Kelas : 1G171
NPM : 91420009
A. Executive Summary
Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahunnya, kebutuhan
akan energi listrik juga turut semakin meningkat. Dimana rata-rata kenaikkan konsumsi listrik
per kapita di Indonesia pada tahun 2014-2018 adalah 0,05 GWh per kapita. Dalam memenuhi
energi listrik, pasokan energi primer di Indonesia sebagian besar didasarkan pada bahan bakar
fosil seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Pada tahun 2015, 41% konsumsi energi Indonesia
dipasok minyak bumi, 24% gas alam, dan 29% batubara, yang mana persedian energi fosil
tersebut semakin menipis dan sekaligus menimbulkan emisi karbon yang berbahaya bagi
manusia.
Sumber energi baru terbarukan (EBT) merupakan sumber energi alternatif yang berasal
dari proses alam yang sustainable (berkelanjutan) dan renewable (dapat diperbaharui) yang
hampir tidak menghasilkan emisi. Namun dalam penerapannya, energi baru terbarukan (EBT)
memiliki kekurangan, dimana masih belum dimaksimalkan alat konversi energi yang efisien,
serta kebijakan energi di Indonesia sendiri yang masih menjadi dilema bagi kelanjutan
perkembangan EBT di Indonesia.
Terlepas dari hal-hal di atas, potensi EBT di Indonesia sangat berlimpah, dari mulai energi
surya, panas bumi, air, angin, hingga biomassa. Yang mana masing-masing dari sumber energi
terbarukan ini memiliki kekurangan dan kelebihannya tersendiri, serta pengaplikasiannya masih
perlu banyak pengembangan baik dari segi teknologi maupun dari segi cost efficiency.
B. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahunnya,
kebutuhan akan energi listrik juga turut semakin meningkat. Hal ini dikarenakan listrik
adalah salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia di dunia pada
umumnya dan khususnya di Indonesia. Dimana rata-rata kenaikkan konsumsi listrik per
kapita di Indonesia pada tahun 2014-2018 adalah 0,05 GWh per kapita. Artinya
Indonesia harus konsisten dalam meningkatkan kebutuhan energi listrik tiap tahunnya,
guna mencukupi kebutuhan aktivitas kehidupan penduduknya.
Dalam memenuhi energi listrik, terdapat sumber energi yang berbahan bakar fosil
(seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara) yang mana persediannya semakin
menipis dan menghasilkan emisi.[2] Jika Indonesia masih bergantung dengan jenis
sumber energi diatas, tentu hanya akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari
yakni krisis energi. Oleh karena itu perlu dicari sumber energi lain sebagai energi
alternatif.
Berdasarkan data bauran energi di Indonesia sejak tahun 2018 pada Outlook Energi
Indonesia 2020.[3] Nilai persentase sumber energi baru terbarukan (EBT) akan terus
ditingkatkan, meskipun masih didominasi oleh sumber energi berbahan fosil (minyak,
gas dan batubara).
Sumber energi baru terbarukan (EBT) merupakan sumber energi alternatif yang
berasal dari proses alam yang sustainable (berkelanjutan) dan renewable (dapat
diperbaharui) yang hampir tidak menghasilkan emisi. Energi terbarukan dapat berasal
dari tenaga surya yang dapat dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS),
tenaga angin yang dapat dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), tenaga air
yang dapat dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) atau Pembangkit Listrik
Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), tenaga panas bumi yang dapat dijadikan Pembagkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan lain sebagainya.
Beberapa bentuk EBT di Indonesia dengan potensi yang sangat besar adalah panas
bumi dan energi angin. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan astronomis dan geografis
Indonesia di garis khatulistiwa, sehingga Indonesia beriklim tropis, serta Indonesia juga
merupakan negara yang terletak di kawasan ring of fire sehingga meskipun rawan akan
bencana, namun dengan adanya gunung-gunung api tersebut maka potensi panas bumi
di Indonesia sangat besar. Dari 252 area yang telah diidentifikasi, diperoleh data dengan
total potensi sumber daya dan cadangan panas bumi sebesar 27.357 MW. Namun baru
3% dengan jumlah 807 MW yang telah dimanfaatkan sebagai energi listrik, dengan 2%
merupakan pemakaian energi listrik nasional.
Selain itu, ada pula energi angin. Angin sendiri merupakan udara yang bergerak
dari tempat bertekanan tinggi ke rendah. Hal ini terjadi karena tidak meratanya radiasi
matahari di permukaan bumi, sehingga terjadi perbedaan suhu udara. Energi ini dapat
diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan kincir angin. Besarnya energi listrik
yang dihasilkan akan bergantung pada kecepatan angin, di mana kecepatan angin
dipengaruhi oleh keras permukaan dan penghalang, seperti gedung dan pohon. Selain
itu, ketinggian lokasi juga berpengaruh terhadap kecepatan angin. Potensi energi angin
di Indonesia telah diidentifikasi dengan nilai sekitar 978 MW dengan rata-rata
kecepatan angin berkisar antara 3,5 – 7 m/s.
Wilayah dengan potensi terbesar adalah di Sulawesi Selatan, di mana energi listrik
yang dihasilkan dapat mencapai lebih dari 200 MW. Teknologi turbin angin skala besar
dapat bekerja dengan baik pada kecepatan 5 – 20 m/s. Sedangkan kecepatan di bawah
5 m/s lebih sesuai untuk diubah menjadi energi mekanik atau pembangkit listrik tenaga
angin dengan skala kecil.
Selain dari energi panas bumi dan energi angin, Indonesia juga memiliki potensi
energi dari Biomassa yang berlimpah. Indonesia sebagai negara agraris, umumnya
memiliki limbah hasil pertanian yang kurang termanfaatkan, dan limbah ini bisa
digunakan sebagai alternatif energi biomassa. Energi ini memiliki keuntungan dalam
pemanfaatannya antara lain: dapat dimanfaatkan secara berulang karena sifatnya yang
renewable, tidak mengandung unsur sulfur sehingga tidak akan menyebabkan polusi
udara sama seperti pada bahan bakar fosil, serta dapat meningkatkan efisiensi
pemanfaatan limbah pertanian.
2. Rumusan Masalah
Sejauh ini EBT di Indonesia belum termanfaatkan secara optimal, sehingga target
pemasangan EBT khususnya panas bumi, angin, dan biomassa belum tercapai.
Berdasarkan kondisi ini, maka timbul rumusan masalah yaitu:
a. Bagaimana perkembangan potensi energi panas bumi, angin, dan biomassa di
Indonesia?
b. Mengapa EBT masih belum mencapai target pemanfaatannya dalam dijadikan
sebagai sumber energi listrik, dan faktor apa yang menyebabkannya?
2. Angin
Perbedaan suhu pada dua tempat berbeda dapat menghasilkan perbedaan pada
tekanan udaranya. Hal ini kemudian menghasilkan angin. Angin sendiri merupakan
gerakan materi seperti udara dan dapat menggerakkan turbin dengan kecepatan tertentu.
Turbin angin dimanfaatkan untuk menghasilkan energi, seperti energi kinetik dan
energi listrik. Energi ini proposional dengan kecepatan angin.
Artinya, meningkatnya kecepatan angin membuat energi yang dihasilkan juga
meningkat, bahkan dapat mencapai limit tertinggi energi yang mampu dihasilkan.
Tempat dengan kekuatan angin yang lebih tinggi dan juga konstan, seperti lepas pantai
dan dataran tinggi, biasanya diutamakan untuk dibangun pembangkit energi angin.
Prinsip kerja Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) adalah dengan
menggunakan kincir angin untuk mengkonversi energi angin menjadi energi kinetik,
lalu kemudian menjadi energi listrik. Energi kinetik dari angin dapat masuk ke dalam
turbin sehingga kincir angin mampu berputar. Hal ini menggerakan generator untuk
membangkitkan energi listrik. Daya turbin angin bergantung pada beberapa faktor
seperti volum, densitas, serta kecepatan angin.
Cara kerja kincir angin pada Gambar 6 dapat diuraikan sebagai berikut. Angin
memutar baling-baling yang digunakan untuk menangkap energi kinetik dari angin.
Selanjutnya energi ini dikonversi menjadi energi untuk memutar rotor. Jumlah
balingbaling pada kincir angin umumnya adalah tiga, namun bisa juga lebih. Unit
gearbox yang menjadi transmisi untuk turbin angin berfungsi untuk menyalurkan daya
dari rotor menuju generator, dengan cara membuat putaran menjadi lebih cepat.
Tabel 2. Total Potensi Energi Panas Bumi, Angin, dan Biomassa di Indonesia
Tabel 3. Detail Kapasitas dan Total Potensi Energi Panas Bumi, Angin, dan Biomassa per
Wilayah di Indonesia
G. Kesimpulan
1. Total potensi energi panas bumi di Indoneisa mencapai 17.97 GW, potensi energi
angin mencapai 60,64 GW, serta potensi energi biomassa mencapai 31,69 GW.
2. Berdasarkan hasil persentase kapasitas terpasang terhadap rencana energi tahun
2019-2028 dari energi panas bumi, angin, dan biomassa, yaitu energi angin atau
PLTB memiliki persentase terbesar yaitu 82,76%. Disusul oleh panas bumi dengan
nilai sebesar 25,31% dan biomassa dengan nilai sebesar 4,92%.
3. Faktor penghambat terbesar dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah
kurangnya koordinasi antara Pemerintah dan Pengembang, sehingga sulit untuk
mencapai hasil tanpa kerjasama dan support.
4. Faktor lainnya yang menghambat pengembangan pemanfaatan EBT yaitu
pendanaan yang terbatas, perencanaan yang tidak terkoordinasi dengan baik, serta
masih terdapat subsidi BBM yang menyebabkan masyarakat enggan beralih pada
EBT.
H. Referensi
[1] Outlook Energi Indonesia. 2020. Dampak Pandemi COVID 19 terhadap Sektor
Energi di Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT): ISBN:
978-602-1328-14-9.
[2] Nurul Aamnda Adistia, dkk. 2020. Potensi Energi Panas Bumi, Angin, dan
Biomassa Menjadi Energi Listrik di Indonesia. Jurnal Teknik Elektro President
University
[3] Dewan Energi Nasional. 2020. Bauran Energi Nasional 2020. Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia KESDM: ISBN 978-602-74236-1-9.
[4] A.A.G.M. Pemayun, “Pembangkit Tenaga Biomassa”, Jurusan Teknik Elektro dan
Komputer, Universitas Udayana, 2017.