Anda di halaman 1dari 3

electricity (indonesia)

Posts tagged ‘pltmg’

Isolated System Operation Cost Cutting by CNG-Gas Engines Generation


(Reliability and Economic Review, PLTMG Bawean Case Study)

Sorry, I’m going to write this article in Bahasa Indonesia, I change my mind once I begin to
write the first paragraph.

Artikel saya kali ini, berkaitan dengan beberapa artikel saya yang terdahulu, yang membicarakan
apa itu sistem tenaga listrik yang terisolasi dari jala-jala utama, apa problem dan tantangannya,
kenapa ide penggunaan sumber energi terbarukan ternyata bukan pil ajaib yang bisa
menyelesaikan semua problem sekaligus pada sistem yang terisolasi, sekaligus kaitannya dengan
penggunaan bahan bakar gas dalam bentuk CNG yang mulai banyak digunakan di pembangkit
listrik. Sebelumnya saya akan sedikit mengulas ulang, topik saya yang lalu yang terkait dengan
CNG.

Dalam beberapa bulan ini saya beruntung bisa berkesempatan mengunjungi fasilitas-fasilitas
pembangkit listrik tenaga gas milik PLN dan anak-anak usahanya yang dilengkapi dengan CNG
Plant. Saya telah mengunjungi fasilitas-fasilitas tersebut yang berada di:

1. Grati, Pasuruan, Jawa Timur


2. Tambaklorok, Semarang, Jawa Tengah
3. Muara Tawar, Bekasi, Jawa Barat
4. Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan
5. Sei Gelam, Jambi
6. Kijang, Pulau Bintan, Batam
7. Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur

Tiap fasilitas tersebut memiliki keunikan, karena memang problem yang dihadapi di masing-
masing lokasi bervariasi. Dari segi disain, CNG Plant di lokasi-lokasi tersebut dapat dibagi
menjadi 2 kelompok besar:

1. Fasilitas CNG Plant Mother-Daughter Station berada di lokasi yang sama (nomor 1
sampai 5)
2. Mother dan Daughter Station CNG Plant berada di lokasi berbeda dan dipisahkan oleh
perairan (nomor 6 dan 7)

Namun demikian, rumus kapan CNG Plant dibutuhkan di pembangkit listrik tetap sama:

1. Ada pembangkit listrik yang berbahan bakar gas, baik berupa PLTG (Gas Turbine),
PLTMG (Gas Engine) ataupun PLTDG (Diesel-Gas Engine)
2. Bahan bakar berupa Gas Alam tersedia dalam bentuk gas pipa
3. Pola kebutuhan listrik tidak rata (peak-off peak daily load curve)
4. Harga bahan bakar minyak solar (HSD fuel oil) non subsidi lebih tinggi daripada harga
gas bahkan setelah diproses menjadi CNG dan LNG dan diregasifikasi lagi

Jika keempat syarat tersebut terpenuhi, maka fasilitas CNG Plant layak dibangun di pembangkit
listrik tersebut. Namun untuk syarat nomor 3 menjadi tidak wajib, ketika pembangkit listrik
dengan bahan bakar gas berada di sistem yang terisolasi dengan main grid.

Nah, yang terjadi di sistem yang terisolasi, yang disebabkan oleh kondisi geografis berupa pulau
kecil yang relatif jauh dari pulau besar tempat jala-jala besar berada, maka strategi penyediaan
listrik dengan biaya yang ekonomis dan andal (reliable) menjadi problem yang tidak mudah.

Kenapa harus ada 2 kriteria, berupa:

1. Andal
2. Ekonomis

Hal ini karena, seringkali dua kriteria ini tidak bisa dipenuhi dalam saat yang bersamaan.

Misal, jika kita kita mengejar kriteria andal, maka jalan tercepat dan termudah adalah
menyediakan PLTD (diesel engine) berbahan bakar minyak untuk pulau-pulau terpencil itu.
Namun strategi ini berakibat kepada tidak ekonomisnya / mahalnya biaya operasi sistem tenaga
listrik di pulau tersebut.

Banyak orang berpikir untuk menggunakan sumber-sumber energi terbarukan (renewable energy
sources / RES) di pulau-pulau kecil tersebut untuk mengejar kriteria ekonomis. Bukan kah sinar
matahari melimpah ruah di Indonesia ? Atau menggunakan tenaga angin yang bertiup di
khatulistiwa ? Atau bahkan menggunakan energi pasang surut air laut ? Namun pengalaman
menunjukkan, ketika sumber energi terbarukan coba dimanfaatkan, tapi tidak didahului oleh
studi kelayakan yang komprehensif dan mendalam, seringkali yang ditemui adalah kegagalan,
wasting money.

Sebagai contoh adalah penggunaan solar cell untuk PLTS, yang sering menjadi target proyek
percontohan berbagai institusi. Biaya investasi solar cell sendiri memang cenderung turun dari
waktu ke waktu jika dikuantifikasi dalam satuan Rupiah atau USD per kW peak, berkat
penemuan teknologi-teknologi terbaru pada solar cell film. Namun penggunaan PLTS pada
sistem yang terisolasi, membutuhkan investasi ekstra berupa fasilitas penyimpanan energi berupa
baterai, sebagai penjaga stabilitas sistem. Apa yang terjadi jika kita nekat menggunakan PLTS
pada sistem terisolasi tanpa baterai? Sistem akan menjadi sangat tidak stabil, mengingat sistem
yang isolated biasanya tidak terlalu besar, hanya di orde beberapa ratus kW atau beberapa MW
saja. Bandingkan dengan sistem tenaga listrik Jawa yang beban puncaknya sudah melewati
20000 MW tahun lalu. Gangguan sedikit saja pada solar cell akan mengganggu kestabilan
isolated system. Ingat, prinsip RES sebaiknya tidak lebih dari 20% dari total suplai untuk sistem
ketenagalistrikan, dengan pertimbangan stabilitas sistem.

Baterai yang digunakan pun tidak bisa sembarang baterai, harus punya kemampuan cyclic,
charging-discharging yang memadai. Dan sayangnya, tidak seperti trend harga solar cell yang
bisa menurun, harga baterai cenderung stabil dari waktu ke waktu, sehingga PLTS dengan
baterai mungkin hanya “murah” dalam biaya operasi, namun mungkin sebetulnya tidak terlalu
ekonomis jika biaya investasi secara keseluruhan dalam life cycle cost-nya diperhitungkan.

Paper yang cukup komprehensif menjelaskan narasi di atas dan tersedia online, bisa dibaca pada
tulisan Pak Ehnberg.

Nah, lalu bagaimana jalan keluarnya?

Menurut pengamatan saya, yang bisa kita lakukan adalah melakukan optimasi dari alternatif-
alternatif penyediaan listrik di sistem terisolasi. Kita jangan sampai terjebak pada “fanatisme”
solusi-solusi yang cenderung sektoral, tidak mau melihat solusi lain. Secara empiris, penyediaan
tenaga listrik bagi konsumen di Pulau Bawean yang dilayani oleh PLN Distribusi Jawa Timur
bekerja sama dengan PT PJB dapat menjadi bahan studi yang menarik. Usaha pengurangan biaya
operasi dilakukan dengan substitusi bahan bakar minyak, yang semula dipakai oleh PLTD, mulai
digantikan oleh bahan bakar gas dari CNG, yang dipakai oleh PLTMG. Substitusi ini tidak
mudah, mengingat CNG harus dibawa melalui laut dari Gresik ke Pulau Bawean yang berjarak
lebih dari 60 mil laut. Meski demikian, solusi ini secara empiris telah terbukti bisa direalisasikan
dan dinikmati hasilnya.

Anda mungkin juga menyukai