1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat dan
Karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok
untuk mata kuliah “konseling multikultutal” dengan tema “Analisis Perilaku Dalam
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata
kuliah konseling multikultutal Ibu Eva Kartika Wulan Sari, S.Pd. M. Pd. yang telah
membimbing dan memberi support terhadap kami. Kami juga mengucapkan terimakasih
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari
sempurna, dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Kami
mengharapkan segala bentuk saran ataupun kritikan yang membangun dari semua pihak untuk
Penulis
2
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
A. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konseling lintasbudaya
B. Untukmengetahui bagaimana pendeketan konseling lintas budaya
C. Untuk mengetahui bagaimana keterampilan dan periaku konseling lintas budaya
D. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh budaya pada perilaku
E. Untuk mengetahui bagaimana model konseing lintas budaya
4
BAB II
PEMBAHASAN
Konseling lintas budaya adalah proses bantuan yang diberikan oleh seorang konselor kepada
individu atau kelompok yang berasal dari budaya yang berbeda. Tujuan dari konseling lintas
budaya adalah untuk membantu individu atau kelompok tersebut mengatasi masalah atau
kesulitan yang mereka hadapi, dengan mempertimbangkan perbedaan budaya yang ada.
Dalam konseling lintas budaya, konselor harus memahami dan menghargai perbedaan budaya
yang ada, termasuk nilai-nilai, norma, keyakinan, dan praktik-praktik yang berbeda. Konselor
juga harus memiliki pengetahuan tentang budaya klien dan mampu beradaptasi dengan cara
yang sesuai.
Konsekuensinya adalah konselor harus mengetahui aspek-aspek khusus budaya dalam proses
konseling dan dalam gaya konseling tertentu mereka, sehingga mereka dapat menanganinya
secara lebih terampil dengan variabel budaya itu (Jumarin, 2002: 29-30).Konseling lintas
budaya dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa
antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar.
Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilainilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.
perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda.
Konseling lintas budaya dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling
kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien
yang berasal dari Ambon (Sulistyarini & Jauhar, 2014: 273).
Prayitno dan Erman Amti (1999: 175-176) dengan mengutip hipotesis Pedersen dkk.
menjelaskan bahwa dalam konseling lintas budaya harus memperhatikan berbagai aspek dan
seluk beluknya, yaitu:
1. Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling lintas budaya yang pada diri
klien dan konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.
5
2. Makin besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, dan
berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, makin
besar kemungkinan konseling itu akan berhasil.
3. Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien
menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkah laku dalam konseling lintas
budaya, makin efektiflah konseling dengan klien tersebut.
4. Makin bersifat personal dan penuh dengan nuansa emosional suasana konseling lintas
budaya, makin mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan
bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam
budayanya.
5. Keefektifan konseling lintas budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap
proses komunikasi pada umumnya (baik verbal maupun non-verbal), dan terhadap gaya
komunikasi dalam budaya klien.
6. Latar belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalahan hidup
sehari-hari yang relevan dengan budaya tertentu, akan meningkatkan keefektifan
konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tersebut.
7. Makin klien lintas budaya kurang memahami proses konseling, makin perlu konselor
atau program konseling lintas budaya memberikan pengarahan/pengajaran/latihan
kepada klien itu tentang keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan
transfer (mempergunakan keterampilan tertentu pada situasi-situasi yang berbeda).
8. Keefektifan konseling lintas budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman (klien
dan konselor) tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya
dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.
Supriatna, M. (2009). Terdapat tiga pendekatan utama dalam konseling lintas budaya. Pertama,
pendekatan universal atau etik menitikberatkan pada inklusivitas, komunalitas, dan
universalitas kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususan budaya)
menekankan karakteristik khas dari populasi tertentu dan kebutuhan khusus konseling mereka.
Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal melalui karya Ardenne dan
Mahtani’s (1989) berjudul "Transcultural Counseling in Action," menggunakan istilah "trans"
untuk menyoroti bahwa keterlibatan dalam konseling adalah proses aktif dan resiprokal.
6
Meskipun pandangan Fukuyama (1990), yang bersifat universal, menegaskan bahwa
pendekatan inklusif juga disebut konseling "transcultural" yang menggunakan pendekatan
emik. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa literaturnya membahas karakteristik-karakteristik,
nilai-nilai, dan teknik-teknik yang diperlukan untuk bekerja dengan populasi spesifik yang
memiliki perbedaan budaya dominan. Dengan demikian, meskipun ada perbedaan perspektif,
keseluruhan pendekatan tetap mengakui pentingnya keterlibatan aktif dan saling pengertian
dalam konteks konseling lintas budaya.
Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami
masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa
konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
7
B. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum
konseling dan terapi.
C. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
D. Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
E. Memiliksi keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
F. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat
mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.
2. Perilaku Konselor
Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat
mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor
lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor
perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view
klien. prilaku konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-
perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses
konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai
agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut
untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki prilaku atau
kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal
tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila
kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu
masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi
kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai
kebudayaan tersebut.
Budaya adalah sebuah ciri atau identititas dari sekumpulan orang yang mendiami wilayah
tertentu. Budaya ini timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat secara berulang –
ulang sehingga membentuk suatu kebiasaan yang pada akhirnya menjadi sebuah budaya dari
8
masyrakat itu sendiri. Budaya yang telah terbentuk itu akan masuk dan mengakar di dalam
kehidupan manusia, sehingga tanpa kita sadari budaya ini telah mempengaruhi kehidupan
manusia. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan mempengaruhi
manusia dalam berperilaku. Manusia akan didekte oleh budaya dalam hal berperilaku baik
perilaku baik maupun buruk. Banyak sekali perilaku – perilaku manusia yang dipengaruhi oleh
budaya. Di bawah ini adalah sebagian perilaku – perilaku manusia yang dipengeruhi oleh
budaya.
9
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya mempengaruhi kehidupan
manusia, dalam bersosialisasi, menciptakan masayarakat konsumtif, dan masyarakat modern.
Oleh karena itu, budaya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena budaya akan
selalu berkembang, maka perilaku manusia akan berkembang pula.
Model konseling antar budaya Palmer dan Laungani (2008: 97-109) mengemukakan tiga
model konseling antar budaya, yaitu :
10
d. Pengalaman dan hadiah individu dan keluarga.
Menurut Jones (Palmer dan Laungani, 2008), sebenarnya sangat sulit untuk membedakan
dampak dari semua kategori variabel tersebut satu sama lain, dan menurutnya, kunci
keberhasilan konseling adalah penilaian yang tepat terhadap pengalaman budaya
tradisional sebagai sebuah sumber. . Kebudayaan tradisional mencakup semua pengalaman
yang berkontribusi terhadap perkembangan individu, disadari atau tidak. Ketidaksadaran
mencakup apa yang disebut Jung (1972) sebagai ketidaksadaran kolektif, yaitu nilai-nilai
budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, kekuatan model
konseling ini adalah kemampuannya dalam menilai nilai-nilai budaya tradisional individu
berdasarkan berbagai variabel di atas.
11
d. Body function beliefs
Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna Sosial
dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupansehari-hari,Muncul
intrapsikis yang efektif pada diri konseli
e. Health practice efficacy beliefs
Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah denganpengarahan atas
keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.
12
BAB 3
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Pengantar konseling lintas budaya yakni menatap masa depan adalah untuk terus belajar
tentang bagaimana budaya mempengaruhi prilaku manusia. Ketika berinteraksi dengan orang
dari budaya lain diseluruh dunia, baik saat kita berpergian atau sebaliknya, kita menghadapi
berbagai cara budaya mewujudkan dirinya melalui prilaku.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap
adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu
dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus
sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling
13
Daftar Pustaka
Supriatna, M. (2009). Bimbingan dan konseling lintas budaya. Materi PLPG PPB, FIP, UPI.
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society. London
Sage Publisher
14