Oleh:
Laili Nur Kusuma Ningtias (04020321062)
Nurizzakiyah Dwi (04020321075)
Mohammad Fiki Ramadhani (04040321124)
Dosen Pengampu:
Dr. Lukman Fahmi, S. Ag., M. Pd.
Dalam proses penyusunannya tidak lepas dari bantuan, arahan, dan masukan dari
berbagai pihak terutama bapak Dr. Lukman Fahmi, S. Ag., M. Pd selaku dosen Mata Kuliah
Konseling Multikultural yang selalu sabar membimbing kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan pembuatan makalah ini. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih.
Meskipun demikian, kami menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa, maupun isi. Sehingga penulis
secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
semua mahasiswa dan untuk penulis sendiri khususnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
Latar Belakang................................................................................................................ 4
Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
Tujuan .................................................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB II...................................................................................... Error! Bookmark not defined.
PEMBAHASAN.................................................................................................................. 5
Pengertian Kepekaan Budaya Konselor ............................................................................ 5
Karakteristik Kepekaan Budaya Konselor ........................................................................ 7
Aspek Kepekaan Budaya Konselor ................................................................................... 8
BAB III .............................................................................................................................12
PENUTUP .........................................................................................................................12
Kesimpulan....................................................................................................................12
Saran.............................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep dasar kepekaan atau sensitivitas budaya dalam konseling berkaitan dengan
pemahaman dan pengakuan terhadap perbedaan budaya yang mungkin muncul antara
konselor dan klien. Hal ini penting karena budaya dapat mempengaruhi cara pandang dan
pengalaman seseorang, termasuk masalah kesehatan mental dan emosional. Dalam
konseling, kepekaan budaya memerlukan kesadaran dan pemahaman tentang nilai-nilai,
norma-norma, keyakinan, dan praktik budaya yang berbeda-beda di antara individu dan
kelompok budaya. Hal ini melibatkan kemampuan konselor untuk mengakui, memahami,
dan menghargai perbedaan budaya yang ada di antara klien, serta menyadari bagaimana
perbedaan-perbedaan tersebut dapat mempengaruhi interaksi konseling.
Kepekaan budaya juga dapat melibatkan penggunaan teknik konseling yang sesuai
dengan budaya klien, seperti mengakui dan menghormati budaya klien, menggunakan
bahasa yang sesuai, dan mempertimbangkan perbedaan budaya dalam pengembangan
rencana tindakan. Dengan memperhatikan kepekaan budaya dalam konseling, konselor
dapat membantu klien merasa lebih nyaman dan percaya diri dalam mengungkapkan
masalah mereka, serta dapat meningkatkan efektivitas dan kesuksesan terapi.
Selain itu, kepekaan budaya dalam konseling juga penting untuk menghindari
diskriminasi atau prasangka terhadap klien berdasarkan perbedaan budaya. Sebagai
konselor, penting untuk menghindari memberikan penilaian atau mengevaluasi klien
berdasarkan norma-norma budaya kita sendiri, karena hal ini dapat memengaruhi
pemahaman dan respon konselor terhadap klien. Penting juga untuk diingat bahwa kepekaan
budaya tidak hanya berkaitan dengan perbedaan budaya antara konselor dan klien, tetapi
juga perbedaan budaya di antara klien. Sebagai konselor, penting untuk memahami dan
mengakui perbedaan budaya yang ada di antara klien, serta bagaimana perbedaan-perbedaan
ini dapat mempengaruhi interaksi dan dinamika kelompok dalam sesi konseling.
Terakhir, kepekaan budaya dalam konseling juga berkaitan dengan etika profesi
konseling. Standar etika dalam profesi konseling menuntut konselor untuk menghargai
keanekaragaman budaya dan mendorong konselor untuk meningkatkan kepekaan budaya
mereka melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. Dalam rangka untuk
memberikan konseling yang efektif dan memenuhi standar etika profesi, konselor perlu
memahami, mengakui, dan menghargai perbedaan budaya yang ada di antara klien, serta
memperhatikan bagaimana perbedaan-perbedaan ini dapat mempengaruhi interaksi dan
hasil konseling.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kepekaan budaya konselor?
2. Apa saja karakteristik kepekaan budaya konselor?
3. Apa saja aspek dari kepekaan budaya konselor?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kepekaan budaya konselor.
2. Untuk mengetahui karakteristik kepekaan budaya konselor.
4
3. Untuk mengetahui aspek dari kepekaan budaya konselor.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepekaan Budaya Konselor
Dalam konseling multicultural diperlukan adanya beberapa kompetensi yang harus
dibangun dan dimiliki oleh seorang konselor. Salah satunya adalah kepekaan atau
sensitivitas budaya konselor. Surya (2003: 65) kepekaan mempunyai makna bahwa konselor
sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien/konseli dan konselor sendiri.
Kepekaan pada diri konselor sangat penting dimiliki terutama aplikasinya dalam layanan
konseling, dikarenakan dengan kepekaan budaya konselor akan dengan mudah mengakses
dinamika ekspersi budaya konseli yang unik atau sebaliknya. Jika hal itu terjadi maka
diprediksi akan memunculkan jaminan rasa aman bagi klien/ konseli dan akan merasa lebih
percaya diri manakala berkonsultasi. Stewart (Nugraha, 2012: 38) memaparkan kepekaan
multibudaya dalam layanan konseling dapat diartikan sebagai pengetahuan diri konselor
untuk dapat merasakan perbedaan atau jarak antara latar belakang konseli dan konselor.
Selanjutnya kepekaan juga dapat diartikan sebagai suatu upaya mempersepsikan konseli
sebagai suatu individu total yang terbentuk dari pengalamannya.
Hal senada juga dipaparkan oleh Hays & Erford (2010: 30) yang menyatakan
konselor yang peka terhadap keberagaman budaya konseli yang dihadapi dalam layanan
konseling ialah konselor yang mengtahui, mengerti, paham dan mampu meramu konteks
budaya serta identitas budaya secara tepat. Selanjutnya dikuatkan pula oleh pernyataan
Arredondo (Fawcett & Evant, 2013: 8) yang menyatakan bahwa kepekaan budaya dan
konselor yang kompeten mampu memahami bahwa permasalahan yang terjadi pada diri
seseorang tidak hanya dikarenakan unsur budaya seperti ras dan warna, melainkan dapat
pula pada nilai budaya yang dianut oleh konseli. Sehingga dapat diartikan bahwa walaupun
ras dan warna kulit sama namun nilai budaya tetap berbeda 1.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepekaan budaya konselor
merupakan pemahaman dan pengetahuan konselor terkait budaya nya sendiri maupun
konselor yang akan memunculkan rasa nyaman dalam diri konseli dan membuat proses
konseling lebih efektif. Tidak jarang seorang konselor akan menemukan klien atau konseli
1
Agung Nugraha, Dewang Sulistiana, Kepekaan Multibudaya bagi Konselor dalam Layanan Konseling, Jurnal of
Innovative Counseling: Theory, Practice and Research, Vol. 1, no. 1, Januari 2017, hal. 12 -13
5
yang memiliki buadaya yang berbeda dengan konselor, disinilah peran ke pekaan budaya
konselor diperlukan. Dengan konselor mengetahui dan memahami latar belakang budaya
konselor, hal ini akan membantu konelor mengetahui penyebab dan solusi yang tepat atas
masalah yang dihadapi konseli. Karena pada dasarnya dalam pelaksanaan ko nseling baik
konselor ataupun konseli akan menampakkan seluruh atribut psikofsisk yang unik dalam
dirinya, meliputi kecerdasan, bakat, minat, motivasi, dan sosio -budaya. Kebanyakan
konselor kurang peduli terhadap latar belakang budaya konseli, padahal hal tersebut dibilang
penting karena apabila kurang diperhatikan akan menimbulkan jarak anatar konselor
maupun konseli sehingga proses konseling menjadi kurang efektif.
2
Agung Nugraha, Dewang Sulistiana, Kepekaan Multibudaya bagi Konselor dalam Layanan Konseling, Jurnal of
Innovative Counseling: Theory, Practice and Research, Vol. 1, no. 1, Januari 2017, hal. 13
3
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2002), hal.
2
6
adaya perbedaan budaya maka akan terdapat perbedaan untuk memahami perbedaan
tersebut maka akan lebih mudah dalam mengartikan pesan-pesan yang disampaikan.4
Menurut Derald Wing Sue dalam Sue et al, seorang konselor dapat dikatakan memiliki
kepekaan dan kompetensi kultural yang memadai dan terlatih secara buyaa atau skilled
culturally counsellor dalam konteks konseling lintas budaya jika memiliki tiga karakteristik
sebagai berikut:6
1. Yang pertama, konselor yang peka secara kultural adalah konselor yang selalu sadar
mengenai berbagai asumsi tentang perilaku manusia, nilai-nilai, bias-bias, dan
keterbatasan pribadinya. Konselor harus memahami cara pemahamannnya terhadap
duniasekitar, bagaimana konselor (dan komunitas budayanya) melahirkan kondisi-
kondisi budayanya, dan bagaimana semuanya itu direfleksikan kembali dalam praksis
konseling yang melibatkan pihak lain yang berbeda budaya.
2. Yang kedua, konselor yang peka dan berkompeten multikultur adalah selalu aktif
berusaha memahami klien atau konselinya yang berbeda budaya dengannya tampa
prasangka maupun penilaian yang negatif. Adalah hal yang krusial bagi seorang konselor
untuk memahami dan bertukar sudut pandang dengan konseli yang berbeda budaya
dengan penuh hormat dan apresiasi. Pernyataan dan pertanyaan konselor hendaknya
tidak menunjukkan bahwa konselor sedang mempertahankan pandangannya menurut
budayanya dan menyangkal sudut pandang budaya konseli.
4
Aryons, Kepekaan (Sensitivitas) Budaya dalam Konseling Lintas Budaya, September 2020, hal. 12
5
Agung Nugraha dan Dewang Sulistiana, “Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor Dalam Layanan Konseling”,
(Tasikmalaya: Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, 2017), Vol.1 No.1, hlm.13.
6
Sue et al, “Multicultural Sounseling Competencies and Standards: A Call to the Profession”, Journal of
Counseling and Development, March/April 1992, Vol.70, hlm.481.
7
3. Yang ketiga, konselor yang peka dan berkompetensi multi-budaya adalah yang senantiasa
aktif mengembangkan dan mempraktekkan strategi intervensi dan keahlian bimbingan
yang sesuai (appropriate), relevan dan sensitif ketika berhadapan dengan konseli yang
berbeda kultur. Kajian tentang efektivitas konseling menunjukkan bahwa proses
bimbingan menjadi efektif ketika konselor menggunakan modalitas atau sarana dan
merumuskan tujuan vang sesuat pengalaman serta nilai-nilai kultural konseli.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konselor memiliki kepekaan budaya
yang tinggi serta memiliki kompetensi lintas-budaya jika konselor tersebut dapat menyadari
sudut pandang, nilai-nilai dan konteks budayanya sendiri tentang budaya lain, lalu berusaha
mengenal konselinya tapa prasangka dengan berdialog dengan konseli yang berbeda budaya
serta berusaha menemukan strategi komunikasi dan konseling yang tepat untuk dapat
menjembatani perbedaan budaya tersebut.
Pada bulan April tahun 1991, Association for Multicultural Counseling and
Development (AMCD) menerbitkan dokumen berisi 31 tentang standar kompetensi untuk
konselor lintas budaya, yang juga disetujui oleh American Association for Counseling and
Development (AACD) untuk aspek keyakinan, sikap, pengetahuan dan kompetensi. 8 Secara
ringkas, aspek dan standar kompetensi atau kepekaan budaya meliputi: 9
7
Sue et al, “Multiculural Sounseling Competencies and Standards: A Call to the Profession” Journal of Counseling and
Development, March/April 1992, Vol. 70, hal 481.
8
Ibid.
9 Ibid, hal 482-483.
8
1. Kesadaran konselor terhadap asumsi, nilai, dan bias budayanya sendiri.
Aspek ini mengacu kepada keyakinan, asumsi, kesadaran akan pengetahuan budayanya
tentang budaya lain, dan upaya tulus konselor untuk mengatasi keterbatasan nilai,
keyakinan, dan sikap budaya tersebut. Dengan kata lain, aspek ini berkaitan dengan
wawasan konselor tentang diri mereka sendiri dan budaya mereka ketika menghadapi
budaya lain, dan upaya mereka untuk mengatasinya. Aspek ini memiliki tiga aspek:
a. Dimensi Keyakinan dan Sikap
1) Saat menilai perbedaan budaya, konselor yang terlatih secara budaya harus berawal
dari ketidak sadaran budaya menjadi sadar dan peka terhadap warisan budaya
mereka sendiri.
2) Konselor sadar bahwa bagaimana latar belakang, pengalaman, sikap, nilai, dan bias
budaya mereka memengaruhi proses psikologis.
3) Konselor dapat mengatasi keterbatasan kompetensi dan keahlian budaya mereka
sendiri.
b. Dimensi Pengetahuan
1) Konselor memiliki pengetahuan khusus tentang warisan budaya mereka dan
bagaimana pengaruhnya terhadap mereka secara pribadi ataupun profesional, dan
pemahaman tentang normalitas proses konseling.
2) Konselor memiliki wawasan dan memahami tentang bagaimana faktor penindasan,
rasisme, diskriminasi dan stereotip apa yang mempengaruhi karya mereka secara
pribadi.
3) Konselor memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosialnya terhadap orang lain
(konseling).
c. Dimensi Keahlian
1) Konselor berupaya memperoleh pendidikan, pengetahuan, dan pelatihan yang
dapat memperkaya pemahaman mereka terhadap perbedaan budaya yang
memengaruhi praktik konseling mereka.
2) Sebagai makhluk rasial dan kultural, konselor selalu berusaha memahami diri
mereka sendiri dan aktif berupaya mencapai identitas non-rasis.
Aspek ini melibatkan upaya nyata dari konselor untuk meningkatkan keyakinan,
sikap, pengetahuan, dan keterampilannya agar dapat menguasai dan menerapkan teknik
konseling yang sesuai dengan perbedaan budaya antara konselor dan konseli. Hal ini
bertujuan untuk menciptakan konseling lintas budaya yang efektif dan membantu konseli
dan konselor secara bersamaan. Aspek ketiga ini terdiri dari tiga dimensi, yaitu:
10
1) Konselor memiliki pemahaman yang jelas tentang karakteristik umum konseling
dan terapi serta bagaimana hal tersebut berkaitan dengan kelompok budaya
tertentu.
2) Konselor menyadari adanya hambatan institusional yang menghalangi kaum
minoritas untuk mendapatkan layanan kesehatan mental.
3) Konselor mengenali potensi bias dalam instrumen, prosedur, dan interpretasi tes
yang tersembunyi dalam pemikiran atau struktur bahasa konseli.
c. Dimensi Keahlian
1) Konselor memiliki kemampuan untuk memberikan respons yang beragam secara
verbal maupun nonverbal guna membantu klien. Konselor juga dapat mengirim
dan menerima pesan secara akurat dan tepat baik melalui komunikasi verbal
maupun nonverbal.
2) Konselor dapat menerapkan intervensi institusional untuk memenuhi kebutuhan
klien.
3) Konselor bersedia untuk berkonsultasi dengan penyembuh tradisional atau
pemimpin agama dan spiritual ketika bekerja dengan klien dari latar belakang
budaya yang berbeda.
Berbagai aspek kepekaan (sensitivitas) budaya yang telah disebutkan di atas adalah
kompetensi standar yang tidak dapat diperoleh seketika, melainkan harus terus-menerus
dipelajari dan diasah oleh seorang konselor sepanjang hidupnya. Menurut Courland C.
Lee, kepekaan dan kemampuan lintas budaya seorang konselor adalah perjalanan seumur
hidup yang harus dilalui oleh konselor.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepekaan budaya konselor merupakan pemahaman dan pengetahuan konselor terkait
budaya nya sendiri maupun konselor yang akan memunculkan rasa nyaman dalam diri
konseli dan membuat proses konseling lebih efektif. Menurut Derald Wing Sue dalam Sue
et al, seorang konselor dapat dikatakan memiliki kepekaan dan kompetensi kultural yang
memadai dan terlatih secara buyaa atau skilled culturally counsellor dalam konteks
konseling lintas budaya jika memiliki tiga karakteristik, yaitu yang pertama, konselor yang
peka secara kultural adalah konselor yang selalu sadar mengenai berbagai asumsi tentang
perilaku manusia, nilai-nilai, bias-bias, dan keterbatasan pribadinya. Yang kedua, konselor
yang peka dan berkompeten multikultur adalah selalu aktif berusaha memahami klien atau
konselinya yang berbeda budaya dengannya tampa prasangka maupun penilaian yang
negative. Yang ketiga, konselor yang peka dan berkompetensi multi-budaya adalah yang
senantiasa aktif mengembangkan dan mempraktekkan strategi intervensi dan keahlian
bimbingan yang sesuai (appropriate), relevan dan sensitif ketika berhadapan dengan konseli
yang berbeda kultur. Dalam dialog dengan kajian Carney dan Kahn tahun 1984 dalam Sue
et al, terdapat tiga aspek atau dimensi kompetensi kepekaan budaya seorang konselor
berdasarkan ketiga karakteristik skilled culturally counselor di atas. Ketiga aspek itu antara
lain: aspek keyakinan dan sikap (beliefs and attitudes), aspek pengetahuan (knowledge), dan
aspek keahlian (skill).
B. Saran
Tentunya penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Tidak lupa nantinya penulis juga akan segera melakukan perbaikan makalah dengan
menggunakan pedoman sumber penelitian lain serta kritik dan saran yang ada.
12
DAFTAR PUSTAKA
Aryons. 2020. Kepekaan (Sensitivitas) Budaya dalam Konseling Lintas Budaya, September
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara)
Nugraha, Agung dan Dewang Sulistiana. 2017. Kepekaan Multibudaya bagi Konselor dalam
Layanan Konseling, Jurnal of Innovative Counseling: Theory, Practice and Research,
Vol. 1, no. 1
Sue et al, “Multiculural Sounseling Competencies and Standards: A Call to the Profession”
Journal of Counseling and Development, March/April 1992, Vol. 70, hal 481.
13