Anda di halaman 1dari 19

Politisasi dan Netralitas

Indonesia
Kelompok 1
1 Adini Nuzula Humairah B1B122008

Anggota 2 Mutiara Salsilina B1B122009

Kelompok: 3 Wahyu Agus Gemilang Jaya B1B122011

4 Teddy Agustian B1B122012

5 Bayu Arinanto B1B122017

6 Ridho Hendrawan B1B122018

7 Dimas Martua Panggabean B1B122019

8 Gerry Ahnaf Syafiq Prawira B1B122025

9 Aditya Putra Syailendra B1B122026


Politisasi
Politisasi secara bahasa berarti hal membuat keadaan bersifat
politis. Atau, menjadikan hal suatu hal bersangkutan dengan politik.
Menurut Deutsch dikutip dari Kartini Kartono (1989), politisasi berarti
membuat segala sesuatu menjadi politik (politicization is making
things political). Politisasi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang
kotor dalam politik ketika dibenturkan dengan hukum atau
peraturan kampanye dalam politik. Misalnya dalam Undang-Undang
No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau dengan Peraturan
KPU No. 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Di
dalam aturan tersebut, ada hal-hal yang dilarang dalam kampanye
politik. Selain itu juga ada hal-hal yang seharusnya netral dari politik
praktis.
Politisasi
Lalu di dalam Undang-Undang Pemilu diatur bahwa kampanye pemilu dilarang
menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Kemudian juga ada larangan mengikutsertakan beberapa perangkat negara
seperti aparatur sipil negara, polisi, TNI, perangkat desa, dan lainnya dalam
kampanye. Ketika aturan tersebut dilangggar, maka dapat dikatakan sebagai
politisasi atas objek-objek larangan tersebut.

Pelanggaran terhadap aturan kampanye itu dapat dikategorikan sebagai politisasi


yang jelas. Bahkan ada lembaga yang bertugas khusus untuk mengawasi
pelanggaran-pelanggaran tersebut, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Misalnya, salah satu tugas Bawaslu adalah mengawasi netralitas aparatur sipil
negara, netralitas anggota TNI dan Polri.
Politisasi Samar-samar
Politisasi Agama
Ranah politisasi agama sangatlah luas. Bisa dengan menggunakan dalil-dalil agama,
pemanfaatan kegiataan keagamaan, penggunaan simbol-simbol keagamaan, dan lain
1 sebagainya. Sementara, di dalam aturan kampanye hanya ada larangan penggunaan
tempat ibadah saja. Padahal politisasi agama dapat dilakukan di mana saja, tidak hanya
di tempat ibadah.

Politisasi Simbol-Simbol Kebangsaan dan Nasionalisme.


politisasi ini pernah terjadi setidaknya ketika pemilu kepala daerah DKI Jakarta tahun
2017 lalu, untuk melawan politisasi agama. Di titik inilah dinding tipis pemisah antara
2 politik dan politisasi. Dan, di sini jugalah tantangan terberat untuk membedakan antara
politik dan politisasi.
Netralitas
Netralitas merupakan salah satu asas yang mengatur
penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN. Netral
sendiri diartikan tidak berpihak (tidak ikut atau tidak
membantu salah satu pihak) menurut kamus besar
bahasa indonesia (KBBI). Netralitas Aparatur Sipil Negara
(ASN) merupakan hal yang perlu terus dijaga dan diawasi,
agar pemilu dapat berjalan secara jujur dan adil antara
calon yang memiliki kekuasaan dengan calon yang tidak
memiliki relasi kuasa dilingkungan birokrasi
pemerintahan.
Lanjutan
Netralitas adalah prinsip utama bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) selaku
pelayan publik. Selain sebagai landasan utama terwujudnya percepatan
Reformasi Birokrasi Nasional (RBN), netralitas menjadi salah satu faktor
penentu kualitas demokrasi dan pemilihan umum. Pada dasarnya, netralitas
tidak diatur untuk membelenggu kebebasan ASN dalam mewujudkan
aspirasi politiknya. ASN dituntut untuk menjalankan amanahnya sebagai abdi
negara yang bekerja semata-mata demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk
kepentingan suatu golongan atau partai politik tertentu.

Wakil Presiden (Wapres) K. H. Ma’ruf Amin mengungkapkan laporan Badan


Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dimana dalam kurun waktu seminggu
masa kampanye Pilkada 2020 terdapat 1300 laporan dan 600 di antaranya
terkait kasus netralitas ASN.
Untuk memperkuat dasar hukum pelaksanan netralitas ASN, Wapres
mengatakan, pemerintah telah mengeluarkan Pedoman Pengawasan
Netralitas Aparatur Sipil Negara untuk Pilkada Serentak 2020 dalam
bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) lima instansi negara, yaitu
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Nasional
dan KASN.

Wapres yang juga menjabat Ketua Komite Percepatan BRN


menekankan, upaya pengawasan netralitas ASN hanya akan berjalan
dengan baik apabila didukung para pejabat negara, pejabat
pemerintahan, pimpinan birokrasi, baik sipil maupun non sipil, di pusat
maupun daerah.
Pelaksanaan Netralitas dan Sanksi bagi
ASN
Pelanggaran Netralitas Pengawasan pelanggaran
ASN dapat juga berupa netralitas diteruskan
pelanggaran kode etik kepada KASN, kemudian
maupun pelanggaran disampaikan kepada PPK
disiplin untukditindaklanjuti
Sanksi pelanggaran kode Menteri PANRB
etik berupa sanksi moral, berwenang memberikan
dapat juga dikenakan sanksiterhadap
sanksi administratif rekomendasi KASN yang
berupa sanksi disiplin tidak ditindak lanjuti
Larangan Terkait Pemilu bagi ASN berdasrkan SE
kemenPANRB dan SE KASN

Kampanye/Sosialis
Ikut Kampanye Ikut Kampanye Menghadiri
asi Media Sosial
dengan Atribut Dengan Penyerahan
(Posting, Share,
Menggunakan Dukungan Parpol ke
berkomentar, PNS
Fasilitas Negara Paslon
Like Dll)

Mengadakan Memberikan Ikut Sebagai


Kegiatan Mengarah Dukungan ke
Caleg/Calon Panitia/Pelaksana
Keberpihakan
(Melakukan Independent Kampanye
Kepala Daerah
Ajakan,Himbauan,
dengan
Seruan, Memberikan KTP
Pemberian Barang)
Politisasi dan Netralitas Indonesia
Beberapa penyebab terjadinya politisasi dan netralitas ASN
diantaranya:

1. Tidak adanya pemantauan secara ketat terhadap pelaksanaan


kebijakan yang mengatur netralitas ASN.
2. Tidak adanya sanksi tegas terhadap pegawai yang melanggar
petaturan netralitas pegawai ASN.
3. Tidak adanya sosialisasi terhadap ber-bagai peraturan terkait
netralitas ASN, sehingga banyak pegawai yang tidak paham.
4. Tidak adanya komitmen dari pejabat politik maupun pejabat karier
ASN untuk menjaga netralitas ASN.
Politisasi Birokrasi
Data Grafik menunjukkan bahwa sejak 2015 hingga oktober 2018, KASN
menerima laporan pelanggaran netralitas ASN yang cukup tinggi yang terjadi
terutama sebelum dan saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah
berlangsung. Kekhawatiran akan keberpihakan ASN kepada salah satu
pasangan calon, menjadi alasan utama sehingga terdapat tiga tipe politisasi
terhadap birokrasi di Indonesia:
1. Politisasi secara terbuka
2. Politisasi setengah terbuka dan,
3. Politisasi secara tertutup
Politisasi birokrasi berada didua sisi; berasal dari sisi partai politik yang
mengintervensi birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir
birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya
memiliki kepentingan yang sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan
kekuasaan.
Menurut pendapat Mahrus Irsam, gejala politisasi birokrasi harus
diwaspadai. Mengapa?
1. Karena di sepanjang sejarah politik Indonesia para penguasa, baik sipil
maupun militer, selalu menjadikan birokrasi sebagai sasaran yang empuk
bagi politisasi. Minimal melalui politisasi, sebuah birokrasi dapat digiring
untuk dijadikan basis pendukung bagi partai sang menteri (merangkap
pengurus partai) di dalam pemilihan umum yang akan datang.
2. politisasi birokrasi itu menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses
profesionalisasi di dalam birokrasi. Tegasnya sejak dari tahun 1950
hingga dewasa ini profesionalisasi birokrasi belum pernah menjadi titik
perhatian dari para politisi yang memimpin birokrasi. Biasanya para
politisi beranggapan bahwa profesionalisasi hanya akan merugikan atau
membatasi ruang gerak politisasi yang akan dilancarkannya di dalam
birokrasi tersebut.
Fenomena Politisasi Birokrasi

Mempolitisir rekruitmen
Mempolitisir fasilitas
pegawai negeri baru
negara
Adanya komersialisasi
Memobilisasi pegawai
Jabatan
negeri pada saat
Pencopotan Jabatan
pemilu dan pilkada
karir (Sekretaris
Adanya Kompensasi
Daerah/Sekda) karena
Jabatan
alasan politis
Dampak Negatif Politisasi Birokrasi
4 dampak negatif yang muncul sehubungan dengan kebijakan
politisasi birokrasi:
1. Kebijakan menempatkan atau mendudukkan orang-orang partai
politik yang sesuai dengan selera Menteri yang bersangkutan, jelas
mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme promosi jabatan
pada jabatan karier yang ada dalam struktur pemerintahan.
2. Kebijakan politisasi birokrasi dengan sendirinya akan menciptakan
rasa anti-pati atau perasaan tidak bisa bekerja sama dengan
orang-orang yang tidak berasal dari partai politik yang sama.
3. Kebijakan memberikan orang-orang partai politik sebuah jabatan
penting di pemerintahan, secara tidak langsung berarti tidak
mengindahan bekerjanya prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan
tugas birokrasi sehari-hari.
4. Trauma politik masa lalu harus benar-benar kita jadikan pelajaran
yang sangat berharga untuk masa-masa mendatang. Penampilan
birokrasi Indonesia di masa Orde Baru yang “terlalu berkuasa”, mau
tidak mau harus kita jauhi. Sebab, pada masa itu birokrasi tidak
hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan publik, tetapi juga
sebagai pembuat sekaligus pengawas dari kebijakan itu sendiri.
Dampak Positif Politisasi Birokrasi
Politisasi birokrasi memiliki beberapa dampak positif yang dapat dilihat
dari sudut pandang pemerintah dan partai politik yang mengusungnya:
1. Loyalitas yang lebih tinggi terhadap pemerintah dan partai politik:
Dengan melakukan politisasi birokrasi, pemerintah dapat
menempatkan pejabat birokrasi yang loyal dan dapat diandalkan
untuk melaksanakan kebijakan dan program pemerintah. Dalam
hal ini, politisasi birokrasi dapat membantumemperkuat pengaruh
pemerintah dan partai politik atas birokrasi.
3. Peningkatan efektivitas dan efisiensi birokrasi: Dalam beberapa kasus,
politisasi birokrasi dapat mempercepat proses pengambilan keputusan
dan melaksanakan program pemerintah karena pejabat birokrasi yang
ditempatkan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kebijakan dan
tujuan pemerintah. Hal ini dapat mempercepat pengambilan keputusan,
mengurangi birokrasi, dan meningkatkan efisiensi birokrasi.
4. Keterwakilan yang lebih baik dari berbagai kelompok dalam
pemerintahan: Dengan memasukkan anggota partai politik dan pejabat
pemerintah yang mewakili kelompok-kelompok tertentu, seperti kaum
minoritas, politisasi birokrasi dapat membantu memastikan bahwa
kepentingan mereka terwakili dalam proses pengambilan keputusan. Hal
ini dapat membantu memperkuat legitimasi pemerintah dan mendorong
partisipasi masyarakat dalam proses politik.
Kesimpulan
Indonesia adalah negara demokrasi di mana setiap warga negara memiliki
hak untuk berpartisipasi dalam politik. Di Indonesia, netralitas merupakan
prinsip yang sangat penting dalam menjaga kestabilan politik dan sosial.
Netralitas memastikan bahwa lembaga negara dan pemerintahan tidak
terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu dan memperlakukan semua
warga negara secara adil dan sama. Politik dan netralitas adalah dua hal yang
saling terkait dalam konteks Indonesia. Untuk memastikan bahwa politik tidak
mempengaruhi netralitas, diperlukan upaya yang terus menerus dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya netralitas dan
memperkuat lembaga-lembaga negara agar dapat berfungsi secara
independen dan objektif.

Anda mungkin juga menyukai