Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENDIDIKAN KARAKTER DAN ANTI KORUPSI

DI SUSUN OLEH :

NAMA : DENDI FIRANSYAH

NIM : G30121019

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan segala rahmat,
petunjuk, dan karunia-nya. Akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya, tidak lupa saya ucapkan terima kasih atas bimbingan juga arahan dari
bapak/ibu dosen yang sangat bermanfaat dan membantu. Saya mohon maaf apabila
terdapat kekurangan dari makalah ini, karena saya hanya manusia biasa yang jauh dari
kesempurnaan.

Kritik dan saran sangat saya perlukan agar bias saya perbaiki dikemudian hari.
Semoga makalah ini dapat membantu dan memberikan manfaat bagi pembacanya.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
PEMBAHASAN TOPIK 2

LANDASAN DAN PILAR PENDIDIKAN KARAKTER

1. Landasan Pendidikan Karakter

Landasan dalam pendidikan karakter terbagi atas 4, yaitu Landasan Psikologis,


Moral, Etika dan Agama.

a) Landasan Psikologis

Pendidikan karakter saat ini tidaklah muncul begitu saja dan tidak juga muncul
hanya sekedar untuk menanggapi kondisi moral anak bangsa yang cenderung
berorientasi material ketimbang nilai. Namun, pendidikan karakter telah ada seiring
dengan terbangunnya peradaban dan perkembangan psikologi.

Menurut Gable dan Haidt, di sinilah pentingnya psikologi positif untuk


membawa bagaimana kualitas dari karakter positif cenderung bertahan dan lebih baik.

Menurut Gardner dan Mihaly Csikszentmihalyi, dalam hubungannya dengan


pembangunan karakter, seseorang yang ingin menghasilkan pekerjaan yang baik, perlu
memahami tiga dasar yang menyertainya, yaitu:

1. mission,

2. standards,

3. identity.

Maksudnya adalah ada tiga hal yang sangat mendasar dalam membangun kerja
yang baik, yakni Misi yang merupakan ciri profesi yang menegaskan di mana mereka
terlibat, standar yang merupakan praktik terbaik dari suatu profesi yang dibangun,
sedangkan identitas adalah nilai-nilai dan identitas personal.

Setiap bidang pekerjaan memiliki misi tertentu dalam menghasilkan suatu


pekerjaan yang berkualitas tinggi. Misalnya, misi seorang guru atau dosen adalah untuk
mendidik dan mengarahkan peserta didik guna mencapai keberhasilan dalam
pendidikannya, bukan untuk memanfaatkan peserta didik dalam mencari keuntungan
pribadi.
b) Landasan Moral

Pendidikan kewarganegaraan sebagai perwujudan atau boleh dikatakan sebagai


pengganti mata pelajaran atau kuliah pendidikan moral pancasila seolah-olah
kehilangan jati diri pancasila dan pendidikan moralnya. Konsekuensinya, ditengah
derasnya arus globalisasi informasi dan komunikasi dimana akses informasi dan
pengetahuan menjadi semakin mudah, sehingga penurunan moral pun tidak dapat
dihindarkan. Dalam pelaksanakan pendidikan ini, tidak jarang terjadi praktik-praktik
kecurangan yang mengiringi setiap penyelenggaraan ujian nasional, mulai dari
pembocoran soal ujian, penyewaan jasa joki hingga sampai pada penyontekan massal.
Untuk memperdalam pembahasan tentang pendidikan karakter, walaupun tidak terlepas
dari pandangan pro dan kontra, perlu dijabarkan landasan moral pendidikan karakter.

Terdapat perbedaan mendasar antara moral dan etika

1. Moral merupakan karakter individu dari seseorang, sedangkan etika


menekankan pada sistem sosial, di mana moral-moral tersebut diterapkan.
2. Ketika moral dan etika dikupas secara terpadu (integrated), maka pembahasan
dari kedua disiplin tersebut menjadi sangat tidak memadai untuk menjadi
landasan dalam kajian pendidikan karakter.

Salah seorang ilmuan psikologi ternama yang dikenal juga dengan bapak
konstruktivisme, Jean Piaget dikenal sebagai ilmuan yang mengkaji persoalan-persoalan
moral dalam hubungannya dengan perkembangan intelektualitas anak. Dia mengkaji
bagaimana anak-anak bermain permainan (game) untuk memelajari keyakinan mereka
tentang mana yang benar dan yang salah.Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh
Piaget terhadap salah satu permainan yaitu, bermain kelereng yang menunjukkan
bahwa perkembangan moral muncul dari tindakan. Hasil observasi yang dilakukan oleh
Piaget, kemudian digunakan dalam mengembangkan teorinya mengenai moralitas anak-
anak. Seperti dikatakan oleh Singer dan Revenson bahwa, jika anda mengobservasi
anak-anak di bawah umur tujuh tahun ketika sedang bermain, anda akan melihat mereka
mengelaborasi aturan-aturan mereka sendiri, mengadaptasikan ke dalam situasi khusus,
kemudian mengubah sesuai kehendak mereka, namun mereka yakin bahwa mereka
bermain sesuai dengan aturan. Aplikasi aturan-aturan yang mengikuti tiga tahap utama
tentang perkembangan moralitas anak-anak, yakni:

 Motorik atau karakter individu, umur 0-2 tahun


 Egosentrik atau Egois, umur 2-7 tahun
 Kerja sama, umur 7-11 tahun
 Kodifikasi (mengerti) aturan-aturan, umur 11-12 tahun dan hingga
dewasa.
c) Landasan Etika

Kata Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang
berarti adat kebiasaan. Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang
merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan
perbuatan yang baik, dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.

Etika dan moral kurang lebih sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-
hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang
dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.

Banyak teori tentang etika, Graham, mengemukakan delapan teori tentang


etika, yaitu:

1. Egoisme
2. Hedonisme
3. Naturalisme dan teori kebaikan
4. Eksistensialisme
5. Kantisme
6. Utilitarianisme
7. Kontraktulaisme
8. Teori yang berdasarkan agama

Namun, disini saya hanya akan menjelaskan tiga teori antara lain Egoisme,
Kantisme dan Utilitarianisme, karena ketiga teori ini sudah mencakup mengenai teori
etika dalam pendidikan karakter.

1. Egoisme

Egoisme adalah cara untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang


menguntungkan bagi dirinya sendiri dan umumnya memiliki pendapat untuk
meningkatkan citra pribadi seseorang dan pentingnya intelektual, fisik, sosial dan
lainnya. Egoisme ini tidak memandang kepedulian terhadap orang lain maupun orang
banyak, pada umunya hanya memikirkan diri sendiri.

2. Kantisme atau Kantianisme

Kantianisme adalah pemahaman di mana setiap kita mengambil keputusan, kita


harus membayangkan bagaimana kita adalah pihak yang dirugikan. Pemahaman ini
menjelaskan bahwa bila kita melakukan suatu tindakan, maka tindakan itu dilakukan
tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.

3. Utilitarianisme
Utilitarianisme adalah suatu tindakan benar atau salah tergantung pada baik
buruknya akibat tindakan tersebut, bagi siapa saja yang dipengaruhi oleh tindakan
tersebut.

d) Landasan Agama

Semua agama mengajarkan tentang moral, nilai, etika, dan terlebih untuk
melakukan perbuatan baik, tidak diperbolehkan untuk melakukan perbuatan jelek, dan
berbagai ajaran spiritual.Yosi Amran, melakukan penelitian tentang nilai-nilai spiritual
yang tercermin dari ajaran moral, nilai, dan etika dengan melibatkan beberapa agama
seperti Budha, Hindu, Kristen, Islam, Yahudi, Non-Dual, Shamani, Taoisme, dan
Yoga.

Kemudian, dia merumuskan tujuh nilai-nilai dasar spiritual yang terdapat dalam
semua agama tersebut, yakni:

1. kesadaran,

2. keanggunan,

3. kebermaknaan,

4. nilai yang melampui di atas segalanya,

5. kebenaran,

6. kedamaian,

7. kebijaksanaan.

Agama menjadikan manusia sebagai pribadi yang mulia. Agama menjadikan


manusia mempunyai budi pekerti yang baik. Eduard spranger, membagi budi pekerti
menjadi enam bagian yaitu:

1. kekuasaan,

2. agama,

3. keindahan,

4. kegunaan atau faedah,

5. pengetahuan atau kenyataan, dan

6. menolong mendermakan atau mengabdi (sosial).


Untuk menguraikan hasrat dan kemauan manusia itu dapat dilihat dari kultur/
perspektif hasrat dan kemauan, nilai dan karakteristiknya. Jika kultur manusianya
cenderung mengejar kekuasaan, nilainya adalah kenegaraan, maka karakteristik
manusianya adalah politikus. Jika kulturnya ekonomi, kemudian nilainya manfaat, maka
karakteristik manusianya pembisnis. Begitu pula dengan budaya pengabdian, nilainya
adalah sosial, maka ciri manusianya adalah organisatoris sosial atau voluntir.

Jika kulturnya pengetahuan, nilainya adalah teori, maka ciri manusianya adalah
ilmuan. Begitu juga dengan kultur seni, nilainya adalah estetika, maka ciri manusianya
adalah seniman. Terakhir, jika kulturnya agama, kemudian nilainya adalah religi, maka
ciri manusianya menjadi agamawan. Landasan agama merupakan salah satu pilar
penting dalam pendidikan karakter. Agama mengajarkan moral, etika dan budi pekerti.
Proporsi agama dianggap paling besar dalam pendidikan karakter, tidak salah jika guru
bidang studi agama menjadi tumpuan besar dalam mengembangkan pendidikan
karakter.

2. Olah pikir, Rasa, Hati, Dan Raga Sebagai Pilar Pendidikan Karakter

Pemerintah Indonesia telah merumusan kebijakan dalam rangka pembangunan


karakter bangsa. Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, ditegaskan
bahwa karakter merupakan hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir,
olah raga, serta olah rasa dan karsa.

Olah hati terkait dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan, olah pikir
berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara
kritis, kreatif, dan inovatif, olah raga terkait dengan proses persepsi, kesiapan,
peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas, serta olah rasa
dan karsa berhubungan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam
kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan.

Nilai-nilai karakter yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing-masing


bagian tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain beriman dan bertakwa,
jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil
resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik;

2. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif,
inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif;
3. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih, dan
sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif,
kompetitif, ceria, dan gigih;

4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan,
saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis,
peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air
(patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras,
dan beretos kerja.

Dari nilai-nilai karakter di atas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,


mencanangkan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak penerapan
karakter di kalangan peserta didik di sekolah, yakni:

 Jujur (dari olah hati),


 Cerdas (dari olah pikir),
 Tangguh (dari olah raga),
 Peduli (dari olah rasa dan karsa).

3. Pengembangan Pendidikan Karakter Melalui Transdisipliner

Pendidikan Transdisiplinarity secara resmi di malumi deklarasi pada tahun


1994, bertepatan pada waktu diseleggarakanya kongres pertama Transdisiplinarity di
Conveto da arrabida, Portugal. Secara sederhana Thomphson mendefinisikan
transdisiplinarity sebagai pemecahan masalah bersama antar sains, teknologi dan
masyarakat. Transdisiplinarity didefinisikan “ Mengintegrasikan dan
mentransformasi suatu bidang pengetahuan dari multi atau berbagai perspektif
untuk meningkatkan pemahaman terhadap masalah yang coba dipecahkan untuk
meningkatkan keputusan pilihan dimasa mendatang”. Dari definisi ini timbul
pertanyan yaitu Apakah transdisiplin sebagai disiplin baru atau pendekatan?,
Massimiliano menjelaskan, Transdisiplinarity bukanlah suatu disiplin tapi merupakan
suatu pendekatan atau suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dengan
mengintegrasikan dan mentransformasikan beragam perspektif yang berbeda-beda.

Dunia akademik saat ini memiliki ilmu disiplin yang terpisah, oleh sebab itu
integritas merupakan kata kunci yang diperlukan untuk meningkatkan pemahaman.
Upaya untuk mengatasi masalah-masalah global yang bersifat Multisektoral
memerlukan pendekatan transdisiplin. Pendekatan transdisiplin dapat dipandang sebagai
ruang intelektual (intellectual space) yang merupakan wilayah/tempat isu-isu yang
dibahas saling dikaitkan, diekspolarasi, dipikirkan ulang (rethingking), dianalisis,
dibuka guna memperoleh pemahaman dan dapat diimplementasikan. Transdisiplin
mempunyai kesamaan makna dengan Transektoralitas yang juga memerlukan kajian.
Tujuan dari pendekatan transdisiplin dalah untuk membangun pandangan-pandangan
yang diperlukan untuk mengeksplorasi makna baru atau sebuah sinergi. Pengunaan
pendekatan transdisiplin dilakukan untuk mencapai sasaran, yaitu:

1. Bagaimana menghadapi aspek-aspek realitas,


2. Bagaimana memahami isu-isu global dan kompleks,
3. Bagaimana mendorong sinergi antar disiplin,
4. Bagaimana menggalang kerja sama antar ahli berbagai sektor.

Implementasi transdisiplin mengandung makna adanya kerja “kooperatif” atau


sinergi diantara orang-orang dan sektor-sektor yang terlibat didalamnya. Penerapan
transdisiplin digunakan untuk mencapai sesuatu diluar dimensi kuantitatif, adanya
sinergi dalam konsep transdisiplin, disini dimaksudkan untuk mencapai tingkat harmoni
yang lebih tinggi dari integritas ilmu pengetahuan yang disebut dengan Simponi.

Menurut Julie Thompson Klein, transdisiplin adalah pengetahuan praktis


yang bersifat refleksif yang mempertimbngkan pluralitas dan kompleksitas kondisi
manusia. Pendekatan transdisiplin yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah
global yang bersifat kompleks memiliki beberapa elemen penting, yaitu:

1. Praktis yang bersifat aktif yang melibatkan aktivitas transformasi, integrasi dan
rekonstutif,
2. Bersifat non-inklusif,
3. Memerlukan adanya proses refleksi diri,
4. Memiliki dimensi kompleksitas,
5. Bersifat plural dengan memanfaatkan perspektif pengetahuan yang berbeda,
6. Berorientasi ke masa depan atau future oriented.

Transdisiplin merupakan pendekatan kolektif yang memanfaatkan pengetahuan dan


kemampuan analisis manusia dalam memahami system yang lebih besar dan kompleks.
makna yang menandai pentingnya transdisiplin adalah proses integritas dari
multidisiplin yang digunakan untuk membahas isu atau menghadapi permasalahan.
Manfaat transdisiplin tidak hanya digunakan untuk menghadapi masalah-masalah
kompleks semata, tapi juga untuk melihat adanya problem baru yang muncul akibat
dari analisis ang mendalam dari proses interdisiplin. Perbedan penting antara inter
transdisiplin dan transdisiplin adalah dalam pendekatan inter transdisiplin analisis
masalah yang dihadapi dilakukan secara parallel, sedangkan dalam pendekatan
transdisiplin, disiplin yang terlibat didalamnya menawarkan pendekatan yang spesifik
dan bahkan asumsi dasar untuk menciptakan dialog untukmemahami isu-isu kompleks
yang sedang dihadapi.
KESIMPULAN

Pendidikan Karakter Landasan, Pilar, dan Implementasi, dipandang sebagai


solusi cerdik dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa bukan saja hadir sekedar
menjadi wacana dan perbincangan di media massa dan forum-forum diskusi ilmiah,
melainkan juga menjadi program yang telah terintegrasi dalam kebijakan
penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah, dan bahkan pada tingkat pendidikan
tinggi.

Pendidikan karakter dari memiliki 4 landasan, yakni Landasan psikologi


dengan maksud untuk menjabarkan teori-teori psikologi pendidikan dalam membangun
nilai-nilai budaya dan karakter. Landasan moral, etika, dan agama, untuk menggali
nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan. Setelah
mengupas landasan pendidikan karakter, maka kita perlu menguraikan pilar-pilar
pendidikan karakter yang mencakup pilar-pilar pendidikan karakter menurut Count
dan empat pilar pendidikan karakter di Indonesia saat ini, yakni olah pikir, olah hati,
olah rasa, dan olah raga. olah pikir yang terdiri atas keingintahuan, kecerdasan, dan
sistem berpikir. olah hati yang mencakup nilai-nilai karakter seperti kejujuran, amanah,
keadilan, akuntabilitas, keberanian, keandalan, tahan uji. Nilai-nilai karakter yang perlu
dikembangkan melalui pembahasan pada olah hati ini adalah beriman dan bertakwa,
jujur, amanah, adil, tanggungjawab, berimpati, berani, mengambil resiko, pantang
menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. olah rasa yang mencakup kesopanan
sopan-santun, toleransi lapang dada, nasionalis, dan tolong-menolong. olah raga yang
mencakup kedisiplinan, sportifitas, kemandirian, keuletan, dan ketangguhan.

Dan makalah ini membahas tentang pengembangan pendidikan budaya dan


karakter bangsa melalui transdisiplinarity, yang mana perkembangan Intelelektual
dan Multikultural merupakan upaya dalam pembangunan karakter bangsa dan
Manusia sebagai cerminan Pembentuk Karakter.

By: Dendy

Anda mungkin juga menyukai