Oleh :
Naharus Surur
Dosen Prodi BK, FKIP, UNS
SEJARAH
• Konseling merupakan proses interaksi psikologis antara konselor
dengan konseli dalam rangka memberikan bantuan untuk
memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
• Secara perlahan berkembang menjadi salah satu cabang ilmu dan
profesi. Mulanya konseling merupakan bagian dari psikologi ,
setelah itu menjadi cabang ilmu dan profesi tersendiri.
• Proses konseling melibatkan berbagai factor secara integral, seperti
factor social budaya. Seiring berkembangnya paham globalisasi dan
meningkatnya existensi konseling, interaksi konselor dan konseli
tidak hanya terjadi dalam satu kultur, terapi dapat terjadi antara
orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda.
• Untuk mengatasi perbedaan budaya antara konselor dan konseli,
maka konselor perlu memahami latar belakang budaya dari
konselinya.
HAKIKAT
• Padersen (1981) dan Locke (1988) mendefinisikan konseling
multibudaya sebagai bidang praktik yang (1) menekankan
pentingnya dan keunikan (kekhasan)individu, (2) mengaku
bahwa konselor membawa nilai-nilai pribadi yang berasal dari
lingkungan kebudayaannya ke dalam setting konseling, dan (3)
mengakui bahwa konseli yang berasal dari kelompok ras dan
suku minoritas membawa nilai-nilai dan sikap yang
mencerminkan latar belakang budaya mereka.
• Konseling multibudaya merupakan proses interaksi antara
konselor dan konseli dengan latar belakang budaya yang
berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep
dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat
memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya
konseli.
KUNCI PELAKSANAAN
Draguns (1989), point kunci dalam pelaksanaan konseling multibudaya
yaitu :
1. Teknik konseling harus dimodifikasi jika terjadi proses yang melibatkan
latar belakang budaya yang berbeda.
2. Konselor harus mempersiapkan diri dalam memahami kesenjangan
yang makin meningkat antara budayanya dengan budaya konseli pada
saat proses konseling berlangsung.
3. Konsepsi menolong atau membantu harus berdasarkan pada
perspektif budaya konseli, dan konselor dituntut memiliki kemampuan
mengkomunikasikan bantuannya serta memahami distrees dan
kesusahan konseli.
4. Konselor dituntut memahami perbedaan gejala dan cara
menyampaikan keluhan masing-masing kelompok budaya yang
berbeda.
5. Konselor harus memahami harapan dan norma yang mungkin berbeda
antara dirinya dengan konseli.
PRINSIP-PRINSIP DASAR
1. Untuk Konselor
• Kesadaran terhadap pengalaman dan sejarah dalam kelompok
budayanya.
• Kesadaran tentang pengalaman diri dalam lingkungan arus besar
kulturnya.
• Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan diri dan nilai-nilai
yang dimilikinya.
2. Untuk Pemahaman Konseli
• Kesadaran dan pengertian/pemahaman tentang sejarah dan
pengalaman budaya konseli yang dihadapi.
• Kesadaran perceptual akan pemahaman dan pengalaman dalam
lingkungan kultur dari konseli yang dihadapi.
• Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan diri konseli dan nilai-
nilainya
Lanjutan :
3. Untuk Proses Konseling
• Hati-hati dalam mendengarkan secara aktif, konselor harus dapat
menunjukkan baik secara verbal maupun nonverbal bahwa konselor
memahami yang dibicarakan konseli, dan dapat mengkomunikasikan
tanggapannya dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
• Memperhatikan konseli dan situasinya seperti konselor
memperhatikan dirinya dalam situasi tersebut, serta memberikan
dorongan optimisme dalam menemukan solusi yang realistis.
• Mempersiapkan mental dan kewaspadaan jika tidak memahami
pembicaraan konseli dan tidak ragu-ragu meminta penjelasan.
• Prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara
baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki
kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga
dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis.
Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak
dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu meminta
penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.
Gibson dan Mitchell (2011)
1. Gerakan kesetaraan hak dan pelulusan legislasi menfokuskan
perhatian pada kesetaraan ras dan gender. Hal itu seiring
dengan peningkatan jumlah riil dan presentase populasi
minoritas Amerika.
2. Konselor harus paham dan menyadari tengah menghadapi
beragam manusia, bukan sekedar minoritas tetapi juga
masyarakat yang heterogen yang memiliki budayanya sendiri
dalam membimbing perilaku, peristiwa dan harapan mereka.
3. Konseling sebagai hubungan antar manusia dan profesi
penolong harus dapat memberikan pengaruh yang signifikan
dan positif. Dalam konseling harus memperlihatkan secara
konsisten dan konklusif bahwa kita sungguh berorientasi
secara multibudaya baik dalam teori maupun praktiknya, dan
efektif sebagai konselor untuk budaya apapun.
Lanjutan :
4. Hasil konseling multibudaya tidak boleh dihalangi oleh
perbedaan budaya konselor dan konseli. Asumsi filosofis
keberhargaan dan martabat yang melekat pada individu,
penghargaan atas keunikan pribadi, hak individu dalam
aktualisasi diri, mengindikasikan komitmen konseling
efektif untuk semua konseli apapun latarbelakang budaya,
etnik, religius, atau sosial-ekonominya.
5. Konselor juga harus bergerak menuju aktif mencari fondasi
teoritis yang tepat, dan praktik-praktik yang efektif untuk
konseling dengan konseli dari latar belakang budaya yang
berbeda-beda.
6. Konselor menyadari kalau banyak karakteristik tradisional
(seperti keterbukaan, ekspresi emosi, berbagi perasaan
terdalam) bisa menghambat efektifitas menangani konseli
dengan budaya lain. Penting bagi konselor untuk
menunjukkan bahwa konseli tahu konselor sadar dan peka
terhadap keunikan mereka.
Ridley (2005), konseli multibudaya lebih banyak mengalami
pengalaman tidak menyenangkan :
• Diagnosis konseli minoritas cenderung lebih banyak keliru
karena selama ini dibentuk dari pengalaman dan riset
terhadap orang-orang kulit putih.
• Penugasan staf profesional yunior, bukan-profesional senior
atau terlatih.
• Sifat penanganan berbiaya rendah atas kontak minimal,
sekadarnya, bukannya psikoterapi intensif.
• Fasilitas, cenderung dirujuk ke kesehatan mental seadanya,
stok obatnya terbatas dan staff pengelolanya kadang direkrut
dari para sukarelawan atau pekerja sosial.
• Durasi penangan, diserahkan unit rawat jalan, tanpa hasil yang
dievaluasi dan tanpa kejelasan kesembuhan.
• Sikap, melaporkan lebih banyak ketidakpuasan dan kesan
tidak menyenangkan ketimbang perawatan yang diberikan
pada konseli kulit putih.
Remirez (1991)
• Konseling multikultural adalah tantangan untuk hidup
dalam masyarakat multikultural.
• Tujuan utama dalam menghadapi konseli dari berbagai
kelompok etnis adalah mengembangkan “fleksibilitas
kultur” (culture flexibility).
• Anggota kelompok kultur mayoritas merasakan
ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang
mereka harapkan.
• Pendekatan ini menuntut fleksibilitas kultural dan
kesadaran tingkat tinggi dalam diri konselor. Pada
pertemuan awal diperlukan penyesuaian gaya dan
pemahaman kultural konseli oleh konselor dan
kemudian mendorong untuk mencoba berbagai bentuk
perilaku kultural.
BUDAYA
• Seperangkat asumsi bersama di mana orang dapat memprediksi
reaksi tindakan masing-masing sesuai keadaan tertentu (Haviland
1975).
• Budaya meliputi tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa,
keyakinan dan berfikir yang telah terpola dalam satu masyarakat
dan diwariskan dari generasi ke generasi serta memberikan
identitas pada komunitas pendudkungnya (Prosser, 1978).
• Budaya “membentuk perilaku, pemikiran, persepsi, nilai, tujuan,
moral, dan proses kognitif” (Cohen,1998).
• Sekelompok orang yang mengidentifikasi atau berasosiasi satu
dengan yang lain berdasarkan pada kesamaan tujuan, kebutuhan,
atau latar belakang (Axelson, 1999).
• Sebuah sistem terpola dari norma-norma yang berasal dari tradisi,
yang mempengaruhi perilaku (Nelson-Jones,2009)
Pentingnya Budaya dalam Konseling
• Konseling terjadi dalam konteks budaya dalam kantor,
sekolah, perguruan tinggi, organisasi atau komunitas yang
lebih besar.
• Penilaian yang tepat terhadap masalah harus
mempertimbangkan budaya konseli.
• Konseling berbasis pada budaya, budaya mungkin menjadi
pusat/fokus konseling.
• Etnis sebagai rasa kebersamaan yang lebih dari ras, agama,
nasional, atau asal geografis (McGoldrick, Pearce, dan
Giordano, 1982).
• Ras sebagai sekelompok orang yang memiliki sifat biologis
yang sama, seperti warna kulit, tekstur rambut, dll
(Woolfolk, 2001)
• Kelompok minoritas sebagai orang yang telah didiskriminasi
atau mengalami perlakuan yang tidak sama (Corey dan
Callanan, 1988)
MULTIBUDAYA
• Suatu proses yang membantu individu
mengembangkan cara menerima, mengevaluasi dan
masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari
yang mereka miliki.
• Mencerminkan keseimbangan antara pemahaman
persamaan dan perbedaan budaya mendorong
individu untuk mempertahankan dan memperluas
wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
• Adanya toleransi, termasuk menghargai adanya
perbedaan ras, etnis, agama, jenis kelamin dan
budaya.
KONSELING MULTIBUDAYA
• Konseling “dimana konselor dan konselinya berbeda”
(Locke,1990)
• Situasi di mana dua orang atau lebih, dengan berbagai cara
untuk memahami lingkungan sosial mereka, digabungkan
dalam hubungan membantu (Pedersen, 2002).
• Peran dan proses bantuan yang menggunakan teknik dan
menentukan sasaran yang konsisten dengan pengalaman
dan nilai-nilai konseli (Sue dan Torino, 2005).
• Konseling multibudaya mengacu pola mendukung dan
membantu kegiatan di mana konselor berbeda satu sama
lain dalam hal etnis, ras, budaya, dll.
• Konseling multibudaya merupakan upaya sistematis untuk
menangani keragaman budaya dalam konseling.
Lanjutan :
• Intervensi harus sensitif terhadap latar belakang konseli,
waktu hidup, perspektif gender, dan orientasi seksual.
• Konselor merencanakan perbedaan selama proses
konseling karena keterputusan antara latar belakang
budaya konselor dan konseli meningkat.
• Konseling didasarkan secara budaya, baik konselor maupun
konseli memiliki pandangan dunia dan perspektif budaya
mereka sendiri.
• Konseli membawa keprihatinan mereka berdasarkan latar
belakang budaya dan etnis mereka, serta periode
kehidupan mereka, jenis kelamin dan perspektif orientasi
seksual.
• Konselor dan konseli mungkin memiliki persepsi yang
berbeda mengenai proses konseling dan hasil pengobatan.
Pedersen, 1988
Karakteristik Konselor Multibudaya
1. Memahami karakteristik umum tentang
konseling.
2. Mengenali nilai dan asumsi tentang perilaku
yang diinginkan dan tidak diinginkan.
3. Tanpa menghilangkan peranan utamanya,
konselor harus dapat berbagi pandangan
dengan konseli.
4. Dapat melaksanakan proses konseling secara
efektif.
Karakteristik Konselor Multibudaya
1. Menyadari dan memiliki kepekaan terhadap budayanya.
2. Menyadari perbedaan budaya antara dirinya dengan konseli
serta mengurangi efek negatif dari perbedaan atau
kesenjangan tersebut dalam proses konseling.
3. Merasa nyaman dengan perbedaan antara konselor dengan
konseli baik menyangkut ras maupun kepercayaan.
4. Memiliki informasi yang cukup tentang ciri-ciri khusus dari
kelompok atau budaya konseli yang akan ditangani
5. Memiliki pemahaman dan keterampilan tentang konseling dan
psikoterapi.
6. Mampu memberikan respon yang tepat baik secara verbal
maupun non verbal.
7. Harus dapat menerima dan menyampaikan pesan secara teliti
dan tepat baik verbal maupun non verbal.
KOMPETENSI KONSELING
MULTIBUDAYA
Model Akronim RESPECTFUL
R – Religious/spiritual identity (Religius)
E – Economic class background (Latar Belakang kelas ekonomi)
S – Sexual identity (Jenis Kelamin)
P – Psychological development (Perkembangan Psikologis)
E – Ethnic/racial identity (Etnis / Identitas Rasial)
C – Chronological disposition (Disposisi Kronologis)
T – Trauma and other threats to their personal well-being (Trauma
dan ancaman lain terhadap kesejahteraan pribadi mereka)
F – Family history (Sejarah Keluarga)
U – Unique physical characteristics (Keunikan Karakteristik Psikis)
L – Language and location of residence, which may affect the helping
process (Bahasa dan Lokasi tempat tinggal , yang dapat berdampak
dalam proses layanan)
Lanjutan :