Anda di halaman 1dari 20

TEORI MORAL, AKHLAK, KARAKTER

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknologi Pendidikan

Dosen Pengampu:
Nurul Malikah, M.Pd.

Disusun Oleh:
Arini Shofia Rahmawati (201210062)
Aruh Dhuha Yuda Mukti (201210063)

KELAS PAI B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONOROGO
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………...……...1
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................2
A. Latar Belakang……………………………………………………………. 2
B. Rumusan Masalah………………………………………………………… 3
C. Tujuan Pembahasan………………………………………………………. 3
BAB II : PEMBAHASAN………………………………………………………. 4
A. Perbedaan antara Moral, Akhlak, dan Karakter…………………………...4
B. Macam-macam Teori Moral, Akhlak, dan Karakter menurut beberapa
ahli………………………………………………………………………...5
C. Faktor-faktor yang Memengaruhi Moral, Akhlak dan
Karakter……….........................................................................................11
D. Upaya Untuk Meningkatkan Moral, Akhlak dan
Karakter………………………………………………………………….14
BAB III : PENUTUP…………………………………………………………...17
A. Kesimpulan………....................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...18

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia pendidikan dan pembelajaran berkembang semakin pesat seiring
berkembangnya budaya manusia dalam menghasilkan cipta, rasa, karsa, rupa,
dan rekayasa. Istilah inovasi pendidikan merupakan hasil dari perkembangan
dunia pendidikan dan pembelajaran. Peran dari pendidikan sangat penting
dalam membentuk sisi baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran
normatif. Proses perkembangan dan pendidikan manusia tidak hanya terjadi
dan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang ada dalam sistem pendidikan
formal (sekolah) saja. Namun, pengaruh dari keluarga, sekolah, dan
masyarakat luas juga turut serta dalam proses perkembangan dan pendidikan
manusia selama hidupnya. Ketiga lingkungan tersebut dikenal sebagai
tripusat pendidikan.
Indonesia terkenal bukan hanya sebagai negara yang sangat indah, akan
tetapi juga dikenal sebagai negara yang sangat ramah dan bermoral. Namun,
anggapan itu semuanya sirna seketika, mengingat bahwasanya banyaknya
fenomena-fenomena degradasi moral seperti halnya tawuran pelajar,
bullying, kasus korupsi, perampokan, narkoba, seks bebas, pelecehan seksual,
pembunuhan, kasus mutilasi, dan lain sebagainya yang terjadi pada saat ini,
mengartikan serta menandakan bahwasanya masyarakat Indonesia pada saat
ini sedang mengalami gejala degradasi moral.
Degradasi moral khususnya pada para remaja, merupakan keprihatinan
yang sangat mendalam, karena tulang punggung bangsa rapuh termakan oleh
hancurnya moral. Sedangkan, pada pundak merekalah masa depan bangsa
dipertaruhkan, jika generasinya hancur, maka hancurlah bangsa ini. Hal
tersebut menjadi sebuah center of attention (pusat perhatian) khususnya bagi
para agent of change (agen perubahan) yang mana kunci dari kesuksesan
sebuah perubahan adalah terletak pada sumber daya manusianya.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian antara moral, akhlak, dan karakter?
2. Apa saja macam - macam teori moral, akhlak, dan karakter menurut
beberapa ahli?
3. Apa saja faktor yang memengaruhi moral, akhlak, dan karakter?
4. Bagaimana upaya untuk meningkatkan moral, akhlak, dan karakter?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian antara moral, akhlak, dan karakter
2. Mengetahui macam-macam teori moral, akhlak, dan karakter menurut
para ahli
3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi moral, akhlak, dan
karakter
4. Mengetahui upaya peningkatan moral, akhlak, dan karakter

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral, Akhlak, dan Karakter


Istilah pendidikan karakter mulai diperkenalkan pada tahun 1900-an oleh
Thomas Lickona. Menurut Lickona pendidikan karakter mencakup tiga unsur
pokok, yaitu mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan
kebaikan.1
Sementara menurut FW Foerrster (1869-1966). Pendidik asal Jerman ini
menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Pada
awal abad ke-19, FW Foerrster berusaha menghidupkan kembali pedagogi
ideal-spiritual yang sempat hilang. Jauh sebelumnya Socrates mengatakan
tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah untuk membentuk seseorang
menjadi good and smart.2
Pedagogi ideal-spiritual adalah sebuah konsep tentang pendidikan
berdasarkan agama. Peagot ilmuwan dari Jerman mengatakan “moral tanpa
agama adalah sia-sia”. Begitu juga menurut Mahatma Gandhi dari India
yang mengatakan “sesungguhnya agama dan pekerti yang baik keduanya
adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan”. Agama bagaikan ruh bagi
moral, sedangkan akhlak adalah cuaca bagi ruh. Artinya, agama memberikan
makan yang menumbuhkan moral dan menghidupkan akhlak. Nabi
Muhammad saw. diutus ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan
akhlak. Karakter adalah akhlak dalam pandangan Islam. Moral, akhlak atau
karakter adalah tujuan pendidikan, seperti yang diungkap oleh Marthin Luther
King bahwa “Intelligence plus character, that is the true aim of education”
yang artinya, kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari
pendidikan.
Nabi Muhammad saw. dalam sebuah riwayat menyebutkan,

1
Muhiyatul Huliyah, STRATEGI PENGEMBANGAN MORAL DAN KARAKTER ANAK
USIA DINI (Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2012), 1.
2
Ibid., 1-2.

4
ِ‫ُود يولَ ُد َعلَى ال ِْفطْرة‬
ٍ
َ ُ ‫ُك ُّل َم ْول‬
Artinya, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Fitrah diartikan
sebagai potensi dasar manusia yang terkait dengan keyakinan yang meliputi
nilai-nilai, sikap hidup dan kebutuhan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Fitrah juga dimaknai sebagai sifat dasar manusia berupa
keyakinan akan adanya Tuhan dan juga keinginan untuk menyembah Tuhan. 3

B. Macam-macam Teori Moral, Akhlak, dan Karakter menurut beberapa


ahli
Perkembangan moral merupakan salah satu dari sekian topik
pembahasan tertua dalam sejarah peradaban manusia. Dalam sejarahnya,
filsuf Yunani dan ahli teologi berdebat mengenai status moral anak ketika
baru dilahirkan, yang menurut mereka hal tersebut akan memengaruhi
bagaimana anak seharusnya dibesarkan. Aristoteles menegaskan bahwa
pembentukan moral adalah masalah membangun karakter. Dilanjutkan oleh
John Dewey yang menyatakan bahwa pembentukan moral merupakan salah
satu dari tujuan dasar pendidikan formal. Pembentukan moral merupakan
masalah pengembangan tindak lanjut penyelesaian yang memungkinkan
seseorang untuk menjalani kehidupan yang baik. 4
1. Teori Moral dan Karakter Aristoteles
Analisis Aristoteles tentang watak manusia pada umumnya, dan
kebaikan moral pada khususnya tergantung pada gagasan tujuan dasar
manusia. Menurut pandangan ini, ada kualitas tertentu yang dibutuhkan
manusia untuk berkembang. Kualitas yang dimaksudkan adalah melakukan
kebajikan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Meskipun demikian,
Aristoteles tidak menganggap bahwasanya moral itu bawaan dari lahir,
karenanya perlu pelatihan dalam pendidikan moral.

3
Ibid.
4
Ibid., 6-7.

5
Para pengikut Aristoteles berasumsi bahwa kebajikan membawa
manfaat bagi para pelaku kebajikan dan orang lain. Moral adalah penggerak
individu agar senantiasa hidup harmonis dengan individu lain maupun
dengan kelompok sehingga mampu bekerja sama secara optimal. Dari
sudut pandang ini, pendidikan moral disusun secara sistematis melalui
pelatihan moral sesuai dengan aturan dan pola perilaku yang diinginkan
dan disetujui oleh masyarakat. 5
2. Teori Perkembangan Moral Piaget
Piaget percaya bahwa kehidupan sosial di kalangan anak-anak adalah
konteks yang penting bagi perkembangan kecerdasan, moralitas, dan
kepribadian (Piaget 1948/1973 dalam Nucci & Narvaez, 2014: 513). la
menekankan bahwa “kehidupan sosial adalah kondisi yang diperlukan bagi
pengembangan logika, dan bahwa perkembangan anak merupakan
adaptasi dari pikirannya dengan lingkungan sosial serta lingkungan fisik”.6
Anak-anak belajar dengan cara alami melalui eksperimen dan interaksi
dengan lingkungannya. Piaget melakukan pengamatan pada anak usia 4-12
tahun pada saat bermain. Hasil pengamatannya diperoleh kesimpulan
bahwa perkembangan moral pada anak terbagi menjadi tiga periode:
a) Moralitas Heteronom (4-7 tahun)
Pada tahap pertama, anak berpikir bahwa keadilan dan peraturan adalah
properti dunia yang tidak bisa diubah, dan tidak terkontrol oleh orang.
Anak pada masa heteronom juga percaya bahwa aturan tidak bisa
diubah dan diturunkan oleh otoritas yang berkuasa. Anak yang berada
pada masa moralitas heteronom juga percaya, yang oleh Piaget disebut
immanent justice, yaitu merupakan sebuah konsep bahwa ketika
peraturan dilanggar, maka hukuman akan langsung mengiringi
pelanggaran tersebut. Anak percaya bahwa pelanggaran atau kesalahan
terhubung secara otomatis dengan hukumannya sehingga sering kali,
anak melihat sekelilingnya dengan perasaan khawatir ketika berbuat

5
Ibid., 7-8.
6
Ibid., 8.

6
salah, takut pada immanent justice. Immanent justice juga
mengimplikasikan jika seseorang terkena musibah dikarenakan
sebelumnya orang tersebut telah melakukan pelanggaran atau
kesalahan. Ketakutan pada immanent justice ini akan terus berkurang
seiring perkembangan anak. 7
b) Masa Transisi (7-10 tahun)
Pada tahap kedua, yaitu masa di mana mulai hilangnya ciri-ciri tahap
pertama, yaitu moralitas heteronom dan mulai bermunculan ciri-ciri
tahap kedua, yaitu moralitas otonom. Anak yang berada pada masa
transisi atau moral autonom belum mempertimbangkan niat, niat itu
akan dipertimbangkan ketika anak mulai memasuki masa otonom.
Anak yang berada pada masa transisi, mereka lebih menerima
perubahan dan menyadari peraturan dapat diubah dan disepakati.
c) Moralitas Otonom (10 tahun ke atas)
Pada tahap ketiga, anak menilai kebenaran atau kebaikan perilaku
berdasarkan konsekuensinya, bukan berdasarkan niat dari pelaku.
Misalnya, anak yang memecahkan 12 gelas dengan tidak sengaja itu
lebih buruk daripada anak yang memecahkan satu gelas dengan
sengaja. Pada masa otonom, anak mulai menyadari bahwa hukuman
terjadi hanya jika ada saksi mata, bahkan ini pun bukan berarti
hukuman tidak bisa dielakkan. 8
3. Teori Pendidikan Karakter Lickona
Menurut Lickona, karakter adalah disposisi batin yang dapat
diandalkan untuk menanggapi situasi dengan cara yang baik secara moral.
Karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan
(knowing the good), lalu menimbulkan komitmen/niat terhadap kebaikan
(desiring the good), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (doing
the good). Karakter mengacu pada serangkaian pengetahuan (cognitives),

7
Ibid., 9.
8
Ibid., 9-10.

7
sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), perilaku (behaviors) serta
keterampilan (skills).
Lebih lanjut, Lickona menyebutkan terdapat tujuh karakter utama yang
harus ditanamkan kepada peserta didik. Tujuh karakter inti (corecharacters)
yang sangat penting dan mendasar untuk dikembangkan pada peserta didik,
di samping sekian banyak unsur-unsur karakter yang lainnya. Karakter inti
tersebut meliputi: Ketulusan hati atau kejujuran (honesty); Belas kasih
(compassion); Gagah berani(courage); Kasih sayang (kindness); Kontrol
diri (self control); Kerja sama (cooperation); Kerja keras (hard work).
Lickona juga memberikan penjelasan terkait tiga komponen penting
dalam membangun pendidikan karakter, yaitu moral knowing (pengetahuan
tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan moral action
(perbuatan bermoral). Ketiga komponen tersebut dapat dijadikan rujukan
implementasi dalam proses dan tahapan pendidikan karakter. Selanjutnya
adalah misi atau sasaran yang harus dibidik dalam pendidikan karakter,
meliputi ranah:
a) Kognitif, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada
tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran
sehingga dapat berfungsi akalnya menjadi kecerdasan inteligensia.
b) Afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional,
pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan
terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan
lain sebagainya. Semua sikap dapat digolongkan sebagai
kecerdasan emosional (emotional quotient).
c) Psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan, perbuatan,
perilaku, dan lain sebagainya.
Apabila dikombinasikan ketiga komponen tersebut, dapat dinyatakan
bahwa pendidikan itu hasilnya adalah memiliki pengetahuan tentang
sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, selanjutnya
berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.

8
Lickona juga menawarkan lima pendekatan untuk dapat menghasilkan
karakter yang mulia, yaitu:9
a) Pendekatan Penanaman Nilai (inculcation approach)
Adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada
penanaman nilai-nilai sosial dalam diri peserta didik.
b) Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (cognitive moral
development approach)
Mendorong peserta didik untuk berpikir aktif tentang masalah-
masalah moral, maupun dalam membuat keputusan-keputusan
moral.
c) Pendekatan Analisis Nilai (values analysis approach)
Memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta
didik untukberpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang
berhubungan dengan nilai-nilai moral yang dapat diterapkan pada
kehidupan sosial.
d) Pendekatan Klarifikasi Nilai (values clarification approach)
Memberi penekanan pada usaha untuk membantu peserta didik
dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, serta
meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka
sendiri.
e) Pendekatan Pembelajaran Berbuat (action learning approach)
Merupakan proses pengajaran nilai, yang menurut pendekatan ini
didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metode
diskusi kelompok. Pada pendekatan yang terakhir ini,
memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan
nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. 10
4. Teori Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara

9
Ibid., 13.
10
Ibid., 13-14.

9
Ki Hajar Dewantara yang memiliki nama kecil R.M. Soewardi
Surjaningrat, pemikirannya telah banyak memengaruhi perkembangan
pendidikan khususnya di Indonesia. Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang
tertuang dalam Pendidikan Taman Siswa, telah memberikan konsep pendidikan
karakter yang berkebudayaan yang disebutnya pendidikan budi pekerti. Dalam
Pendidikan budi pekerti di Taman Siswa banyak menggunakan simbol dan
semboyan, misalnya penggunaan kata “among”, atau semboyan “Ing Ngarsa
Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, dan metode
tiga “Nga”, yaitu Ngarti, Ngarasa, Ngalakoni.
Budi pekerti adalah masalah watak baik bagi manusia, dan masalah watak
adalah masalah kepribadian manusia, serta masalah kepribadian adalah masalah
hidup jasmani dan kejiwaan manusia. Dengan arti lain, budi pekerti merupakan
kumpulan sifat-sifat yang relatif tetap dan memengaruhi sikap, perilaku,
danmentalitas manusia. 11
Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa dengan maksud untuk
mengupayakan pendidikan yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan
kemampuan cipta, rasa, dan karsa manusia dalam integritas yang harmonis.
Perpaduan cipta, rasa, dan karsa itulah yang disebut budi pekerti luhur manusia.
Pendidikan budi pekerti dalam Taman Siswa memiliki empat tahapan, yaitu:12
1) Tahapan Syariat (usia 5-8 tahun)
Sebagai pembiasaan bertingkah laku atau bersikap menurut peraturan
atau kebiasaan umum. Tahapan ini diselenggarakan dalam
pendidikan keluarga dan di Taman Indria atau saat ini dikenal dengan
taman kanak-kanak.
2) Tahapan Hakikat (usia 9-12 tahun)
Diberikan pengertian tentang segala tingkah laku kebaikan dan
menghindari keburukan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Tahapan Tarikat (usia 13-16 tahun)

11
Ibid., 14-15.
12
Ibid., 15.

10
Merupakan periode meneruskan pencarian pengertian ditambah niat
yang disengaja.
4) Tahapan Makrifat
Merupakan periode ketahanan, yakni terbiasa melakukan kebaikan,
menginsafi serta menyadari akan maksud dan tujuannya, dan mau
berjuang keras melaksanakannya.
Pendidikan tersebut diimplementasikan di Taman Siswa dan Taman
Indria beralaskan garis hidup dari bangsanya, mengutamakan kemerdekaan
lahir batin dan berlandaskan pada keikhlasan yang bersifat transendental.
Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara memiliki Panca Dharma,
yaitu kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai proses
pembudayaan kodrat alam setiap individu dengan kemampuan untuk
mempertahankan hidup yang tertuju pada tercapainya kemerdekaan lahir batin
sehingga memperoleh keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan
lahir batin. Dalam asas pendidikan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara ingin
mendidik khususnya manusia Indonesia secara utuh (kaffah), yang dapat hidup
mandiri, efektif, efisien, produktif, dan akuntabel. 13

C. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Moral, Akhlak dan Karakter


Masalah moral, adalah satu masalah yang menjadi perhatian orang
dimana saja. Karena kerusakan moral seseoarang mengganggu ketentraman
yang lain. Jika dalam suatu proses pendidikan banyak orang yang rusak
moralnya, maka akan goncanglah keadaan pembelajaran itu. Beberapa factor
yang mempengaruhi kemerosotan moral :
1. Handphone
Handphone yang sangat canggih yang sudah di lengkapi aplikasi-
aplikasi di dalamnya, membuat peserta didik lupa waktu dalam
pemakaiannya, yang membuat mereka melalikan perintah agama dan

13
Ibid., 16.

11
membantah orang tua dan mencontoh budaya luar baik dari
perkataan, prilaku dan pemakaian budaya luar yang kurang baik
untuk mereka contoh sehingga membuat moral peserta didik menjadi
menurun.
2. Keluarga
Apabila dalam keluarga kurang harmonis (brokenhome) dapat
membuat moral pada peserta didik menjadi tidak baik, karna keluarga
adalah tempat utama bagi mereka mendapatkan pendidikan moral,
apabila dalam keluarga orang tua melakukan hal yang tidak baik,
peserta didik mencoh apa yang merka liat dari dalam keluarga.
3. Lingkungan
Lingkungan adalah tempat kedua setelah kelurga untuk siswa
mendapatkan moral yang baik atau tidak baik apabila lingkungan
tempat mereka tinggal tidak baik maka akan membuat moral siswa
tidak baik pula.
4. Pergaulan
Pergaulan adalah jalinan hubungan seseorang yang dapat saling
mempengaruhi (berkawan) selain keluarga dan lingkungan pergaulan
dapat membuat moral siswa menjadi tidak baik di karnakan salah
bergaul dan kurangnya perhatian orang tua terhadap pergaulan
anaknya.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter, dari
sekian banyak faktor, para ahli menggolongkan ke dalam dua bagian, yaitu
faktor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Terdapat banyak hal yang mempengaruhi faktor internal ini,
diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Insting atau Naluri
Insting adalah suatu sifat yang dapat menumbuhkan perbuatan
yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir terlebih
dahulu ke arah tujuan itu dan tidak didahului latihan perbuatan

12
Setiap perbuatan manusia lahir dari suatu kehendak yang
digerakkan oleh naluri (insting). Naluri merupakan tabiat yang
dibawa sejak lahir yang merupakan suatu pembawaan yang asli.
b) Adat atau Kebiasaan (Habit)
c) Kehendak atau Kemauan (Iradah)
d) Suara Batin atau Suara Hati
e) Keturunan
2. Faktor Eksternal
Selain faktor internal (yang bersifat dari dalam) yang dapat
mempengaruhi karakter terdapat juga faktor eksternal (yang bersifat
dari luar) diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Pendidikan
b) Lingkungan
Berdasarkan fenomena dekadensi moral, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan akhlak peserta didik, di antaranya yaitu:
1) Faktor intern, yaitu faktor yang ada dalam diri individu itu sendiri
yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut
mengembangkan dirinya sendiri.
2) Faktor ekstern, yaitu hal-hal yang datang atau ada di luar diri siswa
yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman
berinterksi setiap individu tersebut dengan lingkungannya.
Dari kedua faktor tersebut terdapat satu faktor yang sangat berpengaruh
yaitu faktor eksternal. Berdasarkan pandangan psikologis behaviorisme di
mana setiap individu akan dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, oleh
karenanya terdapat perubahan sosial yang kerap terjadi pada peserta didik.
Sebagaimana Klori menyatakan bahwa perubahan sosial yang penting pada
masa remaja mencakup pentingnyan pengaruh teman sebaya, pola prilaku
sosial yang lebih matang, pembuatan kelompok sosial yang baru, dan
muculnya nilai-nilai baru dalam memilih teman dan pemimpin serta nilai
dalam penerimaan sosial, sesuai dengan terjadinya fenomena krisis akhlak
pada peserta didik saat ini.

13
Media sosial memberikan informasi yang ditawarkan melalui jejaring
internet yang dapat diakses secara fleksibel dan dapat digunakan oleh semua
kalangan, namun media sosial juga harus menggunakan signal yang berupa
data. Data tersebut harus di beli dan ada juga yang gratis, kebanyakan orang-
orang membeli data untuk dapat mengakses media sosial. Penggunaan data
secara berlebihan akan mengeluarkan pengeluaran yang cukup besar. Hal ini
menjadi perhatian dibidang finansial.
Dengan demikian, para guru dan orang tua harus lebih memperhatikan
peserta didik dalam penggunaan media sosial secara frekuensi dan durasi.
Bukan hanya pengaruh bagi akhlaknya saja, akan tetapi mengajarkan mereka
untuk berhemat dalam penggunaan media sosial serta dapat digunakan untuk
hal yang lebih bermanfaat. Bertujuan untuk memberikan pembelajaran pada
peserta didik terhadap penggunaan media sosial, hanya digunakan untuk hal
yang bermanfaat dan membangun serta untuk lebih menghargai waktu.
Dengan begitu, pengaruh media sosial yang sifatnya negatif dapat difilter,
karena adanya batasan dan bimbingan dari orang tua dan pengarahan dari
guru, dengan itu peserta didik memiliki akhlak yang mulia atau terpuji.

D. Upaya Untuk Meningkatkan Moral, Akhlak dan Karakter


Upaya membangun moralitas masyarakat harus dilakukan terus menerus
sampai kapanpun. Problem moralitas yang kian meluas yang didorong oleh
media teknologi informasi yang kian pesat dan mudah dijangkau semua
kalangan, menjadi tantangan tersendiri yang tidak dapat diabaikan. Berikut
upaya – upaya guna meningkatkan moral, akhlak dan karakter peserta didik :
1. Generasi muda saat ini perlu dikenalkan pemahaman yang
komperhensif tentang konsep moral dan akhlak. Mereka perlu
memahami, menghayati, dan mengaktualisasi nilai-nilai dan norma-
normayang berkaitan dengan sikap dan perilaku secara utuh.
2. Saat ini generasi muda mengalami krisis keteladanan. Masyarakat di
Era keterbukaan informasi ini, dengan kemudahan akses terhadap
berbagai media serigkali dipertontonkan dengan perilaku amoral

14
yang jauh dari nilai-nilai akhlak serta moral. Di tengah kondisi krisis
keteladanan ini, peran keluarga menjadi prioritas utama dalam
membangun akhlak generasi muda. Orang tua dituntut untuk
menjadi model bagi mereka dalam pembentukan kepribadian
mereka. Oleh sebab itu, orang tua harus memiliki kesadaran dan
berupaya sungguh-sungguh untuk menjadi pribadi-pribadi teladan
dalam keluarga.
3. Mencegah peserta didik larut dalam kesenangan dan kemewahan.
Larut dalam kesenangan dan kemewahan artinya berlebih-lebihan
dalam kesenangan dan selalu berada dalam kenikmatan dan
kemewahan.14
4. Memperkuat hubungan antara pendidik dengan peserta didik.
Menurut Nasih Ulwan, hubungan interaktif-edukatif antara pendidik
dan peserta didik termasuk diantara prinsip pendidikan yang
diperlukan bagi pembentukan intelektual, spiritual, dan moral
peserta didik. Oleh karenanya, dalam pandanganannya penting bagi
pendidik untuk mencari cara-cara positif dalam menumbuhkan
kecintaan, kasih sayang dan memperkuat semangat jalinan kerja
sama di antara mereka.15
5. Membentuk akhlak dengan menggunakan beragam metode yang
sesuai dengan kondisi peserta didik. Tujuan yang diinginkan tidak
mungkin tercapai tanpa menggunakan metode yang tepat dalam
proses pendidikan. Ketidaktepatan dalam penerapan metode dapat
menghambat proses pendidikan itu sendiri. Oleh karenanya, penting
bagi seorang pendidik untuk menguasai berbagai metode
pembelajaran.
6. Pembentukan akhlak dengan membangun dan mengotrol
lingkungan peserta didik. Pemaknaan terma “lingkungan” di era

14
Ulwan. Pendidikan Anak Dalam Islam Jilid I. 214
15
Abdullah Nash Ulwan. Pendidikan Anak dalam IslamJilid 2. (Jakarta: Pustaka Amani,
2002). 618-19.

15
digital tentu berbeda dengan pemahaman “lingkungan” pada masa
lalu yang dibatasi oleh ruang dan batas geografis. Jika pada masa
lalu masyarakat berinteraksi hanya melalui pertemuan fisik bertatap-
muka dalam satu tempat tertentu, maka generasi masa kini
berinteraksi disamping pertemuan fisik, mereka juga berinteraksi
social melalui media online dengan jangkauan yang lebih luas dan
tanpa batas.16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup
atau agama tertentu itu artinya adalah moral. Tabiat atau sifat
seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam
jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan
perbuatan- perbuatan, itu artinya adalah akhlak. Sedangkan karakter
adalah sifat yang selalu dikagumi menjadi tanda-tanda kebaikan,
kebajikan dan kematangan moral seorang. Menurut para ilmuan
seperti Lickona yang menyatakan bahwasanya pendidikan karakter
mencakup tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan, mencintai
kebaikan, dan melakukan kebaikan. Dan juga Socrates yang
menyatakan bahwasanya tujuan utama dari pendidikan adalah
membentuk seseorang menjadi goodandsmart. Hal ini menunjukkan
bahwasanya pendidikan menjadikan pendobrak yang paling utama
untuk membentuk karakter, menumbuhkan moral yang baik, dan juga
akhlak yang mulia.
2. Macam-macam teori moral, akhlak, dan karakter menurut beberapa
ahli yang keseluruhannya menyatakan bahwasanya coreofthecore (inti

16
Wahyudi. Paradigma Pendidikan Anak Dalam Keluarga Di Era Digital (Perspektif
Pendidikan Islam). Ri’ayah 4, no. 01 (2019). 42

16
dari intinya) adalah melakukan kebajikan. Lickona juga menawarkan
lima pendekatan untuk dapat menghasilkan karakter yang mulia yang
selanjutnya hal tersebut menimbulkan perilaku yang sesuai dengan
apa yang diketahuinya dan apa yang disikapi nya. Begitu juga dengan
Ki Hajar Dewantara yang memberikan beberapa tahapan-tahapan
terkait bagaimana menciptakan kemampuan untuk mempertahankan
hidup yang tertuju pada tercapainya kemerdekaan lahir batin sehingga
memperoleh keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan
lahir batin.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi moral, akhlak dan karakter meliputi
handphone, keluarga dan lingkungan. Selain itu ada juga factor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan karakter yang dibagi menjadi 2
yaitu factor internal dan factor eksternal. Factor internal tersebut
meliputi insting dan naluri, adat/kebiasaan, kehendak/kemauan, suara
batin dan keturunan. Sedangkan factor eksternalnya meliputi
pendidikan dan lingkungan.
4. Adapun langkah-langkah yang dapat diupayakan dalam mendidik dan
membina generasi muda yang khas saat ini, yaitu dengan:
a) Memberikan pemahaman yang komperhensif tentang konsep
akhlak itu sendiri
b) Memberikan dan menunjukan keteladanan
c) Mencegah peserta didik larut dalam kesenangan dan kemewahan
mate-rialime yang semu
d) Memperkuat hubungan antara pendidik dengan peserta didik
e) Menggunakan beragam metode yang sesuai dengan kondisi peserta
didik serta
f) Membangun dan mengotrol lingkungan peserta didik (lingkungan
sekitar dan pengaruh media online).
Dengan mengupayakan langkah-langkah tersebut, harapanya akan ter-
bentuk pribadi-pribadi berakhlak yang siap menghadapi tantangan
zaman.

17
18
DAFTAR PUSTAKA

Huliyah. Muhiyatul, 2012, STRATEGI PENGEMBANGAN MORAL DAN


KARAKTER ANAK USIA DINI, Yogyakarta: Jejak Pustaka.
Ulwan. Abdullah N, Pendidikan Anak Dalam Islam Jilid I, Jakarta: Pustaka Amani.
Ulwan Abdullah N, 2002, Pendidikan Anak dalam Islam Jilid 2, Jakarta: Pustaka
Amani.
Wahyudi, 2019, Paradigma Pendidikan Anak Dalam Keluarga Di Era Digital
(Perspektif Pendidikan Islam). Ri’ayah 4, no. 01.
Hudiyono. Alif, 2010, Meningkatkan Moralitas Remaja Melalui Dukungan Sosial,
JurnalDakwah Dan Komunikais, Vol. 4 No. 2.
Wahyudi. Tian, 2020, Strategi Pendidikan Akhlak Bagi Generasi Muda Di era
Disrupsi, Lamongan: TA’LIM Jurnal Studi Pendidikan Islam Universitas
Islam Darul Ulum, Vol. 3 No. 2.

19

Anda mungkin juga menyukai