Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

BUDAYA ORGANISASI DAN PENDIDIKAN KARAKTER


DI SDN KARANGDUREN 04

Disusun guna memenuhi Tugas Individu III


Mata Kuliah Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. Yovitha Yuliejantiningsih, M.Pd.

Oleh :
DEDY HERMAWAN, S. Pd
NPM. 22510039

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam perspektif pendidikan, Allah SWT. telah memberikan bimbingan dan petunjuk
untuk dijadikan acuan teori, konsep maupun praktek pendidikan dalam menyiapkan generasi
penerus untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi ini. Salah satunya sebagaimana
tersirat dalam Al Quran surat An Nisa’ ayat 9 yang artinya sebagai berikut :
“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”.
Kutipan ayat tersebut memiliki nilai universal dan mengingatkan kita semua untuk tidak
meninggalkan generasi masa depan yang lemah; yaitu baik lemah secara fisik, intelektual,
moral, sosial  maupun spiritual, sehingga pesan tersebut dapat dijadikan spirit pendidikan
dalam mewujudkan generasi kuat dan sejahtera yang sanggup menghadapi tantangan
zamannya.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, instrument strategik yang diyakini memiliki tingkat
akurasi tinggi adalah melalui proses pendidikan. Ada pepatah China mengatakan bahwa jika
anda mempunyai rencana kehidupan satu tahun, tanamlah padi; jika anda mempunyai rencana
kehidupan sepuluh  tahun, tanamlah pohon; dan jika anda mempunyai rencana kehidupan
sepanjang hayat, didiklah orang-orang.
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses
pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Menafikan pendidikan dari
proses pembudayaan merupakan proses alienasi dari hakekat manusia dan dengan demikian
alienasi dari proses humanisasi. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti
menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia ( Tilaar,
2002 : 32 ).
Sementara menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan di artikan sebagai daya upaya untuk
memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh (
fisik ) anak. Ketiga hal tersebut, yaitu tumbuhnya budi pekerti, intelektual dan fisik anak tidak
dapat dipisah-pisahkan agar supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan
dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan dunianya (Dewantara, 1977 : 14-15 )
Dengan demikian tujuan pendidikan sebenarnya bukan semata penguasaan pengetahuan,
keterampilan teknikal saja, karena ini sekedar alat, atau perkakas. Tetapi tujuan pendidikan
adalah bertumpu pada anak itu sendiri yang dapat berkembang mencapai sempurnanya hidup
manusia, sehingga bisa memenuhi segala bentuk keperluan hidup lahir dan batin. Ibarat suatu
tanaman tujuan yang akan dicapai adalah bunganya, yang kelak akan menghasilkan buah.
Demikian pula dalam pendidikan, bahwa buahnya pendidikan adalah matangnya jiwa, yang
akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang sempurna dan memberikan manfaat bagi
orang lain dan lingkungannya.
Namun demikian, dalam prakteknya proses pendidikan harus berhadapan dengan
mainstream global yang tidak bisa kita hindari, yaitu arus globalisasi. Globalisasi adalah suatu
keniscayaan yang tidak dapat dihadang oleh kekuatan apapun. Globalisasi merupakan
fenomena bagaikan pisau bermata dua; satu sisi memberi dampak positif, sedangkan sisi yang
lain member dampak negative. Pada sisi positif, Dalam bidang budaya, globalisasi
menyebabkan interaksi antar bangsa yang semakin massif dan intens, sehingga arus pertukaran
informasi dan ilmu pengetahuan semakin terbuka.Sementara sisi negative Dalam bidang
budaya, adanya globalisasi membawa dampak pada mudahnya warga masyarakat di negara-
negara sedang berkembang, termasuk Indonesia meniru budaya negara luar, dalam berbagai
bentuk. Seperti, pola pergaulan, pola berpakaian, pola makan, dan berbagai pola perilaku lain
yang pada gilirannya justru dapat merusak harkat, martabat dan jati diri bangsa itu sendiri
(Zamroni, 2011 : 65)
Disinyalir oleh Gede Raka bahwa meningkatnya kompetensi manusia dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tidak dengan sendirinya disertai peningkatan
kebajikan yang ada di hati manusia. Kompetensi yang tidak disertai peningkatan kebajikan
cenderung akan membawa umat manusia ke keadaan yang mengancam kualitas kehidupannya
bahkan keberadaannya. Oleh karena itu, salah satu tawaran solusinya adalah melalui
pendidikan karakter di sekolah ( Gede Raka, 2011: 21 ).
Tujuan kurikulum tahun 2013 revisi 2016 mencakup empat kompetensi, yaitu (1)
kompetensi sikap spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Kompetensi
tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan/atau
ekstrakurikuler. Rumusan Kompetensi Sikap Spiritual yaitu “Menghargai dan menghayati
ajaran agama yang dianutnya”. Adapun rumusan Kompetensi Sikap Sosial yaitu,
“Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong),
santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan keberadaannya”. Kedua kompetensi tersebut akan membentuk
karakter peserta didik dan dapat dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect
teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan
karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik.
Budaya sekolah tidak akan pernah terlepas dari budaya organisasi yang dimilikinya, yang
kata Wayne K.Hoy dan Cegi G.Miskel dalam Darminta,1993) meliputi kumpulan nilai atau
keseluruhan sistem, nilai, filsafat, ideologi, kepercayaan, pola pikir, dan perilaku yang
ditampilkan secara konsisten, yang muncul dan dikembangkan oleh organisasi dari pola
kebiasaan yang menjadi norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman dalam berfikir dan
bertindak, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola kerja atau pola
manajemen dalam organisasi.
Budaya sekolah yang diharapkan menjadi ujung tombak keberhasilan lembaga dalam
mengadakan proses pendidikan. Kultur sekolah berpengaruh terhadap peningkatan prestasi dan
motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi guru serta produktivitas dan kepuasan
kerja guru. Untuk menciptakan kultur sekolah yang positif dibutuhkan adanya kesadaran dan
motivasi terutama dari diri masing-masing warga sekolah. Guru sebagai ujung tombak di
lapangan harus mampu memberikan motivasi dan inspirasi bagi siswa khususnya. Kebiasaan
guru yang datang tepat waktu dan melaksanakan tugas mengajar dengan baik, sikap dan cara
berbicara saat berkomunikasi dengan siswa dan unsur sekolah lainnya, disiplin dalam
melaksanakan tugas merupakan kebiasaan, nilai dan teladan yang harus senantiasa dijaga dalam
kehidupan sekolah.
Hal ini sejalan dengan kondisi di SD Negeri Karangduren 04 dimana persaingan antar
sekolah tidak dapat dihindari mengingat posisi dan lokasi sekolah berada di desa Karangduren
bersanding dengan sekolah lainnya. Untuk meningkatkan perhatian dan minat warga bersekolah
di SD Negeri Karangduren 04, maka diperlukan upaya-upaya program pembiasaan unggulan
dalam rangka pengembangan budaya sekolah agar menjadi ciri khas sekolah yang membedakan
dengan sekolah yang lain.
Untuk itu, dalam makalah ini selanjutnya akan dibahas tentang relasi “Budaya organisasi
sekolah dan Pendidikan karakter di SD Negeri Karangduren 04 Kecamatan Tengaran”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi dan pendidikan karakter sekolah ?
2. Bagaimana penerapan budaya organisasi sekolah melalui pendidikan karakter di SD
Negeri Karangduren 04 Kecamatan Tengaran?
C. Tujuan
1. Untuk memahami arti budaya organisasi sekolah dan pendidikan karakter
2. Untuk mengetahui penerapan budaya organisasi sekolah melalui pendidikan katrakter di
SD Negeri Karangduren 04 Kecamatan Tengaran
D. Manfaat
1. Bagi mahasiswa :
a. Lebih memahami tentang budaya organisasi sekolah dan pendidikan karakter
b. Lebih memahami bagaimana implementasi budaya organisasi sekolah melalui
pendidikan karakter
2. Bagi sekolah
a. Dapat menerapkan budaya organisasi sesuai dengan tujuan sekolah
b. Mendorong kemajuan sekolah
 
BAB II
PEMBAHASAN

A. KAJIAN TEORI
1. Budaya Organisasi Sekolah
Istilah “budaya” mula-mula datang dari disiplin ilmu Antropologi Sosial. Apa yang
tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas
pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan
pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang
ditransmisikan bersama.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya (cultural) diartikan sebagai: pikiran; adat
istiadat; sesuatu yang sudah berkembang; sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan
tradisi (tradition). Dalam hal ini, tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dam kebiasaan
dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok
dalam masyarakat tersebut.
Budaya diartikan sebagai manivestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok
orang Budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis , bukan sesuatu yang kaku dan
statis. Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara
ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.
Salah satu faktor yang membedakan suatu organisasi dari organisasi yang lainnya
adalah budayanya. Hal tersebut penting untuk dipahami serta dikenali. Akan tetapi hal-hal
yang bersifat universal itu harus diterapkan oleh manajemen dengan pendekatan yang
memperhitungkan secara matang faktor-faktor situasi, kondisi, waktu, dan ruang. Dengan kata
lain, diterapkan sesuai dengan budaya yang berlaku dan dianut dalam organisasi yang
bersangkutan.
Menurut Robbins (2001:525), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama
terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi
menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya,
menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen
kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan
mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para
anggota organisasi. Deal dan Kennedy sebagaimana dikutip Robbins (1994:479) menjelaskan
budaya organisasi sebagai nilai-nilai dominan yang didukung organisasi.Gibson et.al.
(1996:77) merumuskan: “kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan,
asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku”. Kreitner dan Kinicki (2003:68-75)
memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama.
Schein,Edgar (2004) budaya organisasi terdiri dari tiga lapisan yaitu yang pertama,
berkaitan dengan artefacs yang menyangkut semua fenomena yang terlihat. Hal ini mengacu
kepada tingkatan atau bentuk organisasi seperti: struktur organisasi, lingkungan fisik
organisasi dan produk-produk yang dihasilkan. Kedua berkaitan dengan Exspoused Values.
Hal ini menyangkut nilai-nilai yang didukung yang terdiri dari strategi, tujuan, filosofi
organisasi. Tingkat ini mempunyai arti penting dalam kepemimpinan, dan nilai-nilai ini harus
ditanamkan pada diri setiap anggota organisasi. Ketiga, yang disebut dengan underlying
assumption yang berkaitan dengan keyakinan, pemikiran dan keterikatan persaaan terhadap
organisasi.
Nilai mempunyai fungsi :
1) Sebagai petunjuk arah bagaimana cara berpikir dan bertindak sesuai norma dan nilai
yang berlaku, sebagai acuan dalam menentukan pilihan terhadap peran individu di
masyarakat, serta sebagai pemersatu banyak orang ke dalam kelompok tertentu.
2) Sebagai sarana untuk membantu proses pengembangan diri setiap individu yang ada di
masyarakat.
3) Sebagai pelindung setiap individu yang ada di masayarakat.
4) Sebagai sarana untuk mendorong setiap orang agar melakukan sesuatu berdasarkan
nilai-nilai tertentu.
5) Sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat bagi masyakarat umum.
6) Sebagai perwujudan seorang individu atau kelompok individu di dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika
merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990),
maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam
tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel 2.1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger

Nilai Perilaku Dasar


1 Ilmu Pengetahuan Berfikir Berfikir
2 Ekonomi Bekerja Bekerja
3 Kesenian Menikmati keindahan Menikmati Keindahan
4 Keagamaan Memuja Memuja
5 Kemasyarakatan/Berbakti/berkorban Berbakti/berkorban
6 Politik/keneg Berkuasa/Memerintah

Budaya sekolah adalah keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat
kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di di
sekolah, sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan kultur
lain sebagai subordinasi.( Kennedy, 1991 )
Pendapat lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya
sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh
suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik
serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar
dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010 )
Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni ( 2011 ) bahwa
budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-
keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang
diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam
beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola
nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka
memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir,
merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni,
2011: 297 ).
Budaya sekolah yang positif akan mendorong semua warga sekolah untuk bekerjasama
yang didasarkan saling percaya, mengundang partisipasi seluruh warga, mendorong
munculnya gagasan-gagasan baru, dan memberikan kesempatan untuk terlaksananya
pembaharuan di sekolah yang semuanya ini bermuara pada pencapaian hasil terbaik. Budaya
sekolah yang baik dapat menumbuhkan iklim yang mendorong semua warga sekolah untuk
belajar, yaitu belajar bagaimana belajar dan belajar bersama. Akan tumbuh suatu iklim bahwa
belajar adalah menyenangkan dan merupakan kebutuhan, bukan lagi keterpaksaan. Belajar
yang muncul dari dorongn diri sendiri, intrinsic motivation, bukan karena tekanan dari luar
dalam segala bentuknya. Akan tumbuh suatu semangat di kalangan warga sekoalah untuk
senantiasa belajar tentang sesuatu yang memiliki nilai-nilai kebaikan.
Budaya sekolah yang baik dapat memperbaiki kinerja sekolah, baik kepala sekolah,
guru, siswa, karyawan maupun pengguna sekolah lainnya. Situasi tersebut akan terwujud
manakala kualifikasi budaya tersebut bersifat sehat, solid, kuat, positif, dan professional.
Dengan demikian suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju,
dorongan untuk bekerja keras dan belajar mengajar dapat diciptakan.
Selanjutnya, dalam analisis tentang budaya sekolah dikemukakan bahwa untuk
mewujudkan budaya sekolah yang akrab-dinamis, dan positif-aktif perlu ada rekayasa sosial.
Dalam mengembangkan budaya baru sekolah perlu diperhatikan dua level kehidupan sekolah:
yaitu level individu dan level organisasi atau level sekolah. Level individu, merupakan
perilaku siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya sekolah yang ada.
2. Pengertian Pendidikan Karakter
Istilah karakter sering disama artikan dengan kata watak, sifat, tabiat. Secara umum
karakter dikaitkan dengan sifat khas atau istimewa, atau kekuatan moral, atau pola tingkah
laku seseorang.
Menurut Samani, karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa, dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat
keputusan dan sikap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter
dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata kerama, budaya, adat istiadat, dan estetika ( Samani, 2011: 41 )
Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap
maupun dalam bertindak. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia ( 2008 ) karakter
merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri
dan terejawantahkan dalam perilaku ( Kemendiknas, 2010 ). Nilai yang unik-baik itu
selanjutnya dimaknai sebagai tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan
baik.
Scerenko ( 1997 ) mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang
membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang,
suatu kelompok atau bangsa. Robert Marine ( 1998 ) mengambil pendekatan yang berbeda
terhadap makna karakter, menurut dia karakter adalah gabungan yang samar-samar antara
sikap, perilaku bawaan, dan kemampuan, yang membangun pribadi seseorang.
Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar perilaku
yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal berbagai karakter
dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar : kedamaian ( peace ),
menghargai ( respect ), kerja sama ( cooperation ), kebebasan ( freedom ), kebahagiaan
( happiness ), kejujuran ( honesty ), kerendahan hati ( humility ), kasih saying ( love ),
tanggung jawab ( responsibility ), kesederhanaan ( simplicity ), toleransi ( tolerance ), dan
persatuan ( unity ). Karakter juga dipengaruhi oleh hereditas maupun lingkungan. Perilaku
seorang anak sering kali tidak jauh dai perilaku ayah dan ibunya. Karakter dan pendidikan
karakter memiliki arti dan makna berbeda. Karakter lebih di maknai sebagai substansi atau
content, sedangkan pendidikan karakter lebih menekankan pada proses. Berikut ini akan
dipaparkan beberapa pengertian pendidikan karakter, sehingga diharapkan dapat memperjelas
dalam memaknai dan membedakan apa itu karakter dan pendidikan karakter.
Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter didefinisikan sebagai hal positif
apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Samani
( 2011 ) mengutip Winton ( 2010 ) Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-
sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Pendidikan
karakter menurut Burke ( 2001 ) semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik
dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik.
Dalam kaitannya dengan aktivitas yang berbasis pada sekolah Anne Lockwood ( 1997 )
yang dikutip oleh Samani ( 2011 ) menyatakan bahwa : Pendidikan karakter adalah setiap
rencana sekolah, yang dirancang bersama lembaga masyarakat lain, untuk membentuk secara
langsung dan sistematis perilaku orang muda dengan memengaruhi secara explicit nilai-nilai
kepercayaan yang diterima secara luas , yang dilakukan secara langsung dalam menerapkan
nilai-nilai tersebut.
Dari beberapa definisi di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia
seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan
karakter juga dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan
moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu
dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai
sebagai suatu system penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi insan kamil.
2.1 Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter
Kementerian Pendidikan Nasional dalam panduan pelaksanaan pendidikan karakter
memberikan acuan bahwa pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
2) Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan,
dan perilaku.
3) Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.
4) Menciptakan komunitas sekolah yang mempunyai kepedulian.
5) Member kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik.
6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai
semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu untuk sukses.
7) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
8) Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi
tanggungjawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
9) Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif
pendidikan karakter.
10) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun
karakter.
11) Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter dan
manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.
Pemerintah melalui prepres nomor 87 tahun 2017 mengeluarkan peraturan tentang
penguatan pendidikan karakter. Peraturan ini dibuat dengan pertimbangan bahwa Indonesia
sebagai bangsa yang berbudaya merupakan Negara yang menjunjung tinggi akhlak mulia,
nilai-nilai luruhur, kearifan dan budi pekerti. Dikeluarkannya perpres tersebut tentunya
membawa angin segar bagi terciptanya kesejukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Khususnya dalam konteks terbentuknya anak bangsa yang memilki nilai-nilai luhur atau
berkarakter.
Ada delapan belas karakter yang ingin dicapai dalam program ini. Yaitu religious, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri , demokratis, rasa ingin tahu, semangat dan
kebangsaaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan bertanggung jawab. Kedelapan belas
nilai karakter ini nantinya akan dikristalisasi menjadi lima nilai utama, yaitu religious,
nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas.
Karakter, menurut Soemarno Soedarsono merupakan sebuah nilai yang sudah terpatri di
dalam diri seseorang melalui pengalaman, pendidikan, pengorbanan, percobaan, serta
pengaruh lingkungan yang kemudian di padukan dengan nilai-nilai yang ada di dalam diri
seseorang dan menjadi niali intrinsic yang terwujud di dalam system daya juang yang
kemudian mendasari sikap, prilaku, dan pemikiran seseorang. Sedangkan menurut
kemdikbud, karakter merupakan bentuk cara berfikir serta serta berprilaku seseorang yang
nantinya akan menjadi ciri khasnya.
Dari dua pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa karakter adalah nilai yang sudah
tertanam dan membentuk identitas. Oleh karena itu, Karakter tidak bisa terbentuk dengan
tiba-tiba. Ia membutuhkan proses yang lama. Proses pembentukan karakter di awali dengan
pembiasaan. Proses pembiasaan inilah yang kita kenal dengan budaya atau pembudayaan.
Maka, dalam rangka membentuk karakter yang ditujju, perlu di bangun budaya positif
dilingkungan sekolah. Budaya sekolah dimaknai dengan tradisi sekolah yang tumbuh dan
berkembang sesuai dengan spirit dan nilai-nilai yang dianut di sekolah. Artinya, budaya
sekolah ini berisi kebiasaan-kebiasan yang disepakati bersama untuk dijalankan dalam waktu
yang lama. Jika kebiasan positif ini sudah membudaya, maka nilai-nilai karakter yang
diharapkan akan terbentuk.
2.2 Korelasi Budaya Sekolah Dan Pendidikan Karakter
Pembangunan karakter bangsa Indonesia merupakan perwujudan amanat Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945. Pembangunan karakter ini dilandasi oleh permasalahan kebangsaan
yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila;
keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila;
bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran
terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya
kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-
2025).
Sebelumnya telah disebutkan bahwa pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan
dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan
adalah proses pendidikan. Demikian pula dalam proses membangun karakter anak, salah satu
strateginya dapat dilakukan melalui proses pembudayaan di lingkungan sekolah atau melalui
budaya sekolah.
Sesuai dengan Desain Induk Pendidikan karakter yang dirancang Kemendiknas (2010)
strategi pengembangan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui transformasi budaya
sekolah ( school culture ) dan habituasi melalui kegiatan pengembangan diri
( ekstrakurikuler ). Hal ini sejalan dengan pemikiran Berkowitz, yang dikutip oleh Elkind dan
Sweet ( 2004 ) serta Samani ( 2011 ) yang menyatakan bahwa: implementasi pendidikan
karakter melalui transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, dirasakan lebih efektif
daripada mengubah kurikulum dengan menambahkan materi pendidikan karakter dalam
muatan kurikulum.
Secara substantive karakter terdiri dari 3 ( tiga ) nilai operatif, nilai-nilai dalam
tindakan, atau unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan. Ketiga nilai tersebut
adalah : pengetahuan tentang moral ( moral knowing, aspek kognitif ); perasaan berdasarkan
moral ( moral feeling, aspek afektif ); dan perilaku berlandaskan moral ( moral action, aspek
psikomotor ).  
Karakter yang baik terdiri atas proses-proses yang meliputi, tahu mana yang baik,
keinginan melakukan yang baik dan melakukan yang baik. Selain itu, karakter yang baik juga
harus ditunjang oleh kebiasaan pikir, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan. Dalam konteks
realitas psikologis dan sosio-kultural dikategorikan menjadi : olah pikir, olah hati, olah raga
dan kinestetik serta olah rasa dan karsa. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar
di bawah ini :
 
Karakter berkaitan dengan nilai-nilai, penalaran dan perilaku dari seseorang. Dengan
demikian, pendidikan karakter tidak bisa hanya diceramahkan, atau dipaksakan lewat proses
indoktrinasi terselubung pendidik. Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang
tepat. Kevin Ryan dalam Zamroni mengembangkan strategi pendidikan karakter yang disebut
dengannamaenam E,yaitu; Example, Explanation, Exhortation, EthicalEnvironmental, Experi
ence, dan Expectation of excellency. Menurut strategi tersebut pendidikan karakter
memerlukan contoh atau teladan sebagai model yang pantas untuk ditiru. Sesuatu yang akan
ditiru oleh siswa, disertai dengan pengetahuan mengapa seseorang perlu melakukan apa yang
ditiru tersebut. Untuk itu perlu ada penjelasan mengapa sesuatu harus dilakukan, sehingga
tidak meniru membabi buta. Melakukan sesuatu itu harus secara sungguh-sungguh, sebagai
bentuk kerja keras. Dalam melaksanakan sesuatu harus mempertimbangkan lingkungan, baik
social maupun fisik. Artinya, seseorang harus sensitive atas kondisi dan situasi yang ada di
sekitarnya. Sikap dan perilaku yang dilaksanakan harus dinikmati, dikerjakan dengan penuh
makna, sehingga memberikan pengalaman bagi diri pribadi. Pengalaman inilah yang bisa
memberikan makna atau spiritual atas apa yang dilakukan. Dengan demikian perilaku tersebut
terinternalisasi pada diri yang akan menjadi kebiasaan. Akhirnya semua itu dilakukan dengan
harapan yang tinggi, bahwa perilaku tersebut mewujudkan hasil terbaik.(Zamroni, 2011: 283 )
Karena cakupan karakter sangat luas dan dalam, maka UNESCO telah melakukan
kajian dan menyimpulkan ada enam karakter yang bersifat universal yang dapat diterima
semua agama dan bangsa manapun, yaitu :

No. Nilai Karakter Identitas karakter

1 Trustworthiness Orang yang amanah : jujur, andal, berani

2 Respect Orang yang menghargai : beradab, sopan

3 Responsibility Orang yang bertanggungjawab

4 Fairness Orang yang fair/ terbuka

5 Caring Orang yang peduli

6 Citizenship Warga Negara yang baik

Sementara, dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa Kemendiknas


telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup :

No. Karakter No. Karakter

1 Religius 10 Semangat kebangsaan

2 Jujur 11 Cinta Tanah Air

3 Toleransi 12 Menghargai prestasi


4 Disiplin 13 Bersahabat/Komunikatif

5 Kerja Keras 14 Cinta Damai

6 Kreatif 15 Gemar membaca

7 Mandiri 16 Peduli Lingkungan

8 Demokratis 17 Peduli sosial

9 Rasa ingin tahu 18 Tanggung jawab


 
 Pengembangan nilai/karakter dapat dilihat pada dua latar/domain, yaitu pada latar makro
dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan
dan ilmpementasi pengembangan nilai/karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan
pendidikan nasional. Pada latar makro program pengembangan nilai/karakter dapat digambarkan
sebagai berikut.

Gambar 3.. Konteks Makro Pengembangan Karakter


 Penjelasan Gambar:
Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, 
pelaksanaan, dan evaluasi hasil.
 Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan,
dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan: (1)
filosofis – Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahuin 2003 beserta ketentuan
perundang-undangan turunannya;(2) pertimbangan teoritis- teori tentang otak, psikologis,
nilai dan moral, pendidikan (pedagogi dan andragogi) dan sosial-kultural;  dan (3)
pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik (best practices) dari antara
lain tokoh-tokoh, sekolah unggulan, pesanren, kelompok kultural dll.
 Pada tahap implementasi dikembangakan pengalaman belajar (learning experiences) dan
proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu
peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan
sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional.
 Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja
dirancang dan dilaksanakan untuk mendikteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik
sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil
dengan baik.
Program pengembangan karakter pada latar mikro dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4. Konteks Mikro Pengembangan Nilai/Karakter


Penjelasan Gambar.
1) Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan
belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school
culture); kegiatan ko-kurikuler  dan/atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah,
dan dalam masyarakat.
2) Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded
approach). Khususu, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan,  karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap maka
pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai
strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran
tersebut nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan
juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang
secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan
kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter
dalam diri peserta didik.
3) Dalam lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah
memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa
membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
4) Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada
suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan sekolah
yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan
Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dll.
5) Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari
orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap prilaku berkarakter mulia yang
dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan
masyarakat masing-masing.

B. PEMBAHASAN
1. Implementasi Budaya Organisasi Sekolah di SD Negeri Karangduren O4
Dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan pengembangan
diri dan pendidikan karakter, Kemendiknas menyarankan melalui empat hal, yang meliputi :
1) Melalui kegiatan rutin
a. Gerakan Literasi Sekolah
Gerakan ini bertujuan menumbuhembangkan budi pekerti peserta didik melalui
pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam gerakan leiterasi sekolah
atau GLS, agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Program ini tentunya selaras
dengan peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya yaitu permendikbud nomor 23 tahun
2015 tetang penumbuhan budi pekerti.
Salah satu program yang dicanangkan adalah kegiatan 15 menit membaca buku non
pelajaran sebelum waktu pelajaran dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk
menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar
pengatahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti
beriupa kearifan lokal, nasioanl, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan
peserta didik. Di setiap kelas disediakan Pojok Baca untuk memfasilitasi dan mendukung
Gerakan Literasi di SD Negeri Karangduren O4. Dengan ini, peserta didik bisa
memanfaatkannya baik pada waktu yang telah ditentukan maupun pada waktu-waktu yang
lain.
b. Kegiatan Ekstra Kurikuler
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan minat dan bakat pesera didik. Sekolah
perlu memfasilitasi terselenggaranya proses penumbuhkembangan minat dan bakat itu.
Dengan kegiatan tersebut, seorang peserta didik akan terbiasa dengan berbagai macam
kegiatan positif. Baik menyangkut kemampuan fisik mauapun mental dan mereka akan
terbiasa aktif, kretaif dan bertanggung jawab.
Ada beberapa ekstrakulikuler yang dikembangkan di SD Negeri Karangduren O4
diantaranya :
a) Wajib, pramuka
b) Pilihan , Rebana, dan olahraga
c. Kegiatan Keagamaan
Kegiatan yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan dan kecerdasan spiritual ,
diantaranya : membaca asmaul husna (siswa memimpin secara bergantian), melaksanakan
sholat dhuha berjamaah, dan TPA yang dilaksanakan dari kelas 1 sampai kelas 6.
d. Menetapkan kegiatan pembiasaan pada awal dan akhir KBM
Kegiatan ini bertujuan membentuk kebiasana harian yang berdifat rutin. Bentuknya tidak
terlalu berat hanya memerlukan konsistensi. Karena rutin, biasanya cenderung disepelekan.
Oleh sebab itu, guru selaku penangung jawab kegiatan ini memegang peranan penting
dalam menjaga keterlaksanaan program ini.
Kegiatan yang bisa dilakukan antara lain :
a) mencuci tangan sebelum dan sesudah memasuki kelas
b) mentaati protokol kesehatan, selalu memakai masker dan menjaga jarak
c) mengikuti upacara bendera, dan apel pagi bagi guru
d) menyanyikan lagu Indonesia raya, Lagu Nasional, Lagu Daerah dan berdoa bersama di
awal dan akhir KBM
e) untuk guru, menyambut kedatangan anak di gerbang sekolah sembari menjabat
tangannya dan siswa selalu menyapa dan menjabat tangan setiap bertemu dengan
guru/tamu di sekolah
2) Keteladanan
Di sekolah peran guru amat penting dan perilaku guru akan menjadi ukuran keteladanan
peserta didiknya. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, itu adalah pepatah yang
disampaikan betapa seorang guru bisa menjadikan anak didiknya memiliki karakter baik atau
buruk
Beberapa teladan yang guru lakukan dalam penanaman nilai-nilai karakter pada siswa,
yaitu :
a) Religius, selalu taat beribadah/shalat, dan berdoa.
b) Disiplin, masuk dan keluar kelas tepat waktu
c) Bersahabat/Komunikatif, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya,
dan memuji siswa yang bertanya atau menjawab pertanyaan guru, menghargai
pendapat orang lain
d) Jujur, menepati apa yang dijanjikan.
e) Peduli lingkungan, memungut sampah yang berserakan di lantai, tidak merokok di
lingkungan sekolah
f) Peduli sesama, membantu sesame yang membutuhkan, melerai perkelahian, tidak
berdebat /berselisih pendapat di depan siswa
3) Melalui pengondisian
Pelaksanaan pendidikan karakter melalui pengkondisian lingkungan sekolah dilakukan
dengan : peraturan SD Negeri Karangduren O4 yang meliputi tampilan diri siswa, siswa
wajib datang tepat waktu ke sekolah, disiplin dalam melakukan perijinan, siswa wajib
melaksanakan piket kelas; siswa dikondisikan untuk membuang sampah pada tempat yang
disediakan.
2. Kendala yang dihadapi dalam penerapan budaya sekolah
Pendidikan karakter merupakan program baru yang diprioritaskan Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai program baru masih menghadapi banyak kendala.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam menerapkan budaya sekolah melalui pendidikan
karakter diantaranya
1) Problem peserta didik
a) Latar belakang keluarga siswa mempengaruhi kebiasaan yang dimiliki siswa sehari-hari
b) siswa tidak focus ketika melaksanakan ibadah, sering bergurau
c) kebiasaan di rumah yang tidak terpantau, sehingga terbawa sampai di sekolah karena
orangtua siswa bekerja dari pagi hingga malam hari
d) Kurangnya kesadaran akan kedisiplinan
e) Kurangnya semangat belajar dan motivasi untuk menyelesaikan tugas sebaik-baiknya
2) Wali Murid
a) Orangtua/wali siswa sering tidak menghadiri sosialisasi dengan alas an sibuk bekerja
b) Orangtua/wali terlalu mempercayakan kepada piha sekolah sehingga kurang dalam
pemantauan kebiasaan siswa di rumah
c) Latar belakang keluarga yang berbeda
3) Guru dan Sekolah
a) Waktu yang terbatas dalam mengawasi siswa-siswi satu persatu.
b) Sarana Prasarana sekolah yang belum lengkap dan maksimal
4) Tantangan dari luar
a) Pesatnya perkembangan tehnologi di bidang informasi, baik melalui media cetak,
televise, komunikasi, dapat membawa dampak negative terhadap perilaku peserta didik.
b) Pengaruh globalisasi dapat berakibat semakin leluasa masuknya budaya asing dan
semakin mengesampingkan budaya local.
3. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala
1) Pihak sekolah saling berkoordinasi, musyawarah, dan mengingatkan apabila ada hambatan
dalam pelaksanaan pendidikan karakter.
2) Menjalin komunikasi dengan orang tua/wali murid tentang perkembangan peserta didik.
Sejauh mana sikap dan perilaku peserta didik ketika berada di rumah.
3) Perlunya dukungan, perhatian, dan pengawasan dari orang tua dalam pembentukan karakter
peserta didik.
4) Memberikan nasehat terhadap peserta didik tentang pentingnya pendidikan karakter dan
dibutuhkan kesabaran serta kerja keras dari seluruh warga sekolah dalam membentuk karakter
peserta didik yang beragam
 
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan tentang korelasi antara pendidikan karakter dan budaya sekolah tersebut,
selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Proses pendidikan dan pembudayaan merupakan satu rangkaian proses humanisasi,
sehingga keduanya tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Proses pendidikan adalah
proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Alienasi proses
pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai
moral di dalam kehidupan manusia.
2. Untuk mewujudkan budaya sekolah yang akrab-dinamis, dan positif-aktif perlu ada
rekayasa sosial. Dalam mengembangkan budaya baru sekolah perlu diperhatikan dua
level kehidupan sekolah: yaitu level individu dan level organisasi atau level sekolah.
Level individu, merupakan perilaku siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya
sekolah yang ada. Perubahan budaya sekolah memerlukan perubahan perilaku individu.
Perilaku individu siswa sangat terkait dengan prilaku pemimpin sekolah. Dalam hal ini
bisa perilaku kepala sekolah dan terutama guru, bagaimana mereka memperlakukan para
siswa.
3. Dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan
pengembangan diri dan pendidikan karakter, Kemendiknas menyarankan melalui empat
hal, yang meliputi : 1) Kegiatan rutin, 2) Kegiatan spontan, 3) Keteladanan, dan 4)
Melalui pengondisian
4. Sebagai upaya mempertahankan dan membangun harkat, martabat dan jati diri bangsa,
perlu digalakkan pendidikan karakter yang salah satunya dapat ditempuh melalui
pengembangan budaya sekolah.
B. REKOMENDASI 
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan maka ada beberapa saran yang diajukan
1. Pengkondisian lingkungan sekolah terhadap keterlaksanaan nilai-nilai karakter di SD
Negeri Karangduren O4 di samping nilai kedisiplinan perlu ditambahkan dengan adanya
penguatan nilai karakter lainnya agar penguatan prinsip karakter siswa lebih maksimal.
2. Pelaksanaan pendidikan karakter yang dikondisikan oleh sekolah diharapkan dapat
menjadi budaya sekolah bukan karena kendali aturan sekolah.
3. Bagi orang tua diharapkan memberikan respon positif berupa dukungan dan teladan
pendidikan yang baik terhadap anak saat di rumah.
4. Bagi peneliti selanjutnya untuk lebih mendalami penelitian yang serupa agar referensi
terhadap pengembangan pendidikan karakter melalui budaya sekolah lebih banyak
 
DAFTAR PUSTAKA

Nyoman Ngurah Ayu, Handayani Ari.2020. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi


Pendidikan .Slide Share

http://www.pelajaran.co.id/wp-content/uploads/2017/06/Budaya-Organisasi.jpg diakses pada


tanggal 2 Januari 2022

https://www.kompasiana.com/ahmadturmuzi/550f6186813311c935bc5fa7/pengembangan-
lingkungan-dan-budaya-sekolah.diakses pada tanggal 7 November 2020

http://ojs.umsida.ac.id/index.php/halaqa/article/download/1623/1177 /Pengembangan Budaya


Sekolah Di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Buduran Sidoarjo. Diakses tanggal 2 Januari
2022

Sagala Saiful.2016.Memahami Organisasi Pendidikan.Bandung: Prenada Media

Soegito A.T, 2010. Kepemimpinan Manajemen Berbasis Sekolah. Semarang : UnnesPress

Anda mungkin juga menyukai