Anda di halaman 1dari 5

Jenis Politisasi Birokrasi

Berdasarkan pengalaman setengah abad, dapat digambarkan bahwa ada


tiga jenis politisasi birokrasi di Indonesia (Ibid), yaitu:
Pertama, politisasi birokrasi di Indonesia (Ibid). Dikatakan terbuka karena
upaya dilakukan secara langsung dan tidak ada yang disembunyikan. Politisasi
terbuka semacam ini terjadi pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), ketika
para pemimpin partai politik (parpol) memperebutkan posisi menteri yang langsung
mengepalai kementerian. Setelah menjabat Menteri, Menteri akan berupaya
semaksimal mungkin untuk menunjukkan kemampuan kepemimpinannya dan
kebijakan yang ditempuhnya agar pegawai di Kementerian tertarik untuk bergabung
dan menjadi anggota Partai Menteri. Dalam kondisi seperti itu akhirnya ditemukan
beberapa kementerian yang menjadi akar rumput atau didominasi oleh partai politik,
seperti yang terlihat jelas Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertanian
yang dipimpin oleh PNI didominasi oleh PNI, Kementerian Agama. pada gilirannya
didominasi oleh NU atau Masyumi, dan Kementerian Luar Negeri masing-masing
didominasi oleh PSI dan PNI.
Kedua, politisasi semi publik. Politisasi semacam ini dipraktikkan oleh para
pemimpin partai politik pada era Demokrasi Terpimpin. Dikatakan semi publik karena
politisasi birokrasi hanya menyasar parpol yang mewakili kelompok nasionalis,
agama, dan komunis (Nasakom). Namun, kelompok terakhir ini di satu sisi memiliki
kekuasaan resmi untuk membawa pemimpin atau individu tertentu ke dalam kabinet,
dan kemudian mempolitisasi birokrasi. Namun di sisi lain, kaum komunis tidak
pernah menikmati hak ini karena masuknya PKI ke dalam kabinet selalu dibarengi
oposisi dari dua kelompok lain (nasionalis dan agama). Apalagi pihak militer juga
menentangnya. Sepertinya Sukarno juga tidak tahan dengan penolakan. Bahkan,
dalam banyak hal, Sukarno mengadopsi sikap kelompok non-komunis. Sebagai
perantara, Sukarno menempatkan seorang pemimpin atau tokoh dari organisasi
satelit PKI, seperti Baperki, untuk menjalankan sebuah kementerian dan kemudian
mempolitisasinya. Dengan cara ini, PKI secara tidak langsung dapat mempolitisasi
birokrasi melalui Baperki.
Ketiga, politisasi tertutup. Politisasi semacam ini terjadi di zaman Orde Baru.
Dari tingkat pusat (Presiden Suharto) sampai tingkat desa atau kabupaten
(lurah/kepala desa) semua harus menjadi anggota dan pembina Golkar. Memang
ada dua partai lain, yakni PPP dan PDI, namun sejak mereka diterima sebagai PNS,
warga dilarang membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai. Secara jelas
disebutkan bahwa calon staf tidak akan menjadi anggota partai politik. Secara
keseluruhan, pernyataan tertulis itu terkesan berlaku untuk Golkar, PPP, dan PDI.
Namun kenyataannya, calon ustadz dibawa ke Golkar karena Golkar tidak pernah
mengaku sebagai partai politik. Tegasnya, keterangan tertulis itu digunakan untuk
meniadakan perlunya surat perintah terhadap calon pejabat yang terlibat dalam PPP
dan PDI. Bukti yang bisa dihadirkan kedua belah pihak adalah para pejabat itu
sendiri tidak mau bergabung dengan partai politik. Dapat juga ditambahkan bahwa
semua jabatan menteri termasuk jabatan birokrasi karir ditransformasikan menjadi
jabatan politik. Akibatnya, karier pejabat terhambat karena tidak ada jalan bagi
pejabat untuk bergerak vertikal ke posisi tertinggi dalam kariernya. Kondisi ini
dipertegas dengan mekanisme rekrutmen pegawai negeri sipil secara besar-besaran
dan terbuka menjelang pemilihan umum (pemilu). Meskipun diakui bahwa penerapan
kebijakan eksklusivitas oleh birokrasi pada masa orde baru telah membantu
menciptakan stabilitas dan kapasitas pemerintahan umum, memungkinkan
pemerintah didukung oleh birokrasi Dalam rangka melaksanakan pembangunan di
berbagai bidang , kegiatan aparatur administrasi hanya menguntungkan penguasa,
bukan rakyat. Hal ini berbeda dengan masa orde lama yang sulit berkembang
karena aparatur pemerintahannya terbagi dalam berbagai partai politik (partai politik
berdasarkan Nasakom).

Politisasi birokrasi
1. Politisasi fasilitas negara
Politisasi aparatur pemerintahan berupa penggunaan fasilitas negara dapat
dilihat menjelang pemilu legislatif. Meskipun mengenai netralitas administrasi,
peraturan pemerintah No. 1999 dikeluarkan dengan ketentuan bahwa pegawai
negeri sipil (PNS) dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak
boleh bertindak secara diskriminatif, terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, tetapi untuk calon kepala daerah. kantor, sulit untuk mematuhinya.
Karena dia bisa saja memiliki segalanya, status, uang, dan kekuasaan. Seperti yang
dikatakan Lord Acton: kekuasaan cenderung korup. Mereka yang berkuasa rentan
korupsi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga negara juga
digunakan dalam proses penyelenggaraan rapat serikat pekerja, lobi politik dengan
partai politik lain, dan advokasi (lobi massa). Fasilitas negara yang umum digunakan
adalah mobil dinas, pakaian resmi, dan ruang pertemuan (gedung) milik negara.
Penggunaan fasilitas negara dapat dilakukan oleh pejabat yang tunduk pada proses
politik (pemilihan).
2. Mobilisasi PNS dalam Pilkada dan Pilkada
Politisasi birokrasi melalui pengiriman (penerjunan) PNS pada masa percontohan
seperti berbicara tentang netralitas aparatur pemerintah. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menetralisir birokrasi. Miftah Toha (2007: hlm. 156159)
menegaskan bahwa netralitas birokrasi pada masa reformasi telah berkembang
pesat. Berawal ketika keberadaan organisasi KORPRI digugat oleh beberapa pihak,
misalnya gugatan yang diajukan oleh UI dan desakannya untuk membubarkan
KORPRI atau bersikap netral dalam segala proses politik. Meskipun pada saat itu
juga terdapat perbedaan pendapat tentang perlunya pegawai negeri bersikap netral
dan tidak menjadi pengurus partai politik atau bahwa politik adalah hak asasi
manusia. Faktanya, itu adalah pendapat kedua yang masih berlaku. Karena itu,
netralitas PNS dalam proses politik masih jauh dari kata gosong. Dengan setiap
pemilu, suara PNS menjadi salah satu aset yang paling menjanjikan. Menggunakan
suara PNS jelas sangat mudah bagi petahana. Dengan adanya janji-janji alokasi
jabatan atau perintah untuk mendukung atasan, mobilisasi PNS dalam pemilu
legislatif dan pilkada berjalan dengan baik, baik dalam proses pemilu di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat.
3. Keberadaan offset posisi
Offset ini umum dan mudah terlihat di tengah. Pasca gerakan reformasi 1998,
politisi cenderung melakukan intervensi dalam berbagai kebijakan birokrasi. Telah
terjadi fenomena masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam sistem pemerintahan.
Contoh terbaru adalah koalisi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, di mana partai-
partai yang ingin beraliansi dengan Partai Demokrat mendapat alokasi kursi kabinet.
Jumlah kursi yang diperoleh sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh dalam
pemilihan legislatif, tetapi juga dilengkapi dengan kebijakan tawar-menawar. Di
daerah jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala kantor,
kepala badan) akan menjadi tempat lobi politik antara pemenang dan pihak lain.
Efek dari penyeimbangan posisi antara otoritas dan partai politik adalah
mengganggu efisiensi birokrasi yang seharusnya mendukung merit system
(berdasarkan profesionalisme). Sebenarnya banyak birokrat profesional, namun
kalah dengan birokrat lain yang mendapat dukungan parpol.

4. Politisasi Ketenagakerjaan PNS Baru Selain kompensasi tenaga kerja,


kesepakatan antara otoritas dan partai koalisi
adalah pengaturan alokasi pekerjaan PNS baru oleh pemerintah pusat atau
daerah. Seperti diketahui banyak orang yang sudah mengetahui bahwa menjadi PNS
itu gajinya kecil, tapi orang Indonesia lega karena akan dibayar setiap bulannya
(pasti), itu salah satu dari sekian banyak faktor utama, saya selalu berusaha
walaupun sudah menjadi PNS. pegawai negeri. Dan pembagian distribusi terlihat
jelas. Karena untuk resmi, harus ada yang "membawa (baca: memberi
rekomendasi)". Dan salah satu pihak yang dapat “dibawa” adalah pihak (atas nama).
5. Komersialisasi Jabatan
Komersialisasi jabatan dalam praktik politik birokrasi dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pertama, birokrat, di satu sisi, membutuhkan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pendidikan, pelatihan, dan promosi yang signifikan. Di sisi lain,
mereka harus mengeluarkan uang lagi untuk mendapatkan tempat di jenjang karir
mereka. Oleh karena itu, birokrat perlu mengkomersialkan jabatannya guna
mengembalikan modal yang dikeluarkan selama pelatihan, pendidikan, dan
perolehan jabatan baru. Implikasi yang dihasilkan adalah birokrat tidak berusaha
mempraktekkan ilmu yang diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan, melainkan
memperoleh perlindungan (keselamatan) posisinya agar tidak digantikan oleh pihak
lain, yaitu terlibat dalam upaya-upaya politik. Kedua, pada umumnya motivasi
birokrat untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan bukan untuk memperoleh keahlian
khusus, tetapi untuk memenuhi persyaratan formal kenaikan pangkat dan status.
Politikisasi dipandang sebagai alternatif untuk menyiapkan kantor. Oleh karena itu,
pelatihan dan pendidikan profesional diselenggarakan, tetapi begitu birokrat mulai
menjalankan tugasnya, mereka mengambil langkah politik lagi untuk mengamankan
posisinya.
6. Pemberhentian jabatan karir (sekda/sekda) karena alasan politik.
Memilih jabatan daerah berdasarkan politisasi birokrasi (promosi) daripada
kualifikasi juga akan mengakibatkan penurunan pangkat (demotion) akibat politik
birokrasi. Hal ini didukung oleh penelitian makalah Sjahrazad Masdar, “Intervensi
Politisi Terhadap Birokrat (Studi tentang Dampak Politisi Terhadap Kebijakan
Promosi dan Demosi Kota Surabaya dan Kabupaten Situbond)”. Pengangkatan dan
pemberhentian sekretaris daerah menunjukkan adanya pola hubungan intervensi.
Kasus Surabaya menunjukkan bahwa pola sekda memberhentikan sekda
merupakan proses yang sarat politik, terutama untuk mempertahankan kekuasaan
sekda itu sendiri. Sedangkan yang terjadi di Bupati Situbond adalah berbagai upaya
untuk mencopot Sekda dari jabatannya ketika Sekda tidak mau memenuhi keinginan
mayoritas golongan. Menteri lokal tidak setuju dengan desakan untuk mengundurkan
diri karena alasan yang hampir masuk akal, tetapi tekanan kuat dari luar birokrasi
akhirnya memberhentikan menteri lokal.
Kesimpulan
Birokrasi secara etimologi berasal dari kata Yunani yaitu biro yang artinya kantor
dan krasi yang artinya pemerintah.Sedangkan politik adalah instrumen untuk
mewujudkan tujuan-tujuan seluruh masyarakat. Politisasi birokrasi adalah membuat
agar organisasi birokrasi bekerja dan berbuat (dalam arti taat dan patuh) sesuai
dengan kepentingan politik yang berkuasa. Terdapat beberapa jenis Politisasi
Birokrasi yaitu; Politisasi birokrasi di Indonesia (Ibid),upaya dilakukan secara
langsung dan tidak ada yang disembunyikan. Kedua, politisasi semi public(politisasi
birokrasi hanya menyasar parpol yang mewakili kelompok nasionalis, agama, dan
komunis (Nasakom). Dan yang terakhir Politisasi Tertutup. Politisasi semacam ini
terjadi di zaman Orde Baru yaitu, semua perangkat harus menjadi anggota dan
pembina Golkar.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi diterapkannya birokrasi dalam
politik. Sikap pemimpin daerah yang berprofesi sebagai politisi/non-politisi. Budaya
politik klien yang masih ada di birokrasi. Prasangka pribadi yang berlebihan.
Fanatisme berlebihan, sikap bos yang tidak mengambil tindakan tegas terhadap
bawahan. Lemahnya Proses Penegakan Hukum.

Saran
Seiring pelaksanaan Politik Birokrasi yang berguna agar organisasi birokrasi bekerja
dan berbuat (dalam arti taat dan patuh) sesuai dengan kepentingan politik yang
berkuasa, disisi lain para pejabat birokrasi semakin menyalahgunakan kewenangan
dan kekuasaan. Banyak sekali kasus yang melibatkan Para pemimpin daerah
maupun pejabat yang tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
masing-masing dan mencoreng nama Birokrasi. Harapannya agar Agar kasus-kasus
politisasi birokrasi dapat diminimalisir sehingga nantinya birokrasi betul-betul steril
dari kooptasi politik. Semua PNS harus memiliki komitmen untuk menjalankan
peraturan tersebut. Upaya lainnya dapat diwujudkan melalui sosialisasi yang
menyeluruh tentang keharusan untuk netral, dan penegakan hukum yang tegas bagi
yang melanggar.

Anda mungkin juga menyukai