Anda di halaman 1dari 19

Makalah Pengembangan Pribadi Konselor

ISU ETIK DALAM PRESPEKTIF LINTAS BUDAYA

Dosen Pembimbing:

Drs. M.Husen M.Pd

Zahra Nelissa, S.Pd

Disusun Oleh Kelompok 12

Nama Anggota:

Adisti Syahputri 1706104030030


Yola Miranda 1706104030053
Nurmarita 1706104030038

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM-BANDA ACEH

2020
A. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana pribadi konselor dan keterkaitannya dengan
konseling sadar budaya.
2. Untuk mengetahui bagaimana pemusatan pada faktor individu dan faktor
lingkungan dalam konseling
3. Untuk mengetahui bagaimana cara menghindari sikap-sikap prasangka dan
stereotip yang meliputi; prasangka dan stereotip budaya, prespektif etik dan
emik. Bias budaya (usia, gender, ras dan etnis yang menghambat,
konseling)
4. Untuk mengetahui bagimana peran asesmen dan diagnostik dalam
konseling sadar budaya.
5. Untuk mengetahui bagaimana itu dual dan multi relasi dalam praktik
konseling.

B. URAIAN MATERI
A. pribadi konselor dan keterkaitannya dengan konseling sadar budaya.

Dalam proses konseling lintas budaya seorang konselor perlu memperhatikan


kebudayaan yang ada pada konselinya demi memperlancar proses konseling
tersebut, sebab konselor yang tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan budaya
yang dimiliki oleh konseli maka keefektifitasan konseling lintas budaya menjadi
tidak efektif, yang dapat mengakibatkan proses konseling terganggu.

Untuk dapat memperhatikan kebudayan konseli , konselor harus memiliki pribadi


yang peka atau sensitif terhadap keadaan konseli.Kemampuan konselor dalam
konseling lintas budaya sangat dibutuhkan, sebab konseling lintas budaya akan
berjalan efektif bila konselor memiliki kemampuan (skill) dan pribadi yang
mantap atau sensitifitas terhadap klien. Menurut Soedarmadji (2011) Seorang
konselor konseling lintas budaya juga harus mempunyai karakteristik yang
mantap agar melaksanakan konseling lintas budaya dapat berjalan efektif. Adapun
karakteristiknya antara lain:

1. Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan
asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
2. Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung
tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari
bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya.
Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu
sekaligus mempelajarinya.
3. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara
umum. Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling
secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan
konseling, sebaiknya konselor sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam
melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap
kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah
yang dihadapi oleh klien.
4. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam
melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi
untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan
nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Untuk
mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar
dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik, baik
agama maupun budayanya. Dengan mengadakan perhatian atau observasi,
diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya rintangan selama proses
konseling.
5. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat
memahami budaya dan nilai - nilai yang dimiliki konselor. Untuk hal ini
ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor
mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa
konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini
mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kemauan konselor tidak boleh
dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor
tanpa persetujuan klien.Konselor lintas budaya dan agama dalam
melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekatan ekletik.
Pendekatan ekletik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang
mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling
untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan
untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya dan pandangan
hidup. Untuk itu konselor harus memiliki wawasan keilmuan yang luas.

Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan


konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae &
jhonson) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi
kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya
perbedaan yang mendasar antara konselor dengan klien yang akan dibantunya.
Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika konselor
memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial
budayanya.Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus
mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang
dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena
konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya. Dengan
demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai nilai
yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan
konseling.
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan
pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang
perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio
budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang
dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat
ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di
masyarakatt idak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi
dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan
semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai suatu
budaya tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan
keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang
etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan
masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang
sesuai dengan kebutuhan. Misal konselor banyak berhubungan dengan orang
jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang
Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka
konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab
dengan dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor
untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya.
Sementara itu menurut konseling indonesia 2012 Kompetensi Linyas budaya
meliputi; a). Kesadaran nilai-nilai bias budaya, b). Kesadaran konselor terhadap
pandangan klien, c). Strategi intervensi yang cocok berdasarkan kebudayaan

B. Pemusatan Pada Faktor Individu Dan Faktor Lingkungan Dalam

Konseling

Dalam pengkajian issue tentang budaya, locke dalam brown (1988),


mengemukakan 3 unsue fokok dalam konseling lintas budaya.

a) Individu adalah penting dan khas


b) Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya
c) Klien yang datang menenmui konselor juga membawa seperangkat nilai
dan sikaf yang mencerminkan budayanya

Selanjutnya brown mwnyatakan bahwa keberhasilan bantuan


konseling sangat di penagaruhi oleh faktor-faktor bahasa, nilai, streotip, kelas
sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Menurut sue,faktor-faktor budaya yang
berpengaruh dalam konseling adalah pandangan mengenai sifat hakikat manusia,
orientasi waktu, dan hubungan dengan alam dan orientasi tindakan.

Dari paparan diatas dapat dianalisi bahwa unsur – unsur pokok yang
perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah :
1. Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur – unsur budaya
tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai – nilai, pandangan
hidup, dsb.
2. Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh
unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
3. Dalam hubungan konseling, konselor harus menyadari unsur – unsur
tersebut dan menyadari bahwa unsur – unsur budaya itu akan
mempengaruhi keberhasilan proses konseling.

c. Menghindari sikap-sikap prasangka dan stereotip


1) Prasangka dan stereotip budaya
 Prasangka
Secara terminologi, prasangka (prejudice) merupakan kata yang berasal
dari bahasa Latin. Prae berarti sebelum dan Judicium berarti keputusan
(Hogg, 2002). Chambers English Dictionary (dalam Brown, 2005)
mengartikan prasangka sebagai penilaian atau pendapat yang diberikan
oleh seseorang tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal senada
juga diberikan oleh Hogg (2002), yang menyatakan bahwa prasangka
merupakan sikap sosial atau keyakinan kognitif yang merendahkan,
ekspresi dari perasaan yang negatif, rasa bermusuhan atau perilaku
diskriminatif kepada anggota dari suatu kelompok sosial tertentu sebagai
akibat dari keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Karakteristik dan
perilaku aktual dari individu hanya sedikit berperan.

Pada sumber lain menyebutkan Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin
yaitu prejudicium, yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan
sebagia berikut :

 Semula diartikan sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil atas


dasar pengalaman yang lalu.
 Dalam bahas Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa
penelitian dan pertimbangan yagn cermat, tergesa-gesa atau tidak matang
 Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur emosilan
(suka atau tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut

Prasangka dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian bahwa


prasangka adalah pendapat (anggapan) yg kurang baik mengenai sesuatu sebelum
mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri. Dari pengertian diatas dapat kita
garis bawahi dari prasangka adalah anggapan kurang baik. Sehingga kalau kita
maknai bahwa prasangka itu adalah suatu anggapan yang kurang baik terhadap
seseorang. Hal ini sering terjadi dalam sosialisasi dalam masyarakat.

Berdasarkan definisi prasangka menurut beberapa ahli diatas, dapadisimpulkan


bahwa prasangka adalah suatu bentuk sikap negatif terhadap anggota suatu
kelompok tertentu yang dapat menimbulkan perilaku diskriminasi hingga
kekerasan. Penilaian ini didasarkan hanya pada keanggotaan seseorang (individu)
dalam suatu kelompok bukan karena karakteristik individu maupun perilaku
aktualnya.

 Stereotip

Franzoi (2008 : 199), stereotip adalah kepercayaan tentang orang yang


menempatkan mereka kedalam satu kategori dan tidak mengizinkan bagi berbagai
(variation) individual. Kepercayaan sosial ini didapatkan dari orang lain dan
dipelihara melalui aturan-aturan dalam interaksi sosial. Dari serangkaian
penjelasan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa stereotip adalah penilaian
terhadap seseorang yang hanya dilakukan berdasarkan persepsi terhadap
kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.

Menilai dan menghargai perbedaan, konselor sadar bahwa latar belakang


kebudayaan yang dimilikinya, pengalaman sikap, Nilai, dan bias mempengaruhi
proses psikologis

Konselor mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya Konselor


merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam
bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan
 Konselor memiliki pengetahuan tentang ras dan kebudayaannya sendiri
dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi secara personal dan profesional
pandangannya tentang normal dan abnormal dan proses dalam konseling

 Konselor mengetahui dan memahami bahwa tekanan, ras, diskriminasi,


dan stereotipe mempengaruhi mereka secara personal dan dalam
pekerjaannya.

 Konselor mengetahui dampak sosialnya terhadap orang lain. Pengetahuan


mereka tentang perbedaan komunikasi, bagaimana gaya komunikasi ini
mungkin akan menimbulkan perselisihan atau membantu perkembangan
dalam proses konseling pada klien minoritas, dan bagaimana cara
mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi pada orang lain.

2) Prespektif etik dan emik

Dana, 1993 (dalam pomerantz, 2014) mendeskripsikan dua perpektif yang


berbeda yang telah digunakan para psikolog selama sejarah profesi ini.
Pertama, yang dikenal sebagai perspektif etik, menekankan persamaan di
antara semua orang. Perspektif ini mengasumsikan universalitas diantara
semua orang dan secara umum tidak menganggap penting perbedaan-
perbedaan diantara berbagai kelompok budaya. Perspektif ini lebih dominan
di awal sejarah psikologi, ketika kebanyakan orang yang mengajarkan dan
mempraktikkan psikologi adalah laki-laki, keturunan Eropa, dan kelas
menengah dengan status sosial-ekonomi lebih tinggi. Secara umum, sudut
pandang mereka dianggap sebagai sudut pandang normative tentang isu-isu
seperti mendefinisikan kesehatan psikologis, mengidentifikasi dan memberi
label gangguan psikologis, dan mengembangkan pendekatan terapi.

Perspektif emik berbeda dengan perspektif etik dalam arti bahwa ia mangakui
dan menekankan norma-norma spesifik-budaya. Seorang psikolog yang
menerapkan perspektif emik – yang semakin menonjol seiring bangkitnya
multikulturalisme – mempertimbangkan perilaku, pikiran dan perasaan seorang
klien di dalam konteks budaya klien sendiri dan bukan menerapan norma budaya
lain pada klien tersebut. Dibandingkan perspektif etik, perspektif emik
memungkinkan kesempatan yang lebih besar kepada psikolog untuk
mengapresiasi dan memahami bagaimana klien dilihat oleh para anggota
kelompok budayanya sendiri. Pendek kata, pendekatan emk menekankan bahwa
individu-individu dari beragam kelompok budaya “haruss dipahami menurut
ukuran (budayanya) sendiri” (Dana, 1993, hlm. 21).

Sebagai catatan samping, Dana (1993) menyebutkan bahwa istilah etik dan
emik diambil dari bidang linguistic dan, khususnya, dari istilah forensic dan
fonetik. Secara histori, para ahli bahasa telah menggunakan istilah fonetik dan
bunyi yang sama untuk semua bahasa dan istilah fonemik untuk bunyi yang
spesifik untuk bahasa tertentu (Dana, 1993; Pike, 1967). Perbedaan antara kedua
istilah tersebut – universitas versus spesifisitas budaya – adalah seperti istilah etik
dan emik yang saat ini digunakan dalam bidang psiologi.

Pendekatan etic melibatkan penelitian yang berasal dari budaya tertentu.


Pendekatan emic mengacu pada pandangan bahwa data penelitian konseling lintas
budaya harus dilihat dari sudut pandang budaya subjek yang diteliti, atau budaya
asli dan unik.

Dikotomio etic dan emic merupakan perbedaan cara mendeskripsikan


suatu kebudayaan, dipandang dari dalam budaya klien atau dari luar budaya klien.

3) Bias budaya: Usia, gender, ras dan etnis yang menghambat konseling

Konseling antar budaya akan berhasil apabila telah mengembangkan 3


dimensi kemampuan yaitu dimensi keyakinan, dan sikap pengetahuan dan
keterampilan yang sesuai dengan klien antar budaya yang akan dilayani.
Konselor tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien
yang latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok- Kelompk sosial
ekonomi tertentu, akan tetapi menangani klien yang bersifat antar budaya atau
bahkan multi budaya.
Kebutuhan akan konseling antar budaya di Indonesia makin terasa,
mengingat penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki
beraneka corak sub-kultur yang berbeda-beda karakteristik sosial budaya
masyarakat yang majemuk itu tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan
penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan BK yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat
manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri. Hal ini
berarti bahwa penyelenggaraan BK harus dilandasi dan mempertimbangkan
keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, disamping
kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju.
(Adhiputra,2010.190)
Ketika koselor dan klien secara bersama dalam budaya yang sama,
konselor mempercayakan intuitively atas penerimaan secara bersama sama untuk
menyempurnakan diluar tujuan klien, Dan atas pemahaman pribadinya untuk
memenuhi jurang pemisah dalam lantar belakang diri klien.ketika participant
budaya konseling dibedakan, konselor sering kurang menyimpulkan secara
implicit untuk menciptakan image coherent pada diri klien. Seperti aspek-aspek
yang signipikan pada persepsi,ingatan, dan sisa sejarah yang membisu.Waktu
yang mengiris pada sesi konseling akan memperluas horizontally yang meliputi
sejarah dan masa depan klien, serta ketegak lurusan ke penggabungan makna
budaya itu.
Interaksi antar konselor dengan klien mungkin dapat dilihat sebagai
intervensi disengaja dalam aktivitas klien- konstruk wawasan dan pemahamanya,
serta kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas yang diperbaiki.para
partisipan semestinya menciptakan setiap interface akan menompang hubungan
konseling dan menompang mampaat penerimaan interface klien yang begitu luas
adalah dibutuhkan dengan sungguh-sungguh dan kehangatan, serta
membangkitkan rasa empatinya. Konsep ahirnya adalah mengkritisi komonikasi
antar budaya, semenjak di sarankan empati ketentuan pertalian dan hubungan
berdasarkan atas kesamaan antar kedua partisipan konseling antar budaya,
mungkin tidak adanya definisi interaksi yang akurat secara menyeluruh, semenyak
empati, menjelaskan pemahaman orang lain atas kesulitan bersama, tidak akan
terjadi. Sebelum menjauhi kemungkinan konseling antar budaya, kita selalu
melihat kebutuhan yang serupa untuk menompang empati.
Membangun suatu proses berbaris psikologi, budaya belajar ( cultural
learning ) mungkin menentukan seprangkat persepsi persamaan yang lebih
menemukan perbedaanya. Jika laboratory ditemukan akan bias memperluas level
persepsi social, kita dapat melakukan hipotesis yaitu sebagian masyarakat
Amerika, sebagai contoh, budaya belajar mendorong persepsi yang sama dengan
yang lainya, orang Perancis ( French ) mungkin predisposition untuk menerima
suatu perbedaan. Pengamatan secara umum yang dibutuhkan adalah untuk
memperkuat atau juga untuk menolaknya.

d. Peran asesmen dan diagnostik dalam konseling sadar budaya.

Karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk tidak dapat diabaikan

dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan

bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan kemampuan dan

meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia terutama di Indonesia

karea kita sebagai warga Negara Indonesia harus berakar pada budaya bangsa

sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan bimbingan dan konseling harus

dilandasi oleh dan mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup

dalam masyarakat, di samping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju

masyarakat yang lebih maju.

Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan

pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan

sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu

pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup.

Konseli-konseli yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang

berbhieneka itu tidak dapat disamaratakan penaganannya. Akar budaya asli

yang sekarang masih hidup dan besar pengaruhya terhadap masyarakat


budaya asli itu patut dikenali, dihargai, dan dijadikan pertimbangan utama

dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Hal itu semua menjadi tanggung

jawab para konselor dan lembaga pendidikan konselor di seluruh tanah air.

e. Dual dan multi relasi dalam praktik konseling.

1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus

memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994)

mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan

pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang

meliputi hal-hal sebagai berikut.

 Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi

 .Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat

kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.

 Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik

umum konseling dan terapi.Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal

 Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal

 Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien

 Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat

mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Sikap Konselor

Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus

dapat mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami


oleh klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara

efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri

menyadari world view-nya dan dapat world view klien. Sikap konselor dalam

melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu

pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling.

Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai

agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa

konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:

• Dimensi keyakinan dan sikap

• Dimensi pengetahuan

• Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu

Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat

atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan

konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan

tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar

filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien,

maka konselor harus bersikap netral,yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien

tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai

kebudayaan tersebut.

Selanjutnya, aspek-aspek yang mendasari sikap tersebuta dalah sebagai

berikut.

 Keyakinan

Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan

kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu
juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta

kemampuan untuk mencapai tujuan.

 Nilai-nilai

Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya.

Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya.

Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainyadan

tidak mencampurkan nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.

 Penerimaan

Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi

dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa

dibuat-buat.

 Pemahaman

Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan

pemahaman, yaitu (1) pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-

minat individu, (2) memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal

individu, (3) pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan (4) pemahaman

diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut.

 Rapport

Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan

permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.

 Empaty

Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan

perasaan klien.
3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya

Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah

bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif

dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam

hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan

persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:

 Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya,

baik akademik maupun pengalaman.

 Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara

klien dan konselor,terutama yang berkaitan dengan dengan

kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja

teurapetik.

 Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teoriterhadap situasi-

situasi khusus klien.

 Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.

 Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar

konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan

prasangka-prasangkanya.

 Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku

umum.
C. RINGKASAN MATERI

1. Menurut Soedarmadji (2011) Seorang konselor konseling lintas budaya


juga harus mempunyai karakteristik yang mantap agar melaksanakan
konseling lintas budaya dapat berjalan efektif. Adapun karakteristiknya
antara lain:

 Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan
asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
 Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung
tinggi dan akan terus dipertahankan.
 Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara
umum. Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling
secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan
konseling, sebaiknya konselor sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam
melaksanakan konseling.
 Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
 Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat
memahami budaya dan nilai - nilai yang dimiliki konselor.

2. Hogg (2002), yang menyatakan bahwa prasangka merupakan sikap sosial


atau keyakinan kognitif yang merendahkan, ekspresi dari perasaan yang
negatif, rasa bermusuhan atau perilaku diskriminatif kepada anggota dari
suatu kelompok sosial tertentu sebagai akibat dari keanggotaannya dalam
kelompok tertentu.
3. Franzoi (2008 : 199), stereotip adalah kepercayaan tentang orang yang
menempatkan mereka kedalam satu kategori dan tidak mengizinkan bagi
berbagai (variation) individual. Kepercayaan sosial ini didapatkan dari
orang lain dan dipelihara melalui aturan-aturan dalam interaksi sosial
4. Dalam pengkajian issue tentang budaya, locke dalam brown (1988),
mengemukakan 3 unsue fokok dalam konseling lintas budaya.
 Individu adalah penting dan khas
 Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan
budayanya
 Klien yang datang menenmui konselor juga membawa seperangkat
nilai dan sikaf yang mencerminkan budayanya

D. PERTANYAAN
1. Sebutkan dan jelaskan apa saja kompetensi yng wajib dimiliki oleh
konselor lintas budaya!
2. Keberhasilan bantuan konseling sangat di pengaruhi oleh faktor-faktor
bahasa, nilai, stereotip, kelas sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Apa saja
unsur-unsur pokok yang perlu di perhatikan dalam konseling lintas budaya
ini.
3. Bagaimana sikap konselor jika mendapati klien yang memiliki sifat atau
kepercayaan yang salah?

E. JAWABAN

1. Kompetensi yang wajib dimiliki konselor ada 3 yaitu:

a. Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar-benar mengetahui


adanya perbedaan yang mendasar antara konselor dengan klien yang
akan di bantunya.

b. Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus


mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di
indonesia

c. Keterampilan, konselor lintas budayharus selalu mengembangkan


keterampilan untuk berhubungan dengan invidu yang berasal dari
latar belakang etnis yang berbeda.

2. unsur – unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya
adalah :
 Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur – unsur budaya
tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai – nilai, pandangan
hidup, dsb.
 Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh
unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
 Dalam hubungan konseling, konselor harus menyadari unsur – unsur
tersebut dan menyadari bahwa unsur – unsur budaya itu akan
mempengaruhi keberhasilan proses konseling.

3. Jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat

diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor

boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila

kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau

kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus

bersikap netral,yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi

membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai

kebudayaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Pomerantz, A. M. (2014). Psikologi klinis: Ilmu pengetahuan, praktik dan budaya


(3rd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku


bangsa di Indonesia. Surabaya: Pelangi.

BK | Bimbingan dan Konseling Indonesia | Pusat Referensi Konseling |

http://konselingindonesia.com Menggunakan Joomla! Generated: 7 May, 2012, 2

Carter, RT. 1991. Cultural Values: a review of empirical research and


implications for counseling. Journal of Counseling & Development. 70:
164-173.

Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit


Djambatan.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta:


Depdikbud.

Anda mungkin juga menyukai