Anda di halaman 1dari 6

UAS SEJARAH POLITIK

ALDI CAHYA MAULIDAN


192171010
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2021
SOAL
1. Gerakan Nasionalisme yang bercorak trans-nasional berkontribusi dalam

perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekannya selama

periode revolusi fisik (1945-1949). Jelaskan maksud Nasionalisme bercorak

trans- nasional tersebut dan analisislah kontribusinya dalam perjuangan

mempertahankan kemerdekaan Indonesia!

2. Berikan evaluasi kalian mengenai pelaksanaan demokrasi di masa

Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965)!

3. Jelaskan secara lengkap bentuk intervensi Oligarki dalam kondisi politik

Indonesia kontemporer!

Jawaban

1. Nasionalisme bercorak trans- nasional adalah Nasionalisme yang melampaui


sekat-sekat politik, geografis, suku, ras, agama, bahkan negara (bukan hanya
kesatuan nasional, tetapi kesetiakawanan internasional) dengan demikian
nasionalisme trans-nasional tidak dibatasi oleh kepentingan politik, letak
geografis, persamaan suku, agama, bahkan negara melainkan
kesetiakawanan dunia internasional terhadap ketidak adilan. Oleh karena itu
Indonesia tidak akan pernah bisa merdeka tanpa bantuan bangsa-bangsa lain
(termasuk dari berbagai ideologi). Salah satu kontribusi trans-nasional
dalam perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekannya
selama periode revolusi fisik (1945-1949) adalah dari pihak Australia.
Menurut (Wijayanti 2015) Australia melakukan aksi dukungan terhadap
kemerdekaan Indonesia. Dukungan tersebut tidak hanya berasal dari
pemerintah Australia tetapi juga dari masyarakatnya, terutama dari
perserikatan buruh. Disamping menggalang dana untuk membantu
perjuangan rakyat Indonesia, para buruh juga melakukan aksi boikot
terhadap 559 kapal-kapal dagang dan perang Belanda yang sedang bersiap
membawa kembali pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia.
Bagi Indonesia, sikap Australia tersebut dirasakan sebagai dukungan
moral yang cukup berarti. Pihak Indonesia pun mengetahui bahwa dalam
dua kali agresi muliter Belanda terhadap Indonesia, Australia secara
konsisten mencela tindakan Belanda tersebut. Maka dari itu Indonesia
mencoba meminta bantuan Australia untuk menyelesaikan konfliknya
dengan Belanda melalui Mentri luar negeri Australia yaitu Herbert, beliau
dipinta oleh perdana mentri Indonesia untuk membantu menyelesaikan
konflik ini. Kemudian Menlu Australia menghadap PM Australia untuk
membahas tindakan Australia atas permintaan Indonesia. Akhirnya
Australia bersedia membantu Indonesia guna menyelesaikan konfliknya
dengan Belanda.
Pihak pemerintah Australia mengambil prakarsa membawa masalah
Indonesia ke sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-
PBB). Selain itu, pemerintah Australia juga berupaya menciptakan inter-
nasionalisasi masalah indonesia. Sikap Australia seperti yang dikemukakan
di atas itulah yang mendorong pemimpin kita memilih Australia sebagai
salah satu anggota ketika PBB membentuk Komisi Jasa-Jasa Baik yang
lebih terkenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Australia mewakili
kepentingan Indonesia dalam komisi jasa-jasa baik PBB, yang kemudian
menjadi komisi PBB untuk Indonesia (United Nations Comission on
Indonesia-UNCI) bersama Amerika dan Belgia berusaha menyelesaikan
pertikaian Indonesia-Belanda. UNCI secara aktif mengawasi perundingan
antara Indonesia dengan Belanda, mulai dari perundingan di atas kapal milik
Renville sampai dengan Konferensi Meja Bundar. Misi mereka akhirnya
berhasil terlaksana, yaitu ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, pada saat
pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.(Wijayanti 2015)
Dengan demikian itulah salah satu analisis trans-nasional berkontribusi
dalam perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekannya
selama periode revolusi fisik (1945-1949) Oleh karena itu, Nasionalisme
Indonesia hendaknya tidak bersifat rasis, sempit dan mudah terjebak
dikotomi “pribumi-asing” dsb. Sebab yang berkontribusi dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia terdiri dari berbagai pihak dimulai
dari dalam negeri maupun luar negeri.
2. Evaluasi mengenai pelaksanaan demokrasi di masa Demokrasi Liberal
(1950-1959). sebelum itu kita harus mengetahui bagaimana demokrasi
liberal itu. Menurut (Ali Facry 1993) Masa Liberal di Indonesia (1950-1959)
biasa pula disebut masa Kabinet parlementer. Kabinet parlementer adalah
kabinet yang pemerintahan sehari-hari dipegang oleh seorang Perdana
Menteri. Dalam masa Kabinet Parlementer ini ternyata konflik partai di
Indonesia sangat tinggi sehingga kabinet terpaksa jatuh bangun. Kabinet
disusun berdasarkan pertimbangan kekuatan kepartaian. Karena itu bila
dianggap tidak berhasil, sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan.
Sehubungan dengan itu pada masa demokrasi liberal sering terjadi
pergantian kabinet. Hal ini terjadi terutama karena sering terjadi konflik di
antara partai-partai politik. Jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi
Liberal disebabkan karena adanya konflik antara partai politik.(Ali Facry
1993)
Akibat tidak stabilnya politik Indonesia pada saat itu daerah-daerah makin
tidak percaya kepada pemerintah pusat. Di samping itu terjadi peristiwa 17
Oktober 1952, yaitu desakan dari pihak-pihak tertentu agar Presiden segera
membubarkan Parlemen yang tidak mencerminkan keinginan rakyat.
Kemudian evaluasi mengenai pelaksanaan demokrasi di masa Demokrasi
Liberal (1950-1959)nya adalah dengan membuat aturan untuk membatasi
intervensi partai atas pemerintahan yang telah terpilih kenapa demikian
karena apabila tidak dibatasi partai politik ini akan saling menjatuhkan
kepada pemerintahan sudah terpilih sehingga mandat pemerintah selaku
penyelenggara sistem pemerintah tidak pernah berjalan dikarenakan
intervensi partai politik.
Evaluasi mengenai pelaksanaan demokrasi Terpimpin (1959-1965). sebelum
itu kita harus mengetahui bagaimana demokrasi terpimpin itu. Menurut
(Fatoni 2006) Pada periode 1959-1965 ering juga disebut dengan Orde
Lama. UUD yang digunakan adalah UUD 1945 dengan sistem Demokrasi
Terpimpin. Menurut UUD 1945 presiden tidak bertanggung jawab kepada
DPR, presiden dan DPR berada di bawah MPR. Pengertian demokrasi
terpimpin pada sila keempat Pancasila adalah dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan tetapi presiden
menafsirkan “terpimpin”, yaitu pimpinan terletak di tangan ‘Pemimpin
Besar Revolusi”. Dengan demikian pemusatan kekuasaan di tangan
presiden. Terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan presiden menimbulkan
penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Kenapa demikian? Karena Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden
berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan
UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan
apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya
tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil
Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan
dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing
berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.(Fatoni
2006)
Maka dampaknya penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal,
yaitu demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis)
menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan presiden). Evaluasi
mengenai pelaksanaan demokrasi Terpimpin (1959-1965) adalah dengan
mengembalikan sistem pemerintahan berdasarkan pada UUD 1945
mengembalikan kembali fungsi MPR sebagai wakil rakyat. Dengan
mengembalikan fungsi MPR maka kedaulatan akan ada ditangan rakyat
sehingga Presiden tidak bisa berbuat seenaknya dalam melakukan kebijakan
tanpa persetujuan wakil rakyat. Akibatnya akan terjadi keseimbangan dalam
sistem pemerintahan tidak ada yang paling mendominasi.
3. Bentuk intervensi Oligarki dalam kondisi politik Indonesia kontemporer
salah satunya adalah intervensi terhadap kebijakan/undang-undang yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR. Menurut (Hernawan 2011)
Berkenaan dengan fungsi DPR sebagai pembuat kebijaksanaan publik,
dominasi partai terhadap Parlemen memungkinkan transformasi partai dan
sistem partai elitis menjadi kebijaksanaan publik elitis. Terlihat kebijakan
yang dikeluarkan DPR mempunyai kecenderungan berpihak terhadap para
oligarki dari pada memenuhi kepentingan rakyat, sehingga menyebabkan
unjuk rasa yang dilakukan oleh rakyat terhadap DPR dan Pemerintah karena
dinilai aturan yang berlaku menyengsarakan rakyat sebaliknya
menguntungkan oligarki. Pembuktiannya dapat ditampilkan dengan
menelaah berbagai UU salah satunya adalah Undang-Undang Cipta Kerja
yang sarat akan kepentingan Oligarki di Indonesia. Menurut (Hernawan
2011) alasan Oligarki bisa mengintervensi politik Indonesia. Karena ongkos
politik tersebut yang dinilai mahal, sehingga partai-partai membangun
koalisi dengan Oligarki agar kelompok/partai mereka memperoleh sumber-
sumber finansial. Akan tetapi partai politik yang menang harus membayar
dukungan Oligarki lakukan dengan membuat kebijakan yang
mennguntungkan golongan mereka bukan demi kepentingan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Facry. 1993. Komelut Demokrasi Liberal. Jakarta: PT Pustaka LP3ES
Indonesia.
Fatoni, Uwes. 2006. Sejarah Sistem Politik Indonesia. surabaya: Unitomo.
Hernawan, Agus. 2011. “Oligarki Dalam Demokrasi.” Kompas 4(50):60–74.
Wijayanti, Yeni. 2015. “Dinamika Hubungan Bilateral Indonesia-Australia.”
Universitas Galuh Ciamis VII(09):6.

Anda mungkin juga menyukai