Listrik memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi dan pembangunan suatu
bangsa. Sementara itu, kebutuhan listrik akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan
jumlah penduduk dan perkembangan perekonomian bangsa. Pada periode 2009-2018, PT.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) memperkirakan kebutuhan listrik sistem Jawa Bali akan
tumbuh dari 107,8 Twh (tetra watt hour) pada 2009 menjadi 250,9 Twh pada 2018 atau tumbuh
rata-rata 9,5% per tahun. Sementara untuk luar Jawa Bali pada periode yang sama meningkat
dari 30,9 Twh di 2009 jadi 74,3 Twh pada 2018 atau tumbuh rata-rata 10,3% per tahun. Saat ini
kebutuhan energi listrik masyarakat mencapai 99 tetra Watt jam (TWh), sementara kapasitas
Penyediaan tenaga listrik bagi keperluan sektoral sampai saat ini dibangkitkan dengan
bahan bakar minyak yang memerlukan biaya investasi sangat mahal. Di samping, itu
penggunaannya terus meningkat, sedang jumlah persediaan terbatas. Oleh karena itu, perlu
diambil langkah-langkah penghematan minyak bumi di satu pihak dan di pihak lain perlu adanya
Di antara energi alternatif yang potensial tersebut berasal dari energi kelautan. Sebagai
salah satu negara bahari terbesar di dunia, Indonesia tentu memiliki peluang yang amat potensial
untuk memanfaatkan kekayaan alam lautnya sebagai sumber energi. Salah satu jenis energi
Conversion (OTEC).
OTEC bekerja dengan memanfaatkan perbedaan suhu yang terdapat antara laut dalam
dengan perairan di dekat permukaan untuk menjalankan mesin kalor. Sebagai salah satu energi
alternatif, pembangkit listrik dengan sistem OTEC memang membutuhkan persyaratan khusus,
hal ini terkait dengan kondisi alam. Setidaknya sebuah instalasi OTEC membutuhkan lingkungan
laut yang memiliki perbedaan antara suhu permukaan dengan suhu kedalaman minimum 20
derajat celcius. Selain itu, instalasi pembangkit listrik diletakkan di laut dekat pantai dengan
kedalaman lebih dari 600 meter serta intensitas gelombang laut yang kecil, sehingga mengurangi
Amerika Serikat (Hawaii), Taiwan, Sri Lanka, Fiji, Jamaika, dan China. India pun telah memulai
proyek pengembangan dan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas laut ini.
Ditinjau dari letak geografis dan kondisi oseanografis perairannya, Indonesia memiliki
kecocokan dan peluang yang sangat potensial dalam pengembangan sistem OTEC ini. Letak
Indonesia yang berada di daerah tropis mengakibatkan perbedaan suhu antara laut dalam dengan
air laut di dekat permukaan menjadi sangat signifikan. Selain itu kondisi oseanografis perairan
Pada faktanya, pemerintah telah mengatur kebijakan mengenai energi alternatif ini pada
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi
Nasional. Salah satunya adalah pada Bab I Pasal 1 Ayat 4 disebutkan “Energi terbarukan adalah
sumber energi yang dihasilkan dari sumberdaya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan
dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain : panas bumi, biofuel, aliran air sungai,
panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut”.
Pada peraturan tersebut tertulis bahwa suhu kedalaman laut termasuk dalam salah satu
energi terbarukan. Namun, hingga saat ini belum terlihat usaha yang nyata untuk
mengimplementasikannya di Indonesia. Lalu, bagaimanakah sebenarnya peluang dan potensi
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sejak tahun 1995 hingga 2007 telah
melakukan pemetaan potensi panas laut yang dilakukan dengan statistik dari nilai temperatur
permukaan laut bulanan dengan rata-rata nilai temperatur laut dalam pada kedalaman 600 meter,
800 meter, dan 1000 meter. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa perbedaan temperatur
(nilai ΔT) pada kedalaman 1000 meter di Indonesia bervariasi di tiap musimnya antara 21,5ºC -
24,5ºC di bagian barat Indonesia dan 21,5ºC - 26,5ºC di bagian timur Indonesia.
PT. PLN memprediksi dalam lima tahun ke depan, Indonesia akan membutuhkan
tambahan pasokan listrik sebesar 38.000 megawatt (MW), dari posisi saat ini yang hanya 30.000
MW menjadi 68.000 MW. Sehingga Indonesia masih membutuhkan tambahan tenaga listrik
Dengan kondisi seperti disebutkan di atas, maka sudah saatnya Indonesia menentukan
kebijakan ke arah pemanfaatan energi alternatif yang tidak hanya dapat menutupi kekurangan
pasokan energi untuk lima tahun ke depan tetapi juga untuk jangka waktu yang lama.
Terkait dengan potensi yang ada di Indonesia, pengembangan teknologi OTEC merupakan
energi alternatif yang paling menjanjikan. Dengan karakteristik oseanografis yang dimiliki
Indonesia, maka teknologi ini akan mampu memenuhi kebutuhan pasokan listrik Indonesia tanpa
Memang, saat ini pemerintah tengah menjalankan proyek pembangunan pembangkit listrik
berkapasitas 10.000 MW tahap II. Melalui proyek ini rencananya akan dibangun pembangkit
dengan total daya sekitar 10.547 MW yang terdiri dari PLTA (1.174 MW), PLTP (3.583 MW),
PLTU (4.164 MW), PLTGU (1.626 MW). Investasi yang dibutuhkan untuk proyek ini mencapai
US$ 16,343 miliar. Namun, berapa lama pembangkit listrik ini akan bertahan? Berapakah biaya
operasional yang diperlukan? Satu hal yang pasti, sebagian besar pembangkit listrik tersebut
memerlukan bahan bakar yang akan mengalami kenaikan harga tiap tahunnya.
Sementara itu, apabila mengacu pada proyek pengembangan yang telah ada di beberapa
negara, biaya konstruksi yang dibutuhkan untuk membangun sebuah instalasi OTEC dengan
kapasitas 100 MW berkisar pada US$ 400 juta. Dengan perhitungan kasar, apabila kita ingin
Sekilas, OTEC terkesan jauh lebih mahal dibandingkan dengan proyek yang sedang
dijalankan pemerintah, namun apabila kita menganalisis lebih jauh, kita akan menemukan bahwa
OTEC akan lebih murah dibandingkan dengan proyek lainnya. Hal ini dikarenakan OTEC tidak
memerlukan bahan bakar untuk menjalankan sistemnya, sebab sebagian energi yang dihasilkan
akan digunakan untuk menggerakkan sistem ini sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa OTEC membutuhkan biaya investasi yang cukup mahal namun sangat murah dalam hal
biaya operasional.
Dengan menggunakan sistem OTEC kita tidak perlu khawatir untuk kehilangan sumber
energi karena air laut akan selalu tersedia dengan perbedaan suhunya yang sangat stabil.
Bandingkan dengan pembangkit listrik lainnya yang hanya dapat bertahan selama 5 atau
mungkin 10 tahun, setelah itu kita harus kembali memikirkan sumber energi dan instalasi yang
Selain itu, hasil riset menunjukkan berbagai potensi produk samping OTEC yang
bermanfaat, sehingga dapat meningkatkan nilai keekonomian dari teknologi OTEC. Di antara
produk samping itu adalah air dingin untuk AC, air tawar dari hasil kondensasi uap air laut, dan
area yang dingin di sekitar tanah yang dilalui pipa bawah tanah OTEC yang cocok untuk
pertanian.
Jadi, seharusnya yang mana yang kita pilih? Pembangkit listrik yang dianggap “murah”
dan akan habis dalam beberapa tahun ke depan ataukah pembangkit listrik yang dianggap
“mahal” namun ramah lingkungan dan tidak akan pernah ada habisnya yang bahkan bisa
Semoga ini bisa menjadi bahan pemikiran bagi kita semua, khususnya bagi para pengambil
Referensi:
SJ, Triman. 2009. Ada Apa dengan Proyek 10.000 MW. http://www.listrikindonesia.com/
(Diakses tanggal 20 Juni 2010).