Anda di halaman 1dari 4

KEGIATAN BELAJAR 1

Pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD

Herman ( 1972 ) mengemukakan suatu prinsip yang sangat mendasar , yakni


bahwa”...value is neither taugh nor cought, it learned”, yang artinya bahwa
substansi nilai, tidak semata – mata ditangkap , diinternalisasi , dan dibakukan
sebagai bagian melekat dalam kualitas pribadi seseorang melalui proses
belajar. Proses pendidikan pada dasarnya merupakan proses pembudayaan atau
enkulturasi untuk menghasilkan manusia yang berkeadaban, termasuk didalamnya
yang berbudaya.

Dalam latar belakang kehidupan masyarakat, proses pendidikan nilai sudah


barlangsung dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai bentuk tradisi. Contohnya
tradisi dongen dan sejenisnya yang dulu dilakukan oleh orang tua terhadap anak
dan cucunya semakin lama semakin tergeser oleh film kartun atau sinetron dalam
media massa tersebut. Disitulah pendidikan nilai menghadapi tantangan konseptual,
instrumen, dan operasional. Dalam Konteks Pendidikan Nasional Indonesia telah
ditegaskan dalam Pasal 3 UU Sidikan 20/2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangkan mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi perserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak ulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokrasi, serta
bertanggungjawab. Oleh karena itu maka proses pendidikan seyogyanya bukan hanya
sebagai proses pendidikan berfikir tetapi pendidikan berwatak seperti nilai dan
perilaku. Di lingkungan masyarakat barat sendiri yang secara ekonomi termasuk
masyarakat modern terdapat berbagai persoalan moral yang dirasa perlu mendapat
perhatian pendidikan nilai. Melihat keadaan seperti itu dirasakan perlunya upaya
pendidikan nilai moral yang dilakukan secara menyeluruh dengan pertimbangan
sebagai berikut :

1. Pendidikan nilai merupakan suatu kebutuhan sosiokulturai yang jelas dan


mendesak bagi kelangsungan kehidupan yang berkeadaban.
2. Pewarisan nilai antar generasi dan dalam satu generasi merupakan wahana
sosiopsikologis dan selalu menjadi tugas dari proses peradaban.
3. Peranan sekolah sebaagai wahana psikopedagogis dan sosiopedagogik yang
berfungsi sebagai pendidik moral menjadi semakin penting, pada saat dimana hanya
sebagian kecil anak yang mendapat pendidikan moral dari orang tuanya dan peranan
lembaga keagamaan semakin kecil.
4. Dalam setiap masyarakat sebagai terdapat landasan etika umum, yang bersifat
universal melintasi batas ruang dan waktu, sekalipun dalam masyarakat
pluralistik yang mengandung banyak potensi terjadinya konflik nilai.
5. Demokrasi mempunyai kebutuhan khusus akan pendidikan moral karena inti dari
demokrasi adalah pemerintahan yang berakar dari rakyat dilakukan oleh wakil
pembawa amanah rakyat, dan mengusung komitmen mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat.
6. Pertanyaan yang selalu dihadapi baik individu maupun masyarakat adalah
pertanyaan moral.
7. Terdapat dukungan yang mendasar dan luas bagi pendidikan nilai sekolah.
8. Komitmen yang kuat terhadap pendidikan moral sangatlah esensial untuk
menarik dan membina guru-guru yang berkeadaban dan profesional.
9. Pendidikan nilai adalah pekerjaan yang dapat dan harus dilakukan sebagai
suatu keniscayaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta
bermasyarakat global.
Dilihat dari substansi dan prosesnya , menurut Lickona ( 1992 : 53-63 ) yang
perlu dikembangkan dalam rangka pendidikan nilai tersebut adalah nilai karakter
yang baik ( good character ) yang di dalamnya mengandung tiga dimensi nilai
moral yaitu dimensi wawasan moral, dimensi wawasan nilai moral, dimensi perasaan
moral dan dimensi perilaku moral.

Pendidikan nilai moral secara formal – kurikuler terdapat dalam mata pelajaran
PPKn (Kurikulum 1994) atau PKn (UU RI No.20 Thn.2003) dan Pendidikan Agama dan
Bahasa. Pkn mengandung unsur pokok sebagai pendidikan nilai moral-sosial/etis,
Pend.Agama mengandung nilai religius, dan Bahasa mengandung nilai estetis dan
etis.

Dari kajian dan bahasan terhadap konsep , isi dan strategi pendidikan nilai
di dunia Barat yang lebih cenderung bersifat bersifat sekuler dan berpijak
serta bermuara pada pengembangan moral kognitif , kiranya terdapat beberapa hal
yang dapat bisa diaptasikan bagi kepentingan pendidikan nilai di Indonesia
dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

Secara konstitusional demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang Theistis atau


demokrasi yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pendidikan
nilai bagi Indonesia seyogyanya berpijak pada nilai – nilai keagamaan , nilai
– nilai demokrasi yang ber Bhinneka Tunggal Ika . Dalam konteks itu maka
teori perkembangan moral dari Piaget dan Kohlberg yang dapat diadaptasikan
adalah terhadap nilai moral sosial- kultural selain nilai yang berkenaan atau
boleh dirasionalkan.

Konsep pendidikan nilai moral Piaget yang menitikberatkan pada pengembangan


kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah moral dalam kehidupan
dapat diadaptasikan dalam pendidikan nilai di Indonesia dalam konteks
demokrasi konstitusional Indonesia dan konteks sosial- kultural masyarakat
Indonesia yang ber Bhinneka Tunggal Ika termasuk dalam keyakinan agama.

Konsepsi pendidikan nilai moral Kholberg yang menitikberatkan pada penalaran


moral melalui pendekatan klarifikasi nilai yang memberikan kebebasan kepada
individu peserta didik untuk memilih posisi moral, dapat digunakan dalam
konteks pembahasan nilai selain aqidah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Sedangkan teori tingkatan dan tahapan perkembangan moral Kohlberg secara
konseptual dapat digunakan sebagai salah satu landasan bagi pengembangan
paradigma penelitian perkembangan moral bagi orang Indonesia.

Kerangka konseptual komponen Good Character dari Lickona yang membagi


karakter menjadi wawasan moral, perasaan moral , dan perilaku moral dapat dipakai
untuk mengklasifikasikan nilai moral dalam pendidikan nilai di Indonesia dengan
menambahkan ke dalam masing-masing dimensi itu aspek nilai yang berkenaan
dengan konteks keagamaan seperti wawasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
dimensi Wawasan Moral , perasaan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
dimensi Perasaan Moral, dan perilaku moral kekhalifahan dalam dimensi
Perilaku Moral.
KEGIATAN BELAJAR 2
Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn di SD

Muatan isi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memfokuskan pada


pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamankan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Secara umum PKn diSD bertujuan untuk mengembangkan kemampuan:


1. Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokrasi untuk membentuk diri berdasarkan
karakterkarakter masyarakat Indoensia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lainnya;
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam persatuan dunia secara langsung
atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Struktur kurikulum di SD meliputi susbtansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu


jenjang pendidikan selama enam tahun mulai kelas 1 sampai dengan Kelas VI.
Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan
standar kompetensi mata pelajaran.

Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar dan menengah, menurut


Permendiknas No.22 Tahun 2006 secara umum meliputi substansi kurikuler yang
didalamnya mengandung nilai dan moral sebagai berikut :

1. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi; Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta
Lingkungan, kebanggaan, sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara,
Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan.

2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi; Tata tertib dalam kehidupan keluarga,
Tata tertib disekolah, norma yang berlaku dimasyarakat, Peraturan-peraturan
daerah, norma-norma dalam dalam kehidupan berbangsa, sistem hukum dan peradilan
nasional, Hukum dan peradilan internasional.

3. Hak asasi manusia meliputi; hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota
masyarakat, instrumen nasional dan internasional Ham, Pemajuan, penghormatan dan
perlindungan HAM.

4. Kebutuhan warga negara meliputi; hidup gotong royong, harga diri sebagai warga
masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat,
menghargai keputusan bersama, prestasi kedudukan warga negara,.

5. Konstitusi Negara meliputi; Proklamasi Kemerdekaan dan konstitusi yang


pertama, konstitusikonstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan agar
negara dengan konstitusi.

6. Kekuasaan dan Politik meliputi; Pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan


daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya
politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan pers
dalam masyarakat demokrasi.
7. Pancasila meliputi; kedudukan Pancasila sebagai dasaar negara dan ideologi
negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan seharihari Pancasila sebagai ideologi terbuka.

8. Globalisasi meliputi; globalisasi di lingkungannya, poloitik luar negeri


Indonesia di era globalisasi dampak globalisasi, hubungan internasional dan
organisasi internasional, dan mengevaluasi globaalisasi.

KEGIATAN BELAJAR 3
Hubungan Interaktif Pengembangan Nilai dan Moral dalam PKn di SD

Konsep “values eduation, moral education, education for vitues” sebagai program
dan proses pendidikan yang tujuannya selain mengembangkan pikiran, juga
mengembangkan nilai dan sikap.

Lickona (1992:6-7) “pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi


pekembangan dan berhasilnya kehidupan demokrasi” Yakni: Menghormati hak orang
lain Mematuhi hukum yang belaku, Partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan
Peduli terhadap perlunya kebaikan bagi umat
Secara teoritik nilai dan moral berkembang secara psikologis dalam diri individu
mengikuti perkembangan usia dan konteks social. Piaget merumuskan perkembangan
kesadaran dan pelaksanaan aturan yang dibagi menjadi dua domain yaitu sebagai
berikut :

1. Tahapan Domain Kesadaran Mengenai Aturan Terdiri dari usia, 0-2 tahun, aturan
dirasakan sebagai susatu hal yang bersifa tidak memaksa, usia 2-8 tahun, aturan
disikapi dengan hal yang bersifat sacral dan diterima tanpa pemikiran, usia 8-12
tahun aturan diterima sebagai hasil kesepakatan.

2. Tahapan Domain Pelaksanaan Aturan Terdiri dari usia, 0-2 tahun, aturan
dilakukan sebagai susatu hal yang bersifa monorik saja, usia 2-6 tahun, aturan
dilakukan sebagai perilaku yang lebih berorientasi diri sendiri, usia 6-10 tahun
diterima sebagai hasil kesepakatan.

Piaget menyimpulkan bahwa pendidikan sekolah seyogyanya menitik beratkan pada


pengembangan kemampuan mengambil keputusan (decision making skills) dan
memecahkan masalah (problem solving) dan membina pengembangan moral yang
dilakukan dengan cara menutut peserta didik untuk mengembangkan aturan
berdasarkan keadilan (fairness).

Sedangkan Koherlberg merumuskan adanya tiga tingkat / level yang terdiri atas
enam tahap/stage yaitu sebagai berikut : 1. Tingkat I : Prakonvensional
(Preconventional) a. Tahap 1, Orientasi hukuman dan kepatuhan. b. Tahap 2,
Orientasi instrumental nisbi. 2. Tingkat II : Konvensioanal (Conventional) a.
Tahap 3, Orientasi kesepakatan timbal balik. b. Tahap 4, Orientasi hokum dan
ketertiban. 3. Tingkat III : Poskonvensional (Postconventional) a. Tahap 5,
Orientasi kontrak social lagalistik b. Tahap 6, Orientasi prinsip etika universal

Dengan kata lain pendekatan pendidikan nilai yang ditawarkan Kohlberg sama dengan
yang ditawarkan Piaget dalam hal fokusnya terhadap perilaku moral yang dilandasi
oleh penalaran moral, namun berbeda dalam hal titik berat pembelaarannya dimana
Piaget menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan
memecahkan masalah, sedangkan Kohlberg menitikberatkan pada pemilihan nilai yang
dipegang terkait dengan alternative pemecahan terhadap suatu dilemma moral
melalui proses klarifikasi bernalar.

Anda mungkin juga menyukai