Anda di halaman 1dari 6

DATA DIRI

Nama lengkap : Muhammad Bakhtiar


Nama panggilan : Bakhtiar
TTL : Manado, 4 Maret 1990
Pekerjaan : Mahasiswa (Ilmu Kelautan - Universitas Padjadjaran)
Alamat Kostan & Telepon : Kp. Gentra Manah RT 03/02 No. 15, Desa Hegar Manah,
Kec.Jatinangor, Kab. Sumedang
022-7781977
Alamat Rumah & Telepon : Kp. Kaum RT 02/02 No. 8, Desa Cileungsi, Kec. Cileungsi,
Kab. Bogor
021-8232362
Nomor HP : 081584833359
Alamat e-mail : cruyf_uncu@yahoo.com
MELIRIK PELUANG OCEAN THERMAL ENERGY CONVERSION
SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
DI INDONESIA

Listrik memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi dan pembangunan suatu

bangsa. Sementara itu, kebutuhan listrik akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan

jumlah penduduk dan perkembangan perekonomian bangsa. Pada periode 2009-2018, PT.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) memperkirakan kebutuhan listrik sistem Jawa Bali akan

tumbuh dari 107,8 Twh (tetra watt hour) pada 2009 menjadi 250,9 Twh pada 2018 atau tumbuh

rata-rata 9,5% per tahun. Sementara untuk luar Jawa Bali pada periode yang sama meningkat

dari 30,9 Twh di 2009 jadi 74,3 Twh pada 2018 atau tumbuh rata-rata 10,3% per tahun. Saat ini

kebutuhan energi listrik masyarakat mencapai 99 tetra Watt jam (TWh), sementara kapasitas

produksi energi listrik hanya 87 TWh.

Penyediaan tenaga listrik bagi keperluan sektoral sampai saat ini dibangkitkan dengan

bahan bakar minyak yang memerlukan biaya investasi sangat mahal. Di samping, itu

penggunaannya terus meningkat, sedang jumlah persediaan terbatas. Oleh karena itu, perlu

diambil langkah-langkah penghematan minyak bumi di satu pihak dan di pihak lain perlu adanya

pengembangan sumber energi lainnya.

Di antara energi alternatif yang potensial tersebut berasal dari energi kelautan. Sebagai

salah satu negara bahari terbesar di dunia, Indonesia tentu memiliki peluang yang amat potensial

untuk memanfaatkan kekayaan alam lautnya sebagai sumber energi. Salah satu jenis energi

kelautan yang berpeluang dikembangkan di Indonesia adalah Ocean Thermal Energy

Conversion (OTEC).

OTEC bekerja dengan memanfaatkan perbedaan suhu yang terdapat antara laut dalam

dengan perairan di dekat permukaan untuk menjalankan mesin kalor. Sebagai salah satu energi
alternatif, pembangkit listrik dengan sistem OTEC memang membutuhkan persyaratan khusus,

hal ini terkait dengan kondisi alam. Setidaknya sebuah instalasi OTEC membutuhkan lingkungan

laut yang memiliki perbedaan antara suhu permukaan dengan suhu kedalaman minimum 20

derajat celcius. Selain itu, instalasi pembangkit listrik diletakkan di laut dekat pantai dengan

kedalaman lebih dari 600 meter serta intensitas gelombang laut yang kecil, sehingga mengurangi

potensi kerusakan instalasi akibat ombak (Christina, 2010).

Teknologi OTEC ini telah dikembangkan di beberapa negara di dunia, di antaranya di

Amerika Serikat (Hawaii), Taiwan, Sri Lanka, Fiji, Jamaika, dan China. India pun telah memulai

proyek pengembangan dan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas laut ini.

Ditinjau dari letak geografis dan kondisi oseanografis perairannya, Indonesia memiliki

kecocokan dan peluang yang sangat potensial dalam pengembangan sistem OTEC ini. Letak

Indonesia yang berada di daerah tropis mengakibatkan perbedaan suhu antara laut dalam dengan

air laut di dekat permukaan menjadi sangat signifikan. Selain itu kondisi oseanografis perairan

Indonesia juga didukung oleh intensitas gelombangnya yang kecil.

Peluang Pengembangan OTEC di Indonesia

Pada faktanya, pemerintah telah mengatur kebijakan mengenai energi alternatif ini pada

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi

Nasional. Salah satunya adalah pada Bab I Pasal 1 Ayat 4 disebutkan “Energi terbarukan adalah

sumber energi yang dihasilkan dari sumberdaya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan

dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain : panas bumi, biofuel, aliran air sungai,

panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut”.

Pada peraturan tersebut tertulis bahwa suhu kedalaman laut termasuk dalam salah satu

energi terbarukan. Namun, hingga saat ini belum terlihat usaha yang nyata untuk
mengimplementasikannya di Indonesia. Lalu, bagaimanakah sebenarnya peluang dan potensi

untuk mengembangkan energi terbarukan tersebut di negeri kita ini?

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sejak tahun 1995 hingga 2007 telah

melakukan pemetaan potensi panas laut yang dilakukan dengan statistik dari nilai temperatur

permukaan laut bulanan dengan rata-rata nilai temperatur laut dalam pada kedalaman 600 meter,

800 meter, dan 1000 meter. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa perbedaan temperatur

(nilai ΔT) pada kedalaman 1000 meter di Indonesia bervariasi di tiap musimnya antara 21,5ºC -

24,5ºC di bagian barat Indonesia dan 21,5ºC - 26,5ºC di bagian timur Indonesia.

PT. PLN memprediksi dalam lima tahun ke depan, Indonesia akan membutuhkan

tambahan pasokan listrik sebesar 38.000 megawatt (MW), dari posisi saat ini yang hanya 30.000

MW menjadi 68.000 MW. Sehingga Indonesia masih membutuhkan tambahan tenaga listrik

sebesar 38.000 MW.

Dengan kondisi seperti disebutkan di atas, maka sudah saatnya Indonesia menentukan

kebijakan ke arah pemanfaatan energi alternatif yang tidak hanya dapat menutupi kekurangan

pasokan energi untuk lima tahun ke depan tetapi juga untuk jangka waktu yang lama.

Terkait dengan potensi yang ada di Indonesia, pengembangan teknologi OTEC merupakan

energi alternatif yang paling menjanjikan. Dengan karakteristik oseanografis yang dimiliki

Indonesia, maka teknologi ini akan mampu memenuhi kebutuhan pasokan listrik Indonesia tanpa

perlu adanya rasa takut bahwa energi ini akan habis.

Memang, saat ini pemerintah tengah menjalankan proyek pembangunan pembangkit listrik

berkapasitas 10.000 MW tahap II. Melalui proyek ini rencananya akan dibangun pembangkit

dengan total daya sekitar 10.547 MW yang terdiri dari PLTA (1.174 MW), PLTP (3.583 MW),

PLTU (4.164 MW), PLTGU (1.626 MW). Investasi yang dibutuhkan untuk proyek ini mencapai
US$ 16,343 miliar. Namun, berapa lama pembangkit listrik ini akan bertahan? Berapakah biaya

operasional yang diperlukan? Satu hal yang pasti, sebagian besar pembangkit listrik tersebut

memerlukan bahan bakar yang akan mengalami kenaikan harga tiap tahunnya.

Sementara itu, apabila mengacu pada proyek pengembangan yang telah ada di beberapa

negara, biaya konstruksi yang dibutuhkan untuk membangun sebuah instalasi OTEC dengan

kapasitas 100 MW berkisar pada US$ 400 juta. Dengan perhitungan kasar, apabila kita ingin

membangun pembangkit listrik berkapasitas 10.000 MW menggunakan sistem OTEC, berarti

akan membutuhkan biaya sekitar US$ 40 miliar.

Sekilas, OTEC terkesan jauh lebih mahal dibandingkan dengan proyek yang sedang

dijalankan pemerintah, namun apabila kita menganalisis lebih jauh, kita akan menemukan bahwa

OTEC akan lebih murah dibandingkan dengan proyek lainnya. Hal ini dikarenakan OTEC tidak

memerlukan bahan bakar untuk menjalankan sistemnya, sebab sebagian energi yang dihasilkan

akan digunakan untuk menggerakkan sistem ini sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa OTEC membutuhkan biaya investasi yang cukup mahal namun sangat murah dalam hal

biaya operasional.

Dengan menggunakan sistem OTEC kita tidak perlu khawatir untuk kehilangan sumber

energi karena air laut akan selalu tersedia dengan perbedaan suhunya yang sangat stabil.

Bandingkan dengan pembangkit listrik lainnya yang hanya dapat bertahan selama 5 atau

mungkin 10 tahun, setelah itu kita harus kembali memikirkan sumber energi dan instalasi yang

baru, biaya yang dibutuhkan pun tentu akan sangat besar.

Selain itu, hasil riset menunjukkan berbagai potensi produk samping OTEC yang

bermanfaat, sehingga dapat meningkatkan nilai keekonomian dari teknologi OTEC. Di antara

produk samping itu adalah air dingin untuk AC, air tawar dari hasil kondensasi uap air laut, dan
area yang dingin di sekitar tanah yang dilalui pipa bawah tanah OTEC yang cocok untuk

pertanian.

Jadi, seharusnya yang mana yang kita pilih? Pembangkit listrik yang dianggap “murah”

dan akan habis dalam beberapa tahun ke depan ataukah pembangkit listrik yang dianggap

“mahal” namun ramah lingkungan dan tidak akan pernah ada habisnya yang bahkan bisa

mengasilkan produk sampingan lainnya?

Semoga ini bisa menjadi bahan pemikiran bagi kita semua, khususnya bagi para pengambil

kebijakan yang ada di negeri kita tercinta ini.

Oleh: Muhammad Bakhtiar (Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran)

Referensi:

Christina. 2010. Menantikan Peta Potensi Panas Laut di Indonesia.


http://www.energiterbarukan.net/ (Diakses tanggal 20 Juni 2010).

Gunawan. 2008. Pemanfaatan Energi Laut 3: Panas Laut.


http://majarimagazine.com/2008/01/pemanfaatan-energi-laut-3-panas-laut/ (Diakses
tanggal 20 Juni 2010).

SJ, Triman. 2009. Ada Apa dengan Proyek 10.000 MW. http://www.listrikindonesia.com/
(Diakses tanggal 20 Juni 2010).

Anda mungkin juga menyukai