah rumah memiliki kelebihan output listrik.
3.) Di wilayah – wilayah yang cakupan luasannya kecil, bisa memasukkan alternative
pembangunan PLTS, PLTB maupun PLTBg (Biogass). Pembangkit listrik mini ini
sangat cocok untuk sistem sendiri / isolated dengan kapasitas dan demand yang
kecil karena sifatnya yang intermittent, yang sifat sifat listriknya sangat gamoang
berubah tergantung pada sumber bakunya. Contohnya pada PLTS, apabila
intensitas cahayanya berkurang maka voltage yang terbaca akan turun sehingga
sifatnya yang intermitten ini cocok untuk sistem kecil, namun tidak cocok untuk
sistem besar karena dapat menganggu ketahanan sistem kelistrikan dalam skala
besar.
4.) Dari sisi reguliasi, pemerintah dapat membuat regulasi yang mempermudah pada
proses perijinan maupun proses proses lainnya untuk mendukung bauran EBT.
Semuanya harus dipermudah sehingga yang terpenting adalah pembangkit
pembangkit lsitrik bersumber dari EBT ini mudah diapikasikan dulu terlepas isu isu
negative yang menyertainya.

3. Hambatan – hambatan yang terjadi pada percepatan pencapaian target bauran energi
terbarukan antara lain :
1.) Lamanya proses perijinan pembangkit – pembangkit yang memerlukan lahan yang
luas seperti PLTA. Isu perijinan ini terkoneksi ke berbagai pihak sehingga diperlukan
effort yang kebih untuk menyampaikan kepada berbagai pihak tentang tujuan dan
manfaat pembangunan PLTA ini, sehingga masyarakat sekitar lebih memahami dan
dapat membantu percepatan perijinannya.
2.) Beberapa jenis pembangkit EBT sangat intermittent terhadap sumber tenaganya.
Seperti pada PLTB yang sangat dipengaruhi oleh kecepatan angina. Apabila angina
yang berhembus sedikit maka energi yang dihasilkan tidak akan maksimal,
sehingga apabila jenis pembangkit ini diinterkoneksikan dengan sistem
ketenagalistrikan pada sistem yang besar akan sangat mempengaruhi frekuensi
sistem yang dapat mengganggu ketahanan sistem intu sendiri. Pun demikian
dengan PLTS / Solar Cell, PLTS sangat bergantung pada intensitas cahaya
matahari yang timggi, sehingga apabila meredup sedikit akan menurunkan daya
listriknya sehingga pemasangan PLTS memang seharusnya hanya dilakukan pada
sub sistem yang kecil dan dismatr gridkan dengan pembangkit eksisting yang sudah
ada (contoh PLTD)
3.) Ketergantungan pada energi fosil batubara masih sangat besar karena kuatnya
kepentingan ekonomi terhadap baubara sebagai sumber penerimaan negara . Hal
ini dapat kita lihat adanya subsidi subsidi bagi energi fosil, bahkan larangan ekspor
batubara ke luar negeri ini sangat kental isunya dengan kepentingan politik dan
eknomomi sehingga malah menghambat laju percepatan bauran energi terbarukan
4.) Ongkos EBT masih tidak kompettitif. Hal ini dikarenakan belum konklusifnya harga
ekonomis dari produk berbasis EBT. Untuk menentukan harga ekonomis tidak
mudah, karena bergantung pada banyak sekali aspek, di antaranya: jenis teknologi
EBT apa yang dipakai, bagaimana infrastruktur penunjangnya, berapa investasinya,
bagaimana kebijakan fiskalnya. Sehingga masih menjadi PR pemerintah untuk
merumuskan bagaimana seharusnya membuat ongkos EBT lebih kompetitif
sehingga pemasok / investor pembangkit listrik beralih ke Pembangkit berbasis
EBT.
5.) Social barrier dari masyarakat, atau perspektif masyarakat pada pembangunan
pembangkit EBT masih sangat mendominasi, Misalnya pada pembangunan PLTP
yang dianggap masyarakat akan sangat merusak kondisi tanah dan bumi. Hal ini
eprlu diluruskan dengan pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat, menjelaskan
dengan Bahasa yang mudah merek mengerti bahwa pembangunan PLTP ini tidak
seberbahaya anggapan social barriers dari masyarakat dan akan menguntungkan
semua masyakarat pada masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai