Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“PENTINGNYA MORAL DI DALAM DUNIA PENDIDIKAN”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Yang dibina oleh Bapak Abd. Mu’id Aris Shofa, S.Pd., M.Sc.

Oleh :

Muchammad Bagoes Putra Ramadani (170534629076)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS EKONOMI

JURUSAN MANAJEMEN

April 2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di era globalisasi dan reformasi seperti sekarang ini kita semua dapat
merasakan bersama, bahwa kebebasan berpendapat dan berperilaku sudah
sedemikan maraknya, karena terlalu bebas serta fulgarnya dalam tampilan dan
pemberitaan itu, sampai-sampai banyak kalangan pemuda yang tidak
memperhatikan lagi moralitas, sopan santun, etika dan budi pekerti sebagaimana
adat ketimuran yang kita agungkan itu. Media elektronik berupa televisi, maupun
media cetak yang kita saksikan dan kita baca tiap hari, baik yang menampilkan
kritikan kontruktif maupun pertunjukan hiburan yang mengumbar kemaksiatan
sudah sedemikian marak dan bebasnya di masyarakat. Hal ini secara langsung akan
dapat mempengaruhi moral dan tingkah laku para pemirsa atau pembaca, lebih-
lebih para remaja yang belum memiliki bekal pengetahuan agama yang kuat.
Dalam hal ini, pendidikan memegang peranan penting dalam mengatasi
persoalan moralitas yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, melalui
makalah ini penulis berusaha untuk mengungkap bagaimana peran pendidikan
dalam persoalan moralitas
1.2. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian moral?
b. Apakah pengertian Pendidikan?
c. Bagaimanakah peran moral di dalam dunia pendidikan?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
a. Mengetahui pengertian moral
b. Mengetahui pengertian Pendidikan
c. Mengetahui penjelasan mengenai peran moral di dalam dunia pendidikan
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Moral


Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan,
sikap, kewajiban dan sebagainya. Pengertian moral juga memiliki kesetaraan atau
kesamaan arti dengan pengertian akhlak, budi pekerti, dan susila. Moral sebenarnya
memuat dua segi berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik
adalah orang yang mempunyai sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan
yang baik pula. Dengan kata lain, moral hanya dapat diukir secara tepat apabila
kedua seginya diperhatikan. Orang hanya dapat dinilai secara tepat apabila hati
maupun perbuatannya ditinjau bersama. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan
manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk.
Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan
semata sebagai perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh sukarela
pihak pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat
mempengaruhi atau mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang
sepenuhnya menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan
tersebut. Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai
perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku individu. Selain
itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya,
kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya.
Pemerintah telah mengatur tentang moral pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang
berbunyi pada halaman 24 :
Bagian Keempat Struktur Kurikulum Satuan Pendidikan dan Program
Pendidikan
Paragraf 1 Struktur Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Formal
Pasal 77G
(1) Struktur Kurikulum pendidikan anak usia dini formal berisi program-
program Pengembangan nilai agama dan moral, motorik, kognitif, bahasa,
sosial-emosional, dan seni.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Struktur Kurikulum pendidikan anak
usia dini formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.

Dan juga terdapat pada halaman 52 yang berbunyi :


Yang dimaksud dengan ”Pengembangan nilai agama dan moral”
mencakup perwujudan suasana belajar untuk tumbuh-kembangnya
perilaku baik yang bersumber dari nilai agama dan moralita dalam
konteks bermain. Yang dimaksud dengan ”Pengembangan motorik”
mencakup perwujudan suasana untuk tumbuhkembangnya kematangan
kinestetik dalam konteks bermain.

2.2 Pengertian Pendidikan


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses,
perbuatan, cara mendidik. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.
20 Tahun 2003, dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari sudut
pandang manusia, pendidikan aialah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan
nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan ketrampilan dalam kehidupan. Sebagaimana
dikutip oleh Khoiron Rosyadi, Emile Durkheim dalam karyanya Education and
Sociology mengatakan bahwa pendidikan merupakan produk manusia yang
menetapkan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup
konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.

2.3 Peran Moral di Dalam Dunia Pendidikan


Manusia adalah mahluk social yang harus berintaraksi dengan
lingkungannya. Dalam berinteraksi, manusia harus memiliki berbagai kemampuan
untuk menjalani hidup. Kemampuan tersebut dapat diperoleh dari dalam dirinya
dengan dibantu dari luar dirinya, yaitu pendidikan yang diperoleh dari keluarga
misalnya Penanaman nilai-nilai agama sejak kecil, keteladanan, penghargaan atas
segala kemampuan yang dimiliki anak, kehangatan, kasih sayang orang tua,
komunikasi yang intens antara orang tua dan anak, menjadi pendengar yang baik
dan sahabat yang menyenangkan bagi mereka. Sedangkan dari pendidikan formal
misalnya; Pendidik dan sekolah menghargai anak didik sebagai individu yang
memiliki kelebihan dan kekurangan, dalam hal ini pihak pendidik tidak hanya
melihat kepandaian mereka saja namun kematangan emosi merekapun dihargai,
contoh penghargaan tidak hanya diberikan kepada mereka yang berprestasi bidang
academic saja namun kepada mereka yang mempunyai prestasi dibidang lainpun
dapat diberikan penghargaan, sehingga mereka merasa nyaman, aman dan
menyenangkan berada dilingkungan sekolah. Sering mengadakan discas masalah
yang dihadapi oleh murid dirumah maupun di sekolah secara classical maupun
individual juga adalah cara yang cukup ampuh untuk lebih dekat dengan murid dan
mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh mereka. Selain itu pendidikan yang
diberikan oleh masyarakat dapat berupa penghargaan atas potensi anak dalam
segala hal dan kondisi, serta ikut mengawasi perkembangan diri dan moral mereka.
Dalam membina hubungan dengan lingkungan socialnya, manusia dapat
dipengaruhi oleh respon dan stimulus yang diterimanya lewat lingkungan
sekitarnya. Apabila lingkungannya memberikan respon yang baik kepadanya dan
menstimulusnya dengan baik pula maka dia akan terlahir menjadi manusia yang
dapat menyeimbangkan antara potensi yang ada pada dirinya dengan kematangan
dan kecerdasan moral. Demikian sebaliknya apabila keluarga, sekolah dan
lingkungan masyarakat selalu menuntut sesuatu yang mereka tidak mampu bahkan
tidak mereka inginkan, mereka akan merasa tidak nyaman dan aman. Apalagi
pendidikan agama yang mereka milikin masih sangat minim, maka akan terjadilah
gejolak dalam diri mereka, karena antara harapan dan kenyataan yang mereka
hadapi sangat berbeda, atau mereka berpura-pura menjadi individu lain yang bukan
jati diri mereka sendiri, agar mereka dapat diterima oleh lingkungannya.
Di Era globalisasi ini banyak cara yang dapat dilakukan orang tua, sekolah
dan masyarakat dalam menstimulus dan merespon anak didik untuk kemajuan,
kematangan dan kecerdasan moral melalui kematangan emosional anak melalui
berbagai cara dan fasilitas yang ada. Orangtua dan pendidik dapat memilih cara
yang disesuaikan kebutuhan masing-masing.Tidak semua orang tua yang memiliki
kemapanan ekonomi dan intellectual dapat memahami kebutuhan putra-putrinya.
Mungkin karena kesibukan orangtua dikantor, mereka kurang memahami
kebutuhan yang diperlukan oleh putra-putri mereka dalam membentuk perhatian,
didengarkan curhat mereka dan keinginan-keinginan mereka, menjadi sahabat yang
baik untuk, bahkan dapat menjadi teman diskusi yang mengasikkan. Namun tidak
sedikit pula kalangan menengah keatas sangat consent terhadap perkembangan
intellectual dan kematangan moral putra-putri mereka, misalnya pada kalangan ini
mereka melakukan kegiatan pengalian informasi melalui seminar-seminar,
pelatihan-pelatihan memotivasi diri dan keagamaan, membaca buku-buku, mencari
informasi yang berhubungan denga kemajuan intellectual dan kematangan moral
dari internet, dengan tujuan mendapat informasi dari para ahli mengenai minat dan
bakat dari putra-putrinya dalam rangka menentukan sekolah yang akan mereka
pilih. Tetapi bagi mereka yang tidak mampu, kesempatan untuk memilih yang
diinginkan sangatlah kecil. Mereka hanya dapat belajar dari pengalaman hidup dan
keinginan yang keras untuk lebih maju dan lebih berhasil dari orangtuanya. Namun
dari pengalamn hidup itulah biasanya mereka lebih memiliki kematangan moral
dan intellectual lebih cepat, dibandingkan mereka yang tidak mendapatkannya dari
pengalaman hidup. Selain itu, masih mahalnya bahan bacaan untuk orang tua guna
memperkaya wawasan mendidik putra-putrinya, ini dapat menimbulkan
ketimpangan social dalam dunia pendidikan serta kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah yang sering berubah-ubah juga memberi warna terhadap perkembangan
akademis dan emotional anak didik. Fenomena seperti inilah yang tengah terjadi
pada dunia pendidikan kita sekarang ini.

Studi Kasus
Boy seorang anak dari kelurga ekonomi yang mapan. Dari awal Boy masuk
pra sekolah sampai ia duduk di kelas 3 Sekolah Dasar, ia selalu menjadi nomor satu
di kelasnya dalam pelajaran. Orang tuanya menyekolahkan di salah satu sekolah
swasta favorit di kotanya. Cara belajar disekolah Boy yaitu kegiatan belajar yang
menganut system full day, dan lebih menonjolkan keunggulan intellectual kepada
murid-muridnya. Sedangkan peraturan dirumah yang begitu ketat dan keras
menjadikan Boy tumbuh menjadi anak yang pandai bidang akademisnya saja.
Namun dalam pergaulan dengan teman-temannya dan kestabilan emosi, Boy
mengalami kesulitan. Boy mempunyai watak temperamental, suka memukul teman
dan guru. Hal ini terjadi berulang-ulang dan cukup meresahkan sebagian orang tua
murid yang anaknya pernah kena bogem mentah Boy dan guru yang mengajarnya
pun tidak luput dari ulahnya. Guru kelas dan Kepala Sekolahnya cukup kerepotan
oleh ulahnya.
Pada suatu hari terjadi peristiwa yang cukup menggegerkan sekolah, Boy
memukul dan membenturkan kepala temannya ke tembok, dan secara kebetulan
dilihat oleh beberapa ibu dan ibu temannya tadi. Dengan spontan ibu anak itu
memarahi Boy dan meminta Boy untuk untuk tidak menggulanginya lagi. Tanpa
diduga keesokan harinya orang tua Boy datang kesekolah untuk mengadukan ke
pihak sekolah bahwa anaknya di marahi dan ditampar oleh seorang ibu kemarin.
Tanpa meminta konfermasi dari pihak lain, orangtua Boy sangat marah kepada
pihak sekolah yang memperlakukan anaknya demikian. Mereka menginginkan
keadilan untuk anaknya. Keesokan harinya Kepala Sekolah dan guru kelas Boy,
memanggil semua pihak yang terlibat dan menyaksikan kejadian tersebut. Setelah
ditelusuri dan diselidiki serta meminta keterangan dari semua pihak diketahuilah
bahwa kejadian yang sebenarnya adalah ketika jam istirahat setelah sholat dhuhur
dan makan siang teman-teman dikelas Boy bermain kejar-kejaran. Pada awalnya
Boy tidak ikut bermain, lama-kelamaan Boy tertarik juga untuk ikut bermain.
Teman-teman Boy menyetujuinya, akhirnya Boy ikut bermain bersama-teman-
temannya. Selang beberapa lama kemudian terjadi keributan Boy menarik baju
temannya dan mendorong dan membenturkan kepala temannya, karena Boy
dinyatakan kalah dalam permainan, melihat kejadian itu teman-teman Boy
memisahkan mereka dan berteriak-teriak minta tolong. Kebetulan pada saat itu
banyak orangtua murid yang sedang menggantarkan makan siang anaknya, salah
satunya ibu teman Boy yang dibenturkan kepalanya. Tanpa berpikir panjang lagi
sang ibu langsung mengamankan putranya dari serangan Boy. Ketika itu si ibu
bertanya kepada Boy “kenapa dibenturkan kepalanya?”,Boy hanya menjawab
“siapa yang membenturkan kepalanya, saya tidak ngapa-ngapain dia”.Padahal
jelas-jelas Boy telah melakukannya, tapi dia tidak merasa melakukannya, suatu
kejadian yang aneh bukan?. Akhirnya dengan agak kesal si ibu meminta Boy untuk
meminta maaf pada anaknya, tanpa diduga Boy menolaknya, malahan Boy
memandang ibu tersebut dengan wajah sinis dan marah. Sesampai dirumah Boy
mengadukan pengalaman disekolahnya kepada kedua orangtuanya. Boy
mengadukan bahwa ia ditampar oleh ibu temannya padahal ia tidak melakukan
apa-apa kepada temannya itu. Kontan saja orangtua Boy sangat murka, mereka
tidak senang anaknya diperlakukan seperti itu. Kepala sekolah meminta waktu
kepada semua pihak, untuk menyelidiki yang sebenarnya terjadi. Selama dalam
penyelidikan pihak sekolah setiap hari selalu mendapat keluhan dari orangtua
murid tentang kenakalan Boy. Tidak hanya dari teman-temannya, guru yang
mengajar dikelas Boy pun mengeluh karena kenakalan Boy. Guru-guru yang
mengajar Boy mengatakan ia anak yang temperamental, tidak mau diatur dan suka
memukul siapa saja yang dikehendakinya. Akhirnya pihak sekolah mengundang
kembali orangtua Boy, dan semua pihak yang terlibat. Kepala sekolah bertanya
kepada orangtua Boy bagaimana prilaku Boy dirumah?. Menurut orangtua Boy, ia
anak yang penurut, pendiam, suka membantu orangtua dan anggota keluarga
lainnya, ia juga anak yang lembut sayang pada kakak dan adiknya. Kemudian
pihak sekolah bertanya kembali, misalnya bila Boy nakal atau tidak mendapatkan
nilai yang bagus, apa yang dilakukan oleh orang tua Boy?. Mereka mengatakan
kalau Boy nakal, ayahnya akan memukul Boy sampai ia menangis, sedangkan
kalau ia tidak mendapat nilai baik disekolah ayahnya akan memarahi habis-
habisan, karena itu mempermalukan keluarganya yang berasal dari keluarga pandai
dan terpandang. Pihak sekolah juga bertanya, apakah orangtua Boy sering
mengajak Boy berbicara tentang teman-temannya, gurunya disekolah?, mereka
mengaku untuk hal itu mereka jarang lakukan karena kesibukan mereka dikantor,
apalagi ayah Boy adalah salah satu anggota dewan yang terhormat dikotanya.
Sedangkan dari saksi lain kepala sekolah sudah mendengarkannya terlebih dahulu
seperti yang telah ditulis diatas.Dari kejadian ini dapat diketahui dan ditarik
kesimpulan sementara oleh pihak sekolah, bahwa Boy mengalami ketidak stabilan
emosi, dan menyenangi tindakan kekerasan terhadap teman, guru atau orang-orang
disekitarnya dengan factor penyebabnya adalah;
a. Target pendidikan di sekolah Boy yang sangat tinggi dan harus dicapai
oleh semua murid.
b. Tekanan yang diterima oleh Boy dari kondisi belajar di sekolah yang
cukup berat dan orang tua yang selalu menuntutnya mendapat nilai yang
baik.
c. Teman-temannya yang tidak mudah menerimannya sesuai dengan apa
yang diinginkan Boy, karena ia selalu ingin menguasai dalam segala hal.
d. Sikap orang tua Boy yang otoriter dan selalu menggunakan kekerasan
apabila Boy melakukan kesalahan.
e. Kurangnya komunikasi antara Boy dan orangtuanya.
f. Sedangkan dilingkungan rumah, kenakalan Boy selalu dianggap biasa
oleh para tetangganya karena mereka merasa tidak enak dan sungkan
pada orang tua Boy

Dari factor penyebab diatas, maka terlahirlah karakter seorang Boy yang
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya anatara lain;

a. Boy adalah anak yang pandai


b. Boy anak yang menyenangkan dan dapat dibanggakan orangtua
c. Boy anak yang suka dengan kekerasan, temperamental
d. Boy sangat agresif yang negatif apabila keinginannya tidak tercapai
e. Boy dapat memutar balikkan fakta yang ada
f. Boy menjadi kan dirinya bukanlah sebagai seorang Boy yang dikenal
oleh orangtuanya

Akhirnya sekolah memutuskan agar orang tuanya mengawasinya lebih


ketat lagi, pihak sekolahpun berjanji akan lebih memperketat pula pengawasan
terhadap murid-murid disekolah tersebut, untuk para walikelas dan guru
ditugaskan untuk selalu memotivasi dan menghargai kemampuan murid dalam
kegiatan belajar mengajar sedang untuk orang tua yang lain bila terjadi hal
yang serupa, untuk cepat melaporkan kepihak sekolah. Selain itu ternyata
orangtua lain yang anaknya pernah menjadi sasran Boy memintaUntuk
tuntutan Boy dikeluarkan dari sekolah. Pihak sekolah tidak dapat bertindak
tegas, semua diserahkan kepada orang tua Boy, namun akhirnya dengan
berjalannya waktu dan masih seringnya Boy bermasalah dengan teman-
temannya, orang tua Boy memindahkannya ke sekolah swasta lain, dengan
harapan Boy dapat diterima dan lebih dihargai oleh teman dan gurunya (tanpa
melihat perubahan yang terjadi pada diri Boy dan orang tuanya kearah positif)
(Medio, Bekasi Agustus 2009, pengamatan dan pengalaman pendidikan di
kelas, untukku dan anakku)

Kasus-kasus yang berhubungan dengan kematangan moral dan


intellectual tidak hanya terjadi pada Boy saja, masih banyak kasus-kasus lain
yang ada disekitar kita, apabila kita sebagai orangtua, pendidik dan masyarakat
dapat ikut membantu merekaanak membentuk jati diri yang utuh yaitu
memiliki kepandaian intellectual juga memiliki kematangan dalam moral dan
emosi diri. Dengan demikian kita berharap pada generasi muda yang akan,
mampu membangun Negara Indonesia lebih maju dengan segala kemampuan
yang mereka miliki, yaitu pandai secara intellectual juga matang secara
emotional dan moral. Untukpara pendidik, orangtua dan masyarakat yang ada
disekitar mereka, hargailah anak didik kita dengan apa saja kemampuan yang
mereka miliki, mendengarkan keinginan-keinginan mereka, cita-cita mereka,
dan mengarahkan mereka melalui keteladanan. Hal buruk yang telah terjadi
mungkin dapat kita minimalis. Dengan cara, antara lain dapat kita lakukan;

i. Menjadikan anak sebagai teman untuk berdiskusi, mendengarkan


segala keluh kesahnya, bahkan bersahabat dengan mereka.
ii. Menanamkan nilai-nilai kesopanan, menghargai orang lain, belajar
menerima kekalahan dari orang lain, menerima pendapat orang lain,
dan dapat mengakui kemenangan orang lain dan menerima
kekalahan diri sebagai wujud jiwa besar yang harus mereka miliki.
M Natsir (1988) mengatakan; Manusia itu terlahir suci dengan
dilengkapi potensi dan kemanusiaan yang mulia. Potensi yang masih
berupa bibit ini, memberikan kemungkinan kepada manusia untuk
mencapai kemungkinan yang lebih tinggi dalam batas-batas yang
mungkin dapat dicapai oleh manusia itu, apabila bibit itu dapat
dijaga dan dikembangkan menurut yang sewajarnya.
iii. Di lingkungan keluarga lebih ditanamkan nilai-nilai agama dalam
kehidupan anak-anak didik kita, sebagai benteng diri mereka untuk
meghadapi tantangan hidup mereka kedepan. A.M Saefudin
(1987:126) dalam membina manusia seutuhnya, pendidikan harus
diarahkan pada dua hal. Pertama pendidikan hendaknya dapat
mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkrit, yaini
kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam dan
lingkungan social, kedua pendidikan juga harus dapat menjadi
jembatan untuk memahami fenomena dan misteri kehidupan dalam
mencapai hubungan yang abadi dengan Yang Maha Pencipta, dan
pada dimensi ini harus disertai dengan pendidikan hati.
iv. Menambah jam pelajaran agama untuk sekolah negeri, dari hanya 2
jam menjadi 3 atau 4 jam dalam seminggu.
v. Memperbanyak aktifitas ilmiah, olahraga, seni disekolah. Membina
hubungan perteman yang baik antara guru dan murid (dalam hal ini
guru tidak hanya berperan sebagai tenaga pangajar, tetapi juga
sebagai tenaga pendidik dan konsultan sekaligus sahabat yang baik
untuk muridnya).
vi. Target dan situasi sekolah yang kondusif yaitu dapat menstimulus
dan merespon kemampuan dan kebutuhan anak didik juga
menentukan arah pencapaian tujuan pendidikan yang lebih positif,
selama ini banyak sekolah yang hanya mengejar target
pencapaimaksimum pada kemampuan kecerdasan academis anak
didiknya saja, namun luput memperhatikan kecerdasan emosi anak
didiknya, hal ini juga akan menimbulkan ketimpangan pada
perkembangan jiwa mereka.
vii. Perubahan kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah yang sering
berubah-ubah memberikan dampak pencapaian target pendidikan
yang berubah-ubah pula, dan hal inipula yang akhirnya
membebankan anak didik.
viii. Bagi para orang tua hendaklah dapat belajar menghargai segala
kemampuan yang dimiliki oleh putra-putrinya. Jangan pernah
menjadikan anak sebagai sasaran egoisme dan kepentingan mereka.
Karena anakpun mempunyai hak untuk memilih apa yang ingin
mereka inginkan, tentu saja dengan selalu dibimbing oleh orang
tuanya.
ix. Bagi pendidik, Dr. Kamal Muhammad Isa (1994) mengatakan
kalimat yang disampaikan oleh seorang guru kepada muridnya,
hendaklah bersemangat, hidup dan keluar dari hati yang penuh
dengan keimanan. Datang dari jiwa yang Ar- Rahman. Semangat
jiwa yang bebas dari penjajahan materi. Suci dari hawa nafsu, dan
jauh dari berbagai masalah sepele yang murahan.
x. Dan bagi masyarakat umum, hendaklah dapat membantu mereka
dengan cara menyajikan dan memberikan contoh yang baik, dan
memberikan mereka tontonan yang mendidik bukan kekerasan
seperti selama ini, yang sering ditayangkan di TV.

BAB 3

PENUTUP

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa betapa pentingnya peranan
kecerdasan moral yang matang dan berkwalitas dalam rangka menyeimbangkan kwalitas
Intelectual seseorang dalam menjalani hidup didunia ini. Bila keduanya telah seimbang
maka manusia tersebut dapat menjadi khalifah dimuka bumi ini yang sempurna. “dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus.Maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena yang lain itu mencerai-beraikan
kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertaqwa” (Q.S Al An’aam (6);153).

DAFTAR PUSTAKA

Saefudin. A. M. 1987. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung:


Mizan

Elmubarok. Z. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan Yang Terserak.


Menyambung Yang Terputus Dan Menyatukan Yang Tercerai. Bandung:
Alfabeta

Bertens. K. 2005. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai