Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“ANALISIS PERILAKU DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA ”

Dosen Pengampu : Ibu Eva Kartika Wulan Sari, S.Pd. M. Pd.

Disusun Oleh kelompok 7:

Renha Rosari : 210401010031

Alfianiati Sriyono : 210401010042

Adrianus Wopa Sil : 210401010019

Benedikto Renaldy Purna Tutu : 210401010016

Gregorius Lareboleng Makin : 210401010003

Yuris Jatra S : 200401010012

Alfin Zawawi : 200401010004

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI KANJURUHAN MALANg
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat dan

Karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok

untuk mata kuliah “konseling multikultutal” dengan tema “Analisis Perilaku Dalam

Konseling Lintas Budaya.”

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata

kuliah konseling multikultutal Ibu Eva Kartika Wulan Sari, S.Pd. M. Pd. yang telah

membimbing dan memberi support terhadap kami. Kami juga mengucapkan terimakasih

kepadateman-teman yang telah membantu menyusun makalah ini hingga selesai.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari

sempurna, dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Kami

mengharapkan segala bentuk saran ataupun kritikan yang membangun dari semua pihak untuk

menyempurnakan penyusunan makalah ini selanjutnya.

Malang, 15 November 2023

Penulis

2
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang. ............................................................................................................

1.2. Rumusan Masalah. .......................................................................................................

1.3. Tujuan. .........................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konseling Lintas Budaya. ...........................................................................

2.2 Pendekatan Konseling Lintas Budaya. .........................................................................

2.3 Keterampilan dan Prilaku Konselor Lintas Budaya......................................................

2.4 Pengaruh Budaya Terhadap Prilaku. .............................................................................

2.5 Model Konseling Antar Budaya....................................................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan. .................................................................................................................

Daftar Pustaka. ....................................................................................................................

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Triningtyas, D. A. (2019) budaya merujuk pada sistem nilai, norma, kepercayaan, adat
istiadat, bahasa, dan berbagai unsur lainnya yang digunakan dan diwariskan oleh suatu
kelompok atau masyarakat tertentu dari generasi ke generasi. Budaya mencakup cara orang
berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor seperti
agama, sejarah, seni, politik, ekonomi, dan teknologi juga turut membentuk dan
memengaruhi perkembangan budaya suatu kelompok. Budaya bukan hanya terbatas pada
tingkat nasional, tetapi juga dapat bersifat subkelompok, etnis, atau kelompok sosial
tertentu. Ini mencakup aspek-aspek seperti kesenian, musik, gaya hidup, sistem nilai
moral, dan banyak lagi.
Supriatna, M. (2009 ) konseling lintas budaya merupakan hubungan antara konseling
dengan berbagai peserta didik dari berbagai budaya, hubungan konseling yang melibatkan
konselor dan konseli dari latar belakang ras dan etnik yang mungkin sama, namun namun
mengalami perbedaan budaya karena faktor-faktor seperti jenis kelamin, orientasi seksual,
kondisi sosio-ekonomi, dan usia.

1.2. Rumusan Masalah


A. Apa yang dimaksud dengan Konseling Lintas Budaya ?
B. Bagaimana pendekata Konseling Lintas Budaya ?
C. Bagaimana ketrampilan dan perilaku Konseling Lintas Budaya ?
D. Bagaimana pengaruh buaya pada perilaku ?
E. Bagaimana model konseling lintas budaya ?

1.3. Tujuan
A. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konseling lintasbudaya
B. Untukmengetahui bagaimana pendeketan konseling lintas budaya
C. Untuk mengetahui bagaimana keterampilan dan periaku konseling lintas budaya
D. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh budaya pada perilaku
E. Untuk mengetahui bagaimana model konseing lintas budaya

4
BAB II

PEMBAHASAN

ANALISIS PERILAKU DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

2.1 Pengertian Konseling Lintas Budaya

Konseling lintas budaya adalah proses bantuan yang diberikan oleh seorang konselor kepada
individu atau kelompok yang berasal dari budaya yang berbeda. Tujuan dari konseling lintas
budaya adalah untuk membantu individu atau kelompok tersebut mengatasi masalah atau
kesulitan yang mereka hadapi, dengan mempertimbangkan perbedaan budaya yang ada.

Dalam konseling lintas budaya, konselor harus memahami dan menghargai perbedaan budaya
yang ada, termasuk nilai-nilai, norma, keyakinan, dan praktik-praktik yang berbeda. Konselor
juga harus memiliki pengetahuan tentang budaya klien dan mampu beradaptasi dengan cara
yang sesuai.

Konsekuensinya adalah konselor harus mengetahui aspek-aspek khusus budaya dalam proses
konseling dan dalam gaya konseling tertentu mereka, sehingga mereka dapat menanganinya
secara lebih terampil dengan variabel budaya itu (Jumarin, 2002: 29-30).Konseling lintas
budaya dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa
antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar.
Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilainilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.
perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda.
Konseling lintas budaya dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling
kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien
yang berasal dari Ambon (Sulistyarini & Jauhar, 2014: 273).

Prayitno dan Erman Amti (1999: 175-176) dengan mengutip hipotesis Pedersen dkk.
menjelaskan bahwa dalam konseling lintas budaya harus memperhatikan berbagai aspek dan
seluk beluknya, yaitu:

1. Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling lintas budaya yang pada diri
klien dan konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.

5
2. Makin besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, dan
berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, makin
besar kemungkinan konseling itu akan berhasil.
3. Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien
menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkah laku dalam konseling lintas
budaya, makin efektiflah konseling dengan klien tersebut.
4. Makin bersifat personal dan penuh dengan nuansa emosional suasana konseling lintas
budaya, makin mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan
bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam
budayanya.
5. Keefektifan konseling lintas budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap
proses komunikasi pada umumnya (baik verbal maupun non-verbal), dan terhadap gaya
komunikasi dalam budaya klien.
6. Latar belakang dan latihan khusus, serta pemahaman terhadap permasalahan hidup
sehari-hari yang relevan dengan budaya tertentu, akan meningkatkan keefektifan
konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tersebut.
7. Makin klien lintas budaya kurang memahami proses konseling, makin perlu konselor
atau program konseling lintas budaya memberikan pengarahan/pengajaran/latihan
kepada klien itu tentang keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan
transfer (mempergunakan keterampilan tertentu pada situasi-situasi yang berbeda).
8. Keefektifan konseling lintas budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman (klien
dan konselor) tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya
dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.

2.2 Pendekatan Konseling Lintas Budaya

Supriatna, M. (2009). Terdapat tiga pendekatan utama dalam konseling lintas budaya. Pertama,
pendekatan universal atau etik menitikberatkan pada inklusivitas, komunalitas, dan
universalitas kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususan budaya)
menekankan karakteristik khas dari populasi tertentu dan kebutuhan khusus konseling mereka.
Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal melalui karya Ardenne dan
Mahtani’s (1989) berjudul "Transcultural Counseling in Action," menggunakan istilah "trans"
untuk menyoroti bahwa keterlibatan dalam konseling adalah proses aktif dan resiprokal.

6
Meskipun pandangan Fukuyama (1990), yang bersifat universal, menegaskan bahwa
pendekatan inklusif juga disebut konseling "transcultural" yang menggunakan pendekatan
emik. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa literaturnya membahas karakteristik-karakteristik,
nilai-nilai, dan teknik-teknik yang diperlukan untuk bekerja dengan populasi spesifik yang
memiliki perbedaan budaya dominan. Dengan demikian, meskipun ada perbedaan perspektif,
keseluruhan pendekatan tetap mengakui pentingnya keterlibatan aktif dan saling pengertian
dalam konteks konseling lintas budaya.

Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut :

1. Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan


konseling yang digunakannya.
2. Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan
konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas
budaya.

Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:

1. Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk


kepentingan konseling
2. Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain
3. Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome
konseling.

2.3 Keterampilan dan Prilaku Konselor Lintas Budaya

1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami
masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa
konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

A. Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi


Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok
berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.

7
B. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum
konseling dan terapi.
C. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
D. Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
E. Memiliksi keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
F. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat
mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Perilaku Konselor

Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat
mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor
lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor
perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view
klien. prilaku konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-
perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses
konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai
agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut
untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:

a. Dimensi keyakinan dan sikap


b.Dimensi pengetahuan
c. Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu

Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki prilaku atau
kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal
tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila
kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu
masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi
kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai
kebudayaan tersebut.

2.4 Pengaruh Budaya Terhadap Prilaku

Budaya adalah sebuah ciri atau identititas dari sekumpulan orang yang mendiami wilayah
tertentu. Budaya ini timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat secara berulang –
ulang sehingga membentuk suatu kebiasaan yang pada akhirnya menjadi sebuah budaya dari

8
masyrakat itu sendiri. Budaya yang telah terbentuk itu akan masuk dan mengakar di dalam
kehidupan manusia, sehingga tanpa kita sadari budaya ini telah mempengaruhi kehidupan
manusia. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan mempengaruhi
manusia dalam berperilaku. Manusia akan didekte oleh budaya dalam hal berperilaku baik
perilaku baik maupun buruk. Banyak sekali perilaku – perilaku manusia yang dipengaruhi oleh
budaya. Di bawah ini adalah sebagian perilaku – perilaku manusia yang dipengeruhi oleh
budaya.

1. budaya mempengaruhi perilaku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.


Kebiasaan – kebiasaan manusia dalam berinteraksi dengan orang lain telah merubah
perilaku manusia ketika bersosialisasi. Saat ini kita telah hidup di jaman yang serba
canggih. Semua aspek di kehidupan ini telah disentuh oleh tehnologi, salah satunya
adalah aspek komunikasi dengan hand phone sebagai produknya. Hal ini membuat
manusia terbisa menggunakan hand phone untuk berkomunikasi, sehingga terbentuklah
budaya media sosial. Manusia kini lebih memilih bersosialisai melalui media – media
sosial seperti facebook, twitter, My Space, dan lain – lain. Akibatnya, mereka menjadi
pasif terhadap lingkungan sekitarnya.
2. Budaya mempengaruhi manusia mengambil keputusan dalam perilaku konsumsi.
Berkembangnya industri akibat tehnologi membuat perusahaan memproduksi barang –
barangnya secara massal dan relative murah. Hal ini juga turut mempengaruhi
perubahan kebudayaan manusia yang pada awalnya merupakan masyarakat agraris
secara bertahap berubah menjadi masyarakat perkotaan. Akibatnya, terciptalah tata
nilai baru dan pola hidup yang baru akibat dari budaya manusia yang telah menjadi
masyarakat perkotaan. Hal ini menyebabkan kebutuhan hidup mereka menjadi semakin
banyak, sehingga membuat mereka terus menerus membeli produk untuk memuaskan
kebutuhan budaya baru tersebut. Pada akhirnya terbentuklah masayarakat konsumtif,
yaitu masyarakt yang selalu mengkonsumsi barang maupun jasa.
3. budaya mempengaruhi tatanan kehidupan bermasyarakat. Tehnologi yang semakin
berkembang ini mempengaruhi tatanan hidup manusia. Manusia terbiasa menggunkan
tehnologi - tehnologi canggih yang telah diciptakan. Akibatnya, budaya manusia yang
dahulunya hidup dengan sederhana, kini berubah menjadi sangat canggih. Perubahan
budaya ini menciptakan masyarakat modern, yaitu masyarakat yang hidup dengan
dikelilingi oleh tekhnologi – teknologi canggih.

9
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya mempengaruhi kehidupan
manusia, dalam bersosialisasi, menciptakan masayarakat konsumtif, dan masyarakat modern.
Oleh karena itu, budaya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena budaya akan
selalu berkembang, maka perilaku manusia akan berkembang pula.

2.5 Model Konseling Antar Budaya

Model konseling antar budaya Palmer dan Laungani (2008: 97-109) mengemukakan tiga
model konseling antar budaya, yaitu :

1. Model yang berpusat pada budaya


Palmer dan Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya Barat menekankan
individualisme, kognitivisme, kebebasan, dan materialisme, sedangkan budaya Timur
menekankan komunisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-
konsep ini merupakan sebuah kontinum, bukan dikotomi. Usulan model culture
centered ini didasarkan pada kerangka korespondensi budaya antara mentor dan
mentee. Hal ini diyakini sering terjadi ketidaksesuaian antara asumsi tentang budaya
mentor dan kelompok mentoring, bahkan dalam budaya mereka sendiri.
Klien tidak memahami keyakinan budaya inti konselor, dan konselor tidak memahami
keyakinan budaya klien. Atau tidak ada yang bisa memahami atau ingin berbagi
keyakinan budaya mereka. Oleh karena itu, dalam model ini budaya menjadi pusat
perhatian. Artinya fokus. Yang terpenting dalam model ini adalah pemahaman yang
benar terhadap nilai-nilai budaya yang sudah menjadi keyakinan dan menjadi pola
perilaku individu. Menemukan dan memahami akar budaya pemandu dan yang
dibimbing sangat penting dalam panduan ini. Hal ini memungkinkan mereka untuk
saling menghargai sehingga memahami identitas dan sudut pandang unik masing-
masing.
2. Model terintegrasi (model terintegrasi)
Berdasarkan eksperimen model dengan orang kulit hitam Amerika, Jones (Palmer dan
Laungani, 2008) merumuskan empat kategori variabel sebagai pedoman konseptual
model konseling terintegrasi, yaitu sebagai berikut:
a. Reaksi terhadap Tekanan Rasial (Reaksi terhadap Penindasan Rasional).
b. Pengaruh budaya mayoritas.
c. Pengaruh budaya tradisional.

10
d. Pengalaman dan hadiah individu dan keluarga.

Menurut Jones (Palmer dan Laungani, 2008), sebenarnya sangat sulit untuk membedakan
dampak dari semua kategori variabel tersebut satu sama lain, dan menurutnya, kunci
keberhasilan konseling adalah penilaian yang tepat terhadap pengalaman budaya
tradisional sebagai sebuah sumber. . Kebudayaan tradisional mencakup semua pengalaman
yang berkontribusi terhadap perkembangan individu, disadari atau tidak. Ketidaksadaran
mencakup apa yang disebut Jung (1972) sebagai ketidaksadaran kolektif, yaitu nilai-nilai
budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, kekuatan model
konseling ini adalah kemampuannya dalam menilai nilai-nilai budaya tradisional individu
berdasarkan berbagai variabel di atas.

3. Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)


Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yangdalam
perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993).Model inimerupakan alat konseling
transkultural yang berorientasi pada paradigmamemfasilitasi dialog terapeutik dan
peningkatan sensitivitas transkultural.Pada model ini menempatkan individu dalam
konsepsi sakit dalam budayadengan sembilan model dimensional sebagai kerangka
pikirnya.
a. Konsepsi sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit apa bila; Melakukan penyimpangan norma-norma
budaya, Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa, Melakukan
pelanggaran hokum, Mengalami masalah interpersonal
b. Causal/healing beliefs
Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling, Mengembangkan
pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli, Menjadikan keyakinan
konseli sebagai hal familiar bagi konselor, Menunjukkan bahwa semua orang
dari berbagai budaya perlu berbagi (share) tentang keyakinan yang sama.
c. Kriteria sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri
dengan alamnya.Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh
dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya, Mampu
menentukan sehat dan sakit, Memahami permasalahan sesuai dengan konteks,
Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal, Menyadari dan
memahami budayanya sendiri.

11
d. Body function beliefs
Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna Sosial
dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupansehari-hari,Muncul
intrapsikis yang efektif pada diri konseli
e. Health practice efficacy beliefs
Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah denganpengarahan atas
keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.

12
BAB 3

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Pengantar konseling lintas budaya yakni menatap masa depan adalah untuk terus belajar
tentang bagaimana budaya mempengaruhi prilaku manusia. Ketika berinteraksi dengan orang
dari budaya lain diseluruh dunia, baik saat kita berpergian atau sebaliknya, kita menghadapi
berbagai cara budaya mewujudkan dirinya melalui prilaku.

Prilaku konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-


perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses
konseling.

Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap
adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu
dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus
sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling

13
Daftar Pustaka

Supriatna, M. (2009). Bimbingan dan konseling lintas budaya. Materi PLPG PPB, FIP, UPI.

Triningtyas, D. A. (2019). Konseling Lintas Budaya. CV. AE MEDIA GRAFIKA.

Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society. London
Sage Publisher

Jumarin, 2002, Dasar-Dasar Konseling Lintas-Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

14

Anda mungkin juga menyukai