Politisasi birokrasi
1. Politisasi fasilitas negara
Politisasi aparatur pemerintahan berupa penggunaan fasilitas negara dapat
dilihat menjelang pemilu legislatif. Meskipun mengenai netralitas administrasi,
peraturan pemerintah No. 1999 dikeluarkan dengan ketentuan bahwa pegawai
negeri sipil (PNS) dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak
boleh bertindak secara diskriminatif, terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, tetapi untuk calon kepala daerah. kantor, sulit untuk mematuhinya.
Karena dia bisa saja memiliki segalanya, status, uang, dan kekuasaan. Seperti yang
dikatakan Lord Acton: kekuasaan cenderung korup. Mereka yang berkuasa rentan
korupsi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga negara juga
digunakan dalam proses penyelenggaraan rapat serikat pekerja, lobi politik dengan
partai politik lain, dan advokasi (lobi massa). Fasilitas negara yang umum digunakan
adalah mobil dinas, pakaian resmi, dan ruang pertemuan (gedung) milik negara.
Penggunaan fasilitas negara dapat dilakukan oleh pejabat yang tunduk pada proses
politik (pemilihan).
2. Mobilisasi PNS dalam Pilkada dan Pilkada
Politisasi birokrasi melalui pengiriman (penerjunan) PNS pada masa percontohan
seperti berbicara tentang netralitas aparatur pemerintah. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menetralisir birokrasi. Miftah Toha (2007: hlm. 156159)
menegaskan bahwa netralitas birokrasi pada masa reformasi telah berkembang
pesat. Berawal ketika keberadaan organisasi KORPRI digugat oleh beberapa pihak,
misalnya gugatan yang diajukan oleh UI dan desakannya untuk membubarkan
KORPRI atau bersikap netral dalam segala proses politik. Meskipun pada saat itu
juga terdapat perbedaan pendapat tentang perlunya pegawai negeri bersikap netral
dan tidak menjadi pengurus partai politik atau bahwa politik adalah hak asasi
manusia. Faktanya, itu adalah pendapat kedua yang masih berlaku. Karena itu,
netralitas PNS dalam proses politik masih jauh dari kata gosong. Dengan setiap
pemilu, suara PNS menjadi salah satu aset yang paling menjanjikan. Menggunakan
suara PNS jelas sangat mudah bagi petahana. Dengan adanya janji-janji alokasi
jabatan atau perintah untuk mendukung atasan, mobilisasi PNS dalam pemilu
legislatif dan pilkada berjalan dengan baik, baik dalam proses pemilu di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat.
3. Keberadaan offset posisi
Offset ini umum dan mudah terlihat di tengah. Pasca gerakan reformasi 1998,
politisi cenderung melakukan intervensi dalam berbagai kebijakan birokrasi. Telah
terjadi fenomena masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam sistem pemerintahan.
Contoh terbaru adalah koalisi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, di mana partai-
partai yang ingin beraliansi dengan Partai Demokrat mendapat alokasi kursi kabinet.
Jumlah kursi yang diperoleh sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh dalam
pemilihan legislatif, tetapi juga dilengkapi dengan kebijakan tawar-menawar. Di
daerah jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala kantor,
kepala badan) akan menjadi tempat lobi politik antara pemenang dan pihak lain.
Efek dari penyeimbangan posisi antara otoritas dan partai politik adalah
mengganggu efisiensi birokrasi yang seharusnya mendukung merit system
(berdasarkan profesionalisme). Sebenarnya banyak birokrat profesional, namun
kalah dengan birokrat lain yang mendapat dukungan parpol.
Saran
Seiring pelaksanaan Politik Birokrasi yang berguna agar organisasi birokrasi bekerja
dan berbuat (dalam arti taat dan patuh) sesuai dengan kepentingan politik yang
berkuasa, disisi lain para pejabat birokrasi semakin menyalahgunakan kewenangan
dan kekuasaan. Banyak sekali kasus yang melibatkan Para pemimpin daerah
maupun pejabat yang tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
masing-masing dan mencoreng nama Birokrasi. Harapannya agar Agar kasus-kasus
politisasi birokrasi dapat diminimalisir sehingga nantinya birokrasi betul-betul steril
dari kooptasi politik. Semua PNS harus memiliki komitmen untuk menjalankan
peraturan tersebut. Upaya lainnya dapat diwujudkan melalui sosialisasi yang
menyeluruh tentang keharusan untuk netral, dan penegakan hukum yang tegas bagi
yang melanggar.