Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan Dan Konseling Berbasis
Nilai-Nilai Budaya Sunda
Dosen Pengampu : Rima Irmayanti, M.Pd.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah senantiasa melimpahkan keberkahan
rahmat serta hidayahnya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “ Hakikat Konseling dan Kebudayaan “. Tak lupa shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkah pada nabi besar kita yakni Nabi Muhammad
SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca, agar makalah ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Konseling Berbasis Nilai-Nilai Budaya Sunda yakni Ibu Rima Irmayanti, M. Pd yang
telah memberikan penugasan untuk menyusun makalah ini.
Penyusun,
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................................
C. Tujuan Pembahasan .............................................................................
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................
A. BIMBINGAN DAN KONSELING......................................................
1. Pengertian bimbingan dan konseling...............................................
2. Komponen Bimbingan dan Konseling.............................................
3. Bidang Layanan Bimbingan dan Konseling....................................
B. HAKIKAT KEBUDAYAAN ..............................................................
1. Pengertian Kebudayaan....................................................................
2. Unsur-unsur Kebudayaan.................................................................
3. Pengertian Pendidikan Multikultural (Budaya)...............................
4. Dasar Pendidikan Multikultural.......................................................
5. Keterkaitan Konselor dengan Pendidikan Multikultural (Budaya)..
BAB III PENUTUP .........................................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Bimbingan dan Konseling (BK) Merupakan suatu hubungan profesional
antara konselor dengan konseli yang bertujuan memandirikan konseli. Konselor
sebagai pendidik bidang Bimbingan dan Konseling memiliki standar kualifikasi
akademik dan kompetensi konselor dalam menjalankan tugas profesional. Sosok
utuh kompetensi konselor yang mencakup kompetensi akademik dan profesional
merupakan satu keutuhan dalam menjalankan tugas baik di sekolah maupun di
luar sekolah. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat
pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Menurut Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008, kompetensi akademik
konselor merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yaitu:
memahami secara mendalam konseli yang dilayani, menguasai landasan dan
kerangka teoritik bimbingan dan konseling, menyelenggarakan pelayanan
bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan mengembangkan pribadi dan
profesionalitas konselor secara berkelanjutan. Hal tersebut menjadi landasan yang
penting dalam menjalankan tugas sebagai konselor.
Konselor sebagai tenaga pendidik psikis (psychoeducator) tidak lepas
melakukan interaksi dengan konseli, sehingga memiliki peran strategis dalam
menghadapi keragaman dan perbedaan yang ada termasuk perbedaan budaya.
Keragaman budaya (multikultural) merupakan peristiwa alami karena bertemunya
berbagai budaya, interaksi yang beragam antara individu dan kelompok dengan
membawa perilaku budaya dan memiliki cara hidup yang berlainan dan spesifik.
Keragaman budaya konseli seperti berbeda budaya, latar belakang keluarga,
agama dan etnis tersebut saling berinteraksi dalam komunitas sekolah dan hal
tersebut memerlukan pemahaman budaya. Jadi dibutuhkan kompetensi
multibudaya dalam keragaman yang ada.
Berbekal kompetensi dan penguasaan ragam bentuk intervensi psikologis
baik antar pribadi maupun intra pribadi dalam lintas budaya, maka konselor
diharapkan memiliki kecerdasan budaya. Hal tersebut diharapkan mampu
mencegah timbulnya konflik, perseteruan dan kecurigaan satu sama lain yang
seharusnya konselor mampu menghormati, saling peduli dan peka terhadap
perbedaan yang ada. Kecerdasan budaya menjadi kemampuan konselor yang
harus dimiliki dalam membantu konseli yang berbeda budaya. Menurut Juris G.
Draguns, peran konselor dalam proses memandirikan merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan perkembangan konseli. Oleh karena itu dalam proses
layanan konseling yang diberikan konselor perlu memiliki pemahaman yang
mendalam terhadap konseli.
Mahasiswa BK sebagai calon konselor dalam menjalankan perkuliahan
telah mulai belajar berinteraksi dalam keberagaman budaya yang ada, yaitu tidak
lepas dari komunikasi dan interaksi dengan sesama. Mahasiswa BK melakukan
interaksi tidak hanya berhadapan dengan individu yang berasal dari budaya yang
sama namun dengan individu yang berbeda budaya, maka pola interaksi menjadi
lebih beragam dan bertambah sulit. Hal tersebut disebabkan karena adanya
perbedaan dalam pola-pola interaksi tertentu antara satu individu dengan individu
lain yang berasal dari budaya yang berbeda. Budaya dalam setiap etnis memiliki
bahasa, tradisi dan adatistiadat yang berbeda, sehingga etnis memiliki pengaruh
dalam budaya seorang individu sedangkan di Indonesia terdapat kurang lebih 300
ragam etnis yang tersebar. Perwujudan dari budaya adalah bendabenda atau hasil
yang diciptakan oleh manusia berupa pola-pola perilaku, bahasa, religi, seni,
organisasi sosial dan lainnya. Hal ini terwujud dari cara berpikir dan berperilaku
dalam komunikasi seharihari. Perilaku dalam komunikasi, baik komunikasi verbal
dan nonverbal sangat dipengaruhi oleh budaya. Oleh sebab itu, agar mahasiswa
BK sebagai calon konselor yang nantinya menghadapi konseli yang berbeda
budaya mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, maka perlu
mengembangkan kecerdasan budaya. Kecerdasan budaya menjadi penting
dimiliki oleh konselor agar pelaksanaan proses konseling menjadi lebih efektif.
Hal ini disebabkan oleh kemampuan konselor dalam mengembangkan strategi
konseling yang sesuai dengan budaya konseli. Kemampuan tersebut mampu
membantu konseli dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi tanpa terkendala
adanya bias budaya dan perbedaan-perbedaan yang muncul bersama konselor.
Pengalaman awal perkuliahan yang dialami peneliti dengan sesama rekan
di kelas BK bahwa terdapat kurang lebih delapan etnis di dalam kelas. Misal saat
berkenalan, rekan-rekan dari berbagai budaya melakukan penghormatan dengan
cara yang berbeda-beda. Ada yang dengan cara membungkukkan badan,
memeluk, mencium, menjabat tangan, menunduk dan bahkan dengan cara
berdiam diri. Adanya perbedaan pola- perilaku membuat individu akan berbeda
pula cara menanggapi pola interaksi yang terjadi. Hal tersebut membuktikan
bahwa perlu mengetahui kecerdasan budaya agar sebagai calon konselor mampu
menerima nilai-nilai dan pola-pola perilaku dari sudut pandang budaya yang
berbeda, sehingga konseling yang dilakukan dapat berjalan secara efektif tanpa
terkendala adanya bias budaya. Hal tersebut juga mampu menghindarkan adanya
kesalahpahaman atau perpecahan antar etnis sehingga terhindar dari konflik yang
marak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia.
Adanya permasalahan tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian
mengenai kecerdasan budaya. Melalui pengetahuan dan pemahaman yang
komprehensif tentang elemen-elemen budaya suatu komunitas, maka akan
memudahkan individu dalam mengapresiasi sebab munculnya pola perilaku dan
pola interaksi dalam suatu budaya dan bagaimana dapat berbeda antara satu
budaya dengan budaya lain. Pengetahuan tersebut juga akan menghindarkan
individu dari sikap etnosentris, yaitu suatu sikap yang menilai budaya orang lain
berdasarkan budaya individu sendiri dan mengganggap budaya sendiri lebih baik
daripada budaya individu lain. Hal tersebut memudahkan individu menerima
nilai-nilai dan pola-pola perilaku dari sudut pandang budaya yang bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
Dari judul makalah ini, dapat di identifikasi ada beberapa yang akan dIbahas
yaitu diantaranya:
1. Apakah Pengertian Bimbingan dan Konseling ?
2. Bagaimanakah Komponen-komponen Bimbingan dan Konseling ?
3. Apa saja Bidang Layanan Bimbingan dan Konseling ?
4. Apakah Pengertian Kebudayaan ?
5. Bagaimanakah Unsur-unsur Kebudayaan ?
6. Apakah Pengertian Pendidikan Multikultural (Budaya) ?
7. Apa saja Dasar Pendidikan Multikultural (Budaya)
8. Bagaimana Keterkaitan Konselor dengan pendidikan Multikultural
(Budaya) ?
C. Tujuan Pembahasan
B. Hakikat Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Budaya merupakan istilah yang banyak dijumpai dan digunakan hampir dalam setiap
aktivitas sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa budaya begitu dekat dengan
lingkungan kita. Kata budaya/kultur (culture) dipandang penting karena kata ini
membentuk dan merupakan bagian dari istilah Pendidikan Multikultural. Bagaimana
kita mendefinisikan budaya akan menentukan arti dari istilah Pendidikan
Multikultural. Tanpa kita mengetahui apa arti budaya/kultur, kita akan sangat sulit
memahami implikasi Pendidikan Multikultur secara utuh. Misalnya, jika budaya
didefinisikan sebagai warisan dan tradisi dari suatu kelompok sosial, maka
Pendidikan Multikultural berarti mempelajari tentang berbagai (multi) warisan dan
tradisi budaya. Namun jika budaya didefinsikan sebagai desain kelompok sosial
untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya, maka satu tujuan
pendidikan multikultural adalah untuk mempelajari tentang berbagai kelompok sosial
dan desain yang berbeda untuk hidup dalam masyarakat yang pluralis (Bullivant,
dalam Banks, 1993: 29). Apa yang terlintas pada pikiran Anda bila istilah ”budaya”,
”kultur” atau ”kebudayaan” itu muncul. Mungkin di pikiran kita terlintas tentang
tarian-tarian, adat istiadat suatu daerah, pakaian adat, rumah adat, lagu-lagu daerah
atau ritual peninggalan masa lalu. Hal ini sangat mungkin berbeda dengan yang
dipikirkan oleh orang Barat ketika mendengar kata yang sama. Di dunia Barat istilah
budaya juga digunakan dalam pengertian yang populer, yaitu budaya tinggi (high
culture) untuk menyebut bidang estetik (keindahan) seperti seni, drama, balet dan
karya sastra dan budaya rendah (low culture) untuk menyebut seni yang lebih populer
seperti musik pop, dan media massa. Namun ada beberapa ciri khas budaya yang
dapat dijadikan petunjuk untuk memperoleh gambaran tentang definisi budaya.
Dalam istilah Inggris, ”budaya” adalah culture, yang berasal dari kata Latin colere
yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani
(Koentjaraningrat, 2000). Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas manusia,
bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia. Dari sudut antropologi
budaya, mengkategorian temuan artifak yang disebut ”Pithecanthropus Erectus”,
”Homo Soloensis” sebagai manusia atau bukan, didasarkan pada kemampuan artifak
itu saat hidup dalam menciptakan benda budaya. Misalnya Pithecanthropus Erectus
(manusia kera yang berdiri tegak) yang ditemukan di sungai Bengawan Solo,
Sangiran, Solo oleh sebagian ahli sudah dipandang sebagai ”manusia” karena
dipandang ada hubungan dengan diketemukannya kapak di dekat Pithecanthroupus
Pekinensis yang memiliki ciri sama yang diketemukan di Solo dan dipandang satu
jaman masa hidupnya.
2. Unsur-unsur Kebudayaan
E.B. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai kompleksitas hal yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Sedangkan menurut Raymond Williams (1921-1988) budaya meliputi
meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang
mengungkapkan atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk komunikasi yang
khas dalam anggota masyarakat. Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan harus
dipandang dalam konteks teori komunikasi yaitu sebagai keseluruhan sistem simbol
(bahasa, kekerabatan, ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat
memungkinkan dan mengatur komunikasi (Cremers, 1997: 147). Hal ini karena
manusia adalah homo simbolicum. Kita lihat bahwa budaya diartikan selalu dalam
konteks hubungannya sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur kebudayaan.
Unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2000: 2) adalah sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup.
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Secara garis besar unsur-unsur yang berada di urutan bagian atas merupakan
unsur yang lebih sukar berubah daripada unsur-unsur di bawahnya. Namun perlu
diperhatikan, karena ada kalanya sub unsur dari suatu unsur di bawahnya lebih sukar
diubah dari pada sub unsur dari suatu unsur yang tercantum di atasnya. Misalnya sub-
sub unsur hukum waris yang merupakan sub unsur dari hukum (bagian dari unsur
sistem dan organisasi kemasyarakatan) lebih sukar berubah bila dibandingkan dengan
sub-sub unsur arsitektur tempat pemujaan (bagian dari sub unsur prasarana upacara
yang menjadi bagian dari sistem religi). Masjid, gereja, tasbih, kitab suci merupakan
contoh kongkrit sistem religi dan upacara keagamaan. Ada pembagian warisan di
antara keluarga Anda, ada walikota, ada kantor dan tokoh politik, anak SD memakai
seragam merah putih yang kesemuanya itu merupakan contoh sistem dan organisasi
kemasyarakatan. Buku IPS anak SD, ada orang yang menghitung uang kembalian
merupakan contoh kecil dari sistem pengetahuan. Ada orang yang berbahasa Madura,
bahasa Jawa dan ada yang berbahasa Indonesia merupakan bagian dari unsur bahasa.
Panggung seni, ada lukisan, ada gambar reklame yang indah sebagai perwujudan
unsur kesenian. Penjual sayuran, sopir angkot, seorang guru berseragam abu-abu
yang memasuki sekolah, remaja yang memakai seragam pertokoan tertentu yang
semuanya itu merupakan contoh kongkrit unsur sistem mata pencaharian hidup. Ada
komputer, internet, ada cangkul dan sabit, ada Hand Phone merupakan contoh sistem
teknologi dan peralatan. Unsur-unsur yang diurutkan di atas merupakan unsur budaya
yang universal dalam arti ada di manapun, kapan pun dan berlaku pada siapa pun.
Artinya di belahan dunia mana pun ada ketujuh unsur itu. Dalam sejarah manusia
baik yang primitif maupun yang modern ke tujuh unsur itu berlaku pada siapapun
yang dinamakan “manusia”. Kebudayaan memberi pengetahuan dan ide tentang dan
untuk berperilaku. Artinya, orang harus mengetahui jenis pengetahuan dan ide yang
harus digunakan pada jenis perilaku tertentu yang sesuai (untuk berperilaku) dan juga
untuk memahami perilaku tentang apa yang dia lihat (tentang perilaku). Misalnya,
ada kebiasaan orang Tionghoa yang menggunakan sumpit, yang terbuat dari batangan
kayu atau bambu, sebagai alat pengganti senduk ketika mereka makan. Kita perlu
pengetahuan dan ide tentang apa artinya dan aturan apa yang digunakan untuk
menggunakannya. Jika kita adalah anggota kelompok sosial yang menggunakan
sumpit itu, kita akan tahu aturan yang mendasarinya. Kelompok asing lain hanya
dapat melihat perilaku orang Tionghoa yang menggunakan sumpit atau
menanyakannya bagaimana mereka memperoleh ketrampilan seperti itu dan apa
maknanya. Sekalipun demikian, orang asing itu mungkin tidak mempelajari segala
hal tentang penggunaan sumpit namun bila dia hidup dalam jangka waktu lama
dengan kelompok sosial itu maka ia akan menemukan aturan tentang kesabaran dan
etiket sekitar proses sederhana berupa makan dengan menggunakan sumpit. Ini
menunjukkan pada kita bahwa kebutuhan biologis instingtif untuk memuaskan perut
lapar harus dilakukan menurut cara yang yang terprogram secara berbudaya.
3. Pengertian Pendidikan Multikultural (Budaya)
Ketika membahas multikultural atau studi budaya lainnya, maka konsep ethic dan
emic akan selalu muncul. Kedua istilah antropologi ini dikembangkan oleh Pike
(1967). Pike memakai istilah ini untuk menjelaskan dua sudut pandang dalam
mempelajari perilaku multicultural. Ethic adalah sudut pandang dalam mempelajari
budaya dari luar sistem budaya itu, dan merupakan pendekatan awal dalam
mempelajari suatu sistem budaya asing. Sementara emic sebagai sudut pandang
merupakan studi perilaku dari dalam sistem budaya tersebut (Segall, 1990). Ethic
adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya, emic adalah
aspek kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu. Jadi, ethic
menjelaskan universalitas suatu konsep kehidupan, sedangkan emic menjelaskan
keunikan dari sebuah konsep budaya.
4. Dasar Pendidikan Multikultural
(1) Kesadaran nilai penting keragaman budaya
Perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus
karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu
yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan multikultural berkaitan dengan
ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya
memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu
merupakan keniscayaan atau kepastian, namun perbedaan itu harus diterima secara
wajar dan bukan untuk membedakan.
(2) Gerakan pembaharuan pendidikan
Ide penting lain dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa sebagia siswa karena
karakteristik tersebut di atas, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik
untuk belajar di sekolah favorit tertentu, sedangkan siswa dengan karakteristik
budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu. Beberapa karakteristik
institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok siswa untuk
mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara
halus. Dalam arti, dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bias dipenuhi oleh
segolongan tertentu dan tidak bias dipenuhi oleh golongan yang lain. Pendidikan
Multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program, dan praktek yang
direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi
berbagai kelompok.
5. Keterkaitan Konselor dengan Pendidikan Multikultural (Budaya)
o Konselor Profesional Adalah Konselor Yang Memiliki Kesadaran
(Kepekaan) Budaya
Konselor harus memiliki kesadaran multi budaya agar bisa mengenali konseli
yang berlatar belakang budaya yang berbeda-beda. Menurut Sue, dkk
(1992), Konselor harus memiliki asumsi, nilai-nilai budaya, dan
kecondongan, keyakinan, dan sikap antara lain yaitu :
1.Konselor budaya tidak menyadari akan pentingnya kepekaan budayanya
2.Konselor budaya yang terampil menyadari bagaimana latar belakang
budaya dan pengalamannya, sikap, dan nilai-nilai serta bias
pengaruh dari psikologi.
3.Konselor budaya yang terampilharus mengenali batas-bataskompetensi
dan keahlian mereka.
4.Konselor berbudaya juga mampumenciptakan rasa nyaman sertatidak
membeda-bedakan ras, etnis,budaya, serta keyakinan
o Konselor harus memiliki keempat kriteria tersebut. Konselor yang
bermartabat ialah konselor yang memilik iculture respect yang baik serta
mampu membuat nyaman konseli yang memiliki latar belakang
budaya.Wolfgang, dkk (2011) menjelaskan sebagai konselor, mampu
mengalihkan perhatian mereka untuk melakukan konseling serta
memasukkan isu-isu lintas budaya yaitu metodeklinis. Selain itu,
mereka juga menggunakan pendekatan konvensional untuk mengintervensi
metode klinis untuk anak-anak usia 0-5 tahun. Mereka juga
mengartikulasikan peran baru bagi konselor dan menyediakan kerangka
kerja baru. Daya (2001) mengatakan bahwa konselor yang
profesional itu mampu mempraktekkan pendekatan konseling yang
efesien sesuai dengan standart profesional konselor yang ada. Selain
itu, juga memiliki responsibilitas budaya yang bagus untuk menangani
konseli yang bermultibudaya. Konselor yang profesional harus memiliki
keterampilan dan teknik konseling yang memadai serta bagaimana
menghadapai masalah dari konseli yang berbeda budaya. Selain itu,konselor
juga perlu mempelajari karakteristik multibudaya darisuku/bangsa lain
untuk merespondengan konseli yang multibudaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013. Konsleling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Corey, G. 1991. Theory And Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole
Publishing Company.
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. Umm
Press.
Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di
Indonesia. Bandung. UPI.
Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural
Counseling.” Counselor Education And Supervision, 30, 6-17.
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society.
London : Sage Publisher.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di
Indonesia. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory And
Practice. New York John Wiley And Sons, Inc.