Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSELING LINTAS BUDAYA


"Sensitifitas dan Kompetensi Budaya"

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Dr. Herman Nirwana, M.Pd, Kons.

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Hidayah Fitri 18006271


Lira Mulya Hidayat 18006189
Ririn Devitasari 18006049

JURUSAN BIMBINGAN DANKONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Robb, pencipta alam semesta, atas
rahmat dan hidayah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sensitifitas dan
Kompetensi Budaya” dalam bentuk yang sangat sederhana ini. Makalah ini disusun sebagai
tugas mata kuliah “Konseling Lintas Budaya” dibawah bimbingan Dr. Herman Nirwana, M.Pd,
Kons.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penulisan makalah ini. Semoga semua amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak agar
penulisan selanjutnya dapat lebih baik lagi. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi setiap orang yang
membacanya.

Padang, 18 Oktober 2021

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2

C. Tujuan .......................................................................................................................... 2

BAB II ....................................................................................................................................... 3

A. Sensitivitas dan Kompetensi Budaya........................................................................... 3

B. Kompetensi Multikultural ............................................................................................ 6

C. Kompetensi Budaya yang Harus Dikuasai Konselor................................................... 9

BAB III.................................................................................................................................... 13

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 13

B. Saran .......................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap konselor sekolah dituntut untuk memiliki pemahaman tentang berbagai


budaya yang dapat memperlancar relasi konseling. Persoalan antar budaya akhir-akhir ini
meningkat sejalan dengan pergeseran budaya. Kesadaran itu disertai dengan kemunculan
kembali sikap-sikap rasialis yang memecah belah secara meningkat pula (Hansen, 1997).
Fenomena tersebut mengisyaratkan diperlukannya kompetensi konselor sekolah dalam
layanan konseling tentang pentingnya kesadaran multikultural dalam menghadapi perbedaan
dan masalah yang terjadi pada siswa.
Perbedaan akan budaya, latar belakang dan pola pikir bisa memunculkan
kesenjangan dalam hubungan proses konseling. Menurut Sue & Sue (2013) budaya adalah
sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, & perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok
orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adanya keragaman
budaya merupakan realitas hidup yang dapat mempengaruhi perilaku individu dan seluruh
aktivitas manusia, termasuk juga aktivitas dalam konseling. Hal ini senada dengan
pernyataan Depdiknas (2007) bahwa guru BK atau konselor sekolah harus menghargai
keberagaman konseli. Oleh karena itu, konseling sangat penting untuk mempertimbangkan
budaya yang ada.
Menurut Jackson (1995) konseling lintas budaya merupakan konseling yang terjadi
antara atau di antara individu dari latar belakang budaya yang berbeda. Adanya konseling
lintas budaya dipahami bukan semata-mata berkenaan dengan hubungan antara konselor
dengan klien dalam konteks mikro (Supriatna, M. 2009), melainkan meliputi juga
kekuatan-kekuatan lingkungan yang membentuk perilaku konselor, klien dan praktik
pendidikan (Adi, K. J. 2013; Rodliyah, A. I. 2009), konseling yang didasari kesadaran dan
pluralisme budaya dapat memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan pendidikan. Proses
memberikan pemahaman mengenai konten kesadaran akan keragaman budaya sangatlah
penting terutama diajarkan dalam dunia pendidikan.
Banyak sarjana telah menekankan perlunya menanamkan multikulturalisme ke
dalam semua aspek program pelatihan konseling (Collins & Pieterse, 2007; D'Andrea &

1
Daniels, 1991; Reynolds, 1995). Dalam survei program psikologi konseling, sebagian besar
melaporkan bahwa masalah multikultural sebagian besar merupakan domain dari kursus
konseling multikultural khusus (Abreu et al., 2000; Ponterotto, 1997). Dalam pelatihan
berbasis keterampilan dan pengalaman, berbagai pendekatan diadopsi, termasuk latihan
kesadaran diri, pengembangan keterampilan multikultural, dan pengalaman imersi budaya
(Kim & Lyons, 2005). Misalnya, pelatihan pengalaman dan didaktik, terutama dalam
kaitannya dengan ras dan budaya, telah dicatat untuk menimbulkan berbagai bentuk
resistensi di antara siswa (Carter, 2001; Helms et al., 2003), sebuah dinamika yang
mungkin juga membentuk jenis materi ditekankan oleh instruktur dalam kursus konseling
multikultural. Dengan demikian, maka konseling lintas budaya dapat dipandang sebagai
pertemuan antar budaya dalam suatu proses pengentasan masalah.
Mengingat keragaman budaya yang berkembang di Indonesia, konselor harus
memiliki kompetensi multikultural berkaitan dengan kesadaran akan asumsi budaya, nilai-
nilai, dan bias dari berbagai identitas budaya, di atas dan di luar ras. Memberikan
pemahaman kesadaran akan keragaman budaya sangat bermanfaat untuk perkembangan
setiap peserta didik di sekolah. Menurut Ratts et al (2015: 5-6) Konselor perlu mempunyai
kompetensi spesifikasi tertentu untuk dapat melaksanakan konseling multikultural secara
baik, kompetensi konseling yang adil secara sosial dan multikultural yaitu konselor yang
memiliki self-awareness yang terdiri dari attitudes and beliefs (Sikap dan keyakinan),
knowledge (pengetahuan), skills (keterampilan), dan action (aksi).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konselor perlu memiliki sensitifitas dan kompetensi
budaya?
2. Apa saja kompetensi kompetensi multikultural?
3. Apa kompetensi utama tentang budaya yang harus dikuasai konselor?
C. Tujuan
1. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan konselor perlu memiliki sensitifitas dan
kompetensi budaya
2. Untuk memahami apa saja kompetensi kompetensi dari multikultural
3. Untuk memahami kompetensi utama tentang budaya yang harus dikuasai konselor

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sensitivitas dan Kompetensi Budaya


1. Sensitivitas
Sensitivitas atau bisa disebut juga kepekaan. Pemahaman dan penghayatan
konselor secara mendalam terhadap budaya konseli ataupun konselor dapat diartikan
sebagai kepekaan budaya seorang konselor. Surya (2003: 65) kepekaan mempunyai
makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri
klien/konseli dan konselor sendiri. Kepekaan pada diri konselor sangat penting dimiliki
terutama aplikasinya dalam layanan konseling, dikarenakan dengan kepekaan budaya
konselor akan dengan mudah mengakses dinamika ekspersi budaya konseli yang unik
atau sebaliknya. Jika hal itu terjadi maka diprediksi akan memunculkan jaminan rasa
aman bagi klien/ konseli dan akan merasa lebih percaya diri manakala berkonsultasi.
Pemahaman dinamika yang terjadi dalam diri konseli dan konselor dapat dimaknai
sebagai atribut psikofisik meliputi berinteraksinya seluruh budaya konselor dan konseli
sehingga kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh seorang konselor akan sangat
diperlukan dalam kondisi konselor dihadapkan pada proses konseling dengan konseli
yang memiliki latar belakang budaya berbeda.
Stewart (Nugraha, 2012 : 38) memaparkan kepekaan multibudaya dalam layanan
konseling dapat diartikan sebagai pengetahuan diri konselor untuk dapat merasakan
perbedaan atau jarak antara latar belakang konseli dan konselor. Selanjutnya kepekaan
juga dapat diartikan sebagai suatu upaya mempersepsikan konseli sebagai suatu
individu total yang terbentuk dari pengalamannya (Pedersen at al. 1981: 83). Hal senada
juga dipaparkan oleh Hays & Erford (2010: 30) yang menyatakan konselor yang peka
terhadap keberagaman budaya konseli yang dihadapi dalam layanan konseling ialah
konselor yang mengtahui, mengerti, paham dan mampu meramu konteks budaya serta
identitas budaya secara tepat.
Selanjutnya dikuatkan pula oleh pernyataan Arredondo (Fawcett & Evant, 2013:
8) yang menyatakan bahwa kepekaan budaya dan konselor yang kompeten mampu
memahami bahwa permasalahan yang terjadi pada diri seseorang tidak hanya

3
dikarenakan unsur budaya seperti ras dan warna, melainkan dapat pula pada nilai
budaya yang dianut oleh konseli. Sehingga dapat diartikan bahwa walaupun ras dan
warna kulit sama namun nilai budaya tetap berbeda.
Untuk memiliki kepekaan multibudaya konselor dituntut untuk mempunyai
pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya diluar budayanya sendiri, khusunya
berkenaan dengan latar belakang budaya klien/konseli Supriadi (Nugraha, 2012:10).
Pemaparan tersebut mengandung pengertian bahwa konselor harus mampu
memahami diri sendiri serta konseli secara menyeluruh baik secara fisiologis dan
psikologis yang merupakan atribut dalam proses konseling. Adanya pemahaman
mendalam mengenai karakteristik diri sendiri dan konseli mengarahkan konselor untuk
mampu mengembangkan pendekatanpendekatan konseling berdasarkan pemahaman
budaya antara konseli dan konselor.
Selanjutnya menurut Pedersen (Nugraha, 2012: 40) kepekaan multibudaya
konselor dalam layanan konseling terbangun atas dasar konstruk empati. Dapat
diartikan bahwa kepekaan multibudaya dalam layanan konseling diartikan sebagai suatu
pengetahuan diri konselor untuk sadar, merasakan, mengerti dan paham terhadap
perbedaan atau jarak antara latar belakang/dunia konseli dan konselor. Dapat diartikan
kepekaan juga sebagai suatu upaya mempersepsikan konseli sebagai suatu individu total
yang terbentuk dari pengalamannya.
Bersikap peka atau sentitif bagi konselor terutama dalam menyikapi perbedaan
budaya yang disebut dengan culturally sensitive counselor merupakan salah satu elemen
dasar bagi seorang konselor terutama dalam melaksanakan layanan konseling.
Pemaparan tersebut mengandung pengertian bahwa konselor harus mampu memahami
diri sendiri serta konseli secara menyeluruh baik secara fisiologis dan psikologis yang
merupakan atribut dalam proses konseling. Adanya pemahaman mendalam mengenai
karakteristik diri sendiri dan konseli mengarahkan konselor untuk mampu
mengembangkan pendekatanpendekatan konseling berdasarkan pemahaman budaya
antara konseli dan konselor.
Dengan bersikap peka atau sensitif terhadap perbedaan budaya konselor akan
memiliki pemahaman yang lebih dalam terhadap konseli dan akan memberikan
keuntungan yang signifikan atau dapat dikatakan sebagai entry point keberlangsungan

4
proses layanan konseling yang lebih efektif dan optimal. Dikatakan layanan konseling
lebih efektif dan optimal karena dengan bersikap peka maka akan dengan mudah
mengakses dinamika ekspresi budaya serta tabiat dan atau kebiasaan konseli yang unik
serta diprediksi akan memunculkan jaminan rasa aman dan nyaman bagi konseli
sehingga konseli akan merasa lebih percaya diri manakala berkonsultasi.
Kepekaan multibudaya bagi konselor terbangun berdasarkan tiga dimensi dasar
diantaranya:
1) Kesadaran konselor mengenai nilai budaya sendiri beserta bias budaya
sendiri (awareness of own cultural values and biases)
2) Memahami pandangan hidup konseli yang berbeda budayanya (awreness of
client’s world view)
3) Mampu mengembangkan strategi dan intervensi budaya yang tepat
culturally appropriate intervention strategie
Ketiga dimensi dasar kepekaan multibudaya tersebut bagi konselor sangat perlu
dimiliki sebagai pembentuk konselor yang peka terhadap dinamika budaya konseli yang
unik. Konselor memiliki peran utama dan signifikan dalam pelaksanaan layanan
konseling, salah satu peran konselor sebagai seorang fasilitator konseli dalam
menyelasaikan segala permasalahannya secara unik sesuai dengan kemampuan konseli
sehingga konselor memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat.
Konsekuensinya peningkatan mutu dan pembaharuan kompetensi konselor menjadi
suatu aspek yang mutlak terjadi seiring dengan semakin kompleksnya ruang lingkup
permasalahan yang ditangani layanan konseling. Dengan semakin luasnya penyebaran
informasi dan luasnya determinasi budaya yang menjadikan karakteristik konseli selalu
berbeda dari generasi kegenerasi maka konselor diharuskan memiliki kompetensi
kepekaan budaya yang harus selalu ter-update agar setiap permasalahan konseli dapat
terselesaikan dengan optimal.
2. Kompetensi Budaya
Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standardisasi yang
diharapkan (Badan Nasional Sertifikasi Profesi , 2014). Sedangkan Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang, serta

5
diwariskan dari generasi ke generasi. Jadi, Kompetensi budaya adalah kemampuan
untuk dapat berkomunikasi secara efektif dan tepat dengan orang-orang dengan
beragam budaya, dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman akan keanekaragaman
budaya tersebut.
Perlunya kompetensi budaya bagi konselor adalah agar disaat menghadapi klien atau
konseli yang berbeda-beda budaya dapat ditangani dengan baik dan optimal.
B. Komponen Kompetensi Multikultural
Konselor dalam suatu wilayah multibudaya perlu memiliki kompetensi multibudaya
agar dapat melayani klien-klien multibudaya. Kompetensi konseling multikultural meliputi
sikap/keyakinan, pengetahuan dan keterampilan konselor untuk bekerja dengan klien
dalam berbagai kelompok budaya yang luas (Arrenando, 1999; Sue, Arrenando, and
McDavis, 1992). Konselor yang kompeten secara multibudaya memiliki keterampilan yang
berguna untuk bekerja secara efektif dengan klien yang berasal dari berbagai latar belakang
etnik/budaya (Sue, Arredondo, & McDavs, 1992). Supaya konselor sukses melaksanakan
konseling dengan individu dari berbagai budaya, konselor perlu mengenal fungsi ras,
kultur, dan keeknikan dan setiap individu dan tidak hanya terbatas pada minoritas (Sue &
Sue, dalam Sue, Arrenando, and McDavis,1992). Suee tal (1996) mengembangkan
kerangka kerja konseptual kompetensi konselor untuk konseling multibudaya, yaitu:
Pertama meliputi sikap, keyakinan konselor tentang ras, budaya, etnik, gender, dan
oritenasi seksual. Konselor yang memiliki kompetensi budaya menunjukkan kapasitas
untuk memonitor bias personal, memiliki pandangan positif terhadap keanekaragaman
budaya, dan mengerti bagaimana suatu bias dapat mempengaruhi pelayanan bantuan
konseling yang efektif. Kedua mengenal bahwa kompetensi budaya memerlukan konselor
memiliki padangan dirinya yang luas. Perangkat ketiga, meliputi kapasitas untuk
memanfaatkan keterampilan` asesmen secara efektif, teknik intervensi, dan strategi yang
berguna dalam membantu klien yang berasal dari berbagai budaya (Sue, et. all,1996).
Di sisi lain The Associastion of Multicultural Counseling dan Development (AMCD)
dan the Association for Conselor Education dan Supervision (ACES) merumuskan
kompetensi standar untuk konselor dan pendidik kesehatan mental lain (Arrenando, 1999).
Empat komponen utama yang dirumuskan yang berkaitan dengan konpetensi konselor
multibudaya, yaitu:

6
1) Petunjuk pertama berkaitan dengan kesadaran konselor tentang budaya atau
mengembangkan keefektifan dengan klien yang berbeda budaya.
2) Petunjuk kedua, adalah terarah kepada tingkat kenyamanan konselor dengan
perbedaan budaya dan dengan klien dari berbagai budaya.
3) Petunjuk ketiga, menekankan pentingnya keterbukaan reaksi emosional yang
negatif seseorang dan penerimaan tentang budaya orang lain.
4) Terakkhir, berkaitan dengan kompetensi konselor untuk mengenal dengan
respek dan memberikan apresiasi terhadap perbedaan keyakinan secarabudaya.
Holcomb-McCoy, (dalam Dollar hide and Saganik, 2008) mengemukakan
kompetensi yang diperlukan konselor sekolah dalam melaksanakan konseling multibudaya
di sekolah adalah sebagai berikut:
(a) kompetensi dalam konseling multibudaya; menyadari strategi dan pendekatan yang
relevan dan sesuai untuk siswa yang berbeda budaya,
(b) kompetensi dalam konsultasi multibudaya,
(c) kompetensi dalam memahami rasisme dan resistensi siswa;
(d) kompetensi dalam memahami perkembangan identitas rasial, (e) kompetensi dalam
melakukan asesmen multibudaya,
(e) kompetensi dalan konseling keluarga multibudaya,
(f) kompetensi dalam memberikan advokasi sosial,
(g) kompetensi dalam pengembangan partnership dengan anggota masyarakat, keluarga
dan sekolah, dan
(h) kompetensi dalam pemahaman interaksi interpersoal (Dollarhide and
Saginak,2008).
Di disi lain Arrenando & Glauner (1992) menjelaskan bahwa fokus kompetensi
multikultural konselor pada area berikut:
(a) kesadaran pribadi terhadap dunia dan individu sebagai hasil dari budayanya,
(b) pengetahuan terhadap dunia klien yang berbeda-beda secara budaya,
(c) keterampilan yang berguna untuk bekerja dengan klien berbeda secara kultural.
Konselor yang memiliki kemampuan secara budaya menurut (Sue and Sue, dalam
Sue, Arrenando, and McDavis, 1992) mampu mengorganisasi karakteritik mereka dalam
tiga dimensi yaitu: pertama, konselor aktif dalam proses menyadari asumsi dirinya tentang

7
tingkah laku manusia, nilai, bias, dan keterbatasan pribadi. Mereka mengerti bahwa diri
mereka berada dalam lingkungan masyarakat luas, memahami bahwa mereka merupakan
produk dari kondisi budaya mereka, dan bagiamana mereka mungkin merefleksikan dalam
konseling ketika bekerja dengan individu yang berasal dari ras dan etnik minoritas. Kedua
konselor aktif berusaha untuk mengerti dunia luas yang berbeda dari dirinya sendiri dan
berbeda dari klien tanpa memiliki penilaian yang negatif. Ketiga, konselor aktif
mengembangkan dan mempraktikkan secara sesuai, relevan, dan sensitif starategi intervensi dan
keterampilan dalam bekerja dengan klien yang berbeda budaya dengannya (Sue and Sue,
dalam Sue, Arrenando, and McDavis,1992).
Dalam rangka meningkatkan kompetensi multibudaya konselor sekolah perlu
melakukan usaha-usaha beriukut:
(a) meningkatkan kesadaran terhadap budaya sendiri dan budaya orang lain melalui
membaca artikel, buku-buku, conversation, aktivities, refleksi, dan pengalaman,
(b) meningkatkan kesadaran dan bekerja menghilangkan gangguan pribadi untuk
melaksanakan konseling multibudaya yang efektif di sekolah,
(c) menghindari hambatan streotipe untuk konseling dengan siswa dari kelompok
budaya khusus,
(d) menunjukkan penguasaan terhadap pendekatan konseling invididual dan kelompok
dan teknik evaluasi yang sesuai kebutuhan individual siswa dari berbagai budaya
atau etnis,
(e) memberikan respek dan sokongan terhadap semua siswa,
(f) memahami gangguan stress yang dialami siswa dari budaya, termasuk
perkembangan identitas, harga diri, pandangan terhadap kehidupan, nilai, isolasi
sosial, praduga, perlawanan, kesempatan dan diskriminasi,
(g) mengerti cara-cara khusus ras, etnik, dan budaya dapat mempengaruhi akademik,
karir, dan perkebangan sosial pribadi si siswa,
(h) merumuskan berbagai bentuk bantuan yang didasarkan pada kebutuhan siswa,
(i) menyediakan sumber belajar untuk siswa dari berbagai budaya atau etnik,
(j) menghasilkan program sekolah yang luas dan kesempatan pengembangan staf dan
masyarakat sekolah dan refleksi dari populasi yang beragam (Sciarra, 2004).

8
C. Kompetensi Budaya yang Harus Dikuasai Konselor
Kompetensi konseling multikultural pertama kali disajikan oleh Sue dan rekan-
rekannya (Sue et al., 1982; Sue, Arredondo, & McDavis, 1992) dan telah didukung secara
luas oleh para ahli di bidang konseling multikultural (Constantine & Ladany, 2000).
Kerangka yang sama ini digunakan dalam pengembangan kompetensi rehabilitasi
multikultural (Middleton et al., 2000) dan dalam pengembangan banyak program pelatihan
multikultural (Sue, 2001; Trevino, 1996). Menurut Sue, Arredondo, & McDavis (1992)
kompetensi konseling multikultural telah didefinisikan sebagai sikap / keyakinan konselor,
pengetahuan, dan keterampilan dalam bekerja dengan klien yang beragam secara budaya.
Model Sue mendalilkan bahwa karakteristik konselor yang kompeten secara
multikultural dapat diorganisasikan oleh tiga domain: (a) kesadaran konselor terhadap
nilai-nilai budaya dan bias; (b) kesadaran konselor tentang pandangan dunia klien; dan (c)
strategi intervensi yang sesuai secara budaya (Arredondo & Arciniega, 2001). Dalam setiap
domain terdapat tiga bidang kompetensi: (a) keyakinan dan sikap yang mencakup sikap
konselor terhadap budayanya sendiri dan perbedaan orang lain dalam hal budaya, ras, dan
sosiopolitik (Middleton et al., 2000; Sue et al., 1992); (b) pemahaman tentang
keanekaragaman budaya (Middleton et al., 2000; Sue et al., 1992); dan (c) keterampilan
yang diperoleh melalui partisipasi aktif dalam pelatihan multikultural dan pengalaman
dalam bekerja dengan beragam populasi (Sue et al., 1992). Sodowsky et al. (1994)
menambahkan dimensi keempat, hubungan konseling multikultural, ke model ini untuk
mengatasi pentingnya interaksi antara konselor dan klien. Sue & Sue (2008) lebih
menjelaskan mengenai kompetensi lintas budaya adalah sebagai berikut:
1. Kesadaran Terapis akan Asumsi, Nilai, dan Bias Sendiri
Di hampir semua program keilmuan pelayanan manusia, konselor, terapis dan
pekerja sosial sangat familiar dengan frase, “konselor memahami diri sendiri”. Program
ini menekankan pada pentingnya agar tidak membiarkan bias dan nilai diri menggnaggu
kemampuan kita dalam bekerja dengan klien. Pada beberapa kasus, peringatan semacam
itu terutama berfokus pada level intelektual dan sangat sedikit melibatkan pelatihan
langsung pada calon-calon konselor dalam bersentuhan dengan nilai diri dan bias
mereka tentang perilaku manusia. Dengan kata lain, tampaknya lebih mudah untuk

9
menangani pemahaman kognitif tentang warisan budaya mereka sendiri, nilai-nilai yang
mereka pegang tentang perilaku manusia, standar mereka untuk menilai normalitas dan
abnormalitas, dan tujuan terikat budaya ke arah mana mereka berusaha. Hal yang
membuat pemeriksaan diri sulit adalah dampak emosional sikap, keyakinan, dan
perasaan yang terkait dengan perbedaan budaya seperti rasisme, seksisme,
heterosexism, kemampuan fisik, dan usia. Namun untuk menjadi seorang konselor
multikultur berarti harus mampu bekerja dengan bias-bias, perasaan, ketakutan dan rasa
bersalah yang terkait dengan itu.

2. Memahami Sudut Pandang dari Klien yang Berbeda Budaya


Sangat penting bahwa konselor dan terapis memahami dan dapat berbagi
pandangan dunia dari klien mereka yang berbeda budaya. Pernyataan ini tidak berarti
bahwa penyedia harus memegang pandangan dunia ini sebagai milik mereka, melainkan
bahwa mereka dapat melihat dan menerima pandangan dunia lainnya dengan cara yang
tidak menghakimi.
3. Mengembangkan Intervensi Strategi dan Teknik yang Tepat
Keefektifan terapi kemungkinan besar meningkat ketika terapis menggunakan
terapi modalitas dan mendefinisikan tujuan yang konsisten dengan pengalaman hidup
dan nilai-nilai budaya dari klien. Premis dasar ini akan ditekankan di seluruh
pembahasan selanjutnya. Penelitian telah secara konsisten menunjukkan bahwa (1)
klien dengan ekonomi dan pendidikan yang terpinggirkan mungkin tidak berorientasi
pada "terapi bicara"; (2) pengungkapan diri mungkin tidak kompatibel dengan nilai-
nilai budaya Asia Amerika, Hispanik Amerika, dan Indian Amerika; (3) Suasana sosial
politik mungkin mendikte terhadap pengungkapan diri dari ras minoritas serta kaum
gay dan lesbian; (4) sifat ambigu dari konseling mungkin antagonis bagi nilai-nilai
kehidupan kelompok yang beragam tertentu; dan (5) banyak klien minoritas lebih
memilih pendekatan aktif/direktif atau tidak aktif/nondirectif dalam treatment. Terapi
telah terlalu lama diasumsikan bahwa klien berbagi latar belakang yang sama dan
warisan budaya dan bahwa pendekatan yang sama-sama efektif dengan semua klien.
Asumsi yang salah ini harus ditinggalkan.

Setiap kelompok maupun individu berbeda satu sama lain, maka aplikasi suatu

10
teknik tidak bisa digunakan untuk seluruh kondisi dan populasi. Transaksi interpersonal
antara konselor dan klien memerlukan pendekatan yang berbeda sesuai dengan
pengalaman hidup seseorang. Dalam hal ini, ironis apabila penyetaraan treatment dalam
terapi mungkin justru akan menimbulkan diskriminasi. Seorang konselor perlu
memahami hal ini.
Konseptualisasi tripartit kompetensi konseling multikultural ini telah menjadi
andalan di bidang psikologi konseling selama beberapa dekade terakhir (misalnya, Sue
et al., 1982, 1992, 1998). Namun, model teoritis baru dari kompetensi konseling
multikultural telah berusaha untuk memperluas konseptualisasi Sue et al. (1982, 1992,
1998) agar lebih inklusif dari perspektif yang berhubungan dengan klien dalam
menentukan kompetensi multikultural konselor. Sodowsky, Taffe, Gutkin, dan Wise
(1994) mengusulkan model empat-faktor kompetensi konseling multikultural yang
terdiri dari keterampilan konseling multikultural, kesadaran, pengetahuan, dan
hubungan. Selanjutnya, Constantine dan Ladany (2001) mengusulkan bahwa dua aspek
penting dari kompetensi konseling multikultural termasuk pemahaman konselor tentang
variabel klien unik (misalnya, keanggotaan kelompok budaya klien, nilai-nilai pribadi,
dan ciri-ciri kepribadian) dan pendirian kerja yang efektif. Salah satu model (Sue, 2001)
juga mengusulkan dua aspek tambahan untuk kompetensi budaya adalah fokus
kompetensi (individu, profesional, organisasi, masyarakat) dan ras dan budaya atribut
khusus (Afrika Amerika, Asia Amerika, Latino / Hispanik Amerika, penduduk asli
Amerika, Amerika Eropa). Johnson dan Williams (2015) juga menemukan bahwa tahap
perkembangan identitas rasial White yang lebih tinggi memprediksikan kesadaran
multicultural.

Seraya seruan konselor sekolah untuk menjadi pemimpin di sekolah terus


berkembang, kebutuhan untuk memasukkan multikulturalisme dan keadilan sosial ke
dalam kepemimpinan konselor sekolah harus dipertimbangkan (Williams & Greenleaf,
2012). Harapan ini didasarkan pada Kompetensi Konseling Keadilan Multikultural dan
Sosial yang baru-baru ini dikembangkan (MSJCC; Ratts, Singh, Nassar- McMillan,
Butler, & McCullough, 2016). MSJCC menetapkan harapan baru bagi konselor sekolah
yang kemungkinan mempengaruhi kepemimpinan konselor sekolah. Harapannya

11
adalah bahwa konselor sekolah akan mahir dalam menangani isu-isu kekuasaan, hak
istimewa, dan penindasan yang berdampak pada siswa; mereka akan kompeten dalam
menghadiri interseksionalitas sebagai pemimpin sekolah; dan mereka akan mampu
memformulasikan strategi kepemimpinan yang bersifat kontekstual.
Harapan baru ini memberikan landasan untuk membingkai kepemimpinan
sekolah dalam kerangka keadilan multikultural dan sosial. Untuk tujuan artikel ini, kami
mendefinisikan kepemimpinan konseling sekolah keadilan multikultural dan sosial
sebagai intervensi kepemimpinan yang mempertimbangkan nilai-nilai budaya,
keyakinan, dan pandangan dunia dari siswa beragam budaya dan yang membahas
ketidakadilan dan hambatan-hambatan sistem yang berdampak pada siswa akademik,
sosial / emosional, dan pengembangan karir. Menggabungkan tradisi keadilan
multikultural dan sosial dengan kepemimpinan konselor sekolah sangat penting karena
membahas realitas yang sulit dari apa yang kelompok siswa terpinggirkan mengalami
di sekolah-sekolah Amerika (Ratts, 2011). Pada tahun 2015, Carlos Hipolito-Delgado,
yang saat itu menjabat sebagai ketua Asosiasi untuk Konseling dan Pengembangan
Multikultural, menugaskan komite untuk memperbarui Kompetensi Konseling
Multikultural yang dikembangkan pada tahun 1992 oleh Sue, Arredondo, dan McDavis.
Revisi komite menyebabkan banyak pembaruan pada kompetensi asli. Misalnya,
"keadilan sosial" ditambahkan pada judul untuk mencerminkan perlunya konselor untuk
mengembangkan kompetensi keadilan multikultural dan keadilan sosial (Ratts et al.,
2016).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin
baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Konselor multikultural harus selalu
mengembangkan keterampilan untuk membangun hubungannya dengan individu yang
berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Guru BK atau konselor sekolah harus
memiliki kompetensi multikultural mencakup kesadaran konselor terhadap nilai-nilai budaya
dan bias, pandangan dunia klien, dan strategi intervensi yang sesuai secara budaya
kompetensi tersebut di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan
dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan dapat mempermudah konselor untuk bisa
berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya.

Salah satu upaya untuk membangun kesadaran multibudaya adalah melalui


penyelenggaraan konseling mulitibudaya di sekolah. Konseling multibudaya merupakan
suatu proses bantuan terhadap individu yang berbeda budaya. Konseling multibudaya
merupakan kegiatan konseling yang menunjukkan kesensitifan terhadap berbagai fungsi
budaya dan interaksi, dan kepedulian tentang pengalaman budaya orang lain.

B. Saran
Masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dari pembaca agar kedepannya lebih baik

13
DAFTAR PUSTAKA

Arredondo, P., Psalti, A., & Cella, K. (1993). The Woman Factor in Multicultural
Counseling. Counseling and Human Development.
Arrenando, Patricia.(1999). Multicultural Counseling Competencies as Tools to Address
Oppression Racism Journal of Counseling Development. Winter 1999 volume 78.
Arrenando,P.&Glauner.(1992).Personal Dimension of Identitity Model. Boston:
Empowerment Worshop. Inc.
Dollarhide.T. Colette and Kelli. A. Saginak. (2008). Comprehensive School Counseling
Programs. New York: Perarson Education, Inc.
Fawcet, Mary L. & Evans, Kathy M. (2013). Experiential Approach for Developing
Multicultural Counseling Competence. USA: SAGE.
Hays, Danica G. & Erford, Bradley T. (2010). Developing Multicultural Counseling
Competence: A Systems Approach. New Jersey: Pearson.
Middleton, R., Arrendondo, P., & D’Andrea, M. (2000, December). The impact of Spanish
speaking newcomers in Alabama towns. Counseling Today, 24.
Nugraha, Agung. (2012). Program Experiential Based Group Counseling Untuk
Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor (Penelitian Pra Eksperimen di
Jurusan PPB FIP UPI Tahun Akademik 2011/2012). Tesis. Bandung: SPs UPI (tidak
diterbitkan).Pedersen, Paul B., Crether & Carlson. (2008). Inclusive Cultural
Empathy; Making Relationships Central in Counseling and Psychotherapy.
Washington D.C: APA.
Pedersen, Paul B., Draguns, Juris G., Lonner, Walter J., and Trimble, Joseph E. (1981).
Counseling Across Cultures. USA: The East-West Center by The University Press of
Hawaii.
Peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi Nomor : 1/BNSP/III/2014 Tentang Pedoman
Penilaian Kesesuaian - Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Profesi.
Sciarra. T. Daniel. (2004). School counseling: Foundation and conteparary Issues.
Belmond: Brooks/Cole-Thomson Learning.
Sperry, Len. (2007). The Ethical and Professional Practice of Counseling and
Psychoterapy. New York: allyn and Baco
Sue & Sue. (2008). Counseling the Culturally Diverse Theory and Practice. Canada: Willey.

Sue, D. W. (2001). Multidimensional facets of cultural competence. The Counseling


Psychologist, 29, 790–821.
Sue, D. W., & Sue, D. (2013). Counseling the culturally diverse: Theory and practice (6th
ed.). New York, NY: John Wiley and Sons.

14
Sue, D. W., Arredondo, P., & McDavis, R. J. (1992). Multicultural counseling compe-
tencies and standards: A call to the profession. Journal of Counseling &
Development, 70, 477-486.
Sue, D. W., Carter, R. T., Casas, J. M., Fouad, N. A., Ivey, A. E., Jensen, M., LaFromboise,
T., Manese, J. E., Ponterotto, J. G., & Vasquez-Nuttall, E. (1998). Multicultural
counseling competencies: Individual and organizational development. Thousand
Oaks, CA: Sage.
Sue, D.W., & Sue, J.D. (2008). Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice (5th
Ed.). New Jersey. John Wiley & Sons, Inc.
Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: C. V. Pustaka Bani Quraisy.

Williams, J. M., & Greenleaf, A. T. (2012). "Ecological psychology: Potential contributions


to social justice and advocacy in school settings". The Journal of Educational and
Psychological Consultation, 22, 141–157. doi:10.1080/10474412.2011.649653

15

Anda mungkin juga menyukai