0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
183 tayangan4 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang pendidikan nilai dan moral dalam standar isi PKN di SD. Tujuannya agar peserta didik dapat berpikir secara kritis, partisipatif, dan berinteraksi dengan bangsa lain. Dokumen ini juga menjelaskan struktur kurikulum SD yang mencakup pendidikan agama, PKN, dan seni budaya. Pendidikan nilai dalam PKN mencakup peraturan, hukum, HAM, konstitusi, dan Pancasila. Teori
Deskripsi Asli:
Judul Asli
Rangkuman pendidikan PKN di SD Modul 2 KB 2 & 3
Dokumen tersebut membahas tentang pendidikan nilai dan moral dalam standar isi PKN di SD. Tujuannya agar peserta didik dapat berpikir secara kritis, partisipatif, dan berinteraksi dengan bangsa lain. Dokumen ini juga menjelaskan struktur kurikulum SD yang mencakup pendidikan agama, PKN, dan seni budaya. Pendidikan nilai dalam PKN mencakup peraturan, hukum, HAM, konstitusi, dan Pancasila. Teori
Dokumen tersebut membahas tentang pendidikan nilai dan moral dalam standar isi PKN di SD. Tujuannya agar peserta didik dapat berpikir secara kritis, partisipatif, dan berinteraksi dengan bangsa lain. Dokumen ini juga menjelaskan struktur kurikulum SD yang mencakup pendidikan agama, PKN, dan seni budaya. Pendidikan nilai dalam PKN mencakup peraturan, hukum, HAM, konstitusi, dan Pancasila. Teori
KEGIATAN BELAJAR 2 : PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL DALAM STANDAR ISI PKN DI SD
PKn bertujuan “ agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut “
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan 2. Partisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi. 3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter- karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya. 4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Berpikir kritis adalah proses psikologis untuk memberikan penilaian terhadap suatu objek atau fenomena dengan informasi yang akurat dan otentik. Berpikir rasional, adalah proses psikologis untuk memahami sesuatu objek dengan logika. Berpikir kreatif adalah proses psikologis untuk menghasilkan suatu cara atau proses baru yang lebih berkualitas atas dasar pemikiran terbaik. Tabel 2. 1 Struktur Kurikulum SD/MI
Kelas dan Alokasi Waktu
Komponen I II III IV, V dan VI A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 3 2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 3. Bahasa Indonesia 5 4. Matematika 5 5. Ilmu Pengetahuan Alam 4 6. Ilmu Pengetahuan Sosial 3 7. Seni Budaya dan Keterlampilan 4 8. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan kesehatan 4 B. Muatan Lokal 2 C. Pengembangan Diri 2*) JUMLAH 26 27 28 32 *) Ekuivalen 2 jam pembelajaran Menurut Pemendiknas No. 22 Tahun 2006 secara umum meliputi substansi kurikuler yang ada di dalamnya mengandung nilai dan moral sebagai berikut. 1. Peraturan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan. 2. Norma, hukum dan peratura, meliputi tata bertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma- norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan sosial. 3. Hak asasi manusia, meliputi Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM 4. Kebutuhan warga negara, meliputi hidup gotong-royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara 5. Konstitusi Negara, meliputi Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi 6. Kekuasaan dan Politik, meliputi Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi – Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya potitik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pres dalam masyarakat demokrasi 7. Pancasila, meliputi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka. 8. Globalisasi, meliputi Globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisassi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.
KEGIATAN BELAJAR 3 : HUBUNGAN INTERAKTIF PENGEMBANGAN NILAI DAN MORAL DALAM
PKN Konsep-konsep “vales education, moral education, education for virtues” yang secara teoritik, oleh Lickona (1992) diperkenalkan sebagai program dan proses pendidikan yang tujuannya selain mengembangkan pikiran, atau menurut Bloom untuk mengembangkan nilai dan sikap. Bill Honing (Superintendent of Publiv Instruction, California) memberi landasan pentingnya pendidikan nilai di Amerika. Roosevelet, mengatakan bahwa “Mendidik orang, hanya tertuju pada pikirannya dan bukan moralnya, sama dengan mendidikkan keburukan kepada masyarakat”. Pendidikan nilai moral tujuannya adalah agar peserta didik menjadi melek etika, dan mampu berperilaku baik di dalam masyarakat. Sebagai paradigma kehidupan di dunia Barat, berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi perkembangan dan berhasilnya kehidupan demokrasi. Setiap individu warga negara seyogianya mengerti dan memiliki komitmen terhadap fondasi moral demokrasi yakni menghormati hak orang lain, mematuhi hukum yang berlaku, partisipasi dalam kehidupan masyarakat, dan peduli terhadap perlunya kebaikan bagi umum. Dengan kata lain pendidikan nilai dalam dunia barat adalah pendidikan nilai yang bertolak dari dan bermuara pada nilai-nilai sosial-kurtual demokrasi. Pendidikan nilai di dunia Barat secara konseptual berlandaskan pada teori perkembangan moral Piaget dan Kohlberg. Jean Piaget pada masa hidupnya pernah menjadi Wakil Direktur “Institute of Educational Science” dan sebagai Guru Besar (Profesor) Psikologi Eksperimental pada University of Geneva. Ia dengan tekun melakukan penilitan mengenal perkembangan struktur kognitif (cognitive structure) anak dan kajian moral (moral judgement) anak selama 40 tahunan. Pada tingkatan heteronomy segala aturan oleh anak dipandang sebagai hal yang datang dari luar jadi bersifat eksternal dan dianggap sakral karena aturan itu merupakan hasil pemikiran orang dewasa. Sifat heteronomy anak disebabkan oleh faktor kematangan struktur kognitif yang ditandai sifat egosentisme dan hubungan interaktif dengan orang dewasa di mana anak merasa masih kurang berkuasa dibanding orang dewasa. Sedang sifat autonomi dipengaruhi oleh kematangan strukur kognitif yang ditandai oleh kemampuan mengkaji aturan secara kritis dan menerapkannya secara slektif yang muncul dari sikap resiprositas dan kerjasama. Bagaimana nilai moral berkembang dalam diri individu? Dalam kaitannya dengan usia, Piaget merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan sebagai berikut. Piaget membagi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran mengenai aturan dan pelaksanaan aturan. Pendidikan sekolah seyogianya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan (decision making skills) dan memecahkan masalah (problem solving) dan membina perkembangan moal dengan cara menuntut para peserta didik untuk mengembangkan aturan berdasarkan keadilan/kepatuhan (fairness). Di lain pihak, Lawrence Kohlberg, Profesor pada Harvard University, USA, sejak tahun 1969 selama 18 tahun ia mengadakan penelitian tentang perkembangan moral berlandaskan teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengajukan postulat atau anggapan dasar bahwa anak membangun cara berpikir melalaui pengalaman termasuk pengertian konesp moral seperti keadilan, hak, persamaa, dan kesejahteraan manusia. Penelitian yang dilakukannya memusatkan perhatian pada kelompok usia diatas usia yang diteliti oleh Piaget. Dari penelitiannya itu Kohlberg merumuskan adanya tiga tingkat (level) yang terdiri atas enam tahap perkembangan moral seperti berikut. 1. Tingkat I: Prakonvensional (Preconventional) a. Tahap 1: Orientasi hukum dan kepatuhan. Ciri moralita pada tahap ini adalah apapun yang pada akhirnya mendapat pujian atau dihadiahi adalah baik, dan apapun yang pada akhirnya dikenai hukuman adalah buruk. b. Tahap 2: Orientasi instrumental nisbi. Ciri moralita pada tahap ini adalah seseorang berbuat baik apabila orang lain berbuat baik padanya, dan baik itu adalah sesuatu bila satu sama lain berbuat hal yang sama. 2. Tingkat II: Konvensional (Conventional) a. Tahap 3: Orientasi kesepakatan timbal balik. Ciri utama moralita pada tahap ini adalah bahwa sesuatu hal dipandang baik dengan pertimbangan untuk memenuhi anggapan orang lain baik atau baik karena memang disepakati b. Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban. Ciri utama moralitas pada tahap ini adalah bahwa sesuatu hal yang baik itu adalah yang diatur oleh hukum dalam masyarakat dan dikerjakan sebagai pemenuhan kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut.
3. Tingkat III: Poskonvensinal (Postconventional)
a. Tahap 5: Orientasi kontak sosial legalistik. Ciri utama moralitas adalah bahwa sesuatu dinilai baik bila sesuatu dengan kesepakatan umum dan diterima oleh masyrakat sebagai kebenaran konsestual. b. Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. Ciri utama moralita pada tahap ini bahwa suatu dianggap baik bila telah menjadi prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan dijabarkan. Dengan teorinya itu Kohlberg (SMDE-Website, 2002) melalui pendidikan nilai/karakter tradisional yang berpijak pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebijakan/keadaban (bag of virtues) seperti kejujuran, budi baik, kesabaran, ketegaran yang menjadi landasan perilaku moral. Untuk mengatasi hal tersebut Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klarifikasi nilai (value clarification approach). Pendekatan pendidikan nilai yang ditawarkan oleh Kohlberg sama dengan yang ditawarkan Piaget dalam hal fokusnya terhadap prilaku moral yang dilandasi ileh penalaran moral, namun berbeda dalam hal titik berat pembelajarannya di mana Piaget menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah, sedangkan Kohlberg menitikberatkan pada pemilihan nilai yang dipegang terkait dengan alternatif pemecahan terhadap suatu dilemma moral melalui proses klarifikasi bernalar.