Anda di halaman 1dari 12

APARATUR SIPIL NEGARA HARUS NETRAL

DISUSUN OLEH :
1. Ainun Yulia Salsa Billa (20220610318)
2. Fadhil abrar anugerah saputra (20220610462)
3. Febrianti (20220610493)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH


YOGYAKARTA 2023
BAB I

1. LATAR BELAKANG
Sebagai individu, ASN yang juga bagian dari masyarakat, tentu memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam memilih ketika Pemilihan Umum (Pemilu). Para ASN
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam memperkaya informasi diri untuk memilih
yang terbaik dalam kontestasi politik bernama Pemilu.

Namun, ASN sebagaimana tugasnya, merupakan bagian dari pelayan publik yang
harus memberikan pelayanan bagi masyarakat secara adil. Dalam melaksanakan
tugasnya, ASN memilik sumber daya untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Maka
sikap netral menjauhkan ASN dari diskriminasi layanan dan kesenjangan dalam lingkup
ASN. Jika muncul kesenjangan karena perbedaan pilihan dan preferensi, maka sinergi
akan sulit untuk dicapai. Sikap netral ASN bermuara pada penguatan profesionalisme.

Netralitas ini tidak bisa dilepaskan dari kerangka komunikasi saat ini. Bagi
mereka yang telah mengalami lebih dari 4 atau 5 kali pemilu, pasti dapat merasakan
perbedaan signifikan pemilu-pemilu sebelum adanya media sosial dan akses internet
dengan pemilu pada masa sekarang. Diskusi dan kampanye rasanya tak mengenal batas
ruang dan waktu, dengan intensitas yang naik berkali lipat dibandingkan pemilu sebelum
era media sosial. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang semakin menguatkan
betapa netralitas sektor pelayanan publik penting ditegakkan. Ruang publik seakan tidak
pernah sepi dari pembicaraan tentang politik, kadang deras dengan arus berita bohong
dan kampanye hitam. Bahkan sebuah foto dapat menjadi bahan diskusi hingga bahan
kampanye hitam.

Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah pihak yang berkewajiban memberi


pelayanan secara adil dan menggunakan sumber daya negara hanya untuk kepentingan
masyarakat. Di atas kewajiban sebagai pemilih, ada kewajiban menyelenggarakan
pelayanan dengan netral sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sikap netral dan menyimpan prinsip politik untuk diri sendiri dapat menimbulkan
suasana kondusif di lingkungan kerja dan meningkatkan fokus terhadap penyelenggaraan
tugas. Mari tunaikan kewajiban dan hak negara sebagai warga negara yang baik, melalui
sikap pelayan publik yang netral dan melayani.

Perlunya menjaga netralitas aparatur sipil negara melibatkan sejarah panjang


evolusi sistem pemerintahan dan prinsip-prinsip demokrasi. Di pangkalannya, netralitas
ini menemukan akarnya dalam gagasan bahwa pemerintahan harus bersandar pada
prinsip keadilan, keterbukaan, dan akuntabilitas.

Selama sejarah, terlihat bahwa intervensi politik dalam urusan administratif dapat
mengancam integritas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Pada masa lalu,
penggunaan aparatur sipil negara untuk mencapai tujuan politik tertentu sering kali
mengakibatkan ketidakadilan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Inilah yang
menjadi landasan bagi pemikiran bahwa netralitas adalah kunci untuk menciptakan
lingkungan pemerintahan yang sehat dan berprinsip.

Pentingnya netralitas juga terkait erat dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam


sebuah sistem demokratis, keberhasilan proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
kebijakan bergantung pada keadilan dan persamaan hak bagi semua warga negara. Jika
aparatur sipil negara terlibat dalam praktik-praktik yang bersifat partisan, maka prinsip-
prinsip dasar demokrasi tersebut dapat terkikis.

Selain itu, netralitas aparatur sipil negara juga menciptakan dasar kepercayaan
masyarakat terhadap institusi pemerintah. Dengan memastikan bahwa penugasan dan
kebijakan dijalankan tanpa campur tangan politik yang berlebihan, masyarakat dapat
memiliki keyakinan bahwa pemerintah bertindak untuk kepentingan umum. Ini adalah
elemen penting dalam membangun legitimasi dan kredibilitas lembaga-lembaga
pemerintahan di mata publik.

Dengan demikian, latar belakang untuk mendorong netralitas aparatur sipil negara
tidak hanya mencakup isu-isu administratif dan efisiensi, tetapi juga melibatkan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan kepercayaan masyarakat sebagai pondasi yang
menguatkan landasan moral dan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan.
2. RUMUSAN MASALAH

Mengapa Aparatur Sipil Negara harus netral disaat adanya pemilu?

3. TUJUAN
untuk mengetahui netralisasi Aparatur Sipil Negara disaat adanya pemilu
BAB II

PEMBAHASAN

1. APARATUR SIPIL NEGARA HARUS NETRAL DISAAT ADANYA PEMILU

Reformasi dalam sistem politik ditandai dengan satu langkah fundamental di


mana politik, dalam konteks pemerintahan, telah menetapkan kebijakan baru dalam
pembinaan Aparatur Sipil Negara (ASN). Kebijakan ini pada dasarnya mengubah sikap
politik ASN dari sebelumnya yang harus mendukung golongan politik tertentu menjadi
netral atau tidak memihak, yang kemudian dikenal sebagai kebijakan netralitas politik
ASN. Netralitas ASN menjadi aspek krusial dalam menjaga kelangsungan pemerintahan
yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, ASN, sebagai bagian dari aparatur negara,
diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan profesionalisme,
kejujuran, keadilan, dan kesetaraan. Netralitas ASN juga menjadi hal yang sangat penting
dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mengingat adanya
larangan bagi ASN untuk berperan aktif dalam aktivitas tersebut. Ketetapan kebijakan
netralitas ASN tersebut dijelaskan dengan jelas melalui pengaturannya dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; Pasal 9 ayat 2
menegaskan ASN harus bebas dari intervensi semua golongan dan partai politik; Pasal 12
menegaskan ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas
penyelenggaraan tugas umum pemerintah dan pembangunan nasional melalui
pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi
politik serta bersih dari KKN; Pasal 87 ayat 4 juga menegaskan bahwa PNS
diberhentikan dengan tidak terhormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik.1

Secara normatif, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang


Aparatur Sipil Negara, netralitas dijelaskan sebagai keadaan bebas dari pengaruh dan
campur tangan semua golongan dan partai politik. Dalam rangka menjaga netralitas
Aparatur Sipil Negara dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan,

1
Republik Indonesia, “Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara”
(2014): 1–104.
kekompakan, dan persatuan Aparatur Sipil Negara, serta dapat fokus sepenuhnya pada
tugas yang diberikan, maka diatur bahwa ASN tidak diperbolehkan menjadi anggota
dan/atau pengurus partai politik.

Peraturan-peraturan tersebut menekankan pada prinsip netralitas, terutama dalam


konteks pemilihan umum. Oleh karena itu, tidak ada dasar hukum yang membenarkan
keterlibatan birokrasi dalam politik praktis. Jawaban tegas bagi birokrat yang ingin
berpartisipasi dalam politik adalah dengan mengundurkan diri. Artinya, setiap orang
diizinkan terlibat dalam kegiatan politik. Oleh karena itu, peraturan-peraturan hukum
yang ada pada dasarnya tidak membatasi Hak Asasi Manusia (HAM) individu dalam
konteks demokrasi. Berbeda dengan masa Orde Baru, sebagai warga negara, ASN saat ini
memiliki kebebasan hak politik untuk memilih di dalam kotak suara. Dengan kata lain,
hak politik ASN sebagai individu tidak dicabut. Hanya penting untuk menjaga ekspresi di
ruang publik agar semangat pelayanan publik tetap terjaga.

Di era modernisasi seperti sekarang ASN diharapkan mampu melakukan


pelayanan publik dengan menggunakan pola-pola sikap dan prilaku untuk membangun
hubungan dengan pihak manapun serta mampu berlaku adil dan merata.2 Pentingnya
etika bagi ASN menjadi krusial dalam pengembangan, sehingga dapat membangkitkan
kepekaan birokrasi atau pemerintah dalam melayani kepentingan masyarakat.

Nilai-nilai dasar bagi Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, mencakup profesionalisme, netralitas, dan moralitas
yang tinggi.3 Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2025, Tujuan dari reformasi birokrasi adalah untuk menciptakan birokrasi
pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi,

2
Bintoro Wardiyanto and Windyastuti Budi Hendarti, “Construction of Employees Profesionalism : The Supervisor
Support and Prosperity Improvement,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 28, no. 3 (2015): 125–138.
3
Nomor 42 tahun 2004 Perpu RI, “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 Tentang
Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik Pegawai Negri Sipil,” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
1Tahun 2001, no. 1 (2004): 1–5.
bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan
memegang teguh nilai dasar dan kode etik apartur negara.4

Banyaknya perangkat peraturan yang bertujuan mewujudkan good governance


telah memberikan harapan positif terhadap perubahan dalam birokrasi kita. Meskipun
demikian, produk-produk hukum tersebut tidak menjamin secara pasti bahwa proses
perubahan akan berjalan lancar. Kendala utama terletak pada lemahnya penegakan
hukum di Indonesia, yang menjadi hambatan tersendiri bagi upaya reformasi birokrasi.

Berkaitan dengan sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang tidak netral maka
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menerbitkan Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: SE/18.1/M.PAN/5/2004.5 Dalam surat edaran
ini, diatur mengenai kriteria yang digunakan untuk memberikan sanksi kepada Pegawai
Negeri Sipil yang tidak menjaga netralitas, yaitu :

1) Hukuman disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah
untuk paling lama 1 (satu) tahun bagi PNS yang terlibat dalam kampanye
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden atau mengizinkan penggunaan
fasilitas pemerintah karena jabatannya.

2) Hukuman disiplin tingkat berat berupa pembehentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak-hak kepegawaian
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, bagi Pegawai Negeri Sipil
yang terlibat dalam kampanye dan berkedudukan sebagai Tim sukses atau yang
sejenis dalam pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden.

3) Hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat


sebagai Pegawai Negeri Sipil, bagi Pegawai Negeri Sipil yang terlibat dalam
kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan sebagai anggota
atau pengurus Partai Politik atau Tim sukses atau sejenis dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden serta menggunakan fasilitas oleh karena jabatannya.

4
Grand Design Reformasi, “Perpres RI No 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025,”
Perpres RI No 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 1999, no. 1 (2010): 1–5.
5
Bagus Sarnawa, “Pergeseran Aturan Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Umum,” Jurnal Media
Hukum 25, no. 2 (2018): 181–189.
Setiap ASN memiliki hak politik untuk memilih, sehingga larangan berpolitik harus
dimaknai dengan baik dan benar. Penfasiran terhadap larangan berpolitik jangan sampai
memposisikan ASN sebagai pihak yang harus dikebiri atau diskriminatif. Tapi suatu hal
yang perlu dipahami bahwa seorang PNS harus mampu menempatkan diri sebagai abdi
negara dan pelayan masyarakat, bukan melayani kepentingan pribadi orang per orang dan
atau calon tertent. Penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional
sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya Pegawai Negeri.6

Pengakuan terhadap kebebasan dalam sistem politik merupakan hasil yang wajar dari
ketentuan hukum atau konstitusi mengenai hak-hak dasar dan hak asasi manusia dalam
konteks kehidupan berbangsa. Kebebasan untuk menyuarakan pendapat dan berpikir
menandakan bahwa suatu negara menerapkan prinsip demokrasi. Setiap negara yang
mengklaim sebagai negara hukum demokratis seharusnya mencantumkan dalam
konstitusinya keterlibatan aktif rakyat, yang didasarkan pada prinsip kesetaraan dan
kebebasan. Di Indonesia, prinsip demokrasi dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,
yang menyatakan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang Dasar."

Robert A. Dahl menggaris bawahi bahwa dalam sistem politik yang demokratis,
kontrol terhadap pemerintah dalam membuat keputusan tidak bisa diabaikan, pemerintah
harus dipilih secara teratur melalui pemilihan yang adil, terbuka dan ada pembatasan
terhadap tindakan yang bersifat pemaksaan, terdapat hak memilih dan hak dipilih bagi
warga negara yang telah memenuhi syarat (dewasa), termasuk pula hak warga negara
untuk mengekspresikan kebebasan politiknya, termasuk mengkritik aparat kekuasaan
negara, ada akses untuk memanfaatkan sumber-sumber informasi alternatif yang tidak
dimonopoli oleh pemerintah atau kelompok tertentu, lalu pada akhirnya semua warga
negara mempunyai hak yang sama untuk membentuk dan bergabung ke dalam kelompok-
kelompok yang otonom, termasuk bergabung dalam partai politik dan kelompok
kepentingan yang bertujuan mempengaruhi pemerintah.

6
Muhammad Amir, “Konsep Nertralitas Terhadap Ketentuan Pelanggaran Disiplin Aparat Sipil Negara” 6 (2018):
87–97.
Implementasi tugas negara seharusnya menciptakan suatu situasi di mana prinsip-
prinsip demokrasi dapat diwujudkan dengan cara yang dapat diukur dan dinilai secara
konkret. Dalam konteks ini, kompetisi yang adil dalam proses politik akan menghasilkan
pemimpin yang memiliki kualifikasi dan mencerminkan aspirasi rakyat. Pentingnya
keterlibatan aktif masyarakat dalam proses politik bertujuan untuk menciptakan kondisi
di mana pemimpin atau kebijakan yang muncul benar-benar memperhatikan dan
mendukung kepentingan rakyat.

Keterlibatan yang sungguh-sungguh dari masyarakat, baik melalui partisipasi dalam


pemilihan umum maupun melalui mekanisme partisipatif lainnya, merupakan faktor
dinamis yang positif dalam perkembangan pemerintahan. Melalui partisipasi ini,
masyarakat dapat berkontribusi secara aktif dalam membentuk kebijakan dan mengawasi
jalannya pemerintahan, sehingga proses pengambilan keputusan mencerminkan
kebutuhan dan harapan rakyat.

Selain itu, jaminan terhadap kebebasan sipil dan politik juga memainkan peran
penting dalam mewujudkan pemerintahan yang benar-benar demokratis. Kebebasan ini
mencakup hak untuk menyuarakan pendapat, berkumpul, dan berserikat, serta
berpartisipasi dalam proses politik tanpa hambatan. Dengan adanya jaminan tersebut,
masyarakat dapat lebih leluasa menyuarakan aspirasinya dan berperan aktif dalam
pembentukan kebijakan, sehingga pemerintahan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan
masyarakat.

Dengan kata lain, implementasi prinsip-prinsip demokrasi, termasuk kompetisi yang


adil, partisipasi aktif masyarakat, dan jaminan terhadap kebebasan sipil dan politik,
merupakan elemen-elemen kunci dalam membentuk pemerintahan yang demokratis dan
responsif terhadap kepentingan rakyat.

Birokrasi harus bersifat independen dan tidak boleh terdapat "petunjuk" tersembunyi
yang dilakukan melalui jalur birokrasi. Situasi ini dapat menjadi risiko tinggi pada
pemilihan kepala daerah (pilkada), terutama jika pesertanya adalah petahana atau
keluarga dari kepala daerah yang masih memegang jabatan dan akan segera berakhir
masa jabatannya. Proses penghitungan suara harus transparan dan jujur. Peran pengawas
dan pemantau independen menjadi sangat penting ketika tahap penghitungan suara
berlangsung. Pada akhirnya, pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan sepenuhnya
sesuai dengan konstitusi dan harapan demokrasi apabila semua elemen, termasuk partai
politik, peserta pemilihan dan tim suksesnya, warga panitia pemilihan, panitia pengawas,
pemantau independen, serta masyarakat, tetap berkomitmen dan bekerja sama untuk
menjaga norma hukum dan prinsip demokrasi yang harus dihormati. Selama hal tersebut
diabaikan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak akan pernah memiliki kualitas dan
tidak akan pernah menghasilkan pemimpin yang berkualitas, baik dari segi moral,
intelektual, maupun sosial.
BAB III

1. KESIMPULAN

Netralitas ASN berbeda dengan netralitas TNI dan Polri dalam momen Pemilihan Umum.
Perbedaan yang dimaksud adalah bahwasanya TNI dan Polri tidak menggunakan hak
pilihnya, baik untuk memilih anggota legislatif, Kepala Daerah, maupun Presiden. Adapun
ASN, berhak untuk memilih, namun dilarang untuk menunjukkan keberpihakannya kepada
salah satu kekuatan politik yang menjadi kontestan Pemilu. Setiap pegawai ASN memiliki
peran sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelenggaraan tugas umum
pemerintahan dalam pembangunan nasional. Untuk itu, setiap pegawai harus kompeten
dalam menjadi pelaksana kebijakan dan pelayan publik yang profesional, bebas dari
intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

2. SARAN

Seluruh aparatur negara, baik ASN, TNI, maupun Polri harus bersikap profesional, adil,
tidak diskriminatif atas dasar kepentingan kelompok, golongan atau politik. Jangan sampai
kekuasaan penguasa anggaran dan program yang melekat pada Sebagian ASN menjadi
kekuatan yang dimanfaatkan untuk mengarahkan ASN dan masyarakat pada kekuatan politik
tertentu, yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
DAFTAR ISI

Amir, Muhammad. “Konsep Nertralitas Terhadap Ketentuan Pelanggaran Disiplin


Aparat Sipil Negara” 6 (2018): 87–97.

Perpu RI, Nomor 42 tahun 2004. “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik
Pegawai Negri Sipil.” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
1Tahun 2001, no. 1 (2004): 1–5.

Reformasi, Grand Design. “Perpres RI No 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design


Reformasi Birokrasi 2010-2025.” Perpres RI No 81 Tahun 2010 Tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 1999, no. 1 (2010): 1–5.

Republik Indonesia. “Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 2014


Tentang Aparatur Sipil Negara” (2014): 1–104.

Sarnawa, Bagus. “Pergeseran Aturan Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam


Pemilihan Umum.” Jurnal Media Hukum 25, no. 2 (2018): 181–189.

Wardiyanto, Bintoro, and Windyastuti Budi Hendarti. “Construction of Employees


Profesionalism : The Supervisor Support and Prosperity Improvement.”
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 28, no. 3 (2015): 125–138.

Anda mungkin juga menyukai